FORTPEAT - WHORE'S LOVE 🔞

WARNING ⚠️⚠️⚠️ 8k+++ word. Longshoot. Separuh dari cerita berisi adegan dewas (NC). Untuk yang berumur dibawah 18 tahun diwajibkan untuk tidak membaca.

Silahkan siapkan cemilan karena ini akan sangat panjang.

Happy reading ❤

-----

Suara dentuman bercampur musik keras dari berbagai sudut ruangan terasa begitu memekakkan telinga. Langkah gontai seorang pemuda lengkap dengan jas khas pekerja kantor membuat beberapa orang mulai menyadari kehadirannya.

Postur yang cukup tinggi untuk ukuran seorang pria dengan kulit putih pucat. Proporsi tubuh yang terbilang cukup bagus walaupun terkesan kurus. Rahang tajam serta mata rusa yang berpendar seolah tak peduli dengan sekitar. Tangan berjemari panjang dimasukan kedalam saku menegaskan jika ia tertutup dengan segala kemungkinan yang terjadi.

Hari ini Peat datang bersama rekan kerja sekaligus sahabat dekatnya, Boss. Untuk pertama kalinya ia mendatangi tempat yang berbau alkohol dan pelacur. Atas saran Boss karena permasalahan yang Peat rasakan.

Pernikahannya berada diujung tanduk. Istrinya tertangkap basah tengah berselingkuh dengan orang lain. Namun sialnya Peat tak bisa melepaskan ibu dari anaknya tersebut. Tak ingin anaknya merasakan hal yang sama dengan dirinya ketika ibunya pergi meninggalkan ia dan keluarganya untuk pergi bersama wanita lain.

Ya, dunia tak sama lagi. Semua hal bisa terjadi. Termasuk cinta sesama jenis yang belakangan semakin marak dan ramai. Namun bukan itu inti permasalahannya. Masalah utamanya ialah Peat yang tak pernah merasakan sosok ibu sejak umurnya lima tahun, dan ia sama sekali tak ingin hal tersebut terjadi pada putrinya. Hingga akhirnya Peat memilih mengabaikan fakta jika wanita yang ia cintai bermain dibelakangnya.

Tawaran yang diberikan Boss cukup menarik. Untuk apa harta belimpah jika sang istri lebih ingin menghabiskan uang pria lain dibanding dirinya. Peat cukup bersyukur wanita itu masih mau pulang kerumah setidaknya tiga kali dalam seminggu untuk memberi figur ibu bagi anaknya.

Dan disinilah dia sekarang, disebuah ruang dengan lampu gemerlap yang menemani. Dengan televisi layar besar didepannya yang biasanya menampilkan musik tanpa suara kini tampak hitam belum menyala. Dengan kaki bersilang ia menunggu orang orang yang sudah dipersiapkan pemilik klub selepas pesanan yang diberikan Boss.

"Bukankah kau bilang ini sebentar? Aku harus pulang karena Peach akan masuk sekolah besok. Kasihan anak itu jika terlambat dihari pertama"

"O-oih Peat. Sekarang pukul satu pagi dan kau sudah mengeluh? Lalu untuk apa kesini? Kau tak akan menikmati tubuh pesananmu malam ini? Yang benar saja!" Boss menekan ujung puntung rokoknya kedalam asbak yang disediakan diruangan karaoke VVIP tersebut. Kepalanya menggeleng tak percaya dengan apa yang baru saja Peat ucapkan. Such a family man!

"Biarkan aku melihat lihat dulu malam ini. Jika ada yang cocok aku hanya akan mengantarnya pulang dan memberi tip. Dan aku bisa menghubunginya lain hari" Dengan satu tangan yang bertumpu pada senderan sofa, Peat menatap lurus kearah pintu masuk. Berapa lagi ia harus menunggu para pesanan itu masuk?

Tok

Tok

Tok

"Permisi" Sorakan dari arah luar pintu membuat Peat tersenyum lega. Akhirnya mereka datang dan ini akan segera berakhir. Peat sebenarnya tak terlalu suka dengan hal seperti ini, tapi laki laki sehat seperti dirinya tetap butuh pelampiasan. Setidaknya ia akan menyewa satu orang sampai beberapa waktu kedepan. Berganti orang dalam seks bukan gayanya. Bahkan Peat akan membawa wanita itu lebih dulu untuk pemeriksaan. Peat tak mau mendapatkan penyakit menular kelamin karena memakai sembarang orang.

Cklek

Drap

Drap

"Ha-hah?" Seketika tubuh yang bersandar penuh pada sofa itu melonjak kaget ketika melihat sekumpulan pria dengan celana dalam putihnya bergerak memasuki ruangan miliknya. Mata rusa itu membesar, mulutnya terbuka lebar tak percaya.

"Ke-kenapa pria? Boss! Bukankah aku bilang ingin wanita?" Dalam sekejap barisan yang berjalan itu terhenti mendengar ucapan penuh keterkejutan dari Peat. Peat pun memandang Boss bingung dan butuh penjelasan.

Boss pun balik menatap sahabatnya itu. Mereka saling melempar pandangan heran. Boss sepertinya juga terkejut dengan apa yang tengah terjadi.

Tak lama Boss pun berdiri. Mendekati satu satunya wanita disana yang tampak seperti pemilik dari usaha ini. Pakaian ketat dan penuh manik kerlap kerlip. Bibir merah dengan tahi lalat diatasnya. Belum lagi riasan mata yang cukup berat berwarna ungu yang senada dengan pakaiannya. Bulu mata yang lebat dan alis yang hitam pekat. Rambutnya sedikit keriting dengan hiasan bando diatasnya. Benar benar wanita yang tampak sesuai dengan pekerjaannya.

"Err.. Permisi madam. Saya rasa anda salah mengantar pesanaan. Kami meminta wanita, bukan pria" Boss dengan lihai memegangi dua sisi bahu wanita yang disebut madam itu dari samping. Kepalanya sedikit condong untuk melihat ekspresi wanita itu disertai cengiran khas miliknya. Tak ingin ada yang tersinggung disini.

"Ah, benarkah? Sebentar" Madam itupun keluar dan melihat angka yang terpajang didinding tepat disebelah pintu masuk. Tiba tiba wanita itu mendengus kesal, dirinya benar benar memasuki ruangan yang salah ternyata. Pria eksklusifnya sudah menjadi bahan tontonan orang lain. Ia tak menyukainya.

Dengan kaki menghentak, sang madam kembali masuk kedalam ruangan. Menahan emosinya dan menghembuskan napas panjang.

"Ya, kau benar. Aku seharusnya membawa anak anak ini ke ruang 71 bukan 17. Kami pamit" Sang madam pun segera memberi kode kepada para pria setengah telanjang itu untuk kembali berjalan keluar ruangan.

Arakan barisan itu pun bergerak sesuai arahan dari sang madam. Namun tidak untuk satu pria paling ujung yang memiliki tubuh paling bugar dan kekar. Mata bulat itu tak lepas menatap pria yang duduk bersandar diposisinya.

"Hei Fort. Kita harus pergi. Cepat!" Sang madam bersorak cukup kuat sehingga pria yang dipanggil dengan nama Fort itu menoleh padanya. Wajah sang madam terlihat cukup kesal karena waktu mereka semakin terbuang percuma.

"Apa kau tak mau mencobanya dengan pria Khun?" Sebuah pertanyaan tiba tiba membuat semua orang didalam sana berhenti seketika. Termasuk beberapa orang yang berada dibarisan ujung dan belum menyentuh pintu keluar.

Peat yang merasa ada seseorang bertanya padanya pun menoleh. Menatap pria dengan postur yang jauh lebih besar darinya dengan tatapan datar.

"Maaf, aku hanya menginginkan wanita" Peat membalas seadanya dan kembali mengacuhkan pria tersebut. Memilih menatap aquarium yang terpajang dibandingkan pria setengah telanjang itu.

"Kau tak akan tau jika tak mencobanya"

"...."

"Aku akan memberikan servis terbaikku"

"...."

"Kau tak akan menyesal"

"...."

"Berikan kesempatan itu padaku satu kali, jika kau tak menyukainya, aku tak apa tak dibayar. Bagaimana?"

Peat kembali menoleh menatap pemuda tan itu. Menatap pria itu dari ujung kaki hingga kepala. Postur besar dengan otot dimana mana. Perut sixpack dan dada busung berotot. Bahu bidang serta lengan kekar. Wajah tampan dengan mata besar. Bibirnya penuh dengan alis yang tebal. Senyumnya pun terlihat menawan.

Tapi-

Pria ini sangat besar. Peat tahu jika ia mengiyakan tawaran ini, sangat besar kemungkinan ia menjadi pihak bawah dan Peat tak mau itu. Selama hidupnya ia adalah pria alpha yang mendominasi, bukan didominasi. Ini benar benar keluar dari prinsipnya.

"Ayolah, berikan aku satu kesempatan. Atau begini, bahkan jika servisku sangat memuaskan, tak apa tidak bayar. Bagaimana?"

Semua orang menatap Peat. Menanti jawaban apa yang akan diberikan pria putih itu. Bahkan sepertinya pria pesanan lain pun menatapnya penuh harap. Jika temannya diterima, kemungkinan besar untuk mereka merebut pelanggan kali ini. Cara kerja dunia keras bukan?

