FORTPEAT - JINX - 19

Suasana temaram dari kamar dengan nuansa abu abu terlihat begitu damai. Hanya disinari secercah cahaya dari balik tirai yang mengepak, tak membuat tubuh besar  yang masih lelap itu terbangun.

Tangan berotot itu mulai menepuk kasur disampingnya, dahinya mengernyit bingung ketika tak merasakan sosok lain disampingnya. Pria itu membuka matanya cepat dan meringis ketika kepalanya berdenyut sakit karena matanya yang belum menyesuaikan cahaya. Kembali ia fokuskan pandangan kaburnya, dan mata besar itu hanya mendapati ruang kosong disebelahnya.

Mata besar itu pun mulai mengitari kamar tidur miliknya. Meneliti satu persatu sudut kamar agar tak melewatkan apapun. Namun sama saja, seteliti apapun ia mencari ia tetap tak menemukan sosok kekasihnya dikamarnya.

Fort terus memanggil nama Peat berharap ada sahutan jika kekasihnya itu berada diluar kamar tidur. Satu kali, dua kali bahkan entah untuk yang keberapa kali tetap saja tak ada sahutan. Sepertinya Peat sudah pergi kekamarnya, meskipun sedikit janggal karena Peat tak pernah pergi sebelum dirinya bangun tapi itu bukan masalah. Hatinya terlalu gembira untuk memikirkan hal lain.

Mengingat kejadian semalam membuat senyum lebar terukir dibibirnya. Malam tadi sangat panas, Peat sangat piawai memanjakan tubuhnya. Bahkan Peat sendiri yang meminta, bukan dirinya. Entah apa yang membuatnya seperti itu, tapi yang jelas Fort sangat berterimakasih untuk itu. Untuk pertama kalinya ia melihat Peat sepanas dan senakal itu, dan lagi hanya dia yang bisa melihat sisi Peat yang seperti itu. Peat membuatnya terasa sangat istimewa.

Setelah merasa kesadarannya cukup, Fort bangkit dari kasurnya dan berjalan keluar sambil meregangkan seluruh anggota geraknya. Menghiraukan tubuhnya yang masih telanjang tanpa pakaian apapun, ia berjalan menuju sebuah panci yang tersimpan diatas kompor listrik miliknya. Terdapat sebuah sticky note berwarna biru yang tertempel didinding dapurnya. Tangan besar itu segera meraih note itu dan lagi lagi membuatnya tersenyum.

'Sup yang kau buat kemarin aku panaskan, makanlah. Aku pergi'

Cup

Fort mencium sticky note biru itu lama. Oh! Kenapa prianya semakin menggemaskan tiap harinya?! Ini tak bisa dibiarkan! Fort harus bergegas mandi dan segera terbang menuju kamar Peat. Ia akan memeluk tubuh kecil itu dengan sangat erat sampai tulang ditubuh itu remuk.

Tangan besar itu kemudian membuka panci yang berada diatas kompor. Dingin. Sepertinya Peat bangun pagi pagi sekali. Tak apa, apapun yang dilakukan Peat terasa manis dan hangat untuknya. Sekalipun dipiringnya hanya ada sebatang es krim yang disiapkan oleh Peat, Fort tetap akan merasakan hangat dari es krim tersebut. Sebut saja dia gila karena kekasihnya.

Tok

Tok

Fort menoleh kearah pintu keluar saat ia mendengar ketukan dari pintu kondominiumnya. Fort kemudian berjalan menuju pintu tersebut dengan senyum lebar. Bisa jadi itu Peat yang datang untuk mengajaknya bermain, karena Peat biasanya akan langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Kkk... Kenapa kekasihnya itu menjadi jahil akhir akhir ini?

Tok

Tok

Kembali suara ketukan itu terdengar dan tersirat rasa tidak sabar disana. Fort sedikit mempercepat jalannya untuk sampai kedepan pintu.

Cklek

"Fort! Omo!"

