FORTPEAT - JINX - 20🔞

Ranjang berdecit hingga membentur dinding berkali kali membuat suasana dikamar motel itu semakin panas. Persetubuhan dua manusia yang semakin liar diatas sana tak menunjukkan tanda lelah sedikit pun. Erangan dan lenguhan kenikmatan terus silih berganti dari bibir kedua belah pihak.

Tubuh yang saling beradu dengan bagian selatan yang menyatu. Membuat gambaran erotis dengan pihak submisif yang berpegangan erat pada kepala ranjang karena hentakan yang ia terima dari pihak dominan. Tak sampai disana, bahkan tubuh besar itu membawa sang submisif kearah jendela yang terbuka lebar. Merebahkan pinggang itu pada kunsen jendela yang kecil hingga separuh badan mungil itu tersapu dinginnya udara malam. Kedua kaki kurus itu dibawa untuk diletakkan diatas pundaknya. Tangan besar itu dengan sengaja memegangi pinggang ramping itu sebagai penahan dari gerakannya.

Kembali tubuh itu beradu, bergerak berlawanan arah dengan tempo yang semakin lama semakin cepat. Kembali menggaungkan suara indah yang meluncur dari bilah bibir masing masing. Hentakan itu semakin kuat, seakan memaksa memasukan benda besar panjang itu memasuki lubang sempit hingga bagian terdalam.

Tak kuat dengan hentakan yang diterima, tangan kurus pucat itu mencoba meraih tirai yang tak sengaja bergerak keluar. Meremas kuat bagian yang dapat digapai untuk melampiaskan rasa nikmat yang semakin cepat menghujam prostatnya.

Tubuh itu bergerak berlawanan arah semakin cepat. Keduanya hampir mencapai puncak kenikmatan. Kedutan dikedua penis tampak bergerak semangat hingga kepalanya mulai membesar. Sang dominan semakin menanam penisnya lebih dalam pada rektum sempit yang memuaskan tubuhnya hampir lima jam. Seakan ingin sang submisif mengandung anaknya, ia menyemburkan lahar panas keruh miliknya kedalam lubang itu dari penis yang tak dilindungi pengaman.

Kedua tubuh bergetar hebat, mengeluarkan semua cairan yang mendesak keluar. Bahkan tirai yang bergoyang itu kini menjadi lebih berat, karena menyerap sperma keruh sang submisif dan membuat muatannya menjadi lebih berat.

Sang dominan mulai menurunkan tubuhnya, mengecup daging yang sudah terkulai lemas setelah pelepasan yang dilakukannya.

"Terimakasih Peat, aku mencintaimu"

"Aku tau"

-----

Tangan kurus panjang itu menggerakan jarinya searah tubuhnya, membuat gagang pintu mobil yang ia pegang bergerak dan membuka besi tipis itu. Memasukan tubuhnya kedalam dan duduk dikursi penumpang. Memejamkan matanya dan kemudian menyandarkan tubuh lelahnya pada bantalan sandaran kursi.

Tubuhnya terasa remuk. Bermain diranjang hampir lima jam membuat tubuhnya meminta istirahat. Tak ada waktu untuk merehatkan diri diatas ranjang bekas bercinta. Disamping malam yang semakin larut dan besok pagi ia harus kembali bekerja, tidur bersama setelah berhubungan seks bukan gayanya. Itu hanya dilakukan oleh sekumpulan orang menjijikan yang diikat melalui perasaan. Sedangkan dia hanya bermain disini, memenuhi hasrat belaka dan sama sekali tak berniat melampaui batas itu.

Peat sangat paham jika banyak orang yang diluar sana mengajaknya menghabiskan waktu diatas ranjang hanya karena rasa penasaran yang sering disalah artikan menjadi perasaan suka. Mereka hanya ingin tau seberapa nikmat dan hebat dirinya dalam men'service' teman ranjangnya. Baik pria maupun wanita, semuanya akan mencoba menarik perhatian Peat. Tak ada yang salah, Peat juga tak akan jual mahal untuk menolak ajakan mereka. Hanya saja itu akan berakhir menjadi one night stand untuk kebanyakan orang.

