FORTPEAT - JINX - 16 🔞
Gemiricik air hujan yang menghujam atap rumah megah tak menyurutkan niat Fort untuk berkunjung kerumah Peat. Ditangannya sudah terdapat payung besar dan sekotak makanan yang akan ia jadikan alasan untuk masuk kerumah Peat. Bersyukur ketika sang ibu memasak lauk pauk dalam jumlah banyak jadi bisa ia manfaatkan sebagai alasan.
Kakinya yang beralaskan sandal terbuka mulai melangkah bersamaan dengan payung yang terangkat dikepalanya. Dengan hati hati ia melangkah untuk menghindari beberapa genangan air yang sudah terbentuk karena derasnya hujan.
Tak lama, hanya dengan beberapa langkah kini ia sudah sampai dipekarangan rumah yang luas. Rumah Peat tak semegah rumahnya, namun rumah Peat memiliki pekarangan yang sangat luas. Rumah Peat terkesan minimalis dengan dikelilingi banyaknya tanaman. Ayah Peat sangat gemar berkebun, tiap minggu akan selalu datang bibit baru untuk ditanami. Jadi tak heran rumah Peat lebih terlihat seperti kebun yang tak sengaja diselipi rumah dua lantai.
Sesaat setelah kakinya sampai didepan pintu, Fort mulai menurunkan payungnya dan menaruhnya disisi teras agar tak menghalangi jalan.
Tok
Tok
Dengan senyum lebar sambil menengok kotak makanan yang ia bawa, Fort menanti sang pemilik rumah untuk membuka pintu. Kakinya yang beralaskan sandal tampak bergerak menepuk lantai untuk menemani bosannya menunggu.
Cklek
"Menantuku sudah datang rupanya, masuklah" suara berat seorang pria menyambut kedatangan Fort. Wajah hangat disertai kumis tebal yang hampir menyelimuti bibir atasnya tampak sumringah. Dengan beberapa kali tepukan dibahunya, Fort mengikuti ayah Peat untuk masuk kedalam rumah.
"Ayah sudah makan?" tanya Fort saat melihat ayah Peat yang kembali duduk diruang tengah dengan mengambil koran yang sepertinya belum selesai ia baca. Fort ikut mendudukan dirinya disebelah ayah Peat dan mencuri pandang kearah koran yang terbuka.
"Sudah nak. Kau sedikit terlambat" ujar sang ayah tanpa mengalihkan pandangannya dari koran.
"Ah, benar. Bagaimana pekerjaanmu? Kudengar kau mulai belajar bisnis dua minggu ini" ayah Peat segera menutup koran yang ia pegang dan menatap kearah Fort.
Dengan lesu tangan Fort menaruh makanan yang ia bawa keatas meja. Pundaknya yang tegap terlihat turun karena teringat dengan masalahnya. Ayah Peat memerintahkan maid yang sedang membersihkan rumah untuk membawa makanan yang ditaruh Fort diatas meja dan kembali fokus pada putra temannya itu.
"Belajar bisnis sangat sulit yah. Bahkan ketika otakku belum menerima tabel periodik dan jaring laba laba dengan baik, aku harus mempelajari bisnis yang tak kalah rumit" helaan napas terakhir membuktikan seberapa beratnya beban yang ia tanggung.
Ini adalah bayaran karena ia menggunakan koneksi ayahnya untuk menemukan Peat. Dari awal Fort memang menolak untuk meneruskan perusahaan sang ayah yang bergerak dibidang industri makanan dan farmasi. Fort lebih suka bereksperimen di laboratorium ketimbang mengurusi tumpukan dokumen. Salah satu alasan Fort masuk kedalam dunia farmasi selain Peat adalah perusahaan ayahnya yang juga bergerak dibidang yang sama. Jika saja Peat tak masuk kedalam jurusan farmasi, mungkin Fort akan mendaftarkan dirinya pada jurusan kimia. Setidaknya masuk kedalam farmasi bisa menjadi win win solution untuk dirinya dan sang ayah. Namun karena pada akhirnya ia sangat membutuhkan bantuan sang ayah, Fort rela mempelajari bisnis untuk melanjutkan perusahaan. Fort akan selalu menguatkan dirinya dan menyemangati dirinya dengan berpikir semua yang ia lakukan demi Peat.
"Tetaplah semangat menantuku. Ayah yakin ini hanya hal yang sepele untukmu. Kau paham maksud ayah bukan? " Fort mengangguk lemah, dirinya sedikit setuju dengan ayah Peat karena otaknya memang cukup pintar. Otaknya mampu merekam dengan baik, meskipun ia sering bolos sekolah ataupun kuliah, hal itu sama sekali tak mempengaruhi nilainya. Namun ia sering terlihat bodoh karena dirinya yang selalu ingin dibantu oleh Peat, katakan saja sebagai alasan untuk terus berdekatan dengan pria cantik itu. Tak masalah tampak bodoh asalkan Peat didekatnya.
