FORTPEAT - JINX - 2
Musik tenang yang diputar di speaker kafe tampaknya membantu beberapa orang berkonsentrasi dalam mengerjai kertas ataupun laptop dihadapannya. Begitu juga dengan Peat dan Noeul yang juga sibuk berkonsentrasi untuk menulis diatas kertas. Setumpuk kertas setebal 2 cm sudah terbaring disamping meja, guratan tulisan tangan yang tercetak jelas diatas kertas menampakkan jika bagian tersebut sudah berisi oleh materi yang berkaitan dengan laporan praktikum mereka.
Noeul juga merupakan teman dekat Peat, mereka berkenalan pertama kali saat semester pertama, berbeda dengan Fort yang memang sudah ia kenal sedari kecil.
Noeul merupakan seseorang dengan kebangsaan Thailand namun sudah lama menetap di Korea Selatan karena ibunya memilih menetap di negara asalnya. Meskipun saat berbicara ia sudah menggunakan bahasa Thailand dengan cukup fasih, namun Noeul masih sering mencampurnya dengan bahasa Korea.
"Ah! Jjinjja! Kapan laporan ini akan selesai?!" Noeul menggerutu sambil mengibaskan tangannya yang sudah mulai sakit karena terus menulis laporan. Matanya menjadi sakit ketika terus menatap tumpukan literatur yang berada diatas meja, apalagi menatap jurnal elektronik dari laptopnya. Harusnya dia tak menuruti keinginan ibunya untuk mengambil jurusan farmasi.
"Sabarlah. Kau tidak akan mati hanya karena menyalin literatur." Peat menyela gerutuan Noeul sambil terus menuliskan materi dari literatur yang berada ditangannya. Matanya bergerak cepat antara kertas dan buku memperlihatkan bahwa dia bekerja dengan sungguh sungguh.
"Kau tidak, tapi aku iya! Tugasku menjadi tiga kali lipat lebih banyak dan harus dikumpul besok. Rasanya aku ingin kabur dan menikah saja! "
"Itu karena ulah kau sendiri yang keras kepala. Sudah tahu yang kau bawa itu bukan objek yang disuruh, tapi kau masih bersikeras dengan yang kau bawa pada asisten labor. Jelas saja kau dihukum Noeul. " Peat memutar bola matanya malas karena keluhan Noeul. Apa dia tidak sadar jika perbuatannya melawan asisten labor minggu lalu hampir membahayakan semua praktikan? Untung hanya dirinya saja yang diberi tugas tiga kali lipat. Temannya satu ini benar benar terlalu berani.
"Aa!! Molla! Aku tak mau mengerjakannya lagi! " Noeul menarik sisi rambut sampingnya frustasi. Jika ditotal semua laporan yang harus dibuat adalah tujuh laporan karena besok ada empat praktikum. Bahkan tiga laporan saja belum selesai sore ini. Bagaimana ini?! Apa dia tidak bisa tidur nanti malam? Rasanya ia ingin menangis sekarang.
Peat hanya mengacuhkan teriakan frustasi Noeul. Ia memilih kembali fokus dengan laporannya agar lebih cepat selesai. Ia sudah menyelesaikan tiga laporan dan hanya tinggal satu lagi. Setelah ini ia pulang dan akan beristirahat sepanjang malam. Oh, sungguh ia tak sabar!
Setelah hampir satu minggu ia diekori oleh Fort kemana mana, akhirnya ia memiliki waktu sendiri lagi hari ini. Fort mengabarinya jika ia sudah memiliki kekasih lagi, jadi seharusnya ruang kamarnya menjadi miliknya seutuhnya hari ini. Makanya kali ini ia memiliki waktu bersama Noeul, karena Fort sudah terbang bersama kekasih barunya.
Wajah Peat semakin cerah ketika ia hanya tinggal menuliskan daftar literatur ke bab penutup laporannya. Ia melirik arlojinya yang juga sudah menunjukkan pukul enam sore. Tangannya menjadi lebih cepat untuk menuliskan nama nama literatur tersebut.
"Yay! Akhirnya" Peat menjatuhkan penanya dan meregangkan seluruh ototnya yang terasa kaku. Badannya ia putar ke kanan dan kekiri untuk melemaskan otot pinggangnya.
"Kau sudah selesai? Kau akan meninggalkanku Peat? " Noeul yang melihat Peat mulai mengemasi barangnya, memajukan bibir bawahnya tanda ia sedih akan ditinggal oleh Peat. Matanya ia buat berkaca kaca menatap Peat agar Peat mau menemani atau bahkan membantunya menyelesaikan laporannya.
