FORTPEAT - JINX - 21
Fort menatap seluruh benda yang berserakan dilantai kamarnya. Menatapinya satu persatu dengan perasaan berat. Dihadapannya tersebar seluruh kenangan dan memorinya bersama Peat.
Ingatannya bergerak silih berganti setiap kali matanya meniti satu persatu benda diatas sana. Robot pertama mereka saat pertama kali bertemu, baju pasangan pertama mereka saat ibu Peat membawa mereka ke taman bermain, gelang pertama mereka saat akan masuk SMA, headphone pertama mereka, case ponsel pertama mereka, bahkan plaster luka yang diberikan Peat pertama kali padanya masih ada, lengkap dengan darah yang mengering dibagian lembutnya.
Banyak lagi benda yang disimpan oleh Fort, awalnya ia ingin mengenang barang ini nantinya bersama Peat. Dengan tekad akan menjadikan pria itu kekasihnya dan kembali memutar memori lama. Namun semuanya hanya tinggal niat, bahkan saat mereka sempat menjalin hubungan pun Fort tak melakukan keinginannya tersebut. Sekarang hanya tinggal dirinya, meratapi setiap benda dengan penuh luka.
"Baby, bagaimana kabarmu?" suara berat itu menggema. Bertanya pada benda benda yang berada dihadapannya seolah tengah berbicara pada seseorang.
"Apa ditempatmu sekarang dingin hm? Kuharap kau mengenakan baju hangat jika memang begitu, karena disini cuaca tak menentu, kadang hujan kadang panas, banyak yang sakit karena cuaca seperti ini dan tentunya aku tak menginginkan kau seperti itu." bibir itu tersenyum tipis sembari menceritakan keadaan sekitarnya.
"Kkk.. Aku seolah tau kau dimana ya? Makanya kau harus cepat cepat pulang dan bertemu denganku. Biar kusiapkan baju hangat agar kau tak terserang flu. Juga- kau tak merindukanku?" nada ceria diawal kalimat perlahan berubah sendu, wajah sumringah yang membayangkan dirinya akan memakaikan baju hangat pada Peat kini berubah murung.
"Aku merindukanmu baby, sangat. Setiap hari aku berharap menemukan senyummu disampingku. Tapi tetap saja- aku hanya menemukan udara kosong" bibir itu tersenyum miris, meratapi nasib sialnya sendiri.
"Aku tak tau apa pernah aku merasakan bahagia lagi sejak saat itu. Setiap kali aku mendapati kau tak bersamaku, duniaku serasa hampa Peat. Aku seperti masuk kedalam jurang tak berdasar, kosong dingin dan sunyi. Aku terlihat bodoh ya?" Fort terkekeh, air mata pun ikut menggenang di pelupuk matanya.
"Sepertinya aku terlalu mencintaimu Peat. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Bahkan untuk melepas bayangmu saja aku tak sanggup. Aku ingin menggenggam erat semua memori. Aku terlalu takut Peat-"
"-Aku takut jika suatu saat aku benar benar melepaskanmu, kau tak akan kembali padaku Peat. Hiks.."
Air mata itu akhirnya lolos. Menetes membasahi celana yang Fort gunakan. Badan itu bergetar hebat. Tangannya beralih memeluk tubuhnya sendiri. Membayangkan pelukan hangat yang terakhir melingkari tubuhnya. Mengusap sisi tubuhnya seolah olah Peat yang melakukannya.
Perlahan tubuh itu mulai tenang. Pelukan hangat hasil ilusinya terbukti ampuh menenangkan pikirannya, dan hal ini juga membuktikan untuk kesekian kalinya bahwa ia terlalu bergantung pada pria kecil itu
"Peat, maafkan aku. Maaf.." Fort menatap nanar sebuah foto yang berada didekatnya. Foto yang ia ambil saat mereka berkencan disebuah museum.
"Kau tau, semua orang mengatakan jika aku harus melupakanmu Baby. Tapi aku selalu menolak. Semua orang juga mengatakan hatiku telah menjadi batu dan dingin. Tapi aku tak peduli. Namun kini aku mulai lelah Baby. Aku lelah. Rasanya terlalu berat. Bahkan untuk bernapas saja aku sudah tidak kuat." Hembusan napas panjang kini mengganti kalimat yang Fort ucapkan. Mencoba mengeluarkan rasa sesak yang selalu tersimpan didadanya.