"Oh? Kau datang. Kau sudah makan?" senyum lebar muncul dari wajah Fort ketika mendengar suara kekasih yang ia cari sedari awal.
Peat mendudukan dirinya disebelah ayahnya dan menumpukan kepalanya diatas pundak sang ayah. Tubuhnya ia miringkan untuk menghadap kearah Fort.
"Kenapa kau bermanja dengan ayah ketika aku ada disini baby?" bibir tebal itu mencebik sedih melihat kekasihnya yang tak memilih berada didekatnya.
"Aku merindukan ayah. Jadi aku ingin memeluknya" tangan kurus itu melingkari lengan sang ayah dan mengeratkan pelukannya. Bibirnya tersenyum menikmati tepukan sang ayah dilengannya.
"Kau bertemu ayah setiap jam Peat, bagaimana denganku?"
"Jika dihitung, aku bahkan bersamamu tiga kali lipat lebih banyak dibanding bersama ayah, Fort"
"Tapi aku merindukanmu, ayo kesini" Fort merentangkan tangannya meminta agar Peat mendekatinya dan memeluknya. Kepalanya mengangguk untuk mengisyaratkan jika ia butuh Peat untuk memeluknya.
Peat tak bergeming, ia hanya menatap lengan yang terbuka lebar itu dengan senyum tipis, matanya berkali kali melirik ayahnya untuk mengajak sang ayah tersenyum geli karena tingkah Fort.
"Ayolah baby. Aku bisa menangis jika kau tak kesini" Fort terus membujuk Peat agar mau mendekatinya. Mengundang kekehan ringan dari sang ayah yang tampak seperti pemisah dua sejoli untuk bermesraan.
"Okey okey, ayah akan pergi. Sepertinya ayah harus mencari ibu karena ayah juga ingin bermanja seperti kalian" ayah Peat kemudian beranjak dari posisinya setelah melepaskan pelukan Peat dilengannya. Ia berjalan menuju dapur dimana istrinya berada, meninggalkan sepasang kekasih yang tengah mengulum senyum malu.
-----
Hari ini merupakan hari yang lumayan cerah untuk berkencan. Sepasang kekasih tampak baru saja keluar dari gedung Nonthaburi Old City Hall. Setelah menikmati wisata museum sejarah disana, Fort berencana mengajak Peat mendatangi sebuah tempat yang tak jauh dari sana.
Sekarang jam menunjukkan pukul empat sore, dan masih sekitar tiga jam lagi menuju makan malam. Dengan sigap Fort meraih tangan Peat yang sedang melakukan peregangan, membuat Peat terhuyung kedepan karena tarikan ditangannya yang bergerak maju.
"Hati hati Fort. Dunia tak akan runtuh jika kita berjalan lebih lambat" seru Peat ketika melihat Fort yang terlalu bersemangat.
Fort hanya menanggapi pernyataan Peat dengan senyuman tanpa berniat untuk berbicara. Ia ingin segera menunjukkan tujuan berikutnya pada Peat, karena Fort tau Peat pasti akan menyukainya.
-----
Mata rusa itu menatap kagum hamparan ilalang menguning yang tersaji didepan matanya. Raut takjub tak lepas dari paras cantik itu saat tangannya dengan lambat membuka pintu mobil. Kaki yang terbalut celana denim itu mulai menginjak tanah kering dibawahnya. Membiarkan pintu itu terbuka, ia mulai melangkah kesisi ilalang yang tingginya hampir menenggelamkan tubuhnya.
Fort tau pasti Peat akan menyukai ini. Bagaimana tidak jika pemandangan yang diberikan seindah ini, dan lagi sinarnya matahari sore tak seterik siang atau pagi tadi. Udara menyejukkan dengan angin sepoi sepoi yang mampu menggoyangkan ilalang tersebut ke kanan dan kekiri. Membuat ilalang tersebut terlihat seperti penari yang menyambut kedatangan mereka.
Setelah menutup pintu mobil dan menguncinya, Fort ikut melangkahkan kaki panjangnya mendekati sang kekasih. Menelusupkan tangannya dipinggang ramping Peat dan menatap wajah cantik disampingnya.
"Kau menyukainya?" anggukan cepat dan penuh semangat terlihat dari poni Peat yang bergoyang cepat. Senyum lebarnya dengan netra yang tenggelam dibalik kelopak mata itu menunjukkan betapa senangnya hatinya saat ini.
Kini tangan Fort beralih menggenggam lembut jemari putih halus itu dan menautkannya. Dengan senyum hangatnya ia mengajak Peat untuk melangkah membelah ilalang tersebut.