Hap

Sebuah tangan dengan cepat menutupi mata Noeul yang melebar karena melihat pemandangan didepannya. Wajah Noeul yang tepat berada dihadapan Fort berubah menjadi wajah Boss yang garang setelah memutar tubuh kekasihnya kebelakang tubuhnya.

"Tak bisakah menyambut tamu dengan pakaian yang lebih sopan?!" geram Boss sambil menunjuk bagian selatan Fort yang masih terekspos sempurna.

"Oh! Maaf, masuklah. Aku akan mengambil celana" reflek tangan besar itu menutupi adiknya, dengan senyum malu ia mempersilahkan pasangan itu untuk masuk kedalam kamarnya sambil bergegas masuk kedalam kamar tidur miliknya.

"Jangan tersenyum sayang"

"Tapi-"

"Tsk!!!" Boss mendelik ketika Noeul dengan senyum kakunya masih mencoba memberi alasan. Wajahnya yang memerah jelas menandakan jika Noeul tersipu dengan apa yang baru saja ia lihat.

Bagaimana mengatakannya, ukurannya tak berbeda jauh dari milik kekasihnya, tapi ini sedikit terlihat lebih besar karena warnanya yang gelap. Wajah Noeul semakin memerah ketika mengingat kembali pemandangan yang baru saja ia lihat.

"Phi Boss, eottokhaji? Aku masih malu"

"Lee Noeul!!"

-----

Fort menghempaskan pantatnya diatas sofa. Menatap sepasang kekasih yang berada didepannya. Dahinya mengernyit saat melihat raut wajah aneh dari mereka berdua.

"Ada perlu apa kalian kesini? Cepatlah, aku ingin menemui kekasihku" ujar Fort dengan merentangkan satu tangannya disandaran sofa. Satu tangannya tampak memutar ponsel layaknya stick drum diantara jemarinya.

Noeul menatap Boss dengan raut yang tak menyenangkan, ia takut apa yang akan ia sampaikan dapat membuat keributan besar. Boss membalas tatapan Noeul dengan lembut, menggenggam tangan kecil itu untuk menyalurkan kekuatan. Meyakinkan Noeul jika ia bisa dan Boss akan disisinya apapun yang terjadi.

Noeul mengangguk, ia berusaha menetralkan napasnya dan mengatur tempo jantungnya. Bukan tanpa alasan ia setakut ini, Fort dalam mode marah sangat menakutkan dan semua orang yang mengenalnya tau itu. Dan sekarang Peat tak ada, satu satunya penenang untuk Fort yang sedang marah.

"Apa masih lama? Kalau iya aku akan menjemput Peat dulu dan kita akan berbicara berempat" usul Fort dengan mengacungkan jempolnya kearah kamar Peat.

"Tidak usah! Eum.. Begini Fort-"

"Tunggu tunggu, aku hanya akan menjemputnya sebentar, tak akan lama. Kalian tunggu disini" ujar Fort tak sabar, ia segera beranjak dari posisinya dan berjalan menuju pintu keluar.

Belum sempat kakinya memakai sandal yang berada tepat didepan pintu, dering ponselnya terdengar. Fort merogohkan saku celana olahraganya dan mengangkat panggilan yang ternyata berasal dari ibunya.

"Ya, bu. Ada apa?"

"Peat dan keluarganya pindah hari ini, kau sudah mendapatkan kabar?"

"Pi-pindah? Apa maksud ibu?!" seru Fort mendengar pertanyaan dari ibunya. Suara tinggi Fort terdengar hingga telinga Boss dan Noeul, membuat sepasang kekasih itu ikut bergegas menghampiri Fort dan menguping pembicaraan itu.

"Ya, ibu tak tau kenapa tapi tadi pagi ibu melihat Peat sampai dan tak lama setelah itu mereka mulai mengemasi barang"

"Apa ibu tau kemana mereka pergi?"

"Tidak, ibu dan ayah Peat hanya mengabarkan jika mereka akan pindah pada ibu. Lalu mereka per-"

Pip

Fort mematikan ponselnya dan segera berlari menuju kamar tidurnya. Tangannya dengan cepat meraih kunci mobil yang berada diatas nakas disamping ranjangnya.

