FORTPEAT - RARE SPECIES - 7

Putera mahkota dengan piyama hitamnya tampak berdiri tegak didepan sebuah pintu yang tertutup rapat. Dengan tangan yang terlipat didepan dada dan bibir bawah yang digigit, matanya terlihat ragu untuk meneruskan niatnya.

'Aku tak mau tau. Kau harus mengecek keadaan istriku sebelum tidur. Jika saja kau tak sibuk berbincang dengan omega lain dipesta tadi dia tak akan melihat hal buruk seperti tadi'

Decihan malas terdengar ketika mindlink antara dirinya dan Judy tak terputus sejak kepulangan mereka dari pesta. Judy benar benar tak membiarkannya tidur dengan tenang hanya karena melihat wajah Peat yang terguncang.

Sial!

Seharusnya ia tak mengizinkan Judy mengambil alih tubuhnya tadi. Kedok menenangkan Judy malah membuat dirinya repot. Serigala ini tak mau diam karena wajah Peat yang tak terlihat baik baik saja saat pergi. Tsk! Fort berjanji akan mengurung serigala ini suatu saat jika meminta hal berlebihan seperti ini.

'Aku mendengarmu'

Fort memutar bola matanya malas. Kini ia kembali fokus menatap gagang pintu yang berada didepannya.

Benar, ia tak sekamar dengan Peat karena itu permintaannya. Well, bukan masalah besar bagi Fort jika sekamar dengan pria cantik itu karena pasti banyak cara bagi dirinya agar bisa menyentuh tubuh molek itu.

Namun Peat tetap sajalah Peat, dingin dengan mulut berbisanya. Pria cantik itu melarang keras Fort untuk menyentuhnya seenaknya jika bukan atas persetujuan darinya atau kesepakatan. Dan sama saja, itu bukanlah hal besar bagi Fort. Ia memiliki hak penuh atas tubuh Peat dan juga omega bukan hanya dia seorang. Fort bisa dengan mudah mencari omega atau beta lain untuk ditiduri.

Hei! Bukankah alpha berada ditingkat tertinggi piramida? Apalagi ia adalah seorang calon Raja dan tentu memiliki keunggulan lebih dari alpha lainnya. Jadi wajar saja dia bisa mendapatkan semua hal sesuai keinginannya.

Cklek

Baru saja tangan Fort melayang diudara untuk mengetuk pintu kamar Peat, pintu itu terbuka dan menampakan tubuh kecil yang dikhawatirkan serigalanya dari tadi.

"Ada apa? " Peat bertanya sambil menyenderkan tubuhnya pada ambang pintu. Mata rusa itu menatap Fort tak suka.

"Bagaimana kau bisa tahu aku didepan kamarmu?" Fort menatap Peat heran. Fort yakin tak mengeluarkan feromon atau apapun yang menarik perhatian.

"Entahlah, lagi pula itu tidak ada hubungannya denganmu. Jadi ada apa? Ini sudah larut dan kau mengganggu tidurku"

"Hm.. Kau baik? "

"Apa maksudmu? "

"Jawab saja, apa kau baik? "

"Aku baik baik saja sampai sebelum kau berdiri didepan pintu kamarku"

"Cih, kasar sekali. Yasudah, aku hanya bertanya. Lanjutkanlah tidurmu. Jangan sampai kau membuatku malu dihari pertama pelatihanmu" Fort berbalik menuju kamarnya yang berada persis didepan kamar Peat.

BLAM

Pintu kayu itu terhempas cukup kuat. Menyisakan Peat yang menatap datar kearah depan.

-----

Sepasang mata rusa beriris cokelat terang terbuka lebar. Peat mendapati dirinya berada dihalaman rumah megah yang sangat dikenalinya. Rumah yang pernah ia tinggali bersama orang tuanya sebelum orang tuanya meninggal.

Rumah itu tampak kusam. Dinding yang ditumbuhi jamur dan lembab, tak terawat. Sulur yang menjalar disepanjang dinding rumah membuat rumah megah itu terkesan mengerikan.