Langkah demi langkah bersautan. Membuat posisi mereka kini berada ditengah lapangan. Mata mereka terus menatap matahari yang perlahan tertutupi awan.
"Ayo duduk" ajak Peat dengan mendahului tubuhnya untuk duduk. Peat menarik tangan Fort agar duduk bersamanya diatas ilalang.
Fort terkekeh, kemudian ia mengangguk dan ikut menurunkan tubuhnya. Namun Fort tak duduk, ia berbaring dengan tangan kanan sebagai alas kepalanya.
"Berbaringlah disini Peat" Fort menunjuk dadanya dengan dagunya. Mengarahkan Peat agar ikut merebahkan badannya diatas tubuh Fort.
Dengan malu malu, tubuh Peat mulai bergerak searah gaya gravitasi. Kepalanya ia tumpukan pada dada Fort. Tubuhnya lurus menghadap langit yang kembali cerah karena matahari sudah meninggalkan awannya. Tangan Fort yang lain mulai terlipat hingga tampak memeluk tubuh Peat.
"Wah, ini sangat indah" gumam Peat, bibirnya tak berhenti menyunggingkan senyum. Menatap langit adalah kesukaannya, dan biru juga adalah kesukaannya. Jadi tentu ia sangat menyukai langit siang yang selalu membiaskan warna biru.
Fort ikut tersenyum, ia ikut menikmati indahnya langit bersama sang kekasih. Hatinya menghangat karena akhirnya bisa membawa Peat kesini. Sudah sangat lama ia menemukan tempat ini namun selalu tak ada waktu yang tepat untuk membawa Peat kesini. Tapi kini waktunya terbayar lunas, ia akhirnya dapat membawa Peat kesini dan dibayar lunas dengan senyum indah milik kekasihnya.
Tubuh yang berada diatas itu mulai memiringkan tubuhnya, membuat separuh badannya menghadap bumi dan matanya mengarah pada pria disampingnya.
"Terimakasih, aku sangat menyukainya" sebuah kecupan Peat layangkan pada pipi kiri Fort. Membuat Fort tersenyum puas karena memperoleh bayaran yang lebih banyak dari seharusnya.
Tangan kurus itu segera mengalung ditubuh Fort. Buru buru Peat menundukkan wajah memerahnya karena malu. Kini matanya mulai terpejam menikmati desiran ilalang yang saling bergesekan. Peat merasakan perasaannya begitu damai dan tenang. Apalagi melodi detak jantung Fort yang sama cepatnya dengan miliknya ikut melengkapi musik ditelinga Peat. Menyebabkan dirinya tersenyum malu karena mengetahui jika Fort benar benar mencintainya tanpa harus berucap.
"Peat"
"Eum"
"Boleh aku menciummu?" wajah Peat bersemu merah, saat Fort mengatakan kalimat itu, degupan jantung Fort berlomba semakin cepat, membuat gendang telinga Peat bergerak semakin cepat untuk menangkap proyeksi suara dari dada yang ia tiduri. Apa Fort segugup itu untuk meminta izin padanya?
"Bolehkah?" lagi, Fort bertanya dengan degupan jantung yang semakin cepat tak terkendali. Ia tak tahu kenapa ia sangat gugup hari ini hingga wajahnya ikut memerah malu.
Fort merasakan anggukan dari atas dadanya, dengan cepat tangannya yang melingkar ditubuh Peat bergerak keatas untuk mengangkat dagu Peat. Kedua mata itu saling bertemu dan bertatapan. Cukup lama sampai Fort mulai merendahkan kepalanya perlahan untuk meraih daging merah muda yang tampak menggoda.
Cup
Kedua bibir itu saling bertemu, menempelkan bibir tersebut tanpa melakukan pergerakan. Dua manusia itu menikmati terpaan napas hangat yang menyentuh permukaan wajah mereka.
Tak berselang lama, bibir tebal dan penuh itu mulai bergerak. Bilah bibir itu mulai mengecap dan melumat bibir bawah berisi milik Peat. Kepala mereka bergerak berlawanan arah untuk memperdalam jarak ciuman mereka. Peat pun membalas lumatan pada bibirnya, mengulum dan melumat bibir atas Fort dalam tempo sedang. Tangan Peat yang berada diatas dada Fort mulai bergerak meremas baju tersebut, menyalurkan rasa nikmat yang ia rasakan.
Semakin lama ciuman mereka semakin panas. Bunyi kecipak peraduan yang teredam mulai bersahutan. Kepala keduanya bergerak lebih agresif, mencoba menyesap setiap inci bibir lawan tanpa meninggalkan apapun.
Perlahan tubuh Peat mulai berada diatas tubuh Fort. Kakinya terbuka untuk mengangkangi tubuh besar itu. Satu tangannya bertumpu pada ilalang yanh sudah rebah dan satunya lagi memegangi dagu Fort. Merasa tak lagi suka dengan posisinya, Fort mulai mendudukan tubuhnya sambil terus memegangi tubuh Peat.
