FORTPEAT - JINX - 9
Tubuh yang dibalut kulit agak gelap itu tampak berdiri dengan jari yang menyisir rambutnya berulang ulang. Suara hatinya bersemangat menyuruhnya untuk langsung terjun keatas kasur yang sudah diisi oleh pria lain dengan kulit putih pucat.
Jika saja pria kecil ini datang ke kamarnya dengan pakaian utuh mungkin saja ia bisa langsung masuk kedalam selimut tebal dan memeluk pria ini erat, jika saja sebelum tidur tak ada adegan muntah hingga membuat celana olahraganya basah mungkin saja ia telah bergelung bersama pria ini didalam selimut.
Kini Fort menyesali pilihannya yang membantu Peat untuk melucuti pakaiannya. Tentu saja kesempatan seperti ini dimanfaatkan oleh Fort sebaik mungkin untuk melihat bagaimana meliuknya tubuh Peat secara sempurna. Jika biasanya ia hanya mampu menatap bagian atas dari pria ini, tapi kali ini ia memiliki kesempatan untuk melihat keseluruhan meskipun bagian vital tetap ditutupi oleh celana dalam.
Biasanya Fort tak setegang ini melihat kulit putih pucat itu secara langsung, meskipun dia selalu menikmati pemandangan yang disuguhkan Peat padanya setiap kali membuka atasan, tapi Fort selalu berhasil menahan hasrat pemburunya. Tapi kali ini berbeda, bahkan setelah Peat dibaluti oleh pakaian tertutup pun jantungnya seperti dipompa dengan kencang dan belum mau melambat kembali normal.
Kenapa berubah? Apa karena ia belum memeluk Peat dua bulan terakhir ini? Fort akui ia sangat merindukan bersentuhan secara langsung dengan Peat, merindukan pelukan Peat, merindukan belaian Peat, terlebih ketika Peat pasrah dalam pelukannya setiap pagi saat bangun tidur. Fort benar benar merasa Peat adalah sumber tenaga dan kebahagiaannya.
Sebenarnya Fort bisa saja tidur dimana saja, bahkan sofa ruang tengahnya tak kalah empuk dari kasur di ranjangnya. Tapi sangat tidak mungkin ia melewatkan hal ini, semenjak dia menyatakan perasaannya hari itu hingga sekarang ia memiliki batas tak terlihat dengan Peat. Ia tak lagi seleluasa sebelumnya untuk berdekatan dengan Peat. Tapi Fort menganggap hal tersebut adalah proses untuk mengambil hati Peat.
Fort sekali lagi menatap Peat yang tertidur diatas kasur. Kepalanya menyembul dibalik tebal selimut yang membalut tubuhnya. Fort meyakinkan dirinya berkali kali jika ia bisa menahan diri, ia bisa mengontrol nafsunya selama tidur disamping Peat. Fort yakin, ia bisa.
Kasur pun mulai sedikit bergoyang ketika kaki Fort mulai bertumpu disisi ranjang. Perlahan tangannya membuka selimut tebal itu dan meringsutkan tubuhnya kedalam. Perlahan ia merebahkan tubuh besarnya disamping Peat, membuat gerakan setenang mungkin agar Peat tak terbangun.
Setelah tubuhnya terbaring sempurna, kini ia memutar tubuhnya agar berhadapan dengan punggung sempit Peat.
Kini matanya menatap tumpukan daging yang menutupi tengkuk Peat. Daging yang tertutup kulit putih pucat itu terlihat empuk dan kenyal jika digigit. Bahkan kulit itu terekspos hingga separuh bahu dibawah tengkuk terlihat. Membuat pemandangan mata Fort menjadi lebih luas dan menggiurkan. Fort kembali mengutuk dirinya kenapa memberikan baju kebesaran untuk Peat kenakan, bagian leher menjadi lebar hingga menampakkan kulit putih pucatnya semakin banyak. Fort berusaha menelan ludahnya sendiri yang sudah terasa menggumpal dibawah lidahnya.
Napas Fort tertahan ketika Peat memutar tubuhnya hingga kini mereka berhadapan. Yang lebih mengejutkannya lagi ialah mata Peat yang terbuka sayu dan kini menatap Fort. Membuat Fort seketika menutup matanya menggunakan telapak tangan karena ekspresi wajah Peat terlihat sangat menggoda.
"Tidurlah kembali" ucap Fort dengan mengintip wajah Peat dibalik sela jarinya, ia kemudian mengangkat tangan lainnya untuk menutupi mata Peat.