Cukup lama keheningan melanda hingga akhirnya Peat mulai mencondongkan tubuhnya kedepan dengan kedua tangan bertaut diatas pangkuan. Matanya menatap tajam kearah Fort yang menantinya dengan senyum lebar mempesona.

"Baiklah, hanya kau. Tidak untuk yang lain"

Ruangan itu akhirnya ditutup dengan desahan banyak orang kecuali sorakan kebahagiaan dari pemuda berkulit kecokelatan.

-----

Seperti rencana, malam ini Peat hanya mengantar orang yang ia bawa pulang dan kemudian kembali kerumah. Sepanjang perjalanan hanya diisi keheningan karena bayi besar yang baru Peat tahu berumur 22 tahun itu tengah dongkol padanya.

Pria besar itu memprotes karena hari ini tak melakukan servis seperti apa yang ia bayangkan. Dan lagi ia malah diantar pulang lebih awal dari seharusnya. Pria ini besar tapi jiwa remajanya masih melekat. Benar benar berbanding terbalik. Dan, hei! Bukankah yang mencari sentuhan disini adalah Peat? Lalu kenapa pria besar ini yang merajuk? Bukankah surga dunia pulang lebih awal dalam pekerjaan? Satu kata lagi untuk menggambarkan pria ini. Aneh!

Sudah bagus Peat mengiyakan tawaran pemuda ini. Peat bahkan tak menyangka dirinya dengan mudah membawa pria untuk pertama kalinya. Peat tak mengerti kenapa ia mengalah dan mengiyakan ajakan pemuda ini, padahal Peat tahu jika ia sama sekali bukan gay atau apalah sebutannya. Peat sangat yakin jika ia menyukai wanita. Dan lagi Peat tak mau menjadi pihak bawah. Sepertinya setelah mengantar pria besar ini kerumahnya, Peat akan memberikan beberapa lembar uang dan tak menghubunginya lagi.

Memang salahnya dari awal karena mengiyakan ajakan Boss. Sahabatnya itu memang sedikit gila, dan lebih gilanya lagi ia menuruti saran Boss kali ini. Sepertinya ini adalah percobaan pertama dan terakhir. Peat tak akan berurusan dengan dunia seperti ini lagi.

"Yang mana rumahmu?"

Tak ada jawaban. Peat melirik Fort dari kaca spion tengah. Pipi gembul itu ternyata masih menggembung merajuk. Matanya juga terlempar menatap jalanan luar. Tanpa sadar senyum tipis terukir dibibir Peat. Kkk.. Apa ini pemuda yang menawarkan servis hebat padanya? Bukankah ini hanya bocah yang gemar merajuk?

Peat kemudian menepikan mobilnya. Mengulum senyumnya kembali dan menatap datar pria besar yang masih tak mau melihat kearahnya.

"Kau serius akan merajuk seperti itu?"

"..."

"Bisa bisa aku tak memberikan tip padamu jika pipimu masih segembung itu"

"Sudah kubilang tak apa tak dibayar"

"Hei, aku menerima tawaranmu bukan karena uang"

Kepala dari pemilik tubuh besar itupun menoleh. Menatap sengit kearah Peat yang memperlihatkan wajah datarnya.

"Lalu kenapa kau menerimaku?"

"Hum.. Kau- terlihat depresi?"

"Hah? "

"Ya, kau terlihat benar benar begitu bersemangat hingga ditahap aku melihatnya sebagai depresi"

Dengan alis mata bertaut, Fort menatap tak mengerti kearah Peat. Kenapa pria cantik ini bisa berkata seperti itu?

Baik, secara singkatnya Fort benar benar menginginkan pria cantik didepannya ini. Yup, sangat cantik. Namun sepertinya pria didepannya ini tak tahu jika wajahnya cukup feminim dan menarik perhatian banyak orang. Bahkan kulitnya sangat putih dan Fort berani bertaruh jika kulit itu juga mulus dan halus.

Oh! Bayangkan saja semua temannya yang masuk kedalam ruangan pemuda itu hari ini benar benar menatap lapar kearahnya. Meskipun beberapa memilih menikmati wajah orang lain yang sepertinya merupakan kenalan atau teman dari pria cantik ini, tapi Fort merasa ia begitu tertarik hanya dengan sekali pandang dengan pria ini. Wajah dingin itu benar benar menarik perhatiannya.

Tsk! Dia itu juga laki laki meskipun profesinya sebagai gigolo. Melihat orang semenarik pria didepannya mana mungkin akan ia lewatkan. Sesekali ia harus memuaskan diri juga. Kapan lagi ia akan mendapat partner seks yang sesuai dengan kriterianya.

"Kita benar benar tidak akan melakukan seks hari ini?" Selidik Fort dengan satu alis terangkat penasaran.

"Tidak. Aku harus bangun lebih awal karena putriku akan masuk sekolah, dan aku tak ingin mengecewakannya dihari pertama sekolahnya"

"Kau memiliki putri? Kau sudah menikah?"

Peat mengangguk, kemudian berdesis dengan mata menyipit kearah Fort karena merasa mengungkapkan identitasnya terlalu jauh.

"Sudahlah. Tunjukkan saja rumahmu sekarang. Ini sudah pukul tiga pagi. Aku harus segera pulang"

"Berikan nomor ponselmu"

"Tak bisa. Ayolah, kau ingin turun disini atau bagaimana?"

"Berikan nomor ponselmu jika tidak aku tak akan bergeser seinci pun dari posisiku" Fort merebahkan kursi yang ia duduki bersamaan dengan tubuhnya yang juga ikut rebah. Tangannya bersilang didepan dada.

Peat mendesah, tangannya bergerak memijit pangkal hidungnya. Kepalanya terasa nyeri sekarang. Salahnya menerima tawaran dari bocah remaja.

"Jika aku memberikan nomor ponselku kau tak akan mendapatkan tip. Bagaimana?"

"Sudah kubilang aku tak terima bayaran"

Peat mengusap wajahnya kasar, menyisir rambutnya kebelakang dan menatap geram kearah pemuda yang kini memejamkan matanya. Sialan!

"Ck, baiklah. Bangun dan kemudian kita pulang"

"Kita berbicara"

-----

Berhari hari sudah terlewati. Semenjak kejadian itu ponsel Peat terus berdering namun Peat memilih mengabaikannya. Peat menyadari jika ia tak bisa melihat laki laki sebagai partner dalam seks. Ia tak mau memberi harapan palsu pada pria besar itu.

Peat tak jahat. Malam itu saat Fort turun dari mobilnya, Peat menyelipkan setumpuk uang kedalam tas pemuda itu sebagai imbalan. Asal tau saja, Fort menolak mentah mentah uang yang diberikan sehingga ia hanya bisa memberikannya secara diam diam.

Dalam perjalanan pulang kali ini Peat singgah sebentar disalah satu toko kue. Membeli kue cantik dengan tema princess disney kesukaan Peach, putri Aurora. Bukannya hari ulang tahun, tapi ini sebagai kue selamat karena Peach akhirnya masuk sekolah dasar. Harusnya ia berikan beberapa hari yang lalu namun karena kesibukannya membuatnya tak kunjung sempat membelikannya.

Sesampainya dirumah, Peat segera memarkirkan mobil miliknya dan membawa keluar barang serta kue yang sudah ia beli. Sesaat kakinya mencapai pintu rumah ia melihat sepasang high heels dan sepasang sepatu sneakers diatas rak sepatu. Hatinya mencelos sakit seketika, akhirnya istrinya berani membawa pria lain kerumahnya.

Langkah kaki yang cukup berat akhirnya membawa Peat masuk kedalam rumah. Terlihat dari mata rusanya jika sepasang kekasih tengah menempel begitu mesra menemani anaknya mewarnai sesuatu diatas kertas.

"Aku pulang" Suara tak berminat Peat akhirnya keluar. Membuat sepasang kekasih itu segera memberi jarak aman. Mata mereka saling memandang tak nyaman. Seperti ketahuan melakukan sesuatu kesalahan.

"Daddy!!!" Anak perempuan dengan rambut kuncir kudanya berlari kearah Peat dan menubruk kaki yang terbalut bahan dasar itu untuk dipeluk. Kepalanya menengadah menatap wajah sang Daddy dengan cengiran khas miliknya, membuat gigi ompong itu terlihat jelas karenanya.

"Hai princess. Sudah makan?" Peat menaruh kotak kue yang ia bawa keatas tatakan lemari yang berada disebelahnya. Menurunkan tas jinjing yang ia bawa dan menggendong putri kecilnya layaknya koala. Wajah murung yang sempat terlihat awalnya berubah seketika dengan senyum cerah. Rasa lelah dan penat Peat benar benar terobati hanya dengan memandang wajah sang putri.

"Ung, Mommy membawakan sup ayam. Daddy sudah makan?" Peach mengalungkan tangan mungilnya pada leher Peat, merebahkan kepalanya dipundak Peat dengan nyaman. Kakinya yang menjuntai ia gerakan kecil karena sangat nyaman.

"Tentu. Apa bibi sudah pulang sayang?" Peat berjalan menjauh dari ruang keluarga. Kakinya berjalan menuju ruang makan dan mengambil beberapa piring kecil beserta sendok dan garpu.

Peach mengangguk ringan menanggapi pertanyaan Peat. Kini bibir kecil itu pun berganti melantunkan senandung lagu. Anaknya benar benar menikmati banyak musik akhir akhir ini.

"Daddy membawakan kue untukmu sayang."