Peat memasukkan benda terakhir kepunyaannya kedalam tas dan menyampirkannya ke bahunya. Dengan senyum lebarnya ia menatap Noeul yang memiliki ekspresi sangat timpang dengannya.
"Aku duluan ya, chagi~" Peat mencolek dagu Noeul kemudian berlalu keluar kafe menuju kamar kondominiumnya.
Menyisakan Noeul yang hampir saja menangis melihat punggung Peat yang sudah ditelan oleh pintu kafe. Andai saja dia tidak melawan asisten labor sialan itu minggu lalu
-----
Peat melepas tasnya dan menggantungkannya di tiang penggantung. Wajah sumringahnya tampak sangat jelas ketika melihat kasur rapi terbentang dihadapannya. Ia melemparkan tubuhnya keatas kasur dalam keadaan menelungkup. Tangan dan kakinya ia buka lebar lebar untuk mengklaim bahwa kasur ini miliknya hari ini. Matanya terpejam menikmati nyamannya kasur. Membuat lama kelamaan matanya menjadi berat dan rasanya ingin tidur.
Berulang kali ia mencoba sadar dan tidak tidur. Tubuhnya masih meminta untuk berbaring tapi ia tak boleh tidur karena belum mandi dan makan. Matanya semakin berat, rasa kantuk yang menderanya sudah tak bisa dihindari lagi. Ia harus bangun sekarang jika tak ingin tubuhnya menjadi gatal besok pagi.
Peat dengan sangat berat hati akhirnya bergerak menjauhi kasur. Peat membawa tubuhnya menuju kamar mandi untuk bersih bersih terlebih dahulu.
Tangannya mengambil jubah mandi yang tersampir di besi gantungan disebelah pintu kamar mandi. Ia kemudian masuk kedalam kamar mandi dan menggantungkan jubah mandi tersebut disalah satu pengait di dinding kamar mandi.
Satu persatu pakaian yang ia kenakan mulai dilepas dan dilemparkan kedalam keranjang kain kotor. Tangannya kemudian menghidupkan shower dan mulai berdiri dibawah guyuran air tersebut.
Peat terlihat sangat menikmati bagaimana air hangat tersebut membasahi dirinya. Menyisir rambutnya kebelakang dan mendongakan wajahnya keatas agar air tersebut menghujami wajahnya. Peat merasa sangat tenang, suasana sekelilingnya tampak hening dan hanya diisi oleh suara gemericik air yang menghantam lantai.
Peat mengusap wajahnya dan bergerak kesamping untuk menjangkau shampo. Aroma berry menguar begitu cairan shampo itu dituangkan ketelapak tangan, Peat mengangkat tangannya kearah rambut dan mulai memijatnya. Kepalanya terasa sangat ringan ketika dipijat sedemikian rupa dengan wangi yang sangat ia gemari. Kemudian ia kembali beringsut mengambil sabun cair dengan wangi yang sama, menuangkannya dan kemudian mengusapkannya keseluruh tubuh. Tangannya menjangkau setiap inci tubuhnya agar tak satupun kotoran tertinggal.
"Aku seperti melihat model porno"
Peat sontak memutar tubuhnya ketika mendengar sebuah suara dafi belakangnya. Matanya melebar ketika mendapati Fort yang tengah menyilang tangan didepan dada sambil bersender diambang pintu. Peat segera berjongkok menutupi semua bagian vitalnya dengan menyilangkan kakinya didepan tubuh.
"Bajingan kau Fort! Pergi kau! " Peat berteriak kearah Fort dengan sangat keras. Wajahnya memerah dengan tatapan membunuh yang ia layangkan pada Fort. Bisa bisanya ia menorobos masuk dan menonton Peat yang tengah mandi. Dimana letak otaknya?! Dasar gila!
"Hahaha. Salahkan dirimu yang tak mengunci pintu kamar mandi. Siapa yang menolak melihat pemandangan seperti ini? "
"Dasar otak porno! Kau keluar! Bajingan! " Peat mencoba meraih botol sampo yang berada didekatnya, kemudian ia melempar Fort dengan sekuat tenaga menggunakan botol sampo yang ia pegang.
Fort mengelak, lemparan Peat sebenarnya tak sampai setengah dari jarak mereka, tapi Fort hanya bergerak agar Peat semakin kesal. Sudah ia bilang bukan jika menggoda Peat sangat menyenangkan? Apalagi wajahnya sekarang juga sangat memerah menahan malu.