"Sebaiknya kau menggajiku jika setiap malam harus menjemputmu seperti ini"

"Sudahlah Joss. Bahkan ketika aku menawari tubuhku kau tidak mau. Cih!" ledek Peat sambil tetap menutup matanya.

Joss mengendikkan bahunya acuh. Ia memilih menyalakan mesin mobilnya dan melaju membelah jalanan kota Seoul.

"Peat"

"Aku tak ingin mendengar kau menyuruhku berhenti bermain main karena suatu dan lain hal. Jika kau tak mau menjemputku katakan lain kali. Aku bisa meminta bantuan orang lain" sanggah Peat ketika mendengar nada suara Joss yang terdengar serius.

Hell! Seriously!. Peat lelah mendengar hal yang sama setiap kali bertemu Joss. Ia tahu jika Joss mengkhawatirkannya, menyebutkan setiap risiko yang bisa ia peroleh karena bermain seperti ini. Tapi ini hidupnya, dan tak ada satupun yang bisa mengaturnya. Ia bukan lagi anak kecil, Peat merasa ia cukup dewasa untuk tau apa saja konsekuensi yang ia peroleh. Dan sungguh ia tak ada masalah untuk itu.

"Kuharap kau kembali menjadi dirimu Peat. Kau seharusnya tak mematahkan cinta yang diberikan orang lain padamu hanya karena seorang pria, Peat. Kau harus tau jika cinta itu tak seperti yang kau pikirkan. Satu hal lagi, kau juga harus tau jika masih banyak orang yang mencintaimu didunia ini, Peat"

"Turunkan aku"

"Peat"

"Turun"

"Berhentilah keras kepala dan pahami ucapanku!"

"Aku bilang turunkan aku!" Peat berteriak sekeras mungkin. Rasa lelahnya menguap begitu saja, berganti menjadi rasa marah yang meluap.

Joss tak paham. Joss tak mengerti keadaannya. Serinci apapun ia menceritakan kisahnya, Joss tetap tak akan mengerti betapa pahitnya hidupnya. Mata lelah itu kini dipenuhi genangan air mata. Menatap Joss dengan tatapan terluka dan menggigit bibir bagian dalam.

Joss pun tak tega. Ia menepikan mobil miliknya disalah satu pemberhentian. Peat mendorong pintu itu hingga terbuka dan segera melangkah turun. Joss pun melakukan hal yang sama, mengejar Peat yang melangkah cepat diatas trotoar.

Grep

Hap

Dengan sekali hentakan, Joss menarik tangan Peat dan memutarnya masuk kedalam pelukan. Menyelimuti tubuh kecil itu dengan lengan besarnya dan mengusap punggung bergetar itu lembut.

Kali ini ia salah, memaksakan pemikirannya pada seseorang yang masih memegang luka. Seharusnya ia bertindak lebih bijaksana. Melihat Peat menangis bukanlah sesuatu yang ia inginkan. Ia hanya ingin menyadarkan Peat seperti Peat menyadarkannya waktu itu. Ia hanya ingin membawa Peat kembali pada dirinya yang sebenarnya. Tapi langkah yang ia ambil saat ini salah. Ia malah membuka semakin lebar luka yang dipegang oleh Peat.

Kata kata maaf terus terucap dibibir Joss. Sejalan dengan tubuh Peat yang mulai tenang, perlahan Joss kembali membawa tubuh itu menuju mobil.

Lain kali ia akan mencoba lagi dengan cara lain.

Lain kali.

-----

Sampah!

Tidak berharga!

Kau pikir aku mencintaimu?

Jangan bermimpi!