"Benarkah?"

"Yes, baby."

"Aurora?"

"Yup"

"Yay!! Peach mencintaimu Daddy!!!" Seketika Peach mempererat pelukannya dileher Peat. Membuat Peat tertawa karena tingkah menggemaskan putrinya. Peat menolehkan kepalanya sedikit dan mengecup pipi berlemak itu. Tersenyum lebar kearah Peach dan dibalas dengan kecupan bibir oleh sang anak.

Peat kemudian kembali keruang tengah dengan satu tangan yang mengangkat piring kecil beserta sendok dan garpu serta satu tangan lain yang menahan bobot tubuh putrinya. Matanya tak sengaja kembali menatap sepasang kekasih itu. Peat menghembuskan napas panjang sebelum mendudukan tubuhnya diatasbsofa single dengan menaruh barang yang ia bawa keatas meja.

"Mook, bisakah kau menolongku? Ambilkan kotak kue dilemari itu?" Peat menunjuk lemari yang sebelumnya ia gunakan untuk menaruh kotak kue dengan bibirnya. Matanya menatap Mook datar tanpa minat.

"Ah, biar aku saja" Luke yang mendengar itu segera beranjak dan berdiri untuk mengambil kotak kue yang berada dilemari yang Peat tunjuk. Namun dengan cepat tangan Mook menghentikan pergerakan kekasihnya.

"Biar aku saja"

Peat memutar bola matanya malas. Tangannya kini berpindah menurunkan Peach dari gendongannya dan beralih memangku putri kecilnya itu.

Kotak kue yang Mook ambil pun terbuka. Menampilkan kue cantik dengan banyak hiasan merah muda dengan wajah aurora kesukaan Peach ditengahnya. Pekikan semangat terdengar dari bibir tipis itu, melihat karakter disney kesukaannya berada diatas kue yang ia miliki. Matanya berbinar menatap Peat dengan tepukan riang.

"Selamat sekolah my princess" Peat tersenyum lebar sambil mengusap sayang surai halus putrinya. Mengecup pipi gembul itu cepat dan kemudian kembali tersenyum.

"Thank you Daddy!!" Peach menggapai leher Peat dan menariknya kebawah. Mengecup pipi Peat dan kemudian tertawa lebar.

"Selamat sekolah putri cantik Mommy" Mook merentangkan tangannya lebar, membuat Peach turun dari pangkuan Peat dan berlari kearah Mook untuk memeluk wanita cantik itu erat. Senyum tipis terukir diwajah Peat, bagaimana bisa ia melepaskan wanita ini jika anaknya begitu mencintai ibunya? Hah..

"Selamat sekolah Peach" Kini suara berat Luke yang terdengar. Membuat senyum Peat luntur seketika. Perebut wanitanya.

Baiknya Luke tak memperlihatkan keburukan didepannya atau Peach. Pria ini masih menghormati Peat sebagai suami dari kekasihnya dan tampak sedikit menyayangi Peach. Bahkan Luke mengusap rambut Peach dan hanya dibalas dengan senyuman oleh Peach. Tapi tetap saja bagi Peat Luke bukan orang yang baik, berselingkuh dan kini terang terangan dihadapannya, bagian mana yang bisa dikatakan baik? Tidak ada.

Ting

Tong

Bunyi bel yang cukup nyaring memecah lamunan Peat. Matanya melirik sebentar kearah pintu dan kemudian berdiri. Namun seseorang dengan tubuh lebih besar mendahuluinya menuju pintu rumah. Membuat Peat mengerutkan dahi tak suka dengan perangai Luke. Ini bukan rumahnya!

Peat bergegas menyusul Luke, namun belum sempat menarik Luke menjauh dari pintu, pintu itu terbuka menampilkan seseorang yang akhir akhir ini menerornnya.

Fort.

"Wah, kukira kau tak menyukai laki laki. Tapi siapa ini? Ckckck" Fort menggeleng serta berdecak tak percaya. Matanya menangkap sosok Luke dengan Peat yang mengikuti dibelakangnya. Kebohongan macam apa ini?

"Apa maksudmu?"

"Cih, jangan berlagak bodoh."

"Dia bukan kekasihku!"

Drap

Drap

Drap

"Siapa?" Langkah kaki pun terdengar diiringi suara lembut yang menyapa dari arah belakang tubuh Peat. Mook dengan Peach dalam gendongannya bertanya tentang identitas tamu yang baru saja datang.

Peat mendesah. Kenapa rahasia keluarganya harus terbongkar pada pria asing ini? Bahkan tak satupun dari orang tuanya dan Mook mengetahui kondisi keluarga mereka saat ini.

Sialan!

-----

Peat menggenggam erat tas jinjing yang ia pegang. Rasa gugup terasa begitu kentara saat ia akhirnya berada dihadapan sebuah kamar hotel yang ia sewa. Berulang kali hembusan napas keluar dari bibir tipis itu.

Grep

"Calm down. Ini bukan seperti kau siap mati untuk perang phi." Sebuah lengan besar melilit pinggang Peat dan menariknya mendekat. Membuat keduanya bertatapan dengan Fort yang tersenyum lebar.

Cklek

Fort membawa tubuh mereka memasuki kamar hotel tanpa melepaskan tangannya dari pinggang ramping yang ia dekap.

Blam

Bugh

Fort segera mendorong tubuh Peat hingga terlentang diatas kasur empuk yang dilapisi sprei putih. Bibir keringnya ia basahi dengan menjilatnya penuh seduktif. Matanya menatap lapar kearah Peat yang menatapnya terkejut.

Fort mendekat, mencodongkan tubuhnya keatas tubuh Peat sambil membuka jaket kulit yang ia kenakan.

"Tu-tunggu. Kau pasti ingat syarat yang kubilang bukan?" Peat mengangkat tangannya menahan bahu Fort agar tak semakin mendekat. Matanya menatap Fort lekat seolah meminta konfirmasi terakhir sebelum benar benar melakukannya.

"Jika kau bisa melakukannya. Tak masalah" Fort kemudian kembali berdiri tegap. Memasang jaket kulitnya kembali sambil menunggu Peat yang kembali bangun dari posisinya.

Peat menatap pria didepannya ragu. Kedua tangannya mengepal erat disisi tubuhnya. Peat mencoba mengatur laju jantungnya yang semakin cepat, meyakinkan dirinya jika ia bisa menjadi pihak yang mendominasi.

"Cih, sampai kapan kita akan berdiri seperti ini? Kau tak bisa phi? Atau aku saja?" Fort mengendikan bahunya mencemooh. Kekehan Fort diujung kalimatnya sedikit mengusik harga diri Peat.

Bugh

Peat mendorong tubuh Fort hingga terduduk diatas kasur. Memejamkan matanya sebentar sebelum bergerak menduduki paha Fort. Perlahan tangan Peat bergerak membuka jaket kulit yang Fort kenakan dan melemparnya kesembarang arah. Peat kemudian mendorong dada Fort hingga Fort benar benar berbaring.

Glup

Peat menengguk ludahnya kasar. Mencondongkan tubuhnya kedepan hingga kini wajahnya berada dalam jarak dekat dengan Fort.

Cup

Fort menyeringai setelah mengambil kecupan pertama. Membuat Peat sedikit terkejut namun kembali sadar jika ia tak bisa seperti itu. Harusnya pihak yang mendominasi senang bukan jika sang submisifnya memberi kecupan?

Cup

Dengan berani Peat menempelkan bibirnya pada bibir penuh didepannya. Tak bergerak, hanya menempel. Peat kembali meyakinkan hatinya jika ini memang hal yang benar untuk dilakukan.

Kesabaran bukanlah bagian dari diri Fort. Tangannya melayang dan kemudian bersarang ditengkuk Peat untuk ditekan dalam. Bibir penuh itu bergerak melumat bibir yang sepenuhnya diam diatasnya. Membuat Peat terkejut dan berniat menarik dirinya menjauh. Namun sayang, kekuatan Fort jauh lebih besar. Fort menahan tengkuk Peat kuat dan mulai menikmati hidangannya.

Permainan Fort menjadi panas. Bunyi kecipak peraduan dua bibir mulai merebak. Lumatan lembut dan bergairah membuat Peat mulai terbuai. Peat akhirnya membalas ciuman yang diberikan Fort.

Tak lagi ingin berbaring, dengan lihai Fort membawa tubuhnya naik dengan Peat hingga mereka berada dalam posisi duduk. Kedua tangan Peat kini beralih mengalung pada leher Fort dengan kaki yang juga mengelilingi pinggang Fort.

Fort memperdalam ciuman mereka. Tangannya yang menahan tengkuk Peat sedikit menarik anak rambut Peat yang bisa ia gapai, membuat Peat sedikit melenguh dan membuka mulutnya lebih lebar. Tanpa basa basi Fort mulai memasukkan lidahnya kedalam rongga hangat itu. Mencari kawan mainnya untuk diajak bertarung. Setelah mendapatkan yang ia inginkan, Fort menghisap lidah Peat dengan cukup kuat.

"Eunghhh" Peat mendesah teredam diantaranya. Fort benar benar memanjakannya. Permainan lidahnya begitu halus dan panas. Membuat tubuh Peat terbakar hingga wajahnya yang memerah hebat.