Kini tangan keduanya mulai bergerak acak seiring ciuman mereka yang semakin panas. Tangan Fort tak lagi diam dan mulai mencari celah untuk masuk kedalam kemeja yang digunakan Peat, begitu juga Peat yang mulai mengacak dan meremas rambut Fort untuk melampiaskan nikmat ciuman mereka.
Fort semakin memperdalam ciuman mereka, memasukkan lidahnya kedalam mulut Peat dan mulai menyentuh dinding mulut Peat yang terasa sangat manis. Fort menyesap kuat lidah Peat dan mengulumnya, membuat Peat tanpa sadar melenguh nikmat.
Tangan Fort yang berhasil masuk melalui celah kemeja Peat mulai mengusap punggung hangat itu dengan lembut. Membuat si pemilik tubuh menggelinjang karena kulitnya yang tiba tiba merasakan panas tubuh orang lain.
Tak sengaja Peat melepaskan pagutan keduanya saat tubuhnya bergetar hebat. Tangan hangat Fort yang menggerayangi tubuhnya terasa sangat baru dan asing. Membuatnya mengangkat kepalanya dan menggigit bibir bawahnya karena tak tahan dengan rasa baru yang diberikan Fort.
Mata sayu yang melihat leher mulus terpampang dihadapannya, membuatnya segera meraup daging menggiurkan itu dan mulai menciptakan banyak tanda disana. Fort menjilat, menyesap dan menggigit kulit putih itu hingga menimbulkan bercak merah keunguan disana. Leher itu begitu sempurna, memanjakan bibir dan lidahnya untuk melukis tanda kepemilikan.
"Hnghh" lenguh Peat saat perih mulai mencicipi lehernya. Peat terpaksa mendorong bahu Fort menjauh hingga kepala Fort tak lagi menempeli lehernya.
Peat menatap Fort dengan napas tersengal. Keduanya tampak kacau dengan lelehan saliva diwajah keduanya. Bahkan Peat tak sadar jika kemejanya sudah terbuka separuh hingga menampakan salah satu bahu putihnya yang dipenuhi bercak kemerahan.
"Jangan disini"
Hap
Baru saja Peat menyelesaikan kalimatnya. Fort yang sudah dipenuhi nafsu segera mengangkat tubuh yang lebih kecil darinya itu. Fort menggendong Peat layaknya koala dan berjalan cepat menuju mobil yang terparkir lumayan jauh.
Mata tajam Fort yang terlihat penuh amarah nafsu menatap Peat dengan arogan.
"Jangan salahkan aku pada pengalaman pertamamu Peat"
-----
Perlahan Fort merebahkan tubuh Peat diatas ranjang king size yang terletak ditengah kamar hotel. Mata besarnya menatap Peat dengan lembut, jari panjangnya ia usapkan dari dahi hingga dagu Peat.
Cup
Fort mengecup kedua mata yang menatapnya, lalu kecupan itu turun kepuncak hidung bangir milik Peat. Tangan Fort menyisir rambut Peat sayang, menyibaknya hingga membersihkan dahi itu dari rambut. Kembali, Fort melayangkan kecupan didahi itu, kemudian turun ke pipi dan berakhir didagu Peat.
Dengan mata terpejam Peat menikmati kecupan yang diberikan Fort. Merasakan tulusnya perasaan yang Fort coba sampaikan padanya. Perlahan mata itu terbuka setelah tak merasakan apapun, obsidian itu mendapati wajah tampan yang menatapnya dengan sayang, membuat sudut bibirnya tertarik tipis.
Wajah mereka mulai mendekat. Mempersatukan bibir mereka dalam tempo lambat. Peat mengalungkan tangannya pada leher Fort sambil melumat bibir atas dan bawah Fort bergantian. Menciptakan bunyi kecipak yang memenuhi kamar hotel yang mereka sewa.
Fort menikmati permainan yang diberikan Peat pada bibirnya, matanya yang tak tertutup menatap wajah memerah dibawahnya yang terlihat dipenuhi nafsu. Membuatnya menyunggingkan seringai kemenangan. Fort merasa bangga pada dirinya akhirnya mampu membuat Peat menjadi miliknya seutuhnya.
Mata besar itu mulai terpejam. Dengan brutal ia mengambil alih permainan setelah membiarkan Peat merasa diatas awan karena mengira dirinya mendominasi permainan. Bak layak pengemis kelaparan, Fort melumat mengulum dan menggigit benda kenyal merah muda itu dengan agresif. Menciptakan lenguhan tertahan dari keduanya karena teredam mulut masing masing.