Peat mendengus sebal melihat Fort yang seperti mengejeknya. Demi Tuhan! Ia masih belum membilas tubuhnya yang masih penuh sabun. Tapi ia harus tetap menjaga posisinya seperti ini. Meskipun mereka sudah berteman selama 10 tahun lamanya, mereka belum dan tak akan pernah melihat tubuh telanjang masing masing. Jadi Peat sangat malu jika dilihat oleh si bajingan ini!
"Baiklah baiklah. Aku akan menunggu diluar. " Fort akhirnya memberhentikan tawanya dan berjalan keluar meninggalkan Peat.
Peat akhirnya bernapas lega. Ia berniat kembali berdiri untuk menyelesaikan mandinya. Baru ia setengah berdiri kepala Fort kembali menyembul dari pintu.
"By the way, kau terlihat seksi" Fort mengedipkan sebelah matanya dan buru buru kabur ketika melihat botol lain melayang yang kini tepat kearahnya.
"Fort bajingan!!! "
-----
Fort mendudukan dirinya diatas kursi meja makan. Fort mencoba menetralkan napasnya setelah berlari menjauhi Peat. Matanya kemudian menatap iba pada adik kecilnya yang sudah menggembung didalam celananya. Melihat tubuh mulus temannya yang tanpa cela membuat libidonya naik. Sebenarnya Fort sudah memperhatikan aktivitas tersebut sejak Peat menikmati siraman air ditubuhnya hingga ia menyabuni seluruh tubuhnya. Ia melihat bagaimana air tersebut perlahan lahan membasahi kulit Peat, membuat hawa disekitarnya menjadi sangat panas. Kemudian ia juga melihat bagaimana cairan sabun itu menyelimuti tubuh Peat, membuat tubuh itu mengkilap dan semakin menggoda untuk dibawa ke ranjang.
Fort merasakan celananya semakin menyempit ketika terus mengingat tubuh kawannya. Ia merasa antara menyesal dan tidak ketika memilih membawa kakinya menuju pintu kamar mandi yang tidak terbuka. Sudah sangat lama ia mencoba menahan diri untuk tidak memikirkan hal aneh terhadap Peat. Jika saja ia tak menimang Peat adalah temannya sedari kecil, bisa jadi dia telah menyeret Peat keatas ranjang untuk disetubuhi. Fort yakin tubuh Peat akan sangat nikmat untuk ia cicipi.
Fort sudah tak bisa menahan hasratnya lagi. Ia harus keluar sekarang juga menuju kamarnya untuk menyelesaikan urusan selakangannya. Ia tadi berencana untuk memamerkan kekasih keduanya yang ia dapat hari ini pada Peat. Tapi yasudahlah, ia bisa memberitahunya besok. Adik kecilnya lebih penting kali ini.
-----
Peat melangkah keluar sambil mengikat tali jubah mandi yang ia kenakan. Ia berjalan menuju ruang tengah tempat dimana biasanya Fort menunggu. Peat mengerutkan dahinya ketika tak mendapati orang yang ia cari disana. Berkali kali dia memanggil nama Fort dan berjalan menyusuri kamarnya dan juga balkon tapi tak juga menemukan Fort.
Peat akhirnya menyerah dan berjalan kembali menuju kamarnya untuk berpakaian. Peat berkali kali mengecek pintu kamarnya apakah sudah terkunci atau belum. Bisa jadi anak itu datang tiba tiba dan seenaknya menerobos masuk kamarnya. Peat sungguh masih malu dengan kejadian tadi.
Mereka sebenarnya sudah terbiasa jika hanya melepas baju masing masing ataupun kadang mereka tak masalah untuk berganti pakaian dihadapan satu sama lain. Tapi berbeda hal dengan melihat tubuh telanjang, mereka sama sekali tak pernah melakukannya. Jadi wajar saja jika kejadian tadi cukup mengejutkan Peat.
Peat kemudian memilih pakaian nyaman untuk ia kenakan saat tidur. Tak butuh waktu lama, setelah selesai berpakaian Peat berjalan keruang tengah untuk menuju dapur sekedar memasak mie instan. Perutnya sudah lapar dan harus segera diisi. Peat memilih mie instan karena terlalu malas untuk berjalan kebawah atau memesan makanan secara online. Mie instan sangat praktis dan cepat, jadi ia bisa segera makan dan tidur lebih cepat.