Setelah lepas melumat bibir merah Peat, bibir penuh itu beralih menjajaki pipi kanan Peat dengan lidahnya. Begitu pelan hingga darah Peat berdesir dan tubuhnya bergetar. Rasa basah dikupingnya membuat Peat semakin gila. Fort mengulum dan melahap habis daun telinga Peat. Seakan tau jika itu adalah letak titik sensitif Peat, Fort benar benar menghabiskan beberapa waktu untuk memanjakan bagian tersebut. Apalagi erangan dan desahan hebat yang terus keluar dari bibir Peat semakin membuat libido Fort naik. Suara rendah Peat benar benar menjadi satu satunya suara yang memenuhi standar bercintanya.

Fort kemudian membalikan tubuh mereka. Tangannya kemudian merobek paksa kemeja putih yang Peat kenakan, membuat semua kancing yang terpasang lepas dari tempatnya. Fort berdecak kagum, matanya disuguhkan pemandangan yang begitu indah. Tubuh mulus tanpa noda, kulit putih pucat dengan dua puting kemerahan yang mencuat. Peat adalah arti sesungguhnya dari porselen hidup. Belum lagi wajah Peat yang memerah dan begitu kontras dengan kulitnya. Apa benar pria didepannya ini adalah seorang ayah? Ia benar benar memiliki perawakan layaknya bocah remaja yang baru memasuki masa pubertas!

Fort kembali menindih Peat dan menumpahkan hasratnya. Bibir Fort kini berjalan menyusuri tiap inci leher Peat termasuk ujung dagu runcing yang memerah. Semuanya tak lepas dari tanda kepemilikan yang dengan sengaja Fort tuang dikanvasnya. Tangan Peat semakin gencar menarik rambut Fort, melampiaskan segala bentuk kenikmatan luar biasa yang ia dapatkan.

Tangan Fort tak lagi diam. Menjalar menyisir bagian depan tubuh Peat dengan halus. Usapan lembut disekitar dada Peat membuat bulu halus Peat meremang. Tubuh Peat bergetar hebat karena sentuhan sensual.

Setiap jengkal kulit yang dilewati bibir Fort tak lepas dari tanda kemerahan, hingga sampai bibir itu pada puting kiri Peat yang mencuat tegang.

Terlalu menggiurkan. Fort menggigit kuat puting itu hingga suara pekikan kesakitan terdengar hingga sudut kamar.

"Sakit!"

Peat mengeluh dengan tatapan tajam yang ia layangkan pada pria diatasnya, kikikan geli yang Peat dapat membuatnya semakin jengkel.

"Kau begitu menggemaskan. Aku tak tahan. Maafkan aku"

Fort mencium cepat bibir Peat yang tampak maju karena merajuk. Membuat wajah merah itu semakin lebih merah karena tersipu.

Fort kembali pada kegiatannya. Dirinya benar benat tak sabar ingin mencicipi puting kemerahan itu. Kira kira- apa ia akan mendapatkan susu dari sana? Haha, of course not!

Bibir penuh itu kembali bekerja. Menghisap dan mengulum puting tersebut kuat. Lidah Fort terjulur, menjilati sisi area puting dengan gerakan melingkar. Dada dengan daging tebal itu benar benar menggiurkan, membuat Fort bermain cukup lama disana hingga tak sadar sudah membasahi kedua dada Peat dengan salivanya. Dada itu kini tampak berkilau karena pantulan cahaya. Fort benar benar melahap dada itu habis habisan.

Kini Fort kembali turun dan bermain diarea pusar Peat. Lidahnya kembali terjulur, menggelitik cekungan pusar Peat dengan ujung lidahnya. Peat menggelinjang hebat, tangannya bergerak mendorong bahu Fort agar menjauh karena tak kuat menahan rasa geli bercampur nikmat. Desahan demi desahan terus keluar ketika Fort menahan dorongan Peat dan tetap melanjutkan aksinya. Kini ia beralih menggigiti daging lunak yang sedikit timbul diarea perut Peat, bersamaan dengan tangannya yang mulai turun melepaskan celana bahan milik Peat.

Fort mencetak beberapa tanda kemerahan diperut Peat dengan tangan yang bergerilya meremas dua bongkahan pantat sintal yang masih tertutupi celana dalam. Semua yang ada pada tubuh Peat terasa sangat pas ditangannya. Tak lebih dan tak kurang. Layaknya Peat yang benar benar tercipta untuknya.

"Ngghh.. St-stophh.." Raungan Peat tak memberhentikan Fort. Desahan itu malah membuat Fort semakin membabi buta. Dengan cepat pemuda besar itu berdiri dari posisinya dan segera melepas semua pakaian yang menempel ditubuhnya. Mata penuh lapar itu menatap Peat layaknya santapan lezat.

Peat sedikit terkejut dengan perubahan Fort, bocah manja itu berubah menjadi singa lapar saat ini. Membuat Peat tanpa sadar beringsut mundur hingga kepalanya menyentuh kepala ranjang, Peat merasa sedikit terancam.

Srettt

"Mau kemana hm?" Fort menarik kaki Peat untuk kembali turun. Melemparkan kembali tubuhnya keatas tubuh Peat dan mengurungnya untuk tidak bergerak dengan kedua tangannya.

Wajah mereka saling berhadapan. Fort menjilat wajah Peat dari dagu hingga ekor mata. Membuat Peat hanya bisa memejamkan matanya erat dengan tangan yang menahan dada Fort. Pria didepannya menjadi sangat buas sekarang!

"Kau takut padaku phi? Bukankah kau ingin menjadi pihak atas?" Seringaian dibibir Fort menyatakan jika dia sudah menang dari segala persyaratan. Peat benar benar sudah menyerah sepenuhnya. Lihatlah wajah ini, begitu ketakutan dan layak dilindungi.

Peat membuka satu matanya perlahan. Mengintip sosok besar yang masih betah mengukungnya. Kedua mata rusa itu terbuka sepenuhnya dan melempar pandangannya kesamping, mata itu kemudian mengerjap cepat dengan menghembuskan napas gugup.

Tak lama, mata rusa itu berbalik menantang mata Fort. Menatap lekat manik hitam itu dan kemudian menyeringai.

Bugh

Peat mendorong tubuh Fort saat tubuh besar itu lengah dan segera duduk diatasnya.

"Angghh.." Peat terperanjat saat merasakan penis tegak menyentuh bokong bagian belakangnya hingga bagian bawah punggungnya, belum lagi erangan Fort yang cukup berat dan seksi. Membuat Peat sedikit beringsut untuk duduk kebagian lebih atas.

Peat kembali memfokuskan pandangannya pada mangsanya. Tak ada lagi keraguan, Peat segera menerjang leher Fort dan menjilatinya. Jilatan panas itu membuat Fort melayang, matanya terbalik hingga tampak bagian putih. Peat kini mulai membuat tanda, menggigit dan menghisap setiap jengkal kulit milik pemuda besar dibawahnya. Ia pernah seperti ini bersama istrinya dan hanya tinggal mengulanginya dengan Fort.

Permainan itu semakin panas. Peat mengulum telinga Fort dengan memainkan lidahnya diatas sana. Kedua tangannya sibuk bekerja memelintir puting kecokelatan milik Fort. Desahan demi desahan Fort keluarkan, pria cantik ini ternyata mampu memberinya servis yang cukup baik.

Tak sampai disitu. Peat kini bergerak kebawah mencicipi dada berotot milik Fort. Ini jauh berbeda. Biasanya dada yang Peat sentuh lebih lembut dan kenyal. Sedangkan ini begitu tebal dan berotot. Peat menatap ragu dada tersebut ketika wajahnya sudah selurus dengan puting yang menegang itu. Namun dengan gelengan kepala, Peat menepis semua keraguan. Bibirnya akhirnya menyentuh puting itu dan mulai menyesapnya cukup kuat.

"Unnhh" Fort mendesah hebat. Sangat jarang yang menyentuhnya dibagian sana dengan lidah dan bibir. Ini sensasi pertamanya dan itu benar benar menakjubkan. Peat dengan tangan yang bebas memelintir puting lain sambil membuat gerakan memutar disekitarnya. Membuat Fort lagi lagi mendesah karena kenikmatan.

Setelah merasa cukup Peat kini mengangkat wajahnya dari dada berotot itu. Memutar kepalanya kearah belakang dan menatap penis tegak lain yang melambai kearahnya. Ugh! Peat merinding! Penis itu begitu besar dan panjang. Bahkan urat yang timbul membuatnya sedikit menakutkan.

"Hei dominan. Manjakan adikku" Fort beringsut lambat. Bergerak melewati kaki Peat yang mengangkanginya sambil mengusapkan kepala penis tegaknya pada selangkangan yang masih terbungkus celana dalam itu.

Peat memejamkan matanya kuat. Gesekan dibawah tubuhnya terasa sangat panas. Peat menggigit bibir bawahnya kuat ketika merasa erangan akan lolos dari bibirnya. Seringaian puas terpatri dibibir Fort ketika melihat ekspresi Peat yang benar benar memanjakan matanya.

Setelah merasa tak ada lagi gesekan dibagian bawahnya, Peat mulai membuka matanya. Matanya mendapati Fort yang sedang menunjuk penisnya dengan mata, seolah menyuruh Peat untuk segera memanjakannya.

"Silahkan. Dominan"

Peat bergeming. Tubuhnya seperti patung tak bergerak, Peat tak tahu harus apa dengan benda didepannya. Matanya menatap wajah Fort dan penis itu secara bergantian. Raut frustasi namun dipaksa tampak tenang terlihat jelas tercetak pada wajah Peat.