Ilalang tinggi dan tumbuhan tak terurus menutupi pekarangan luas itu. Beberapa jendela tampak rusak dengan kaca yang hancur dan menyisakan bagian runcing yang mampu menyayat luka.

Kesan mengerikan itu membuat Peat enggan untuk melangkah masuk. Pikiran buruk mengenai makhluk astral dan magis terus menerus muncul dikepalanya. Rumah lamanya benar benar cocok dijadikan tempat uji nyali seperti program acara yang ia lihat iklannya ditelevisi.

Peat mengitari bagian depan rumahnya dengan matanya. Bibirnya mengulas senyum tipis ketika tak sengaja melihat kamar lamanya dari luar. Sekilas memori lamanya kembali terputar. Peat dengan jelas mengingat setiap malam ibunya akan membawakan susu hangat untuknya sebelum tidur, dan kemudian disusul oleh ayahnya sekedar mendengar dongeng bersama yang dibacakan ibu.

Setetes air mata menitik dari ekor mata itu. Rasa rindu kembali merundung hatinya. Sudah lama ia tak merasa dicintai sedemikin hangatnya. Bagaimana keadaan ayah dan ibu diatas sana? Apa mereka melihatnya dari surga? Semoga saja.

Tiba tiba sebuah kilatan cahaya melintasi mata Peat, membuat Peat tanpa sengaja menutup matanya karena cahaya yang terlalu silau. Dari balik telapak tangannya, Peat mengintip melalui sela sela jari. Cahaya itu menghilang dan digantikan lampu kamar lamanya yang hidup.

Peat kemudian menurunkan tangannya. Dahinya berkerut bingung dengan kejadian barusan. Kenapa kamarnya tiba tiba menjadi terang? Bukankah rumahnya sudah lama ia tinggalkan? Seharusnya tak ada lagi aliran listrik yang masuk.

Kaki yang hanya beralaskan sandal bulu yang sepaket dengan piyama yang Peat kenakan sebelum tidur melangkah lebih jauh membelah ilalang yang setinggi pinggangnya. Tak ada lagi pikiran mengenai hantu atau semacamnya. Kini ia berfokus dengan lampu kamarnya yang tiba tiba menyala.

Kriettt

Suara pintu kayu lapuk yang didorong mengisi sunyi malam. Menandakan jika Peat telah masuk kedalam rumah megah itu. Kakinya terus melangkah hingga menapaki tangga menuju lantai tiga, kamarnya. Pegangan tangga yang penuh debu tak menyurutkan Peat untuk bertumpu diatasnya.

Kini dihadapannya terdapat sebuah pintu berwarna biru lengkap dengan tulisan kekanak-kanakan. Bagian bawah pintu yang renggang terlihat masih membiaskan cahaya yang artinya kamarnya masih disinari lampu. Perlahan tangan putih itu terjulur meraih gagang pintu. Mendorongnya kedalam dan hasilnya ternyata hanyalah kegelapan.

Peat semakin bingung, tak sampai semenit yang lalu ia masih melihat cahaya yang membias keluar melalui bagian bawah pintu kamarnya. Namun sekarang ia hanya mendapati kamar kosong yang tak berpenghuni.

Debu tebal dan rasa basah terasa sangat pekat didalam kamarnya. Tenggorokannya menjadi sedikit gatal karenanya.

Semua barang yang terpajang tampak tertutupi kain putih. Layaknya barang peninggalan orang yang sudah meninggal, barang Peat juga diperlakukan sama. Peat tau betul alasannya, mengelabui semua orang agar tak ada yang tahu identitas dirinya yang sebenarnya. Membuat seolah olah keluarga mafia Chaijinda benar benar meninggal secara keseluruhan. Bahkan kini ia hidup dengan dua kosa kata nama tanpa marga. Peat Wasuthorn.

Peat melangkah lebih jauh, matanya menangkap segelas susu hangat yang tersaji dimeja nakas disamping tempat tidurnya. Sedikit terburu buru hingga tangannya menyentuh gelas tinggi itu. Ini benar benar masih hangat.