Hahahaha

Dasar menjijikan

Tubuh yang ditutupi selimut tipis itu mulai bergerak gelisah. Tangannya bergerak diudara mencoba menggapai sesuatu. Keringat dingin mulai keluar membasahi wajahnya. Bibir pucat yang bergerak bergumam lemah diiringi oleh isakan yang keluar sesekali.

Beruntung kau memiliki tubuh yang bagus

Bersyukurlah

Jika tidak kau hanya akan berakhir dibak sampah

Dasar tak tau malu

Menjijikkan

Menjijikkan

Menji-

"Aaaa!!!" teriakan ketakutan keluar saat mata rusa itu terbangun dari mimpi buruknya. Tubuh yang basah oleh keringat itu terduduk dalam waktu cepat. Mengatur napasnya perlahan dengan mengencangkan pegangannya pada tepian selimut yang entah sejak kapan berada ditangannya.

Mata merah berair itu berpendar. Melihat sekelilingnya yang masih gelap gulita. Matanya terpaku pada jam digital bercahaya yang terdapat diujung kamarnya.

Pukul dua dini hari.

Tangan pucat itu mengusap wajahnya kasar. Helaan napas berat pun terdengar. Tak sampai ia tidur dua jam lamanya, namun mimpi buruk yang ia alami serasa berjalan satu hari.

Peat menangkup wajahnya lama.  Memejamkan matanya erat, mengambil napas dalam untuk mengubur kembali bayangan buruk yang masih melintas didalam pikirannya.

Ia benci dirinya yang menciptakan ilusi seperti ini. Dirinya melihat dengan jelas wajah pria itu didalam mimpi buruknya. Perkataan merendahkan yang terucap dari bibir tebal pria itu seperti anak panah yang menghujam tubuhnya.

Bibir Peat menyunggingkan senyum miris. Melihat hidupnya yang bahkan belum bangkit dari keterpurukan setelah sepuluh tahun lamanya. Sebenarnya setergantung apa dirinya pada pria itu? Hingga membuatnya selalu bermimpi buruk setiap kali ada yang mengingatkannya akan kejadian masa lalu.

Peat benar benar sudah muak. Andai saja ia tak terbuai dengan mulut manis itu, andai saja ia bisa menahan diri dan mengelak pada setiap perlakuan pria itu. Peat yakin hidupnya akan lebih tenang. Seharusnya ia tahu jika pria itu hanyalah seorang playboy yang menyukai seks.

Sepertinya semua perkataan dalam mimpi buruknya adalah benar. Dirinya hanyalah sampah, tidak berharga dan menjijikan. Bahkan dirinya begitu bodoh, dengan mudahnya ditipu bertahun tahun oleh pria yang hanya menginginkan seks.

Apa? Jinx?

Ide sampah dari mana perkataan itu sebenarnya?! Benar benar pribadi yang tak tau malu. Mengumbar hal yang ia kira Jinx pada semua orang dengan wajah meminta perlindungan.

Dimana letak rasa malumu Peat? Kau bahkan tak tau jika orang yang kau beritahu itu ternyata sudah menertawaimu dibelakangmu. Sadarlah Peat! Hidupmu itu hanya permainan untuk orang lain dan selamanya akan begitu. Jangan mengharapkan apapun. Dunia tak seindah drama pagi yang kau lihat ditelevisi.

Ini duniamu.

Dunia yang kelam yang tak berujung.

-----

Tangan tan itu menggulir layar komputer yang berada dihadapannya. Mengamati satu persatu email laporan yang dikirimkan oleh kolega bisnisnya yang sebelumnya sudah melalui tangan sekretarisnya.

Tangannya mengklik satu persatu email tersebut. Membacanya dengan seksama sebelum kembali diteruskan ke sekretarisnya untuk ditindak lanjuti. Kepalanya mengangguk senang mendapati laporan dan tawaran kerjasama dari koleganya.