Kekehan kembali terdengar dari Fort. Dengan inisiatif Fort meraih kedua tangan Peat untuk menggenggam batang penisnya hingga kini empat tangan saling bertumpuk disana. Perlahan Fort menaik turunkan tangan Peat serta mengeratkan pegangan Peat untuk memijat adiknya.

"Owh! Shit! Ayo buat lebih cepat" Fort menggigit bibir bawahnya merasakan tangan halus Peat yang memanjakannya. Membuat matanya terbuka dan tertutup bergantian karena rasa nikmat yang Fort terima. Tak lama Fort pun melepaskan tangan Peat, membiarkan pria cantik itu bekerja sendiri dibawah sana.

"Nghh lebih cepat phihh.." Melihat sang 'submisif' kenikmatan dibawah kontrolnya, seringai bangga tercetak jelas pada bibir Peat. Tangannya bergerak lebih cepat dari sebelumnya. Ingin Fort merasa lebih baik dengan servis yang ia berikan.

"Ahh.. Masukan kemuluth-mu phi. Mhh" Dengan mata yang terbuka tertutup, Fort memerintahkan Peat untuk segera memasukan penisnya kedalam mulut. Ia ingin segera merasakan rongga panas itu menyelimuti penisnya saat ini.

Dengan tangan yang masih bergerak cepat, Peat menatap ragu kearah Fort. Haruskah? Apa memang seperti ini cara berhubungan sesama jenis? Peat tak tahu dan berpikir Fort bisa saja membodohinya. Namun melihat wajah Fort yang dipenuhi ekspresi kenikmatan membuat ragu Peat sedikit luntur, ekspresi ini cukup sering ia dapatkan pada Mook dulu.

Perlahan Peat mulai memasukan kepala benda panjang itu kemulutnya. Aneh. Peat segera menarik kepalanya dan melepaskan penis Fort dari mulutnya. Peat merasa ia tengah mencoba memakan sebuah mic besar. Dan lagi hal ini membuat bibirnya sakit. Penis Fort terlalu besar untuk masuk kedalam mulutnya.

"Oh shit! Kau ingin aku yang mengambil alih permainan phi?! Kau menyiksaku sekarang!" Keluh Fort saat Peat tak kunjung memasukan penisnya kedalam mulut. Tangan besar itu meremas sprei yang kini sudah tak lagi rapi. Ia benar benar diujung hasratnya saat ini.

"Ck, ini besar! Mulutku tak muat!"

"Yasudah, ayo bertukar-"

"Eits- stop! Tidak! Aku bisa"

Peat kembali mendorong tubuh Fort yang tampak akan duduk. Tangannya kembali ia posisikan pada benda panjang itu dan mendekatkan wajahnya kehadapan kepala penis Fort.

Glup

Peat menelan ludahnya kasar. Jantungnya berdegup cepat. Perlahan ia mulai memasukan kepala penis Fort kedalam mulutnya, membuka mulut tersebut lebih lebar karena ia hanya bisa memasukan separuh dari kepala penis itu kemulutnya. Dengan sedikit dorongan dari pinggul Fort, seluruh kepala penis itu akhirnya menempati rongga hangat milik Peat. Desahan rendah mulai terdengar dari bibir Fort, hawa panas yang menerpa kepala penisnya membuat darah Fort berdesir hebat.

Tangan Fort kini menjangkau bagian belakang kepala Peat saat Peat tak kunjung bergerak. Fort menaik turunkan tangannya bersamaan dengan kepala Peat yang ia pegang.

"Sshh... Lapisi gigimu dengan bibir phi, itu menyakitkan" Desis Fort ketika merasakan kulit penisnya yang bergesekan dengan gigi Peat.

Tangan Fort kemudian bergerak semakin cepat. Rasa panas karena hawa hangat dan pijatan mulut Peat membawanya terbang hingga ke tingkat langit teratas. Ini surga. Penisnya termanjakan dengan sempurna. Fort mendorong lebih dalam penisnya ketika hanya separuh yang dapat tertampung oleh mulut Peat.

"Ough! " Suara tersedak yang teredam keluar dari mulut Peat. Mata itu memerah karena tanpa sadar Fort melakukan deep throat padanya. Lelehan saliva Peat pun membasahi sudut bibirnya, wajahnya memerah karena kesakitan.

Fort segera melepaskan penisnya dari mulut Peat. Wajah khawatirnya tampak jelas saat meraih wajah kesakitan itu dengan kedua tangannya.

"Kau tak apa phi?" Fort mengusap air mata Peat yang keluar. Tangannya juga ikut membersihkan keringat yang berada disisi wajah Peat. Peat meraup oksigen dengan cepat, rasanya ia hampir mati karena sumpalan penis dimulutnya. Napas Peat tersengal, mata merahnya menatap tajam kearah Fort.

Bugh

"Sialan kau" Peat melayangkan pukulannya kedada Fort cukup kuat. Membuat sang empu meringis kesakitan karena pukulan Peat yang tak bisa dianggap remeh.

"Maafkan aku. Aku hanya terbawa suasana"

"Kita sudahi saja. Ini tidak menyenangkan" Peat berniat beranjak dari duduknya, namun Fort segera menarik Peat untuk kembali duduk menghadapnya.

"Aku belum menyervismu dengan baik" Fort menatap Peat lekat, seakan memohon untuk melanjutkan kegiatan.

"Aku tak bisa, aku tak pernah melakukannya dengan pria" Peat melepaskan tangan Fort yang melekat padanya. Peat menyerah. Ia melakukan hal ini agar bisa mengusir Fort sepenuhnya dari hidupnya dan juga menebus kesalahannya karena menerima tawaram pria ini saat pertama kali bertemu. Tapi ternyata ia memang tak bisa melakukannya dengan pria. Semuanya terasa aneh.

"Biar aku yang melakukannya. Kau hanya perlu diam dan menikmatinya saja" Fort melilitkan satu tangannya secara perlahan kebelakang tubuh Peat. Matanya menatap lekat manik rusa itu dan menguncinya kuat, hingga membuat Peat tak sadar jika tubuhnya dibawa kembali terbaring oleh Fort keatas kasur.

Dengan mata yang masih saling terkunci, Fort bergerak untuk menindih Peat dan beringsut mundur. Meraih salah satu pergelangan kaki halus itu dan mulai mengecupnya sensual. Matanya masih terpaku melihat wajah Peat, menyuruh Peat agar menikmati pertunjukan yang akan Fort lakukan.

Fort sedikit naik. Mulutnya mulai memasukan jemari kaki Peat dan mengecupnya satu persatu sebelum mengulumnya. Peat meremas sprei kuat, desahan berat kembali keluar dari bibir Peat.

Lambat laun Fort mulai menjamah seluruh kaki Peat. Mengecup dan meninggalkan kepemilikannya dari sepanjang betis hingga paha bagian dalam. Sesekali hidungnya menyesap aroma manis yang menguar dari kulit bersih itu.

Peat tak kuat. Peat mengalihkan tangannya untuk ia gigit. Lidah Fort terlalu hebat, perutnya bergemuruh layaknya perang kupu kupu. Setiap kali Fort memanjakannya, ujung jemari kakinya akan selalu terlipat, Peat kewalahan.

Sampailah Fort didepan celana dalam yang belum terlepas dari tempatnya. Dengan hati hati Fort memposisikan giginya untuk menggigit tepian celana dalam bagian atas milik Peat, matanya beralih menatap Peat karena merasakan mata rusa itu juga tengah menatapnya saat ini. Kembali mata mereka terkunci, Fort dengan seduktif menarik celana dalam itu pelan tanpa memutuskan pandangan mereka. Peat menengguk ludahnya kasar, Fort terlihat begitu seksi dan erotis. Pikirannya menjadi kacau. Peat mengerang tipis ketika merasakan penisnya bergesekan dengan kain celana dalamnya. Peat tak pernah tahu jika melepas celana dalam bisa semenggairahkan ini.

"Unghh.. " Peat mendesah, penisnya yang berukuran lebih kecil dari Fort akhirnya bebas dari sarangnya. Penis ereksi itu mengacung tegak hingga menyentuh dahi Fort.

Lidah basah Fort mulai memainkan bola kembar milik Peat. Matanya masih menatap Peat yang kini tampak mulai bernafsu. Kepala Peat mendongak dengan bibir bawah yang digigit, ekspresi itu benar benar terlihat cabul. Fort menyeringai, sudah ia bilang bukan jika ia yang menang?

Fort menaikan kepalanya, mengecup ujung kepala penis Peat yang sudah mengeluarkan precum. Lidahnya menjilat cairan itu dan mulai memasukan benda panjang itu kedalam mulutnya. Fort memaju mundurkan kepalanya perlahan bersamaan dengan tangannya yang melepas celana dalam yang ia tinggalkan sebatas lutut Peat tadi.

Fort menaikan tempo kepalanya. Mengulum benda panjang itu serta melilitkan batang itu beberapa kali dengan lidahnya. Tarikan dirambutnya membuat Fort semakin bersemangat dan bergerak lebih cepat juga brutal.