Fort menumpukan beban tubuhnya dengan memegangi kepala ranjang dengan satu tangan. Tangannya yang lain melingkari pinggang Peat agar mendekat menyentuh tubuhnya.
Kepala mereka terus bergerak dan memperdalam ciuman mereka. Membuat dua lidah saling bertarung dan mendorong, tanpa sadar lelehan saliva sudah mengalir dari ujung bibir keduanya menuju leher Peat hingga mencapai bantal dibawahnya.
Dalam ciuman panas mereka, tangan Peat bergerak menuju kancing kemeja Fort. Membukanya satu per satu dengan sedikit susah payah. Fort sama sekali tak memberi jeda padanya untuk bisa bergerak lebih leluasa. Bibir Fort terus melahap bibirnya tanpa ampun seakan bibir Peat akan lari meninggalkannya.
Peat mulai merasakan sesak, oksigen diparu parunya menipis. Membuat Peat harus mendorong dada Fort namun segera ditepis Fort dengan mengangkat kedua tangan itu keatas kepala Peat.
Fort terus mencumbu Peat dan mengabaikan sang submisif yanh sudah kewalahan. Dengan sekuat tenaga Peat menarik wajahnya kesamping hingga akhirnya bibir Fort menyentuh ujung bibir miliknya.
Deru napas keduanya mulai beradu dan bersahutan. Fort menyesap dalam pipi Peat dengan hidungnya. Mata Fort terpejam menikmati pipi Peat yang ia kecupi berkali kali.
Setelah merasa napas keduanya menjadi normal, Fort segera bergerak menuruni rahang Peat dengan menjilati setiap inci kulit yang ia lewati. Bibirnya mulai kembali bekerja sesaat sampai pada leher yang sebelumnya sudah dipenuhi jejak kemerahan. Tangannya tanpa sabar menarik kemeja Peat hingga kancing tersebut lepas.
Fort segera memindahkan posisinya menjadi mengangkangi Peat. Bibirnya perlahan berpindah menuju dada Peat yang membusung dengan puting yang mencuat. Tangannya dengan cekatan mulai meremas dada yang sedikit berisi itu dan memainkan putingnya dengan membuat pola berputar. Bibirnya pun mulai mengerjai dada lain dengan cara menjilat dan menggigiti puting tegang itu. Fort menyesap puting itu kuat seakan ingin menarik sesuatu dari sana.
Desahan Peat mulai berganti memenuhi kamar. Rasa aneh namun nikmat yang pertama kali ia rasakan membuat bibirnya tak tahan untuk tak bersuara. Peat menutup wajahnya dengan lengan miliknya. Merasa malu jika Fort menatapnya dalam keadaan seperti ini.
Kemudian kepala Fort tampak menurun kebawah, lidahnya ia julurkan untuk menggoda pusar kecil milik Peat. Membuat tubuh itu kembali menggelinjang dan meloloskan sebuah desahan erotis.
Fort menegakan tubuhnya. Seringaian muncul ketika mendapati Peat dengan bibir terbuka yang basah dan mengkilap serta mengeluarkan suara lemah akibat desahan yang dikeluarkan. Fort juga melihat Peat menutupi matanya dengan lengan polos miliknya.
Perlahan Fort mengangkat lengan polos itu dan mendapati Peat segera memejamkan matanya. Satu kekehan keluar dari bibir Fort, kekasihnya begitu menggemaskan saat sedang malu seperti ini.
"Bukalah matamu baby" Peat semakin memejamkan matanya dengan erat, dia semakin tak berani untuk menatap Fort.
Sebuah usapan dipipi Peat membuat otot wajahnya menjadi rileks. Kecupan dikedua matanya membuat Peat perlahan membuka netra kecokelatan itu. Sampai akhirnya ia menangkap mata lain yang menatapnya dengan hangat. Wajah Peat bersemu hebat, kembali ia merasa malu ditatap oleh kekasihnya sendiri.
"Jangan ditutup, aku sangat menyukai ekspresimu baby" ujar Fort sambil mengusap pipi Peat hingga jarinya menyisir rambut Peat kebelakang. Peat mengangguk ringan dan sukses membuat Fort tersenyum lebar kearahnya.
"Kita lanjutkan?" Peat bergumam rendah menyetujui permintaan Fort. Bibirnya seperti terkunci untuk sekedar bersuara.
Fort kembali kebawah, tangannya perlahan melepas celana denim milik Peat hingga menyisakan celana dalam putih. Bagian depannya terlihat menggembung dengan sedikit basah precum disana. Tangan Fort mulai mengusap penis Peat yang masih terbungkus oleh celana itu, membuat tubuh Peat kembali bergetar karena sensasi nikmat yang diperoleh adiknya.