Terakhir ia mengecek laporan dari koleganya yang berada dinegeri lain, Korea Selatan. Rencana kerjasama untuk memproduksi sediaan sitostatika yang saat ini kedua perusahaan kerjakan. Kerjasama ini sudah selesai hingga tahapan dokumen kesepakatan. Mereka akan segera memulainya dengan melakukan formulasi dan trial produk diminggu depan. Terlihat dari laporan yang dikirimkan jika mereka akan mengirimkan karyawan terbaik untuk melakukan hal tersebut diperusahaannya.

Setelah menyelesaikan seluruh pekerjaannya. Fort mulai mengemasi barangnya. Memasukkan beberapa dokumen yang perlu ditinjau ulang lebih lanjut kedalam sebuah map.

Setelah mematikan komputer miliknya, Fort kembali mengamati sekali lagi meja kerjanya, menghindari adanya benda tertinggal yang akan membuang waktunya.

Fort kemudian melangkah menuju pintu ruangan. Keluar dari sana dan berencana menuju sebuah restoran.

Setelah menimang kurang lebih sebulan lamanya. Fort memutuskan mengikuti pertemuan keluarga kali ini. Berharap langkah ini akan membawanya ke arah yang lebih baik.

-----

Restoran megah dengan langit langit tinggi. Dihiasi chandelier besar ditengah ruangan dan chandelier kecil ditiap sudutnya. Lampu putih yang dipadukan dengan lampu kuning membuat nuansa restoran semakin romantis. Belum lagi dengungan musik klasik yang menemani, membuat siapa saja akan larut dalam romantisme tak berujung yang diciptakan pemilik restoran.

Kini restoran megah itu tampak sepi. Hanya terisi pada satu meja yang tepat berada ditengah ruangan. Dengan meja yang ditataki sekian rupa makanan dalam wujud mewahnya. Perpaduan warna kuning, merah dan hijau yang mampu menggugah selera. Tiap sisi piring pun didampingi oleh gelas berleher tinggi, tampak diisi wine putih yang menemani.

Kelakar dan basa basi ringan yang terjadi antara dua keluarga membuat sunyi yang melanda seketika berhamburan menjadi suasana hangat.

Pertemuan yang berlangsung antara keluarga Sangngey dengan keluarga Chatchaipholrat bertujuan untuk membahas perjodohan anak mereka. Sudah lama sebenarnya keluarga Chachaipholrat meminta putra sulung keluarga Sangngey untuk menikahi putri tunggal mereka. Namun karena satu dan lain hal, pertemuan ini baru bisa terlaksana satu bulan setelahnya. Sebut saja perjodohan bisnis. Jika dua keluarga ini disatukan dalam pernikahan, kemungkinan besar mereka akan menarik minat banyak investor dan dapat mendongkrak naik harga saham perusahaan masing masing.

"Fort, ajaklah Pearwah berjalan jalan. Ibu rasa dibelakang restoran ini terdapat taman dengan kolam ikan yang cukup cantik. Bagaimanapun kalian akan bertunangan dalam waktu dekat, kalian harus mulai mengenal lebih jauh dari sekarang" ucap Nyonya Sangngey pada putranya.

Fort mengangguk dan berdiri dari duduknya. Berjalan mengitari meja dan menjulurkan tangannya untuk meminta tangan gadis manis didepannya.

"Ayo"

-----

Tangan kurus pucat itu menarik dasi hitam yang sudah berada ditangannya beberapa menit lalu. Membawa tubuh mereka berdua kebalik tembok bercat kuning. Peat mengalungkan tangannya dileher jenjang milik Joon. Mata rusa itu mengerling nakal, menggoda pria yang berada didepannya.

Joon menjilat kasar bibirnya. Rasanya tak tahan untuk segera melumat daging kemerahan itu sekarang juga. Dengan cepat ia mendorong tubuh Peat menghantam tembok. Melahap rakus bibir merah muda itu dan mulai melumatnya. Kedua mata mereka saling terpejam, mencoba menikmati bibir masing masing. Peat sedikit kewalahan dengan Joon yang terlalu bersemangat, namun ia tak akan kalah. Peat mengembalikan fokusnya dan bertarung lidah didalam sana.