Fort kemudian mengambil foto tersebut sambil merebahkan tubuh besarnya diatas lantai dingin. Meringkukkan tubuh itu dan mendekap erat foto tersebut didadanya, seolah ingin menyelimuti Peat dari rasa dingin lantai yang kini menerjang tubuhnya.
"Baby, bolehkah aku melepaskanmu sekarang? Bolehkah?"
Mata besar itu pun mulai terpejam diiringi dengam gumamam sendu dari bibir itu.
-----
Bunyi gesekan besi penggantung tirai disebuah kamar luas sedikit mengganggu pria yang masih tertidur diatas lantai. Belum lagi sinar matahari yang dengan cepat menerobos masuk menghantam seluruh ruangan termasuk pria tersebut.
Langkah pelan terdengar mendekati tubuh yang mulai terusik. Usapan lembut dirahang tegas milik pria itu seketika membangunkannya dari tidur. Matanya terbuka perlahan dan menemukan sosok wanita tua yang tersenyum padanya.
"Bu.. "
"Pagi sayang.. Ayo bangun" sapa wanita paruh baya itu sambil mengusap rambut anaknya dengan lembut.
Fort mengangguk, mencoba bangun dari posisinya sambil meregangkan tubuhnya yang kaku. Mata besar itu menatap ibunya dan tersenyum.
Pagi ini hatinya menjadi lebih ringan. Fort tak tau pasti kenapa, tapi bisa saja karena dirinya yang akhirnya mampu merelakan Peat pergi. Meskipun tidak begitu signifikan, tapi setidaknya ia bisa bangun dengan tersenyum pagi ini.
Fort mulai berdiri, membersihkan pakaiannya yang tertempeli debu halus dan kemudian berjalan menuju kamar mandi.
"Ah! Ibu" langkah Fort terhenti saat teringat sesuatu. Ia menolehkan kepalanya kearah ibunya yang mulai mengemasi barang barang yang berserakan dilantai. Ibu Fort pun berhenti mengemasi barang dan menatap putranya yang menatapnya dengan senyum lebar.
"Nanti bantu aku menyimpan semua barang ini, aku sudah berpamitan dengannya semalam"
"Begitukah? Baiklah, nanti kita simpan"
-----
Peat menatap pantulan dirinya dicermin kamarnya. Tubuhnya terbalut kemeja putih dan celana dasar berwarna krem. Separuh wajahnya tertutup masker dengan kaca mata minus yang tergantung dihidungnya. Kepalanya ia tutupi dengan kupluk abu abu hingga menutupi separuh rambutnya.
Setelah dua hari menyesuaikan diri di apartemen baru yang ia sewa selama sebulan kedepan, Peat akhirnya mulai berada dalam kondisi stabil. Rehatnya selama dua hari terbayar penuh dengan kondisi primanya hari ini untuk memulai pekerjaan. Peat pun sudah mengabari orang tuanya perihal kedatangannya ke Thailand dan akan mengunjungi mereka saat ia akan kembali terbang ke Korea Selatan.
Dengan hembusan napas singkat, Peat meyakinkan dirinya kembali untuk siap bekerja dalam beberapa saat kedepan. Tangannya kemudian mengambil kunci mobil yang disewakan oleh pihak perusahaan diatas nakas lemarinya. Mengecek kembali semua barang yang ia masukkan kedalam clutch hitam sedang miliknya dan kemudian melangkah keluar menuju parkiran gedung.
-----
Jemari kurus itu mengotak atik ponsel yang ia pegang sambil terus berjalan di lobi perusahaan. Mengaktifkan earphone bluetooth yang sudah menggantung ditelinganya sambil membuka aplikasi musik diponselnya.
Matanya sekilas melihat pintu lift yang hampir tertutup. Mengajak kakinya berlari lebih cepat dan memencet tombol open dari luar. Alhasil pintu besi itu kembali terbuka dan memperlihatkan seseorang dengan tubuh tinggi besar didalam.