-----
Hari ini dijam terakhir perkuliahan, beberapa mahasiswa dengan jas laboratorium tampak sibuk memegangi objek yang berada dihadapannya. Kali ini praktikum mereka menggunakan spesimen darah untuk memisahkan antara sel darah merah dengan plasma.
Beberapa mahasiswa tampak antusias dengan objek kali ini. Mereka berlomba lomba agar dapat menggunakan alat sentrifugasi yang berguna sebagai pemisah.
Berbeda dengan Peat yang amat tidak mau mendekati objek praktikumnya. Peat sangat takut melihat darah, jadi ia sama sekali tak berani ikut dalam praktikum kali ini. Ia hanya berdiri dibelakang tubuh Fort yang kebetulan satu tim dengannya. Jika Fort berjalan kedepan, dia akan mengikuti. Jika Fort berjalan kesamping ia juga akan mengikuti. Peat merasa beruntung memiliki teman dengan tubuh menjulang seperti Fort, setidaknya ia bermanfaat untuk menjadi tamengnya kali ini.
"Kau tak apa? Belum pusing? " Fort menolehkan kepalanya kesamping dengan ekor mata yang menatap Peat.
"Sedikit. Kau perhatikan saja cara kerjanya. Lalu jelaskan lagi padaku nanti" Peat mendorong wajah Fort dengan telunjuknya agar kembali memperhatikan praktikum yang sedang dilakukan.
Prangg
Sebuah tabung reaksi kaca yang berisikan darah tak sengaja jatuh ke lantai, membuat darah didalamnya tumpah memenuhi lantai.
Peat yang melihat tumpahan darah dalam jumlah banyak berada didekatnya, reflek meremas jas laboratorium bagian belakang milik Fort. Matanya ia pejamkan seerat mungkin. Untung saja ia menggunakan masker jadi anyir darah yang menyeruak tidak memperburuk keadaannya.
Fort segera berputar begitu merasakan pegangan yang kuat di jas labornya. Ia mendekap Peat erat dan menepuk kepalanya pelan untuk memberikan ketenangan.
Fort sangat paham jika orang didepannya ini sangat takut melihat darah. Peat pernah mencoba membantu temannya yang mencoba bunuh diri, tapi gagal. Temannya berlari sangat kencang ketengah jalan raya, tepat saat sebuah mobil melaju dalam kecepatan tinggi. Peat melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana temannya tergeletak dan bersimbah darah. Hal itu membuatnya trauma akan darah.
Tangan Peat yang berada disisi tubuhnya terangkat meremas ujung bawah jas laboratorium Fort. Kepalanya semakin pusing ketika bayangan antara darah yang tumpah dengan kawannya yang bersimbah darah saling tumpang tindih seperti film dari kaset rusak.
Ia tak mampu lagi menahan rasa sakit yang mendera kepalanya. Tubuh Peat merosot kebawah ketika kesadarannya sudah mulai diambil alih. Untung saja Fort segera memegangi pinggangnya sebelum jatuh kelantai.
-----
Pandangan Fort tak lepas dari orang yang kini berbaring diranjang ruang perawatan fakultas. Peat masih belum sadarkan diri dari pingsannya. Berulang kali ponselnya berdering disakunya tak ia acuhkan. Fort sekarang hanya ingin fokus pada Peat. Ia tak mau karena mengangkat telpon, ia tak berada disamping Peat saat anak itu sadar.
Matanya kemudian melihat dahi Peat yang tiba tiba mengerut. Fort bergerak cepat mendekati Peat dan mengusap kepalanya pelan.
"Aku disini" Fort berucap sangat pelan seakan takut jika suaranya lebih keras lagi akan mengganggu Peat.
Peat menganggukan kepalanya ringan dan bergumam sebagai respon dari pernyataan Fort.
"Biarkan aku tidur beberapa menit lagi. Kau bisa pergi Fort, ponselmu bergetar sejak tadi" Peat menggeser tubuhnya membelakangi Fort tanpa membuka matanya. Sungguh kepalanya masih berat dan ia butuh istirahat.
"Aku tak mau meninggalkanmu disini sendiri" Fort memutar jalannya kehadapan Peat, lalu ia duduk disebuah kursi yang berada tepat dihadapan Peat. Ia menatap Peat yang masih enggan untuk membuka matanya.