Desahan Peat tak kalah nyaring. Bagian bawahnya sekarang terasa sangat dimanjakan. Peat merasakan penisnya semakin membesar dan berkedut didalam rongga hangat Fort. Tangannya mencoba mencari pelampiasan lebih. Peat mencoba meraih sprei yang berada diatas dan meremasnya kuat. Ia tak tahan. Ia akan melakukan pelepasan pertamanya.

"F-Forthh.. Akuh.. Nghh" Tubuh Peat melengkung sempurna, sprei yang ia remas tak sadar terangkat dan menutupi wajahnya. Bibirnya yang separuh terbuka melenguh panjang. Matanya terbalik dan hanya menyisakan putihnya.

Semburan cairan keruh dimulut Fort terasa sangat hangat. Layaknya sup ayam, Fort menelannya secara keseluruhan. Hanya beberapa tetes yang mengalir disudut bibir Fort karena Peat menyemburkan begitu banyak sperma.

Fort mengangkat kepalanya sambil melepaskan penis Peat dari mulutnya. Matanya menatap Peat dengan dada yang terlihat naik turun. Wajah yang tertutup kain itu entah kenapa terlihat sangat seksi, siluet yang tercetak dari balik sprei putih itu terlihat meraup oksigen dengan buru buru.

Perlahan Fort mengangkat satu kaki Peat keatas, menahan bagian belakang lutut Peat dengan lengannya yang menumpu disisi tubuh Peat. Fort mencondongkan wajahnya hingga kini puncak hidung mereka hanya terhalang sprei tipis.

Fort mengecup bibir Peat yang juga terhalangi sprei putih tersebut, kemudian melumatnya dengan saksama. Tangannya yang bebas Fort posisikan didepan rektum milik Peat, dengan hati hati Fort mulai memasukan jari tengahnya kedalam lubang tersebut.

Peat sedikit tersentak. Tangannya yang berada disisi tubuh kini mencengkram pundak Fort kuat. Kepalanya ia tarik namun dihalangi Fort dengan tetap meneruskan ciuman yang terhalang kain tersebut.

Ketika Peat mulai tenang, Fort segera menggerakan jarinya yang terbungkus lubang hangat tersebut. Menggerakannya naik mundur untuk membiasakan Peat dengan benda asing yang akan memasuki rektumnya setelah ini. Perlahan Fort memasukan telunjuknya dan kembali membuat Peat tersentak.

Peat tak bisa lagi menahan perih yang menjalar dibagian bawah tubuhnya. Dengan paksa ia melepaskan ciuman Fort dan menyingkirkan sprei putih itu dari wajahnya.

"Sakit" Adu Peat dengan mata yang berkaca kaca. Bibir itu mencebik sedih. Membuat Fort tak tega melihatnya.

Cup

Cup

Fort mengecup kedua mata Peat bergantian. Menatap wajah itu lekat dan menggesekan puncak hidung mereka lembut.

"Bertahanlah sedikit phi. Aku berjanji tak akan kasar" Fort menatap mata berair itu lekat, membuat Peat mengangguk pelan menyetujui.

Sial! Pria didepannya ini benar benar membuatnya gila! Ini terlalu menggemaskan!

Fort kembali meraup bibir kemerahan Peat, melumatnya bersamaan dengan jari ketiga yang ia masukkan. Fort terus berfokus pada ciumannya agar Peat tak memikirkan rasa sakit yang ia terima. Tangan Peat yang mengalung dilehernya bergetar, Peat kembali merasakan sakit namun berhasil ia tahan. Peat lebih memilih menikmati ciuman mereka dengan membalas ciuman Fort padanya.

Jari Fort yang bersarang dibawah sana pun mulai bergerak. Bergerak dengan pola menggunting dengan tujuan agar rektum Peat sedikit lebih lebar. Peat yang merasakan gerakan aneh dibawah tubuhnya mengeratkan pelukannya pada leher Fort. Perutnya bergemuruh nikmat namun juga bersamaan dengan rasa perih.

Fort kemudian mengeluarkan jarinya dari rektum Peat sambil melepaskan pagutan mereka. Fort menatap mata Peat dan mengecup bibir bengkak Peat singkat.

"Ini akan sakit sedikit, jadi bertahanlah" Fort memberi jarak antara wajahnya dan Peat. Mendekatkan telapak tangannya kewajahnya sendiri lalu meludahinya. Fort mengoleskan saliva tersebut keseluruh permukaan penisnya yang sudah menegang sejak tadi. Sedikit mengulum senyum karena akhirnya ia mendapatkan tujuannya.

Fort menarik kedua kaki Peat kearahnya dan mengangkatnya untuk dibuka lebar. Kaki itu ia taruh diatas pundaknya dan mulai mengarahkan kepala penisnya tepat didepan rektum milik Peat.

Fort mulai mendorong kepala penisnya masuk, membuat Peat mencoba meraih bantal untuk melampiaskan rasa sakit dan perih dibagian bawahnya.

Plop

Kepala penis Fort kembali terdorong keluar. Peat terlalu tegang hingga rektum itu mengecil dan menolak untuk dimasuki. Fort kembali mendekatkan wajahnya pada wajah Peat. Mencium bibir bengkak itu kembali untuk merilekskan Peat.

Perlahan Fort kembali mencoba memasukan kepala penisnya. Sedikit susah namun Fort tak bisa memaksa, Fort memfokuskan permainannya pada bibir Peat agar pria cantik ini semakin rileks. Pengalaman pertama memang selalu membutuhkan banyak kesabaran.

"Ukhh" Erangan kesakitan Peat tanpa sengaja menggigit bibir bawah Fort kuat ketika kepala penis Fort berhasil memasuki rektumnya sepenuhnya. Membuat Peat memdorong kepala Fort dan menatapnya bersalah.

"Maafkan aku" Peat mengusap bibir Fort yang sedikit berdarah karenanya. Perasaannya dirundungi rasa bersalah.

Cup

"It's okey. Phi bisa menggigitku, mencakarku atau apapun itu. Ini pengalaman pertamamu dan pastinya sangat sakit" Ujar Fort setelah mengecup singkat jari Peat yang menempel dibibirnya. Membuat Peat tersipu dan menjauhkan tangannya dari wajah Fort.

"Kita lanjutkan?"

Peat diam. Tak tahu harus menjawab apa.

"Aku lanjutkan. Aku akan membuatmu melayang kenikmatan phi" Fort mengecup pipi Peat sebelum mengangkat tubuh Peat untuk naik, tangan Fort menyampirkan kedua tangan Peat untuk memeluk lehernya erat.

Peat mendesah ketika penis Fort bergerak masuk lebih jauh kedalam rektumnya saat tubuhnya diangkat naik. Pelukannya semakin kuat dengan mata yang terpejam erat. Rektumnya serasa dipaksa untuk terbuka lebar. Mulut rektumnya sangat perih seperti disayat dengan silet.

Peat akhirnya menggigit pundak Fort cukup kuat. Kenapa seks terasa sangat menyakitkan? Bukankah seks adalah sarana penyalur kenikmatan? Oh! Peat tak tahan.

Fort merasakan tetesan air mengalir dari pundaknya. Peat menangis, namun tak bersuara. Egonya sebagai laki laki dipertaruhkan. Peat bertekad untuk menyelesaikannya sampai akhir

"Fort, bergerak"

Perintah adalah keharusan. Fort mulai menggerakan tubuhnya dengan Peat berlawanan arah. Fort melakukannya perlahan untuk membiasakan Peat. Peat mulai meracau, desahan memabukkan mulai mengisi gendang telinga Fort.

"Nghh.. Forth.. Fasterhh.." Pergerakan itu kini bergerak dalam tempo yang lebih cepat. Fort terlihat berusaha mencari G-spot, daging lunak yang merupakan titik balik dari semua kenikmatan.

"Nghh" Peat melenguh kuat ketika Fort berhasil menemukan letak titik kenikmatan itu. Fort tersenyum miring, tubuhnya bergerak lebih cepat agar dapat menubruk daging lunak itu.

Fort meracau. Desahan keras dari bibir penuh itu menggila ketika otot rektum Peat bereaksi setelah tumbukan pada daging lunak tersebut. Penis Fort benar benar dipijat kuat. Membuat Fort sedikit terhenti menggerakan tubuhnya.

Fort kemudian membalikan tubuh Peat hingga pria cantik itu menelungkup diatas kasur. Tangannya mengangkat pinggang Peat agar menungging dan menempel pada tubuhnya.

Kembali Fort menggerakan tubuhnya dan Peat berlawanan arah. Menghantam rektum tersebut bertubi tubi dalam tempo yang sangat cepat. Sesekali tangannya bergerak memisahakan dua bongkahan sintal yang melambai meminta untuk dimainkan. Fort semakin mempercepat temponya, tangannya pun meremas pantat Peat dan sesekali menamparnya kuat hingga membuat Peat mendesah terpekik. Fort dengan brutal menghujami rektum tersebut, membuat melodi desahan Peat sebagai sumber bahan bakarnya untuk bergerak lebih cepat.

Tubuh Fort mulai condong kedepan. Mencoba menghirup aroma manis dari tengkuk Peat yang sudah basah karena keringat. Fort mulai menciumi setiap jengkal punggung halus itu tanpa mengurangi tempo kecepatan gerakan pinggulnya.

"Anghh.. Fortthh.." Fort sangat menyukai ini. Peat mendesah dengan menyebut namanya terasa sangat baru dan menggairahkan. Padahal sudah banyak yang mendesah dibawah tubuhnya namun desahan Peat berbeda. Peat membuatnya semakin bernafsu dan bernafsu.