"Fort"
"Hm"
Sebuah tangan kurus memeluk pinggang Fort dan menenggelamkan wajahnya didada bidang milik Fort, membuat tubuh kecil itu tenggelam tertutupi tubuh besar Fort. Fort mengalihkan tangannya menjadi memeluk Peat dengan satu tangan berada dibahu dan tangan lainnya di rambut belakang Peat, tangannya mengusap kepala itu lembut memberikan ketenangan.
"Jangan mengacuhkanku" suara yang teredam oleh kain itu tampak bergetar. Remasan dibelakang bajunya membuat Fort mengerti jika Peat tengah berusaha menahan tangisnya.
Fort semakin mengeratkan pelukannya, bibirnya mengucap maaf berkali kali ditelinga Peat. Rasa bersalah seakan terasa lebih berat melihat orang yang ia cintai menangis karena ulahnya.
Peat menarik kepalanya menjauh, membuat Fort menurunkan pandangannya untuk menatap Peat karena merasakan pergerakan Peat. Hati Fort berdenyut sakit ketika melihat mata dan hidung Peat yang memerah karena menahan tangis. Peat juga tampak menggigit bibir bawahnya karena bibirnya mulai bergetar ingin terisak.
"Jika.. Hm, kau bersama Noeul nanti, jangan lupakan aku. Aku.. Hiks.. tak ingin kehilanganmu" suara parau Peat begitu menyayat hati Fort. Isakan pertama Peat membuat Fort kembali menarik kepala Peat untuk bersandar didadanya. Apa yang telah ia perbuat sebenarnya dengan pria kecilnya ini? Pria dipelukannya ini terlihat begitu rapuh dan lemah, membuat perasaan Fort semakin meluap dan ingin melindunginya bagaimanapun juga.
Fort kembali merasakan getaran dikungkungannya. Bagian depan T-shirtnya mulai basah dan remasan dibelakang bajunya semakin erat. Fort menarik kepala Peat pelan untuk melihat wajah yang sudah dipenuhi aliran air mata itu.
Peat masih setia mempertahankan gigitan dibibir bawahnya, menghindari isakan tangis yang mungkin saja keluar jika tak ia tahan.
Cup
Fort mengecup bibir merah muda yang hampir terluka karena Peat terlalu keras menggigitnya. Membuat bibir itu terpaksa terbuka karena gerakan tiba tiba dari Fort. Perlahan bibir itu dilumat, sangat pelan dan tak tergesa. Awalnya Fort hanya ingin menenangkan Peat, membungkan bibir itu agar tak terluka. Namun hal tersebut berubah ketika bibirnya pertama kali merasakan manis dari bibir lainnya. Rasa getir alkohol masih terasa namun tak mengalahkan rasa manis di bibir si pemilik. Membuat lumatan tersebut berubah menjadi menuntut. Bibir Fort bergerak dengan tempo cepat, ia bergerak seperti binatang buas yang tengah melahap mangsanya.
Bak gayung bersambut, Fort merasakan Peat yang juga membalas ciumannya. Bibir Peat ikut bergerak melumat bibirnya. Awalnya lumatan antara keduanya terjadi sangat teratur, irama lumatam mereka terjaga dengan baik, namun Peat mulai kewalahan ketika Fort melumat bibirnya dengan tempo yang lebih cepat, membuat Peat kehabisan napas diantara ciuman menuntut yang terjadi. Peat mencoba menarik kepalanya menjauh tapi tangan Fort menahan kepalanya untuk tidak bergerak barang seinci pun. Tangan Peat bergerak memukul punggung Fort cepat, ia ingin Fort tau jika ia sudah sesak dan ingin lepas.
Fort akhirnya menjauhkan kepalanya dari kepala Peat, menciptakan benang saliva panjang diantara mereka. Napas hangat saling memburu dan menerpa wajah masing masing. Tangan Fort terangkat menyisipkan poni Peat yang menghalangi matanya. Wajah memerah dengan mata sayu Peat membuat pandangan Fort termanjakan dengan baik.
Perlahan Fort kembali mendekatkan wajahnya, bibir merah yang basah itu seakan memanggilnya kembali untuk dicumbu. Namun hal itu gagal ketika Fort merasakan napas Peat menjadi teratur, Peat tertidur ditengah ciuman panas mereka.
Fort terkekeh, menyadari kebodohannya yang malah bernafsu dengan seseorang yang sedang mabuk. Fort kemudian memilih mengecup dahi Peat lama sebelum mengikuti Peat masuk ke alam mimpi.