Peat buru buru masuk sesaat pintu tersebut terbuka cukup seukuran tubuhnya. Menundukkan kepalanya sesaat menyapa pria yang berada didalam dan segera memutar tubuhnya menghadap pintu besi yang bergerak menutup. Telunjuknya pun memencet tombol lantai dan kemudian menatap monitor lantai yang berada diatas kepalanya. Diikuti dengan kepala yang bergoyang mengikuti alunan musik, menghiraukan seseorang yang menatapnya aneh dari arah belakang.
-----
Brakk
"Damn it!"
Gebrakan meja dengan umpatan kasar terdengar begitu Fort berada didepan meja kerjanya. Tangannya mengusap wajahnya kasar dan kemudian menyisir rambutnya kebelakang dengan tergesa.
Baru saja malam tadi ia memutuskan untuk melupakan Peat namun pagi ini ia malah melihat sosok dengan tubuh yang sangat mirip dengan prianya itu. Kulitnya, struktur tubuh hingga tinggi badannya terlihat sama persis. Hampir saja ia melompat menarik pria itu jika saja tak melihat tato kupu kupu biru ditengkuknya, bahkan Fort juga melihat telinga kiri pria itu dihiasi anting. Jelas pria didepannya bukanlah Peat. Mereka hanya kebetulan memiliki fisik yang sangat mirip.
Dengan kasar ia menghempaskan tubuhnya ke kursi kerjanya. Memejamkan matanya dan beralih menangkup seluruh wajahnya.
"Peat, apa kau akan menyiksaku seperti ini? Aku lelah baby, kumohon.."
-----
Tok
Tok
Tok
"Permisi Khun Fort" seorang wanita dengan setelan kantor putihnya masuk dengan langkah pelan sambil menempelkan kedua tangannya didepan dada untuk memberikan salam. Ia kemudian berdiri diambang pintu dengan tegap, menatap kearah atasannya yang masih memindai dokumen diatas mejanya.
"Hm" dehaman berat menyahuti ucapan sang sekretaris. Tangannya masil lihai membolak balik kertas dengan mata yang tak lepas menatap kata perkata.
"Pegawai Shin Pharma yang ditugaskan untuk mengepalai tim RnD khusus sitostatika sudah datang dan dia ingin melaporkan kehadirannya pada anda"
"Tak perlu. Suruh saja dia untuk segera bekerja, kita tak bisa membuang waktu hanya untuk saling menyapa"
"Baik Khun, permisi"
Sekretaris itupun kembali menempelkan telapak tangannya sambil berjalan mundur keluar dari ruangan. Tak lupa menutup pintu agar atasannya tak terganggu dalam bekerja.
Sekretaris itu pun memutar tubuhnya menghadap pria lain yang sudah menunggu dengan bersandar pada dinding putih dilorong kantor. Sekretaris itu sedikit tersipu melihat pria didepannya yang terlihat sangat menarik hanya dengan bersandar pada dinding dengan satu kaki yang tertekuk kedalam beralaskan dinding.
Sedikit membersihkan tenggorokan yang gatal dengan berdeham kecil, sang sekretaris pun dengan berani melangkahkan kakinya mendekati pria yang masih asik mendengarkan musik dari ponselnya.
"Cho-Chogiyo Peat-ssi" wanita itu dengan hati hati melambaikam tangannya didepan wajah Peat sambil berbicara lembut. Membuat Peat sadar dan segera mematikan ponselnya. Kini ia berdiri dalam posisi tegak dan menatap sekretaris itu dengan senyum manis diwajahnya, membuat wajah sang sekretaris tersipu merah karena ditatap dengan lembut dan diberikan senyuman oleh pria menarik dihadapannya.
"Eum.. Jadi.. Fort Sajang-"
"Aku orang Thailand, kau bisa berbicara dengan santai padaku- nuna?" Peat kembali tersenyum diujung kalimatnya dan lagi lagi membuat sang sekretaris tersenyum malu.
"Eum, baiklah. Khun Fort mengatakan tak apa tak melapor. Kau bisa langsung bekerja Khun Peat"
"Begitukah? Baiklah, aku mengerti" Peat mengangguk mengerti, mengambil langkah untuk menjauh namun terhenti ketika mengingat sesuatu. Peat memutar tubuhnya dan mendapati sang sekretaris yang masih berdiri menatapnya.