Tangan Fort yang bersarang dipinggang Peat bergerak semakin kuat. Penisnya mulai berkedut hebat. MembuatbFort semakin menaikan tempo gerakannya lebih cepat.

"Forthh akuhh"

"Yahh, bersamahh"

Fort menubruk rektum itu beberapa kali sebelum melepaskan cairan keruh kentalnya kedalam rektum Peat. Menghentakkan penisnya lebih dalam agar spermanya sepenuhnya berada didalam perut datar Peat. Begitu pun dengan Peat yang sudah memuntahkan sperma miliknya. Cairan keruh itu kini membasahi sprei putih yang menggulung dibawahnya.

Bruk

Tubuh mereka ambruk. Fort menindih tubuh Peat dengan tangan yang menelusup masuk diantara tubuh Peat dan kasur. Fort mendekap Peat erat dengan hujaman ciuman dipundak mengkilap itu.

Setelah sekian lama Fort kembali merasakan kenikmatan bercinta. Tak satu pun dari pelanggannya mampu memberikan servis timbal balik yang setimpal untuknya. Umumnya Fort akan menyelesaikan urusannya sendiri setelah menyervis pelanggannya. Namun dengan pemula seperti Peat membuatnya merasa terbang ke langit ketujuh.

"Menyingkirlah" Keluh Peat ketika merasakan tubuh berat Fort yang jatuh sepenuhnya diatas tubuhnya.

"Sebentar"

"Berat"

"Kumohon"

Peat menghela napas lelah. Ia tak ada tenaga untuk berdebat dan memilih membiarkan Fort diatas tubuhnya.

Tak lama kemudian Fort akhirnya mulai turun dari tubuh Peat bersamaan dengan penis Fort yang lepas dari rektum Peat. Peat mendesah tertahan ketika rektumnya kembali panas saat Fort meengeluarkan penisnya. Lelehan sperma Fort mulai mengalir keluar mengikuti gaya gravitasi dan membasahi paha bagian dalam Peat.

Dengan posisi yang saling bersisian dan wajah yang saling berhadapan, Fort menikmati pemandangan wajah Peat yang begitu ia dambakan.

"Phi, ayo lakukan lagi!"

-----

Tumpukan dokumen dimeja kerja Peat kian menumpuk. Membuat pria cantik itu semakin sibuk. Jam pun menunjukkan pukul dua belas siang, dimana jam istirahat seharusnya dimulai. Tapi hal tersebut tidak berlaku bagi Peat, ia harus menyelesaikan banyak tugas karena salah satu produk pakaian musim semi yang ia luncurkan di Paris menerima banyak pesanan sehingga perusahaannya menjadi cukup sibuk. Ia harus mengecek dan menandatangi banyak dokumen mengenai bahan dan sebagainya.

Drrtt

Drrtt

Ponsel Peat bergetar. Mata rusa itu melirik sebentar kelayar ponselnya dan melihat nama dari si penelpon. Astaga! Peat lupa! Seharusnya Peat menjemput Peach dari sekolah sekarang. Ia melupakan gadis kecilnya yang sudah menunggu dari pukul sebelas.

Peat akhirnya buru buru menjawab panggilan dari guru Peach yang menelponnya.

"...."

"Ah, maaf. Aku akan mengirim seseorang untuk menjemput Peach"

"...."

"Baik, terimakasih"

Pip

Peat segera menggulir ponselnya mencari nomor Mook untuk dihubungi. Setelah menekan tombol panggilan, Peat mendekatkan ponsel miliknya ketelinga dan menunggu jawaban dari sebrang sana.

"Oh, Mook!" Seru Peat begitu nada sambung tak lagi terdengar ditelinganya.

"Ngghh, yahhh"

Sial!

Pip

Peat mematikan ponselnya ketika telinganya mendengar desahan dari sebrang sana. Peat menggerutu kesal. Kenapa istrinya itu harus menjawab panggilannya ketika sedang bercinta? Hei! Apa mereka bercinta disiang bolong seperti ini?! Demi Tuhan! Matahari sedang berada diatas puncak kepala dan mereka masih bercinta?!

Oh, Fuck!

Kini siapa lagi yang bisa ia mintai tolong? Ah! F- tapi tak mungkin. Bocah itu pasti sedang berada dikelas. Ia tak bisa memintai tolong pada Fort.

Drrtt

Drrtt

Ponsel Peat bergetar. Bak gayung bersambut nama Fort terpampang jelas diponselnya. Senyum merekah tanpa sadar terpatri diwajah Peat. Tanpa basa basi Peat segera mengangkat ponsel itu dan menempelkannya ketelinga.

"Phi Peat!!! Aku merindukanmu" Suara manja dari seberang sana terdengar begitu riang. Membuat Peat terkekeh kecil karena kelakuannya.

"Kau sudah pulang?" Peat mengacuhkan kalimat kerinduan Fort dan menanyakan hal lain, membuat bocah disebrang sana mendengus kesal karena tak mendapatkan balasan yang ia mau.

"Bisakah kau membantuku menjemput Peach? Kuberikan bonus spesial di uang bulananmu" Tawar Peat, berharap jika Fort menyetujuinya dan mau membantunya.

"Aku tak mau bonus uang. Berikan tubuhmu malam ini, bagaimana?"

Peat sedikit berpikir, jarinya mengetuk meja dengan mata yang menatap kearah langit langit.

"Bagaimana dengan dua hari lagi? Malam ini aku tidak bisa. Ada meeting dengan klien"

"Yay! Okey, apa yang perlu kulakukan?"

-----
Tangan putih itu mengusap surai hitam yang bersandar didadanya. Setelah melakukan aktivitas malam yang cukup panas, sepasang anak adam itu bersantai menikmati rasa nyaman dari pelukan yang diberikan.

Fort yang membelit Peat, mengeratkan pelukannya dan mengusakan kepalanya kedada telanjang Peat yang tampak dipenuhi bercak kemerahan kepemilikan. Senyum lebar Fort sama sekali tak luntur dari bibirnya. Satu kakinya pun ia taruh diatas kaki Peat. Fort terlihat sangat posesif dengan Peat.

Berbeda dengan Fort. Selain menikmati rasa hangat dari pelukan yang diberikan Fort, salah satu tangan Peat masih sibuk menggulir ponselnya untuk mengecek setiap email yang masuk. Beberapa pekerjaannya masih menunggu untuk diselesaikan sebelum pagi menjelang besok.

"Phi Peat, bisakah kau berhenti mengurusi pekerjaanmu sebentar? Aku ingin bermanja denganmu" Keluh Fort dengan nada kecewa, namun bibirnya masih menyungging senyum diatas dada Peat. Matanya pun terpejam lucu.

"Tidak bisa Fort. Besok aku berjanji akan membawa Peach ke taman hiburan. Jadi aku harus menyelesaikannya sekarang" Ujar Peat dengan tangannya yang masih membelai rambut Fort. Matanya tak lepas sama sekali dari ponselnya.

"Cih, kau sudah tak mencintaiku lagi. Kau mendapatkan pria lain bukan? Tak boleh! Phi Peat hanya untukku! " Protes Fort dengan wajah kesal, kepala itu terangkat menatap Peat tak suka.

"Aku bekerja Fort. Percayalah"

Fort bangun dari posisinya. Matanya menatap Peat sengit dengan tangan bersilang didepan dada.

"Ck, baiklah. Aku menyerah." Peat mendesah, ia mematikan ponselnya dan membaringkan tubuhnya menyamping. Peat membuka lebar tangannya agar Fort segera masuk untuk dipeluk.

Bocah besar itu kemudian mengulum senyum. Matanya berbinar senang melihat Peat yang menuruti kemauannya. Fort segera melemparkan dirinya masuk kedalam pelukan Peat. Mendekap pria bertubuh kecil itu lebih erat dengan menyesap aroma harum dari rambut Peat. Bibirnya pun menghujami puncak kepala Peat dengan banyak kecupan.

Tok

Tok

"Daddy... Huks" Suara lirih setelah ketukan pintu membuat Fort dan Peat yang baru saja akan terlelap segera membuka mata lebar lebar.

"Peach!"

Peat buru buru turun dari ranjangnya dan mengambil beberapa pakaian sekenanya. Memasang pakaian tersebut dengan cepat dan segera membuka pintu untuk melihat keadaan sang putri.

Cklek

"Oh princess. Kau mimpi buruk? Daddy temani tidur?" Peach mengangguk dengan tangan kecilnya yang bergerak mengusap air mata. Peat mengusap rambut putrinya sayang dan mengecup kedua pipi berlemak itu lembut.

"Ayo ke kamarmu sayang"

BLAM

"Oh, sial!" Fort meninju udara kosong didepannya. Hari ini ia gagal lagi untuk tidur bersama pria cantiknya.

-----

Peat berlari mengitari rumah mengejar putrinya yang sibuk berlari menghindarinya. Sebuah baju lengan panjang terlihat berada dikedua tangan Peat saat ini. Peach baru saja selesai mandi, setelah menggunakan celana rumahnya, gadis kecil itu berlari menjauhi Daddynya untuk mengerjainya.

Gelak tawa renyah mengisi rumah besar itu. Pemandangan indah itu tak lepas dari beberapa pasang mata asisten rumah tangga yang Peat sewa untuk membantunya mengerjakan pekerjaan rumah. Tak hanya Peat dan Peach yang tertawa, asisten rumah tangga lain pun ikut tersenyum lebar melihat Tuan besar dan nona kecil mereka tertawa bahagia.