Fort kemudian menurunkan celana itu hingga tubuh Peat kini menjadi polos tanpa sehelai benangpun menutupinya. Sebuah tangan dengan cepat menutupi area privasinya, Peat merasa malu harus telanjang dengan penis yang sudah berdiri, sedangkan Fort masih dalam pakaian lengkap meskipun seluruh kancing bajunya sudah terbuka seluruhnya.
"A-aku malu" lirih Peat, matanya ia lempar kearah lain asal tak melihat Fort. Lagi, Fort terkekeh karena tingkah sang kekasih. Membuatnya harus kembali menghentikan kegiatannya.
"Duduklah Peat" perintah Fort yang sudah mendudukan tubuhnya disebelah tubuh Peat. Peat yang tak paham menuruti perintah Fort dengan tangan yang masih menutupi penisnya.
"Telanjangi aku"
"Ha-hah?" Peat sedikit terkejut dengan ucapan Fort.
Fort segera mengambil tangan Peat dan menaruhnya dikerah baju miliknya.
"Telanjangi aku agar kau merasa lebih nyaman baby"
Peat menganggukan kepalanya pelan dengan wajah memerah. Bibirnya mengulum senyum senang karena Fort mengerti akan dirinya.
Tangannya perlahan membuka kemeja Fort, menarik kemeja itu kebelakang hingga tanpa sengaja dada telanjang mereka saling bersentuhan. Satu kecupan dilayangkan oleh Fort dipundak Peat dan menatap wajah memerah Peat penuh nafsu. Matanya tak ia lepaskan dari wajah cantik itu, Peat benar benar menaikan libidonya ketingkat paling atas hanya dengan menatap wajah merahnya saja.
"Angkatlah sedikit pantatmu Fort" cicit Peat pelan, tangannya tertahan pada bagian bawah pantat Fort yang menduduki kasur. Fort mengangkat sedikit pantatnya hingga Peat dapat dengan mudah melepaskan celana miliknya.
Fort segera mendorong tubuh Peat kembali hingga terbaring. Tubuhnya sudah sangat panas. Ia sudah tak sanggup untuk menahan hasratnya lebih lama. Dengan sekali hentakan Fort melepaskan celana dalam miliknya hingga kini kedua tubuh itu menjadi polos sempurna.
Tangan besar itu segera memijat penis Peat dengan tangannya. Menaik turunkan tangannya dalam tempo lambat hingga cepat. Peat mendesah hebat, tubuh bagian bawahnya terasa membesar dan berisikan lava mendidih yang siap menyemburkan laharnya. Tangannya meremas sprei, ia menggigit bibir bawahnya kuat untuk menghentikan desahannya yang terdengar asing ditelinganya sendiri.
Dengan cepat Fort segera meraup bibir bengkak kemerahan itu kedalam mulutnya. Kembali melumat dan mengulum bibir itu untuk membantu Peat mengalihkan rasa nikmat yang meluap ditubuhnya.
Napas Peat semakin memburu, membuatnya memaksa Fort untuk melepas pagutannya agar ia bisa bernapas lebih baik. Penisnya berkedut dan ia merasa ingin orgasme.
"Fo-Forthh... Mmhh.. Akuhh-" belum sempat Peat menyelesaikan kalimatnya, penisnya sudah menyemburkan cairan keruh hingga membasahi tangan Fort, perutnya dan sebagian mengenai sprei putih dibawahnya.
Peat merasa tubuhnya diperas hingga kering, tubuhnya sangat lemas setelah pelepasan pertama. Dadanya naik turun dengan cepat seiring dengan deru napasnya yang cepat.
Sebuah kecupan mendarat didahi Peat. Membuat Peat yang masih mengatur napasnya menatap Fort yang tersenyum kearahnya.
"Kita lanjut?"
"Eum"
Fort kembali bergerak, tubuhnya yang menghimpit tubuh Peat ia jadikan kesempatan untuk menggesekan penis mereka. Wajah kenikmatan Peat dengan sangat jelas dapat Fort nikmati. Seringaian semakin lebar ketika melihat mata Peat yang terbuka dan tertutup karena rasa panas yang ditimbulkan dari gesekan penis mereka berdua.
Fort menurunkan tubuhnya setelah mengecup bibir terbuka itu kilat. Tangannya ia posisikan dibelakang lutut Peat dan mulai mengangkatnya keatas. Menyebabkan lubang rektum merah yang berkedut itu terbuka lebih lebar dan setara dengan wajahnya.
Lidah itu kemudian terjulur dan mulai membelai sisi luarnya. Menciptakan sensasi dingin ditubuh Peat hingga tubuhnya bergetar.
"Ahh.. Dingh-dinginh.. Nghh" desah Peat saat ujung lidah Fort mulai mencoba masuk kedalam rektumnya, membuat kedua tangan Peat meremas kuat tepian kepala ranjang.