"Ibu? Kau disini?" Peat bertanya pada angin kosong. Matanya melirik kekiri dan kekanan berharap sosok yang ia tanyai hadir saat itu juga.

Nihil.

Tak ada orang sama sekali disini.

Apa yang Peat harapkan? Ibunya menyahutinya? Yang benar saja! Jika sampai ibu benar benar menyahutinya mungkin Peat akan berlari karena ketakutan. Jelas saja itu bukan ibu melainkan hantu!

Dengkuran halus tiba tiba menyapa pendengaran Peat. Jantungnya berdegup cepat karena ia mulai merasakan ada sosok lain bersamanya disini. Sedikit takut namun penasaran, Peat memilih menajamkan pendengarannya untuk mencari sumber suara.

Dengan mata yang memicing, Peat melangkah pelan mengikuti arah sumber suara purring. Hingga sampailah ia didepan sebuah pintu bercat putih bersih, tempat yang Peat asumsikan sebagai sumber suara yang barusan ia dengar.

Sedikit mencoba mengambil memori lampau, tapi Peat tak pernah ingat ada pintu putih ini dikamarnya. Kaki beralas sandal bulu itu bergerak mengetuk untuk menemani Peat yang berpikir, menimang apa sebaiknya ia berbalik dan pergi atau membuka pintu ini dan mencari tahu siapa yang bersuara.

Peat kemudian memutuskan pilihan kedua, ia memilih membuka pintu didepannya dan menghadapi apa yang terjadi. Toh ini juga mimpi, jika menemukan hal yang mengejutkan bukankah ia bisa langsung bangun dari tidur?

Cklek

Dorongan pintu putih itu seketika memaparkan Peat dengan cahaya menyilaukan. Mata yang tak siap menerima cahaya tiba tiba, membuat Peat terpaksa menutup matanya dengan telapak tangan. Cukup lama sampai Peat membuka perlahan telapak tangannya, suara purring yang terus menerus ia dengar kian menambah rasa ingin tahunya.

Setelah mata yang menyesuaikan, Peat melangkah masuk kedalam dengan mata yang mengitari ruang putih itu. Tak ada benda apapun disini, termasuk sudut dinding yang biasanya kita dapati pada ruangan umum. Dibalik pintu putih itu hanya ada hamparan warna putih yang tak terlihat ujungnya. Benar benar kosong

Suara purring itu semakin keras. Peat melangkah maju mengikuti instingnya. Langkah demi langkah membuat Peat berjalan lebih jauh kedalam, namun tetap saja tak ada tanda tanda benda lain hadir.

Dimana dia sebenarnya?

Kaki yang semula berjalan itu kini berhenti. Peat memilih menghentikan langkahnya dan berniat berbalik ke pintu putih yang ia masuki sebelumnya.

Srett

Oh? Tepat setelah membalikkan tubuh, Peat tak menemukan apapun dibelakangnya. Dibelakangnya hanya ada hamparan putih yang tak berujung. Peat benar benar terjebak didunia antah berantah.

Jantungnya berdegup lebih cepat, rasa takut mulai menyelimutinya. Oh my god! bisakah ia terbangun sekarang juga? Peat tak mau disini lebih lama!

Glup

"Hei" Dengan susah payah menelan salivanya, Peat memanggil sesuatu yang tak tahu apa. Suara purring yang ia dengar pasti berasal dari suatu benda yang hidup disini.

"Hei, aku Peat. Bisakah kita bertemu?" Dengan tangan yang bertaut dan meremas jari satu sama lain, Peat kembali memanggil dan membujuk sesuatu yang masih mengeluarkan suara purring.

"Hei. Apa aku mengganggumu? Bisakah kita bertemu sekarang? Aku ingin melihatmu"

Perlahan hamparan putih yang mengelilingi Peat berubah menjadi sebuah ruangan putih kosong. Disalah satu sudut ruang tampak tumpukan bulu yang bergerak naik turun dengan teratur.