Sayangnya mereka kehilangan sosok penting dari sebuah keluarga. Sedikit miris memang mengingat dua manusia riang ini ditinggalkan begitu saja oleh istri dan ibu mereka. Ya walaupun terkadang Nyonya besar masih berkunjung beberapa kali namun tetap saja itu tak cukup untuk seorang anak bertumbuh seperti Peach. Untung saja Tuan besar mereka adalah seseorang yang cukup bijaksana, ia mampu mengambil kedua peran walaupun tak sempurna.

Hap

Peat berjongkok dan menangkap tubuh Peach yang berlari kearahnya. Keduanya tertawa lebar hingga kedua mata mereka tenggelam. Peat segera memasangkan baju Peach dengan telaten dan terakhir sedikit merapikan rambut lurus sang anak.

"Princess, rambutmu ingin digerai atau Daddy ikat?" Tanya Peat sambil menyampirkan rambut panjang Peach kebelakang telinga. Tangannya kemudian meraih tubuh kecil itu untuk diangkat dan digendong. Peach mengalungkan tangannya dileher Peat dan membiarkan dirinya menduduki satu lengan Peat.

"Gerai saja"

Cup

Peach mengecup pipi Peat lama. Kedua tangan kecil yang sebelumnya memeluk leher Peat kini terlihat memegangi rahang Peat.

"Mmmmuaaachhh!!" Kedua ayah dan anak itu membuat suara buatan khas yang dikeluarkan orang orang saat membunyikan ciuman, hingga akhirnya Peach melepaskan ciumannya diiringi dengan suara buatan yang berakhir. Benang saliva antara bibir mungil dan pipi Peat memperlihatkan jika Peach mencium Peat dalam waktu yang sangat lama.

"Ho oh! Air apa ini yang menempel dipipi Daddy hm?" Peach tertawa geli ketika Daddynya menggembungkan pipi yang basah kearahnya. Daddynya terlihat sangat lucu seperti ikan!

Cup

"Itu salivaku" Dari arah belakang Peach, sosok besar dengan kulit tan tiba tiba saja muncul dan mengecup pipi Peat. Membuat Peat terperanjat terkejut karena serangan yang tiba tiba.

"Oh! Sejak kapan kau datang? Aku tak menyadarinya"

"Aku datang sejak Peach mencium pipimu lama phi." Fort tersenyum lebar sambil merangkul pinggang Peat untuk dibawa duduk keatas sofa.

"Ada apa? Kurasa kita tak membuat janji hari ini. Dan uangmu sudah kukirimkan bukan? Apa kurang?" Heran Peat sambil berjalan mengikuti arahan Fort.

"Wah.. Kata katamu menyakitkan phi. Apa tak boleh aku datang untuk melihatmu dan calon anakku hm? Dan ini tak ada urusannya dengan uang, aku bahkan sudah sering mengatakan untuk tak mengirimiku uang lagi" Fort mengangkat beberapa bantal sofa untuk dikesampingkan dan menyediakan ruang yang cukup untuknya dan Peat duduk.

"Siapa calon anakmu? Dan aku juga tak akan berhenti mengirimu uang karena kau sekarang tak lagi bekerja di club itu Fort. Bagaimanapun kau sekarang tanggung jawabku, kau rela meninggalkan pekerjaanmu karena permintaanku" Ujar Peat sambil mendudukan dirinya diatas sofa, membiarkan Fort mengambil alih Peach untuk dipangku.

"Hei Peach" Fort merendahkan kepalanya agar sejajar dengan wajah Peach. Mengusap lembut rambut putri kecil itu dan tersenyum.

"Hei uncle!" Balas Peach riang, Peach sangat menyukai uncle Fort karena uncle Fort selalu membelikannya mainan dan menemaninya bermain.

"Apa Peach mau memanggil uncle Papa?"

Grep

"Fort!" Peat memegangi tangan Fort disertai gelengan kepala kecil. Fort tak seharusnya menanyakan hal seperti ini pada Peach. Peach terlalu kecil untuk memahami hubungan terlarang, dan Peat belum siap menerima penolakan dari putrinya.

Fort menatap Peat lembut, bibirnya tersenyum tipis sambil mengangguk meyakinkan Peat jika pertanyaannya bukanlah suatu masalah besar.

"Papa?" Suara kecil Peach mengalihkan tatapan Fort dan Peat. Keduanya menatap Peach penuh harap.

"No. Peach hanya ingin Daddy!"

-----

Peat menatap datar sebuah map cokelat yang baru mendarat dimeja kerjanya. Peat sangat tahu jenis surat yang ia terima kali ini.

Surat gugatan perceraian.

Dengan jari yang bertaut, Peat berpikir apa langkah yang harus ia ambil kali ini. Berbulan bulan sudah rumah tangganya hancur. Dan sebulan kebelakang Mook tak lagi mengunjungi Peach. Apa yang ia pertahankan kali ini?

Cinta? Tidak

Sayang? Hm, sepertinya juga tidak.

Peach? Ya, hanya ini satu satunya alasan Peat menahan wanita cantik itu dan kini alasan ini juga sudah tidak berlaku lagi.

Cklek

"Daddy!!!" Langkah kecil putrinya yang masih lengkap dengan seragam sekolah terlihat berlari kearahnya.

"Hai princess. Kau datang lebih cepat sayang, dengan siapa kesini hm?" Peat segera mengangkat tubuh putri kecilnya untuk dipangku. Tangannya mulai melepaskan ransel yang masih bersarang dipunggung Peach.

"Papa!"

"Papa? Papa siapa? Papa temanmu?" Peat menatap Peach penuh selidik. Seharusnya Peach tak boleh pergi dengan sembarang orang. Bagaimana jika putrinya diculik?

"Denganku"

Degg

Kepala Peat terangkat melihat Fort yang baru saja masuk kedalam ruangannya. Mata Peat semakin membesar ketika Peach tertawa renyah dipangkuannya.

"Uncle Fort- Papa?" Peat kembali bertanya memastikan pada Peach. Telapak tangannya menangkup kedua pipi gembul Peach.

"Ung, Papa" Peach mengangguk lucu dengan mata bulatnya. Membuat Peat mengangkat kepalanya kembali menatap Fort dengan dahi berkerut.

"Apa yang kau berikan pada anakku sampai sampai ia memanggilmu Papa?"

"Ralat- anak kita. " Fort tersenyum lebar sambil menarik kursi kosong kearah meja kerja Peat.

"Ugh, terserah. Kau menyogok Peach?"

"Kau pikir Peach bisa disogok phi? Ayolah, Daddy macam apa yang tak tahu karakter anaknya sendiri"

Cup

Peat menyeka pipinya yang dikecup oleh Fort dengan mata yang memicing tajam kearah pria berkulit gelap itu. Fort terlihat semakin mencurigakan dimatanya.

"Hahaha, aku hanya rajin membujuknya setiap hari untuk memanggilku Papa. Dan ternyata hari ini berhasil"

"Kau yakin?"

"100 persen"

Peat mengangguk dan kembali melihat Peach yang mulai memegang benda benda yang berada dimeja kerjanya. Peat sedikit terperanjat ketika melihat Peach meraih map cokelat dari meja kerjanya.

"Oh! Ini lagi?"

Srettt

Tangan Fort bergerak lebih cepat untuk meraih map cokelat yang berada ditangan Peach. Matanya menatap Peat meminta penjelasan.

"Hah.. Baiklah. Aku berbohong padamu bulan lalu. Aku minta maaf" Peat mendesah, Fort menatapnya tak suka dan sepertinya akan merajuk lagi padanya.

Oh astaga! Mengurus dua bayi dengan umur mental yang sama ternyata sangat melelahkan.

"Tanda tangani surat ini sekarang phi. Didepanku"

Srettt

Fort mengambil surat dari dalam map cokelat itu dan mengembangkannya diatas meja Peat. Pria besar itu juga mengambilkan pulpen untuk Peat gunakan.

"Fort. Aku bukannya tak bisa, tapi aku hanya memikirkan Peach" Bela Peat, sejujurnya ia masih ragu menandatangani surat perceraian itu.

"Hei princess"

"Hei papa"

"Apa Peach mau hidup bersama Daddy dan papa?" Fort memiringkan kepalanya menatap Peach yang kini sibuk mencoreti kertas lain yang diberikan Peat sebelumnya.

Peach menatap kedua pria didepannya. Pulpen yang ia pegang ditempelkan dipipi seolah olah sedang berpikir, pipinya menggembung lucu menatap Peat dan Fort bergantian.

"Mau!"

"Hah?/Yes!" Respon berbeda dari Peat dan Fort setelah jawaban Peach membuat Peach tertawa lebar. Dengan semangat Fort menempatkan pulpen kedalam tangan Peat dan mengangkatnya untuk berada diatas kertas.

Belum selesai Peat dari keterkejutannya, Fort mengambil dagu runcing itu untuk menatapnya. Mata besar itu menatap dalam mata rusa didepannya.

Cup

"Menikahlah denganku Peat"

END


Komentar

Postingan populer dari blog ini

FORTPEAT - SURROGATE 2🔞

FORTPEAT - JINX - 16 🔞

FORTPEAT - RARE SPECIES - 5 🔞