Lidah Fort masuk sedikit lebih dalam. Ujung lidahnya bergerak memutar untuk mengitari dinding rektum Peat, membasahi jalan masuk penis miliknya agar tak melukai sang kekasih.
Setelah dirasa cukup basah, Fort memundurkan kepalanya dan mengganti lidahnya dengan jari tengah miliknya. Perlahan lubang itu mulai menelan jari tengah Fort dengan baik, jari tersebut bergerak maju mundur untuk membiasakan tubuh Peat pada benda asing. Dua jari, tiga jari secara berurutan masuk kedalam lubang sempit itu. Jari jari itu mulai bergerak maju mundur disertai gerakan menggunting. Mencoba membuka jalan sempit yang belum pernah dimasuki apapun.
Keringat pun mulai membanjiri Peat, rasa aneh dan mengganjal direktumnya membuat Peat merasa tak nyaman. Peat merasakan perih pada dinding rektumnya saat tiga jari Fort bergerak, namun ia tahan sebisa mungkin agar tak membuat Fort kecewa.
"Baby, apa aku boleh masuk?" Fort menatap Peat khawatir, keringat dingin yang membasahi pelipis Peat tak terlihat baik.
Peat mengangguk dan memejamkan matanya. Napas beratnya berhembus kuat. Sesungguhnya ia merasa sangat takut untuk melanjutkan, tapi ia tak ingin mengecewakan Fort bahkan ketika Fort belum sampai pada orgasme pertamanya.
"Kita hentikan sampai disini jika kau takut. Jangan cemaskan aku, aku tak keberatan sama sekali" usapan lembut dipipinya membuat Peat kembali membuka mata. Matanya menatap mata yang menatapnya dengan tatapan lembut dan hangat. Fort begitu tulus padanya, tak mungkin ia mengecewakan pria ini malam ini.
Peat menggeleng, ia harus melanjutkan ini, sampai kapanpun ia tak akan siap jika terus menghindar, dan Peat rasa ia bisa menyerahkan tubuhnya pada pria ini. Peat bisa mempercayai pria ini. Peat percaya sepenuhnya pada Fort.
"Lanjutkan"
Fort mengecup bibir Peat singkat. Satu tangannya kembali ia posisikan dibelakang lutut Peat dan ia angkat hingga lubang rektum itu kembali terbuka.
Fort kemudian memposisikan kepala penisnya didepan rektum berkedut itu. Mendorongnya pelan sambil menautkan bibirnya dan bibir Peat. Rintihan kesakitan terdengar disela ciuman. Membuat Fort berhenti memasukan penisnya dan fokus pada ciumannya.
Setelah dirasa Peat lebih tenang, Fort kembali mendorong masuk penisnya. Sangat hati hati hingga kepala penisnya berhasil dilahap oleh lubang hangat itu sepenuhnya.
Lagi Peat merintih kesakitan disela ciuman mereka, lelehan air mata diekor matanya seperti mewakili bagaimana perihnya lubang rektum sempitnya yang dipaksa terbuka lebar.
"Tahan sedikit lagi. Ini tak akan lama" ucap Fort setelah melepas ciumannya. Matanya menatap Peat penuh yakin agar Peat tak lagi ragu. Peat mengangguk, mengusap pelipisnya yang dialiri oleh air mata dengan cepat.
Satu kecupan dilayangkan oleh Fort didahi Peat, berusaha menenangkan Peat dari rasa takut yang sepertinya masih ia rasakan.
"Ukh!" Peat terhenyak begitu sebuah benda tumpul dengan cepat menghentak masuk kedalam lubangnya. Membuat ia kembali menangis kesakitan karena merasa tubuhnya seperti terbelah dua.
Fort segera memeluk tubuh kecil itu. Ia memilih mendiamkan adiknya didalam rektum hangat itu sampai Peat merasa terbiasa.
"Huks.. Sakit Fort.." isak Peat mengadu, wajahnya dipenuhi air mata mengalir. Hidungnya memerah seperti tomat karena tangisannya.
"Maafkan aku baby, maafkan aku" ucap Fort sambil menghujami wajah basah itu dengan kecupan. Fort tak tahu bagaimana rasa sakit yang Peat rasakan, tapi melihat wajah cantik itu basah berurai air mata membuatnya tak tega untuk melanjutkan kegiatannya.
Lambat laun tangisan Peat mulai mereda, cegukan tangisnya pun mulai hilang. Kini wajahnya hanya terlihat merah dengan mata yang masih basah.
"Hiks.. Bergeraklah Fort" ujar Peat, meskipun matanya masih merah dan bibirnya sedikit bergetar. Rasa tidak nyaman dibawah tubuhnya sangat tak bisa Peat terima. Yang Peat tau Fort harus segera bergerak agar kegiatan mereka lebih cepat selesai.