Wajahnya tak terlihat cerah lagi. Matanya tersorot marah dengan rahang yang mengeras. Dengan langkah lebar ia berjalan menuju pintu kamar kondominium miliknya.

Grep

"Kami ikut"

-----

Mobil suv berwarna putih tampak terparkir didepan rumah megah milik keluarga Sangngey. Mengendarai mobil dari Bangkok menuju Nonthaburi yang biasanya memakan waktu kurang lebih dua jam, kini hanya ditempuh dalam waktu satu jam. Rasa gundah dan amarah bercampur menjadi satu, membuat Fort tak memiliki banyak waktu untuk memikirkan keselamatan tiga orang yang berada didalam mobil.

Tiga pria pun turun dari mobil tersebut dan satu diantara mereka segera membuka pintu kediaman megah itu dengan tergesa. Mata besar itu tampak berkeliling mencari siapa saja yang bisa ia tanyai.

"Ibu!" seru Fort begitu melihat ibunya yang tengah menonton diruang tengah.

Ibu Fort berdiri menyambut anaknya dan memeluknya. Namun bukan ini yang Fort cari, ia mencari kekasihnya dan ingin tau dimana keberadaan kekasihnya itu. Dengan cepat Fort melepas pelukan ibunya dan menatap sang ibu.

"Kau pasti lelah, isti-"

"Ibu tidak tau kemana mereka pergi?" potong Fort cepat, ia tak ada waktu untuk basa basi.

Ibu Fort menggeleng, kesedihan terlihat dari wajah ibu Fort melihat wajah anaknya yang frustasi.

Fort memejamkan matanya, mencoba menelan bulat bulat amarah yang sudah memuncak hingga ubun ubun. Tangannya merogoh celana yang ia miliki dan kembali mendial nomor yang sudah ratusan kali ia panggil. Namun tetap saja tak ada jawaban.

"Aarghh!!!"

Brakk

Fort menghempaskan ponsel miliknya ke lantai hingga berkeping. Urat dipelipisnya mulai menonjol, matanya memerah dan alisnya menukik tajam.

"Ibu tau kemana arahnya mobil mereka?"

"Ke jalan utama"

Fort segera berbalik, berniat kembali kemobilnya namun tangannya segera dicegat oleh Boss.

"Menyingkirlah phi jika kau tidak ingin membantu" desis Fort marah, mata merahnya menatap Boss dengan tajam.

"Sadarlah Fort! Meskipun kau pergi sekarang kau tak bisa menemukannya! Jalan utama itu luas, mereka bisa pergi kemana saja" jelas Boss dengan menantang mata tajam itu. Fort tidak dalam keadaan stabil, dia bisa saja membunuh seseorang dijalan dalam kondisi seperti ini.

"Menyingkir atau kupatahkan tanganmu" suara rendah itu sangat mengancam, membuat semua yang berada didalam rumah itu meremang. Namun Boss tak bisa melepaskan Fort, itu akan sangat berbahaya.

"Terserah kau akan mematahkan tanganku atau tidak setelah ini. Tapi sebelumnya kau harus mendengarkan sesuatu dari kami"

-----

10 tahun kemudian

Derap langkah sepatu kulit menggema dilobi utama sebuah perusahaan besar. Setelan jas maroon dan dasi merah berliris biru tampak menghiasi tubuh tinggi besar itu. Satu tangan ia masukkan kedalam saku celana miliknya. Berjalan angkuh dengan wajah datar yang selalu diperlihatkan pada karyawannya.

Kaki jenjang itu pun berhenti didepan lift. Menunggu turunnya benda berbentuk balok itu dari lantai atas dan terbuka, matanya menatap lurus kearah besi datar yang tertutup didepannya.

Ting

Besi datar itu pun terbuka, menampilkan ruang kosong yang tak berpenghuni. Kaki itupun melangkah masuk, kembali membuat derit sepatunya terdengar nyaring.

Mata besar itu kemudian menangkap sosok pegawai yang berlari kencang menuju lift. Menekan tombol hold agar pintu lift itu dapat tetap terbuka untuk menunggu karyawan itu masuk.