-----
Rasa dingin AC yang menelusup kecelah selimut yang terbuka membuat Peat kembali menarik selimutnya sebatas leher. Rasa kering dan gatal ditenggorokannya membuat ia terjaga dan membuka matanya perlahan. Matanya menatap sekeliling kamar yang masih gelap, tak ada lampu dan tirai masih tertutup rapat. Membuat matanya tak harus beradaptasi dengan cahaya karena pandangan buramnya.
Dahi Peat mengernyit saat menyadari tirai kamarnya berubah. Tirai dikamarnya memiliki satu lapisan dan biasanya tembus cahaya. Bukan tirai berlapis seperti yang dilihatnya sekarang. Peat kembali mengitari ruangan dengan matanya dan mendapati dekorasi kamar yang tak asing, namun bukan miliknya. Mata Peat terpaku pada sebuah jam digital dengan angka yang bersinar, jam tersebut menunjukkan jika sekarang pukul sebelas pagi.
Mata Peat terbelalak ketika menyadari sesuatu, dengan sekali hentakan tubuhnya segera terduduk diatas kasur dan melihat foto disamping jam digital yang baru saja ia lihat.
Benar.
Ini bukan kamarnya.
Ini kamar Fort!
Peat buru buru meloncat dari kasur dan berlari menuju pintu kamar tidur. Tangannya segera membuka pintu tersebut dan berlari keluar. Baru saja ia mencapai pintu kamar kondominium Fort, sebuah suara menginterupsi gerakannya dari belakang tubuhnya.
"Mau kemana?" Fort memegang kerah baju belakang milik Peat dan mengangkatnya. Membuat tubuh Peat tampak tenggelam karena lehernya hilang dibalik t-shirt yang ia gunakan.
Peat memutar tubuhnya dan tersenyum kaku kearah Fort. Ia seperti kucing yang tertangkap basah mencuri ikan didapur.
"Makan dulu. Aku membuatkanmu sup ikan" Fort berbalik dan kembali menuju dapur. Meninggalkan Peat yang masih berdiri didepan pintu. Batin Peat seakan berperang, menentukan apakah dirinya akan masuk kembali atau pulang. Jika ia kembali masuk, sudah dipastikan mereka akan canggung, kemarin Peat meninggalkan Fort sendiri diruang tengah kondominiumnya, ia menolak Fort dengan keras, bahkan ia melemparkan nada dinginnya saat berbicara dengan Fort. Namun jika ia pulang, Fort akan menyeretnya kembali kedalam mengingat sifat keras kepalanya.
Astaga!
Ugh, ia harus apa?
Peat memegangi kepalanya yang berdenyut sakit. Ah, sial! Ia melupakan fakta bahwa ia mabuk berat semalam. Seketika pikirannya menjadi jernih, ia menyadari jika ia masuk kesini dalam keadaan mabuk. Pikirannya mulai ditumbuhi pertanyaan. Apa ia memaksa masuk kesini? Apa dia membuat keributan? Apa yang terjadi semalam? Apa ia melakukan hal yang memalukan? Pikiran pikiran buruk mulai berdatangan dikepalanya. Merekayasa kejadian kemarin malam yang sama sekali tak ia ingat.
"Kau mau berdiri disana sepanjang hari atau makan bersamaku disini?" suara Fort menarik Peat dari lamunan panjangnya. Ia melihat kearah meja makan yang udah berisi Fort dan dua mangkuk sup dengan asap yang mengepul. Mata Peat tertuju pada mangkuk dengan kuah penuh serta air putih disebelahnya. Tenggorokannya terasa dimanjakan hanya dengan menatap makanan diatas meja, membuat mulutnya berair seketika karena mulai berkhayal makanan itu sudah berada dimulutnya.
"Apa perlu aku gendong?" ucap Fort sekali lagi memutus lamunan Peat dengan makanannya. Peat menggeleng dan berjalan menuju meja makan. Persetan dengan kejadian semalam. Makanan didepannya lebih layak dicicipi dibanding memikirkan hal yang sudah terjadi.
-----
Aku merebahkan tubuhku diatas sofa tepat setelah masuk kedalam kamar kondominiumku. Aku menyukai hari ini, suasana antara aku dan Fort menjadi menyenangkan saat makan bersama siang ini. Aku tak tau apa yang kulakukan semalam hingga hubungan kami menjadi baik seperti semula, dan aku pun tak berniat menanyakannya. Mungkin saja aku datang dan mengobrol agar Fort memaafkanku, tak masalah jika aku harus meminta maaf malam tadi, toh aku mabuk berat jadi aku tak perlu malu.