"Kau yakin?" anggukan dari Peat seperti lampu hijau baginya. Hasrat yang ia tahan sekuat tenaga akhirnya membuahkan hasil.
Fort membawa tubuh Peat untuk duduk diatas pangkuannya. Tangan yang berada dipundak Fort reflek mengerat karena penis besar dan panjang itu semakin dalam tertanam pada lubangnya.
"Kau bisa mencengkramku hingga menggigitku jika rasanya terlalu sakit, okey?" lagi Peat mengangguk menanggapi ucapan Fort. Kakinya ia kalungkan dipinggang Fort dan tangannya memeluk leher Fort erat.
Kini Fort mulai menggerakan tubuhnya berlawanan arah dari gerakan tangannya dipinggang Peat. Perlahan hujaman itu semakin cepat. Membuat ranjang hotel itu berdecit karena gerakan yang mulai cepat.
Lenguhan dan desahan dari bibir keduanya mulai menggema. Fort bergerak lebih dalam dan cepat untuk mencapai titik kenikmatan Peat. Peat yang tak tau dimana letak titik kenikmatannya seketika menjerit merasakan daging lunak itu ditumbuk kuat oleh kepala penis yang besar. Cengkraman dipundak Fort menguat disertai luka cakaran karena kuku Peat mulai tertancap disana. Peat serasa dibawa melayang tinggi karena rasa nikmat yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Membuat kepalanya tertarik keatas hingga tubuhnya melengkung membentuk busur, bola matanya berputar hingga hanya tampak bagian putih saja.
Desahan kenikmatan Fort tak kalah keras ketika merasa penisnya dipijat secara brutal tepat setelah kepala penisnya secara sengaja menubruk prostat Peat. Otot rektum Peat bereaksi gila hingga membuat penis Fort semakin membesar didalam.
Bunyi khas pergesekan dua kulit yang dipenuhi keringat mulai ikut meramaikan suara yang mengisi kamar.
Secara tiba tiba Fort membalikan tubuh Peat hingga kini Peat menelungkup diatas ranjang. Fort menarik satu tangan Peat agar memegang tengkuknya dan menahan perut Peat agar tetap menungging kearahnya dengan tangan lainnya.
Kembali Fort menubruk lubang rektum itu dengan tempo cepat, mengeluar masukan penisnya hingga terdengar bunyi decitan dari sana.
Fort sedikit memajukan wajahnya untuk meraup bibir merah merekah yang terbuka dihadapannya, mengulumnya sesaat dan kembali melepaskannya.
Hujaman di rektum Peat tak kunjung berhenti, desahan dan lenguhan selalu terlontar setiap kali rasa nikmat mencapai tubuh masing masing.
Peat mulai merasakan penis tegaknya kembali berkedut. Kepala penis itu tampak besar karena menahan muntahan sperma yang akan keluar dalam beberapa kali tumbukan.
"Nghhh.. Forthh, akuhh-ahh keluarhh"
"Bersama sayanghh, mhh.."
Hentakan ditubuhnya semakin kuat, ibu jari Fort ia posisikan diujung lubang penis Peat. Membuat cengkraman ditengkuk Fort menguat karena Peat tak bisa melakukan pelepasannya. Fort terus menghentakan pinggulnya dengan semangat, rasanya ia masih haus untuk merasakan remasan otot rektum Peat yang sangat memanjakan penisnya.
Tak berselang lama, penis besar panjang yang masih sibuk keluar masuk itu mulai berkedut. Muatan sperma didalam penisnya sudah melebihi kapasitas.
Dalam beberapa detik akhirnya keduanya melakukan pelepasan. Peat menumpahkan seisi penisnya keatas sprei yang berada dibawahnya dan sedikit mengotori perutnya. Dengan tubuh yang bergetar, Fort juga menumpahkan semua spermanya didalam lubang rektum sempit Peat. Fort menghentakan sekali lagi penisnya untuk menyemprotkan cairan keruhnya lebih dalam pada tubuh Peat. Membuat Peat merasakan hangat didalam perutnya karena semburan sperma.
Tubuh Peat ambruk, pengalaman pertamanya benar benar menguras habis tenaganya. Berbeda dengan Fort yang masih tampak sangat segar dan berstamina.
Fort ikut merebahkan tubuhnya dibelakang Peat. Menarik tubuh lelah itu agar menempel pada tubuhnya. Gerakan kecil itu sedikit membuat Peat tersentak karena penis Fort yang sudah keluar setengah kembali masuk dan menancap lebih dalam. Fort membiarkan penisnya tertanam disana, tak ada niatan Fort untuk mengakhiri persetubuhan ini hanya dalam satu ronde. Ia akan membiarkan Peat mengambil napas terlebih dahulu dan kembali melanjutkan malam panasnya hingga esok pagi.
TBC
Komentar
Posting Komentar