"Hentikan"

Sebuah suara dihiraukan begitu saja oleh dua pria yang saling mencumbu. Kedua bibir itu terus bergerak hingga menimbulkan bunyi kecipak yang cukup keras.

Brakkk

"Hentikan! Apa kalian tak malu melakukannya dilobi seperti ini?!" sorak suara itu lantang yang sebelumnya didahului dengan gebrakan keras pada dinding, matanya menatap marah pada kedua pria yang mulai menjauhkan wajah mereka.

"Pergilah lebih dulu, aku temui kau sesaat lagi"

Cup

Peat mengakhiri ciuman panas mereka dengan satu kecupan dibibir Joon. Mendorong pelan bahu bidang itu agar segera pergi kekamar motel yang biasa ia pakai.

"Peat, berhenti-"

"Aku akan pergi sekarang jika hanya akan mendengar ocehanmu Noeul"

Noeul mendesah, ia tak mengerti lagi dengan sikap temannya yang sangat berbeda 180 derajat dari sebelumnya. Sejak mereka bertemu kembali setahun yang lalu tanpa sengaja, Noeul mengetahui jika Peat jauh berbeda dari sebelumnya.

Ada rasa bersalah terselip dihatinya. Melihat Peat yang berubah sejauh ini pasti dikarenakan kejadian saat itu. Jika saja semuanya ditangani secara tepat dan tak berlarut, Peat akan tetap menjadi sahabatnya yang lucu dan manis.

Sejujurnya saat pertama kali bertemu Noeul sangat bahagia. Bagaikan menemukan sebuah harta karun yang lama terkubur. Saat itu mereka tanpa sengaja bertemu saat Noeul mengunjungi orangtuanya di Korea selatan, Noeul mengunjungi sebuah Food Court dan tanpa sengaja melihat Peat dengan seorang pria yang bernama Joss.

Awalnya Peat menghindarinya, menolaknya berbicara dengan seribu alasan. Namun bukan Noeul jika keras kepala tak berada ditengah namanya. Ia mengikuti dua pria itu seharian, bahkan menodong Joss yang baru ia kenal untuk berbagi informasi mengenai Peat. Tak lama, akhirnya Peat menanggapi usahanya. Mereka berbicara walau Peat terus mencoba mengakhiri percakapan mereka. Peat benar benar terlihat sangat membencinya saat itu. Namun semakin lama Peat kembali menerimanya, walaupun tak sepenuhnya layaknya masa kuliah. Kini Peat tak lagi menghindarinya dan itu sudah lebih dari cukup bagi Noeul.

Namun selang beberapa lama mereka kembali mengenal, Noeul dikejutkan dengan pribadi Peat yang baru. Peat menyukai bermain dengan sembarang orang. Mengajak orang orang yang datang padanya untuk bermain keatas ranjang. Peat tidak seperti ini sebelumnya, bahkan seingatnya Peat hanya berani mencium para kekasihnya dan tak akan melakukan hal yang lebih dari pada itu. Noeul sering mengeluhkan hal tersebut pada Peat dan berakhir dengan Peat yang marah padanya dan tak menghubunginya berhari hari.

Namun kali ini salah, sebernafsu apapun setidaknya kau harus memiliki malu. Berciuman dilobi meskipun dibalik tembok yang tertutup tidak akan terhindar dari tatapan orang yang lalu lalang.

"Terserah kau mau melakukan apa Peat. Tapi lakukanlah dikamar, bukan disini. Aku hanya ingin mengatakan itu" keluh Noeul tak terima. Ia hanya sangat peduli pada temannya.

"Tsk, baiklah" Peat memutar bola matanya malas.