Aku kemudian bangun dari posisiku dan menuju kamar mandi. Badanku terasa lengket dan sepantasnya aku mandi.
Senandung terus menemaniku sepanjang perjalananku dikamar kondominium. Entah kenapa hatiku sekarang dalam suasana sangat baik, bahkan saat mengingat diriku yang baru saja putus dengan Davikah tak lagi semenyakitkan kemarin. Badanku pun terasa lebih ringan meskipun perut dan kepalaku belum sepenuhnya kembali normal, wajar saja karena aku mabuk berat kemarin.
Aku masuk kedalam kamar mandi dan mulai menanggalkan pakaianku satu persatu.
Degg
Apa ini?
Kenapa aku menggunakan pakaian Fort?
Aku bergegas menuju cermin tinggi dikamar mandi. Mengecek seluruh tubuhku secara terperinci.
Tidak ada
Tidak ada
Bersih
Hah...
Aku menghembuskan napas lega saat melihat tak ada jejak apapun ditubuhku. Bahkan aku tak melihat jejak sperma apapun dibagian vitalku. Semuanya bersih.
Aku tersenyum. Fort ternyata tak mengambil kesempatannya tadi malam. Ternyata dia cukup jantan untuk tak menyerang seseorang yang sedang mabuk.
Aku kembali melanjutkan kegiatanku. Hari ini akan panjang dengan tumpukan tugas yang seharusnya aku kerjakan sejak kemarin. Tapi tak apa, setidaknya hari ini kekuatanku sudah meningkat, jadi aku yakin bisa menyelesaikan semuanya.
-----
Blam
Peat menutup pintu kamarnya dan mengemasi beberapa barang yang tergeletak diatas lantai. Hari ini dia memiliki satu kelas dan satu praktikum, jadwalnya tak terlalu penuh hari ini, jadi ia bisa memanfaatkan waktu luangnya untuk menyelesaikan tugas yang belum sempat ia selesaikan kemarin. Dengan tangan yang penuh oleh beberapa buku serta satu tas jinjing, Peat mulai berjalan menuju lift dilantainya. Tapi jalannya terhenti ketika sebuah tangan menahannya untuk melangkah lebih jauh.
"Ayo berangkat bersama"
Joss berjalan mendahului Peat dengan menggenggam tangan Peat. Peat menarik tangannya agar lepas dari pegangan Joss. Ia tak suka seperti ini. Namun Joss mengeratkan pegangannya, ia tak mau mengalah. Membuat Peat terlihat terseret karena tarikan Joss.
"Joss lepaskan" Peat menggeram tertahan. Tangannya masih bergerak mencoba melepaskan pegangan Joss ditangannya.
"Tidak Peat."
Mereka berdua kemudian sampai didepan lift yang kebetulan terbuka karena seseorang baru saja keluar dari dalamnya. Joss membawa Peat kedalam lift dan segera menutupnya. Tangannya kemudian melepaskan tangan Peat begitu ia memencet tombol basement.
Peat menarik tangannya dan menatap pergelangan tangannya yang memerah. Wajahnya berubah masam dan menatap Joss tidak suka.
Tak lama pintu lift kembali terbuka. Peat bergegas keluar namun lagi lagi tangannya ditahan oleh Joss.
"Aku antar"
"Tidak usah. Aku bisa sendiri" Peat menghentakan tangannya hingga pegangan Joss terlepas. Ia kembali berjalan menuju mobilnya namun tangannya kembali dicekal oleh Joss. Kali ini pegangan Joss sangat erat, bahkan dalam hitungan detik pergelangan tangan Peat kembali memerah.
Joss menarik Peat memasuki mobil sport hitam miliknya. Mendudukannya dikursi penumpang dan kemudian berlari cepat menuju kursi kemudi. Ia was was jika Peat akan kabur sepersekian detik saat dirinya lengah.
Blam
Joss menghempaskan pintunya tergesa dan mengunci pintu mobilnya cepat. Joss kemudiam berdiam diri selama beberapa saat sebelum memutar tubuhnua kearah Peat yang tengah memandang keluar jendela.
"Aku bukan pria yang jahat. Cobalah mengerti diriku sekali saja Peat. Aku hanya ingin dekat denganmu" Joss mencondongkan tubuhnya untuk meraih seatbelt dikursi Peat dan memakaikannya. Peat masih tak bergeming diposisinya, ia masih menatap area parkir dari jendela. Joss mengusak rambut Peat pelan sebelum melajukan mobilnya menuju kampus mereka.