Citttt.

Deritan sepatu panjang terdengar memekakan telinga ketika tapak sepatu itu berhenti mendadak bergesekan dengan lantai licin dibawahnya. Karyawan yang awalnya terburu buru menuju lift, mendadak menghentikan langkahnya cepat ketika tak sengaja melihat siapa yang menunggunya.

"Se-selamat pagi Presdir!" dengan tubuh membungkuk sembilan puluh derajat, sang karyawan menyapa Presdir yang menunggunya didalam.

"Kau akan masuk atau tidak?" tanya pria bertubuh tinggi itu datar. Waktunya terlalu berharga untuk menyahuti sapaan dari orang lain.

"Maafkan saya Presdir. Saya masih ada keperluan dengan bagian administrasi didepan. Jadi anda silakan duluan" ucap pegawai itu tanpa mengangkat tubuhnya. Tak berani menatap Presdir yang berada dihadapannya.

Tanpa menunggu lama, jari tersebut terlepas dari tombol hold. Membiarkan pintu besi itu tertutup rapat dan bergerak kelantai paling atas.

Sesaat setelah pintu besi itu tertutup, karyawan dengan nametag Tay itu menegakan tubuhnya dan mengelus dadanya cepat. Tak pernah terlintas dibayangannya akan berada dalam satu tempat bersama Presdir.

Presdir perusahaan tempatnya bekerja ini terkenal kejam dan emosian. Tay pun tak tau apa yang terjadi. Tapi kabarnya Presdir dulunya adalah seseorang yang menyenangkan dan murah senyum. Namun semenjak Presdir menggantikan ayahnya tujuh tahun lalu, Presdirnya tak terlihat seperti kabar burung yang diceritakan.

Nasib baik hari ini Presdir hanya membiarkannya pergi. Biasanya karyawan yang membuatnya membuang waktu seperti tadi akan dimarahi bahkan bisa dihukum sesuka hatinya.

Tay pun berpindah sekitar tiga langkah kesamping untuk mengambil lift lain. Sebaiknya untuk kedepannya ia akan datang jauh lebih awal dari sekarang. Bisa berbahaya jika ia bertemu lagi dengan Presdir.

-----

Disebuah ruangan minimalis dengan nuansa abu abu terdapat meja besar dengan papan nama dari batu yang diukiri sebuah nama dan jabatan.

Fort Thitipong Sangngey
Presiden Direktur

Meja itu tampak bersih dan rapi. Hanya tetdapat satu kotak bertingkat untuk menyimpan alat tulis kantor, satu komputer dan satu pigura foto.

Pintu berwarna hitam itu pun terbuka. Menampilkan sosok tinggi besar yang berjalan kearah meja kerjanya.

Melepaskan kancing jas maroonnya sesaat setelah berada dibelakang meja kerjanya, sebelum menggeser singgasananya sedikit kebelakang untuk bisa ia duduki.

Tubuh besar itu dihempaskan keatas kursi begitu saja, memutar arah kursinya kebelakang disertai helaan napas panjang dari mulutnya. Mata besar itu pun menatap keluar jendela kaca besar, menikmati suasana ramai perkotaan dari posisinya.

Pagi ini sama seperti sebelumnya. Tak ada yang istimewa. Hari hari yang ia jalani terasa datar dan hambar. Mata besar itu menatap kosong, pikirannya melayang pada kejadian sepuluh tahun lalu. Karena kebodohannya ia kehilangan orang yang paling ia cintai.

Rasa penyesalan begitu dalam Fort rasakan. Andai saja dia tak hanya memikirkan bahagianya sendiri. Andai saja dia mau mendengarkan Boss dan Noeul. Andai saja ia tak terlalu egois untuk memegang kendali penuh terhadap pria itu. Andai saja.. andai saja.. Semuanya hanya bisa diawali dengan kata andai. Ia tak bisa memperbaiki apapun saat ini, ia hanya bisa berandai dan membayangkan kehidupan seperti apa yang ia jalankan jika tak melakukan kesalahan itu. Namun semuanya hanya bayangan dan ilusi, ia tak memiliki kuasa untuk kembali memutar waktu dan memperbaiki segala kesalahannya.