"Aku bukan anak kecil, pergilah. Kau bilang ada janji bertemu Sanan sore ini, jadi pergilah. Kasian dia menunggumu terlalu lama"
"Tidak, aku akan mengantarmu pulang dan memastikan kau benar benar istirahat dikamar. Aku tak akan kemana mana"
"Lalu bagaimana aku akan pulang? Kau mau membawaku dengan motor sekarang? Bisa bisa aku jatuh lagi dijalan." Peat akhirnya membuka matanya dan menatap wajah Fort yang mengeras. Peat sangat paham jika orang didepannya ini sangat mengkhawatirkannya, tapi ia tak boleh menjadi prioritas Fort saat ini. Fort memiliki kekasih dan sudah membuat janji, jadi Peat tidak bisa egois. Lagi pula dia hanya akan tidur dan kembali ke kondominiumnya, dia bukannya pergi pesta lalu mabuk sampai harus diawasi begini.
"Aku-"
"Pergilah Fort. Aku tak apa. Aku akan memesan taksi online nanti"
"Pergilah Fort" Peat berusaha terus membujuk Fort agar pergi. Fort sebenarnya tak suka dengan ide meninggalkan Peat sendirian disini. Fort rela untuk meninggalkan Sanan demi Peat, bahkan jika perempuan cantik itu meminta putus darinya juga tidak masalah, toh dia masih memiliki Up. Tapi Peat benar, ia tak bisa membawa Peat dengan motor. Ia tak mau Peat jatuh dijalan dan malah semakin parah. Tapi dia benar benar tidak bisa meninggalkan Peat sendirian.
"Kalau begitu pulang sekarang" Fort menatap Peat dengan lekat, ia sangat serius dengan ucapannya.
"Biarkan aku tidur beberapa menit lagi Fort" Peat merengek dengan alis bertaut sedih. Kepalanya masih sakit jika dipaksa berdiri.
"Kalau begitu aku akan menunggumu disini sampai kau pulang" Fort mengalihkan pandangannya kearah lain. Wajahnya mengeras dan tangannya tersilang didepan dada. Ia tak mau menatap Peat karena takut akan luluh nantinya.
Peat masih menatap Fort dengan alis bertaut. Ia percaya jika menatap Fort sedikit lama, Fort akan luluh. Namun beberapa menit berlalu hanya keheningan yang melanda ruangan itu. Peat akhirnya menyerah, ia tak akan menang jika begini.
"Hah... Baiklah, aku akan memesan taksi online sekarang, angkatlah telponmu Fort" Peat merogoh kantung celananya dan mengambil ponselnya. Ia membuka aplikasi online untuk memesan taksi. Peat melirik Fort yang kini sudah menatapnya namun tak melakukan apa apa.
"Kau tak menelpon Sanan? " Peat memiringkan kepalanya heran saat Fort masih saja bergeming diposisinya.
"Akan aku telpon jika kau sudah berada didalam taksi"
Oh astaga! Peat benar benar kewalahan dengan mode posesif temannya ini. Dia tak memberi ruang sedikitpun untuk Peat bernapas. Peat tak berniat lagi membujuk Fort, ia lebih memilih diam dan menuruti semua perkataan Fort.
-----
Peat membawa kakinya berjalan selangkah demi selangkah dengan bantuan dinding sebagai penopang tubuhnya. Setelah mendapatkan panggilan dari supir taksi, ia memilih untuk bersiap dan menunggunya dilobi fakultas.
Kini Fort memilih mengikuti Peat dibelakang. Fort ingin melihat sampai mana anak itu bisa bertahan dalam kondisi yang belum stabil. Dengan tangan yang bersilang didepan dada, dagu yang sedikit terangkat dan bibir yang tersenyum miring, Fort menatap Peat yang mulai terengah engah didepannya.
Hap
"Bagaimana jika tidak ada aku huh? Kau pasti akan ditinggal oleh taksi dan bermalam disini" Fort mengambil tengkuk dan lipatan belakang lutut Peat untuk digendong ala bridal style. Peat yang tak siap dengan gerakan tiba tiba Fort, reflek mengalungkan tangannya pada leher Fort. Matanya tampak melebar menatap Fort
"Oih! Turunkan aku! " Peat menggerakan kakinya acak agar dapat menyentuh lantai.
Peat sangat malu diperlakukan seperti seorang putri, meskipun tak ada satupun orang yang lewat, tetap saja ia malu. Dan terlebih lagi dia seorang pria! Apa apaan anak ini!
"Diamlah, ini tak akan lama. Jika kau benar benar mau aku menemui Sanan sebaiknya jangan protes" Pegangan Fort mengerat tak ingin melepaskan Peat, matanya menatap tajam kearah Peat dan sukses membuat Peat diam.