"Bisa antar aku ke ruanganku? Nuna?"
-----
Waktu berjalan dengan cepat, menit berganti jam dan jam berganti hari. Tak ada kendala besar yang Peat hadapi selama menjadi pegawai di perusahaan ini. Seminggu sudah ia mendatangi perusahaan untuk bekerja dari pagi hingga sore, dan semuanya berjalan sangat lancar. Peat bahkan tak bertemu dengan Fort meskipun kini mereka berada dalam gedung yang sama setiap harinya.
Dengan starter pack wajib yang ia kenakan seperti masker, kacamata dan kupluk, sepertinya ia menjadi sedikit berbeda untuk dikenali secara cepat. Apalagi saat hari pertama bekerja Peat langsung memperoleh informasi jika Fort selalu menggunakan lift sebagai akses utamanya. Sedikit heran karena Fort biasanya akan mengambil tangga darurat sebagai akses utama dibandingkan lift, tapi itu bukan masalah, Peat bersyukur memperoleh informasi sepenting ini sehingga ia bisa menghindari Fort dengan mengambil tangga darurat sebagai akses utama.
Sebenarnya ada hal lain yang sedikit membuat Peat heran. Peat memperoleh informasi jika Fort tak suka berbincang dengan orang lain dan itu juga terjadi padanya saat hari pertama menginjakkan kakinya disini, dimana ia diizinkan tak melapor pada atasan yang dimana seharusnya pegawai sepertinya pasti akan melalui rapat kecil dengan atasan karena alasan kerjasama mereka. Dan lagi Peat bersyukur untuk itu, akibatnya Peat tak perlu bertemu dengan Fort dan itu sangat amat melegakan.
Tak terbayang bagaimana keadaannya sekarang jika diawal ia sudah dipertemukan dengan pria itu. Peat tak yakin akan bisa merangkak ke perusahaan ini pada hari kedua.
Hari ini adalah hari minggu. Jadwal pegawai yang seharusnya libur namun Peat manfaatkan untuk kembali bekerja. Jiwa membara dengan semangat api yang menyala membuatnya tak ingin lepas dengan setiap alat laboratorium, laptop dan dokumen dimeja kerjanya. Ambisinya untuk menyelesaikan tugasnya dalam waktu singkat semakin meningkat. Peat sangat yakin akan mampu menyelesaikan tugasnya dalam sebulan jika jalannya bebas tanpa hambatan seperti ini.
Mata rusa itu kembali menatap hasil pengujian stabilitas sediaan sitostatika dengan formulasi ketiga pada suhu ekstrim. Melihat secara visual bagaimana perubahan yang terjadi pada sediaan itu. Kembali ia menggeleng ketika formulasi ketiganya ternyata belum membuahkan hasil yang baik.
Kini ia beralih pada dokumen miliknya dan mulai mencoreti beberapa kolom disana dan kemudian disimpan dalam sebuah map. Peat lalu mengambil laptop kerjanya dam kembali membuat perhitungan baru untuk formulasi keempat yang seharusnya bisa rampung sebelum gelap.
Bunyi ketikan antara jari dan keyboard terus menggema diruangan tersebut. Mengisi sunyi ruang laboratorium khusus tim RnD yang hanya diisi seorang diri saat ini. Biasanya ruangan ini akan diisi oleh lima orang termasuk Peat, tapi karena Peat bukanlah orang yang suka memaksakan kehendaknya, jadi Peat membiarkan anggotanya menikmati liburan bersama keluarga atau teman temannya hari ini.
Senyum cerah terlihat ketika gambaran formulasi keempat miliknya selesai. Dengan cepat ia menyimpan file tersebut dan kemudian segera membersihkan seluruh peralatan yang ia gunakan hari ini. Peat kemudian berjalan keluar ruangan sambil meregangkan tubuh letihnya, berjalan menuju pantri yang berada satu lantai dibawahnya.
Sesaat sampai dipantri, Peat segera membuat cokelat panas kesukaannya. Dengan keadaan gelap dan hujan diluar membuat cokelat panas yang baru saja diseduh terasa sangat nikmat. Peat mendaratkan pantatnya diatas meja pantri dan menatap keluar jendela, mengamati bagian luar kaca yang mulai dibasahi oleh air.