Peat berjalan mendekati benda yang tampaknya hidup. Dengan kaki yang berjinjit, Peat akhirnya sampai disamping tumpukan bulu putih bersih itu. Benda itu cukup besar, dalam keadaan berbaring seperti itu tingginya setengah dari tinggi Peat.

Tangan putih milik Peat terangkat membelai bulu yang bergerak teratur itu. Lembut dan lebat. Sensasi yang menyenangkan.

Sesaat kemudian tumpukan bulu itu bergerak, membuat Peat terpaksa mengambil beberapa langkah mundur untuk memberi ruang pada tumpukan bulu ini.

Mata Peat melebar, sosok tumpukan buku itu merupakan seekor serigala besar dengan bulu putih. Mata cokelat terang serigala itu menatap Peat setelah memutar kepalanya kearah Peat.

"Hai Peat."

"Aw! Kau- suara- suaramu sama persis dengan suara yang terus terngiang di otakku" Dengan wajah penuh keterkejutan, Peat menunjuk serigala putih itu dengan telunjuknya. Seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

"Perkenalkan, aku Nick. Wujud serigalamu"

-----

Udara sejuk sore hari menemani lamunan panjang seorang pria bertubuh kecil disisi waduk. Dengan kaki tertekuk, pria itu menatap kearah langit yang membiaskan warna jingga.

Ia terlalu banyak berpikir akhir akhir ini. Banyak kejadian aneh dan masalah yang silih berganti semenjak ia berdekatan dengan putera mahkota.

Hal baru kembali terjadi padanya. Semalam saat ia bermimpi melihat rumah lamanya, Peat menemukan suatu hal baru yang cukup menakjubkan. Ia bertemu dengan Nick, serigala putih dengan mata cokelat terang yang memperkenalkan diri sebagai wujud serigalanya.

Peat tak tahu mengenai hal ini. Hidup diwilayah pendamping hanya diajari sebatas kulit luar dari bangsawan di wilayah inti. Ia pernah mendengar tentang serigala namun Peat pikir para bangsawan dengan sengaja memelihara serigala liar dan dijinakkan untuk dibawa pulang. Tak pernah terpikir satu kali pun ternyata serigala itu bukanlah serigala hutan yang dibawa pulang, melainkan berasal dari dalam tubuh bangsawan itu sendiri.

Semenjak hari terakhir ia berada diwilayah pendamping, Peat cukup sering mendengar suara lain terputar diotaknya. Beberapa kali kejadian membuat Peat berpikir jika tingkat stresnya terlalu tinggi sehingga berkhayal tentang suara lain.

Saat malam itu juga, ketika ia mendengar lagi suara lirih dikepalanya. Seakan seseorang memaksanya membuka pintu dan juga menyebutkan kata mate. Awalnya Peat tak ingin melakukan apa yang diperintahkan kepalanya, namun ia cukup penasaran dan memilih menuruti keinginan suara dikepalanya. Dan setelah membuka pintu Peat mendapati Fort tengah berdiri disana.

Dan akhirnya semua misteri suara yang ia dengar terjawab, ada jiwa lain ditubuhnya dengan bentuk serigala. Tapi kenapa mereka baru bertemu sekarang setelah sekian lama serigala itu menemaninya? Atau apa mungkin serigala itu hanyalah bunga tidur semata seperti mimpi lainnya?

Grep

"Aw! " Peat reflek menarik tangannya ketika pergelangan tangannya digenggam oleh tangan lain. Membuat Peat menatap tajam pria yang ikut mendudukan diri disampingnya.

"Sakit!" Peat menatap pergelangan tangannya yang masih cukup bengkak akibat bekas suntikan yang ia peroleh tadi pagi. Ini hari pertama darahnya diambil untuk pengecekan kesehatan dan perawat itu bilang jika setiap dua hari sekali darahnya akan diambil untuk menghindari penyakit yang tak diinginkan.

"Bagaimana pelatihan pertamamu?" Fort menumpukan kedua tangannya kebelakang tubuh hingga tubuhnya membentuk sudut tumpul. Matanya menikmati langit senja yang terasa sangat menenangkan.