Peat menundukkan kepalanya sangat dalam, menyembunyikan wajahnya dibalik lengannya yang melingkar dileher Fort. Ia tak berani mengangkat kepalanya. Bisa saja satu atau dua orang lewat dan melihat mereka. Peat tak mau disangka menyukai pria, Peat jelas jelas masih menyukai perempuan.
Tak lama Peat merasakan tubuhnya dibawa turun, ia mengangkat kepalanya dan melihat kesekitar, ternyata mereka sudah berada dilobi fakultas. Peat menurunkan kakinya dan berdiri dengan kepala menunduk. Peat tak tau kenapa, tapi jika ia menatap Fort sekarang ia jamin wajahnya akan memerah karena malu. Sekarang saja Peat merasakan telinganya panas dan dapat ia pastikan sudah memerah.
"Hahaha, kau semalu itu? Lihatlah telingamu memerah Peat" tawa renyah Fort mengalun ditelinga Peat. Membuat tubuhnya semakin kecil dan rendah. Rasanya sangat tak nyaman hanya berdua dengan Fort disini.
"Hei, tatap aku. Kau malu padaku hm? " Fort mengambil dagu Peat dan ia putar untuk menoleh kearahnya.
Mata mereka bertemu dan saling mengunci. Seketika keadaan menjadi hening, mereka bertatapan untuk beberapa saat dan sukses membuat wajah Peat memerah sempurna yang disambut dengan senyuman lebar dari Fort. Peat membuang wajahnya kesamping, lagi lagi ia merasa kecil dihadapan Fort.
Drrtt
Drrtt
Bak malaikat yang dikirim dari langit untuk menyelematkannya, Peat sangat bersyukur ponselnya bergetar. Buru buru ia mengambil ponsel tersebut dari saku celananya dan mengangkat panggilan tersebut.
"Halo paman. Saya sudah didepan"
"..."
"Disini" Peat melambaikan tangannya ketika melihat sebuah taksi yang mulai memasuki kawasan fakultasnya. Membuat laju taksi tersebut menjadi sedikit lebih cepat untuk mengambil penumpangnya.
"Aku pulang, kau pergilah, jangan membuat Sanan menunggu" Peat menatap Fort sesaat dan melemparkan senyumnya. Kemudian ia melangkah mendekati taksi yang sudah berdiri dihadapannya.
Peat membuka pintu taksi tersebut dan masuk kedalamnya. Tepat sebelum ia ingin menutup, sebuah tangan menahan pintu taksi tersebut agar tetap terbuka.
"Pastikan kau sampai dirumah dan segera istirahat. Ah, jangan lupa detik pertama kakimu menginjak kamar, kau harus menelponku. Ingat bukan pesan, tapi telpon. " aura Fort menjadi sangat dominan saat mengucapkan perintah dari bibirnya, Peat hanya bergumam menyetujui kata Fort. Meskipun ia tak yakin akan menurutinya sepenuhnya, tapi demi menyingkirkan rasa khawatir Fort ia harus menyetujuinya lebih dulu.
"Tenang saja nak. Saya akan memastikan kekasihmu sampai tujuan dengan selamat" sela supir taksi sambil tersenyum sopan.
"Dia buk-"
"Aku titip kekasihku paman"
Blam
Belum sempat Peat memprotes ucapan dari sang supir, Fort langsung menyelanya dan menutup pintu. Membuat Peat hanya menatap tak percaya kearah Fort yang seperti menungguinya pergi dari luar taksi.
"Hah.. Ayo jalan paman" Peat menghembuskan napas beratnya. Ia sudah lelah berdebat, sekedar membuka mulut untuk mengoreksi pada sang supir saja ia sudah malas. Peat memilih istirahat sejenak sebelum sampai di kondominium miliknya.
TBC
Pengen curhat, kemarin aku baca cerita love sky di akun author baby :""
Huuu, nyesek parah, kek berasa aku ada disituasi itu. Ngeliat si Sky yang runtuh lagi karena tipuan si Gun, anjir banget tu anak. Pen banget nyerbu, terus nyekek. Dada gue sampe sesek ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ malah pas terakhir ternyata dia udah di.. Buat ngemeng aja udah ga kuat saya ini ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
Dahlah, sekian chap kali ini. Makasi banyak banyak buat yang udah baca ❤❤❤
choizeep
2022, Oktober 05
Komentar
Posting Komentar