"Tunggu disini sebentar, aku akan mengambil kunci mobilku dan segera kembali"
"Eum, baiklah"
Peat yang tak sengaja mendengar percakapan didepan pintu segera melompat meninggalkan gelas cokelat panasnya diatas meja. Dengan tergesa menyembunyikan tubuhnya diantara lemari hitam yang digunakan untuk menyimpan peralatan makan pegawai dengan dinding pantri.
Setelah sekian lama tak mendengar suara itu, Peat dengan fasih mengenali suara yang baru saja berbicara. Ia seratus persen yakin jika itu adalah suara Fort dengan seorang wanita. Tak ingin kesenangannya dalam bekerja terganggu hanya karena tak sengaja bertemu Fort hari ini, Peat dengan siap akan menunggu berapa lama pun untuk bersembunyi dipantri.
Peat segera menutup mulutnya dan menahan napas agar tak terdengar oleh orang yang baru saja mendorong pintu pantri. Derap langkah itu semakin mendekat membuat Peat dengan hati hati semakin memasukan tubuh kecilnya ketempat paling dalam dari persembunyian.
Kriettt
Pintu lemari yang tepat berada disampingnya terbuka. Bunyi ribut sebuah tangan yang menelaah benda benda didalam lemari itu terdengar nyaring ditelinga Peat.
"Dimana sebenarnya aku meninggalkanmu tadi" keluh Fort saat tak menemukan apa yang ia cari dari lemari tersebut. Tangan Fort bergerak menutup lemari itu kembali dan beralih pada lemari yang tergantung diatas meja pantri. Desahan kesal terdengar dari bibir penuh itu ketika ia masih belum menemukan kunci mobil yang ia cari.
Fort kembali mengingat ngingat apa saja yang ia lakukan selama di pantri. Menggerakan tubuhnya seolah olah mereka adegan yang ia lakukan sebelumnya. Namun tubuhnya terhenti ketika mendapati segelas besar cokelat panas dengan asap yang menipis diatas meja pantri. Mengerutkan dahinya bingung karena seharusnya tak ada pegawai yang bekerja di hari minggu seperti ini.
Mata besar itu mulai mengelilingi ruang pantri tersebut. Mencari orang yang bisa saja sedang bersembunyi saat ini. Cokelat panas itu masih sedikit mengepul, artinya minuman ini baru dibikin hingga beberapa menit yang lalu. Mungkin saja pegawai itu membantu menyimpan kunci mobilnya atau malah sebaliknya.
Drap
Drap
Drap
Perlahan setiap langkah berbunyi menggema hingga membuat Peat semakin menyurukan tubuhnya. Memejamkan matanya sangat erat karena takut akan ketahuan oleh Fort.
Tubuh besar itu pun mulai berjongkok, meneliti kolong meja apakah ada seseorang yang bersembunyi disana atau tidak. Kembali melihat celah lain yang terdapat di lorong menuju wastafel namun tetap tak mendapatkan apapun. Fort kemudian melihat celah antara lemari dan dinding yang cukup kecil. Tak yakin sebenarnya apakah itu akan muat untuk menyembunyi tubuh seorang manusia, namun tak ada salahnya untuk mengecek tempat itu
Drap
Drap
Peat terus merapalkan doa dalam hati, memohon pada Tuhan untuk menyelamatkannya kali ini. Mata Peat pun terbuka, tanpa sengaja melihat bayangan besar berada tepat disampingnya. Jari jari panjang pun terlihat menempel disudut lemari, membuat degup jantung Peat berpacu dengan cepat karena sedikit lagi ia akan melihat rupa pria yang paling ia hindari.
Kriettt
"Sayang"
"Ah ya, maafkan aku. Kau lama menunggu? Aku belum menemukan kunci mobilku" jari panjang yang sebelumnya memegangi sudut luar lemari pun menghilang. Membuat jantung Peat mencelos jatuh hingga dasar karena baru saja dihadapkan dengan krisis besar dihidupnya. Hampir saja ia mati muda karena serangan jantung jika Fort benar benar menemukannya.