"Melelahkan. Dan untuk apa kau disini? Tak usah berlagak perhatian atau baik padaku. Lalukanlah pada orang lain" Peat memilih menurunkan lengan kemeja yang ia kenakan untuk menutupi bengkak pada pergelangan tangannya dan kembali menatap langit dengan posisi kaki yang sudah bersila.

"Cih, percaya diri sekali. Aku hanya tak sengaja melihatmu disini dan ingin mengganggu. Tapi ternyata langit sore begitu cantik untuk dilewatkan, sayang waktuku terbuang hanya untuk mengganggumu"

"Ck, kau bisa menikmati langit sore dimanapun. Pergilah kemana saja asalkan jangan didekatku"

"Kenapa kau begitu membenciku? Apa dulu kita pernah bertemu dan aku tak sengaja menolak pernyataan cintamu?"

Peat mendengus kesal. Kenapa pria besar ini tiba tiba membuat drama aneh dikepalanya?

"Jangan aneh. Otakmu sepertinya tidak beres"

"Lalu kenapa? "

"Hanya tak suka"

Suasana menjadi hening. Tak ada lagi obroln diantara mereka. Keduanya sibuk dengan pikiran masing masing.

Tak lama gesekan antara rumput terdengar dari samping Peat. Fort sepertinya bersiap untuk pergi dari posisinya.

"Ya-Yang Mulia" Cicit Peat dengan tangannya yang memegang ujung celana dari Fort. Menahan pemilik kaki itu untuk tidak pergi tanpa menolehkan kepalanya kebelakang.

Kekehan geli terkesan remeh terdengar. Membuat Peat memejamkan mata, menelan bulat bulat emosinya. Peat harus sedikit merendahkan egonya untuk menanyai ini. Tak ada orang lain yang bisa ia tanyai selain Fort. Ada James sebenarnya tapi Peat tak ingin malu dihadapan asistennya itu.

"Kau membutuhkanku? Aku tau orang orang tak akan pernah bisa menolak pesonaku, jadi apa? Kau ingin tidur bersama malam ini?"

"Tsk! Bisakah otakmu untuk sebentar saja tak memikirkan selangkangan? Aku benar benar serius"

Mendengar suara Peat yang cukup serius Fort kembali mendudukan tubuhnya, namun kali ini sangat dekat dengan Peat. Sisi tubuh mereka menempel layaknya pranko.

"Katakan"

"Tapi bisakah tidak sedekat ini?" Peat menggeser tubuhnya sedikit menjauh untuk memberi ruang diantara mereka, namun Fort malah ikut beringsut dan mendekatkan tubuh mereka lagi.

"Seperti ini atau tidak sama sekali. Jadi ada apa? "

Peat menyerah, ia membiarkan Fort berada dalam posisi yang ia sukai dan menatap riak waduk di depannya. Fort menatap wajah cantik itu lekat, sedikit mengagumi bagaimana sempurnanya pahatan Tuhan diwajah pria ini.

"Apa kau tahu tentang wujud serigala?"

"Kau akan berbicara dengan waduk atau apa? Tatap aku" Fort sedikit memutar tubuhnya menjadi serong dengan satu tangan yang bertumpu dibelakang tubuh Peat.

Fort tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Saat ia tak sengaja melewati waduk ini, ia sama sekali tak tahu jika Peat duduk disini. Namun aroma yang begitu ia sukai tercium sangat jelas di indra penciumannya. Bahkan untuk mengabaikan aroma yang ia cium saja tak bisa, hingga Fort akhirnya memilih untuk mendatangi pria ini dan sedikit memecah hening dengan obrolan singkat.

Dan tiba tiba saja pria ini bersikap manis padanya. Membuat niatan menggoda pria ini menjadi sangat besar seperti sekarang. Dan apa? Yang Mulia? Ah, Fort baru tau jika panggilan itu bisa berubah seseksi itu saat pria kecil ini yang mengucapkan. Membuat pikiran kotor Fort melayang layang diotaknya.