"Jadi untuk apa kau memanggilku kesini? Besok siang aku ada penerbangan, aku akan kembali ke Thailand jadi tidak bisa menemanimu melakukan banyak hal" Noeul menyilangkan lengannya didepan dada dan menatap Peat dengan satu alis terangkat.

"Aku ikut. Ayo kembali bersama ke Thailand"

-----

Pesawat dari Seoul tujuan Bangkok pun mendarat. Menumpahkan penumpangnya secara berurutan dan teratur. Begitu pun dengan dua pria yang dibalut dengan pakaian santai karena waktu landing mereka yang tepat saat malam hari.

Dua pasang sepatu sneakers putih yang sudah berhasil berada diluar bandara kini tampak menunggu mobil jemputan yang sudah dipesan sebelumnya.

Grep

Refleks sebuah tangan putih pucat meraih tangan yang berada disebelahnya. Noeul menoleh kesampingnya setelah Peat menggenggam tangannya lumayan erat. Noeul merasakan tangan Peat sedikit bergetar namun juga tidak. Wajah Peat pun terlihat datar dan biasa saja. Noeul berniat menanyai temannya itu tapi ia urungkan karena takut salah bicara. Noeul memilih membalas genggaman tersebut, setidaknya ia bisa membantu Peat entah untuk apa itu.

Dari kejauhan sebuah mobil sport putih gading mendarat dihadapan mereka. Pintu kemudi pun terbuka. Menampilkan seorang pria gagah dengan jaket denim cerahnya.

"Hai Peat, lama tak jumpa" ujar pria berjaket denim itu sambil berjalan mendekati mereka. Tangan pria itu beralih memegangi koper Noeul dan mengecup dahi itu singkat.

"Sawadhi phi" Peat melepaskan genggaman tangannya pada Noeul dan memberikan salam pada Boss yang diangguki ringan oleh Boss.

"Phi, bisakah kita menunggu sampai mobil jemputan Peat datang?" tanya Noeul pada Boss yang berada disampingnya. Boss mengangguk, menyetujui usul kekasihnya.

"Tidak usah. Kalian duluan saja"

"Jangan sungkan Peat, aku tidak apa" ujar Boss menengahi, tak ingin Peat merasa tak enak hati padanya.

"Bukan begitu. Aku yang tidak nyaman. Jadi sebaiknya kalian duluan saja. Aku lebih suka menunggu sendiri" ujar Peat setengah mengusir. Ia tak ingin berada didekat orang yang pernah ia kenal lebih lama, hal itu sangat mengganggu dan tidak nyaman. Cukup Noeul saja yang dekat dengannya, ia tak butuh orang lain.

Boss yang mendengar pernyataan Peat menautkan alisnya bingung. Menatap kekasihnya seolah meminta kejelasan mengenai sikap arogan Peat. Dengan wajah memelas Noeul berusaha menenangkan Boss yang sepertinya tampak kesal dengan ucapan Peat. Noeul menggenggam tangan Boss dan mengelus punggung tangan itu untuk menenangkannya.

"Eum, baiklah. Aku akan pergi lebih dulu. Kau hati hati Peat"

"Eum, kau juga"

Noeul menarik tangan Boss menuju mobil sport putih gading yang masih terparkir didepan mereka. Meninggalkan Peat seorang diri disisi bandara.

Tak ada seorang pun yang tahu jika tubuh Peat menggigil saat ini. Tungkainya terasa goyah dan napasnya menjadi tidak teratur. Beruntungnya mobil jemputan yang ia pesan hanya berselang sepuluh menit dari kepergian Noeul dan Boss. Setidaknya ia bisa beristirahat selama 2 jam sebelum sampai di Nonthaburi. Kota penuh kenangan yang ingin ia lupakan

TBC

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FORTPEAT - SURROGATE 2🔞

FORTPEAT - JINX - 16 🔞

FORTPEAT - RARE SPECIES - 5 🔞