"Sudah terlalu malam dan hujan turun deras. Sebaiknya kita pulang sekarang, kita menggunakan mobilku saja bagaimana?" usul wanita yang baru saja masuk kedalam pantri. Ia berjalan mendekat dan melingkari lengan Fort dengan lengannya.
"Baiklah, kita pulang sekarang" Fort tersenyum kearah Pearwah sambil membelai punggung tangan wanita itu. Melangkahkan kaki mereka bersamaan menuju pintu keluar pantri.
Tepat sebelum pintu itu tertutup, sepasang mata besar kembali menoleh kearah sisi lemari dengan tatapan yang tak bisa diartikan.
-----
Disebuah balkon rumah megah, tampak seorang pria lengkap dengan baju tidurnya berdiri dibalik pagar penghalang. Menumpukan satu lengannya diatas pagar sambil menatap langit gelap yang tak lagi menurunkan hujan. Wajahnya terlihat ambigu. Matanya terlihat kosong dengan bibir yang terkatup rapat. Otaknya terus berputar pada kejadian yang baru saja terjadi.
"Kau kembali-
-Peat"
-----
Deru napas bercampur dengan suara degup jantung yang bergerak cepat. Keringat dingin yang membasahi pelipis hingga punggungnya membuat baju yang dikenakan lengket dengan kulit. Tangan bergetar miliknya ia padukan dengan kuat untuk meredam getaran tersebut, hingga membuat buku buku jarinya memutih karena terlalu kuat menggenggam tangannya.
Dihiraukan air mata yang menetes satu persatu dari matanya, mencoba mengatur napasnya sedemikiam rupa untuk kembali normal.
Mimpi buruk itu kembali datang dan kali ini ia sangat sulit menarik diri dari mimpi tersebut. Seolah ia dipaksa mendengarkan seluruh kata buruk yang dilontarkan dari bibir penuh itu.
Baru saja ia tertidur kurang lebih satu jam yang lalu namun terganggu karena mimpi buruk yang lagi lagi datang. Keputusannya untuk datang menyelesaikan pekerjaan hari ini ternyata salah besar. Ia tak akan seperti ini jika tak terlalu ambisius menyelesaikan semua pekerjaannya.
Bahkan hanya mendengar suaranya hari ini sudah mampu membuat tubuhnya bereaksi hebat seperti ini. Peat tak terbayang jika tadi mereka benar benar bertemu. Seruntuh apa dunia yang sudah ia bangun bertahun tahun untuk dapat kembali berdiri dengan kokoh.
Dan ia mengkonfirmasi satu hal pasti hari ini. Ternyata dirinya memang hanyalah satu dari sekian banyak mainan yang dimiliki Fort. Ketika dirinya disini masih berjuang dari rasa pengkhianatan yang ia terima, ternyata Fort sudah memiliki orang lain. Ternyata hanya dirinya sendiri yang terluka disini, hanya dirinya yang jatuh sendiri. Apa yang ia harapkan dari pria itu? Menangis bersamanya selama sepuluh tahun ini? It's a totally bullshit! Peat berani bertaruh dengan hidupnya jika ia sudah lama dilupakan oleh pria itu.
Apa? Dikenali oleh Fort? Cih! Terlalu percaya diri sekali kau Peat. Apa menurutmu Fort akan mengingat wajah mainannya setelah sepuluh tahun berlalu? Itu waktu yang cukup lama untuk melupakan seseorang. Bisa jadi seminggu setelah kau pergi Fort sudah melupakanmu dan pergi mencari mangsa baru.
Ingat Peat! Kau itu hanya satu dari sekian! Setelah mempermainkanmu dengan merebut semua kekasihmu, dia membodohimu dengan kata kata manisnya untuk mendapatkan tubuhmu! Sungguh tak tahu malu jika kau menganggap dirimu masih diingat oleh pria itu.
Tubuh itu pun meringkuk. Bergelung layaknya bayi dalam kandungan. Melilitkan kedua tangannya kesisi tubuhnya yang dingin. Uraian air mata tanpa isakan terus berlomba membasahi bantal yang berada dibawah kepalanya. Bagai mati rasa, terisak pun rasanya sudah tak berguna.
TBC
Komentar
Posting Komentar