-----
Tungkai panjang yang dibalut dengan jeans hitam terlihat tergesa berlari menuju sebuah ruang kelas. Tangannya menggenggam tepian pintu dan menjulurkan kepalanya kedalam untuk mencari seseorang yang tidak ia temukan pagi ini.
Memang pagi ini ia sedikit terlambat bangun beberapa menit sehingga tak bisa menyamakan waktu berangkatnya dengan Peat.
Mata Fort mengitari ruang kelas yang seharusnya menjadi kelas mereka pagi ini, tapi ia tak menemukan Peat. Fort kembali melangkah keluar berniat untuk pergi kearah parkiran. Fort berpikir jika Peat belum sampai karena sebenarnya ia pun tak melihat mobil Peat terpakir dimanapun.
Namun langkah Fort menjadi surut, ia bersembunyi dibalik tiang penyangga besar yang berada didepannya. Ia tak sengaja melihat Peat yang turun dari mobil sport hitam. Mata Fort terbelalak ketika menyadari pemilik mobil sport tersebut, itu adalah tetangga yang beberapa hari lalu menyerang Peat. Fort kira mereka tidak dalam hubungan yang baik.
Fort menatap Peat yang berjalan meninggalkan pemuda itu dibelakangnya, mengundang senyum puas Fort karena sepertinya Peat tidak menyukai pemuda itu. Namun sesaat senyumnya hilang ketika pemuda itu menarik Peat kedalam pelukannya. Tangan Fort terkepal, tak ada pria lain yang boleh memeluk Peat-nya seperti itu.
Fort segera melangkahkan kakinya keluar dari persembunyiannya. Namun ia kembali menghentikan langkahnya ketika melihat Peat yang kini mendorong dan meneriaki pemuda itu. Fort lagi lagi tersenyum lebar dan kembali melanjutkan langkahnya kearah dua manusia yang sepertinya sedang beradu mulut.
"Peat" Fort memanggil Peat sesaat kakinya berada dalam radius yang dekat dengan Peat. Membuat Peat menoleh dan sedikit terkejut dengan Fort yang kini sudah berdiri disampingnya.
"Ayo pergi, kelas kita akan mulai sebentar lagi" tangan Fort kemudian mengambil tangan Peat dan menautkan jari mereka. Menarik Peat menjauhi pemuda yang kini menampilkan wajah bengisnya kearah Fort.
Fort mengayunkan tangannya sambil menoleh sesekali kebelakang untuk memamerkan kemesraannya dengan Peat, tak lupa memperlihatkan seringaian kemenangannya pada Joss, membuat wajah Joss seketika menjadi merah padam dan memilih berjalan menuju mobilnya kembali.
"Jelaskan padaku Peat"
"Apa?"
"Pria tadi"
"Dia bukan siapa siapa" Fort menghentikan langkahnya dan menahan tangan Peat yang sudah selangkah lebih maju. Membuat langkah Peat menjadi ikut terhenti dan refleks menoleh kearah Fort.
"Aku cemburu" Fort mencebikkan bibirnya, membuat wajah Peat yang awalnya bingung menjadi tersenyum.
"Kenapa cemburu?"
"Karena kau dekat dengan pria lain. Aku cemburu"
Peat terkekeh, kenapa Fort menjadi menggemaskan seperti ini?
"Dia hanya teman lamaku. Tidak usah dipikirkan"
"Jangan dekat dengannya lagi"
"Kkk.. Kau melarangku berteman? Bahkan belum menjadi kekasih saja kau sudah melarangku, bagaimana ini?" Peat mengangkat satu alisnya menggoda Fort. Fort terlihat seperti anak kecil jika merajuk, menggemaskan.
"Jadi kau mau menjadi kekasihku?" wajah merajuk milik Fort seketika berubah menjadi sumringah mendengar perkataan Peat. Ia tak salah dengarkan? Peat benar benar mengatakan jika ia akan menjadi kekasih bukan?
"A.. Em.. Itu.. Lupakan, bukan itu maksudku. Sudahlah, aku mau ke kelas" Peat melepaskan tautan jarinya dengan Fort dan berjalan mendahuluinya. Peat memukul bibirnya berkali kali karena tak mau diajak bekerja sama.
Sudah jelas ia berjanji akan menjodohkan Noeul dengan Fort tapi kenapa ia malah berkata seperti tadi? O oih Peat! Kau menjadi gila rupanya!
TBC
Komentar
Posting Komentar