"Bisakah kau menjawabku saja?" Peat menggerutu mendengar keluhan Fort tentangnya. Ia sudah merelakan sisi tubuhnya ditempeli, dan pria ini meminta lebih! Dasar menyebalkan!

"Yasudah kalau tak mau, aku bisa per-"

"Okey! Baik!" Peat memutar kepalanya kesamping dan menatap wajah tampan itu.

Mata rusanya tanpa sadar malah mengamati struktur tegas dari alpha itu. Alis tebalnya, mata bulatnya, hidung tingginya dan bibir penuh yang terlihat begitu plump. Membuat Peat tanpa sadar menengguk ludahnya kasar.

Kenapa cuaca disekitarnya tiba tiba menjadi panas? Oh! Gerah!

"Kenapa? Kau terpesona? Aku tampan?"

Dengan cepat tangan Peat mendorong wajah Fort yang tiba tiba menjadi sangat dekat dengan wajahnya. Peat segera memalingkan wajah merahnya kesisi lain. Tak ingin Fort tahu jika ia tengah tersipu.

"Bisakah dalam posisi ini saja? aku benar benar butuh penjelasan- Yang Mulia" Cicit Peat setelah melepaskan tangannya dari wajah Fort. Apa sesusah ini mendapatkan informasi? Arghh!! Sialan!

Fort menegang. Celananya menggembung hanya setelah mendengar suara halus itu kembali memanggilnya dengan sebutan Yang Mulia. Wajahnya ikut memerah menahan hasrat. Sial! Kenapa hanya dengan panggilan seperti itu libidonya terpancing naik? Brengsek!

"Hm, ayo cepat katakan. Kau ingin bertanya apa?" Tak lagi bermain, Fort ingin cepat cepat kembali ke kamarnya untuk menyelesaikan urusannya adiknya.

"Apa kau tau tentang wujud serigala?"

"Ya, kenapa? "

"Aku bertemu dengannya untuk pertama kali semalam melalui mimpi. Apa itu normal?"

"Hah? Kau baru bertemu? Berapa umurmu?!"

"27"

"Seharusnya kau sudah bertemu dengannya 17 tahun yang lalu. Apa kau selalu menolaknya?"

Peat berpikir sebentar. Apa selama ini ia menolak? Tidak. Tau tentang wujud serigala saja tidak. Bagaimana bisa menolaknya?

Peat menggeleng, menjawab pertanyaan dari Fort.

"Aku baru tahu mengenai wujud serigala semalam. Mana mungkin aku bisa menolaknya"

"Apa kau menolak gender sekundermu?" Fort menatap Peat penuh selidik, matanya sedikit memicing menatap pria kecil itu.

"Hm.. Ya, cukup keras. Kau tau, aku bukan bangsawan dan memiliki gender sekunder. Tentu saja aku tak menyukainya"

"Peat. Wujud serigala itu adalah makhluk terdekat dengan diri kita. Perasaan kalian terhubung satu sama lain dalam kondisi apapun. Nick mengetahui perasaanmu yang tak menyukainya. Jadi sepertinya ia memilih untuk tidak menemuimu sampai kau siap"

"Kau mengetahui Nick? Bagaimana bisa?" Peat menoleh kearah Fort cepat, matanya menatap Fort terkejut. Kenapa Fort bisa mengetahui Nick sebelum dirinya?

Fort mengendikkan bahunya acuh sambil berdiri dari posisinya. Tak berniat menjawab pertanyaan Peat.

"Tunggu! Kau mengenal Nick tapi aku tak mengenal serigalamu. Siapa namanya?"

"Kau akan tau, cepat atau lambat"

Fort berjalan menjauh dengan langkah cepat. Ia harus secepatnya mencapai kamar, jika tidak ia bisa jadi akan menyerang Peat saat ini juga.

TBC

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FORTPEAT - SURROGATE 2🔞

FORTPEAT - JINX - 16 🔞

FORTPEAT - RARE SPECIES - 5 🔞