Benar semua itu salahnya. Memang tak ada niatan untuk seperti itu awalnya, namun bagaimanapun juga ini semua tetap salahnya.

Pertama kali saat Peat mengenalkan kekasihnya dibangku SMA, Fort sama sekali tidak memiliki pikiran untuk merebut apalagi menawari aktivitas ranjang pada gadis itu. Saat itu Fort hanya merasa kesal dan marah, Peat sudah memiliki kekasih dan kini ia harus membagi dua perhatiannya.

Namun beberapa hari kemudian kekasih Peat mendekatinya, merayunya bahkan meminta untuk melakukan seks. Jelas Fort menolak, tak ada hal yang dinamai merebut kekasih Peat didalam kamusnya. Ia tak akan berani seujung kuku pun untuk menyakiti prianya itu.

Tapi gadis itu tak kenal menyerah. Ia terus membombardir Fort. Menggunakan segala cara untuk menarik perhatiannya sampai akhirnya mereka membuat perjanjian.

'Putuslah dengan Peat dan kita akan bercinta malam ini'

Bak gayung bersambut, gadis itu memutuskan Peat pada saat umur hubungan mereka yang hanya seumur jagung, yakni kurang dari dua bulan.

Hal itu akhirnya tersebar luas secara diam diam. Bagai rahasia umum yang harus disimpan namun sudah diketahui banyak orang. Fort pun mulai terbiasa, ia seperti menemukan strategi terbaik agar dapat menyimpan Peat untuk dirinya. Namun yang tidak Fort tahu adalah hal yang ia lakukan ternyata memiliki dampak besar bagi kehidupan Peat. Ternyata hal itu membuat pria cantik itu takut dan berada dalam stres yang tinggi.

Akhirnya saat Peat menjalin hubungan dengan Davikah, awalnya Fort berniat ingin memberhentikan hal kotor yang ia lakukan. Ia mengetahui Peat dan Davikah menjalin komunikasi dan ia bertekad hanya akan mendukung Peat dan mencari cara lain untuk mendapatkan pria itu.

Namun hal yang berbeda terjadi. Melihat Peat yang mencoba menjodohkannya dengan Noeul membuatnya sangat marah. Ketika dia memikirkan cara untuk mendapatkan Peat, Peat malah mencoba membuat dirinya dan Noeul terlibat dalam suatu hubungan.

Hari itu juga Fort melampiaskan amarahnya dengan mengkonsumsi alkohol. Dan hari itu juga dengan nekat ia masuk kedalam kamar Peat dan membuatnya yang berada dalam keadaan setengah mabuk itu meluapkan semua perasaannya pada Peat. Tapi Peat tak meresponnya, Peat malah menghindar dan itu semakin membuat Fort frustasi.

Mau tidak mau Fort kembali menjalankan hal kotor itu kembali, merayu kekasih Peat dan membawanya ke ranjang. Tak sulit memang, karena tujuan tiap gadis yang mendekati Peat ialah melakukan seks dengan dirinya.

Tapi semua usahanya sia sia. Kini Peat pergi dan menghilang. Beberapa orang kepercayaannya bahkan sudah menyerah untuk menemukan pria itu sejak tiga tahun yang lalu. Tak ada lagi kabar, tak ada lagi berita. Hanya harapan yang tersisa.

-----

Seorang pria dengan rambut brunettenya masih terpaku pada layar komputer didepannya. Dengan kacamata yang tersampir dihidung bangirnya menambah kesan serius diwajah awet muda miliknya. Tak ada yang menyangka jika umurnya sudah menyentuh angka 3. Namun tetap saja sebagai seorang Kepala Bagian Research n Development (RnD) ia terkenal serius dalam pekerjaannya.

Kini tangannya beralih menggapai sebuah map berisikan dokumen mengenai data penelitian terhadap produk baru yang akan diluncurkan. Nanosuspensi atau lebih dikenal suspensi nano partikel dari sebuah antibiotik. Sebagai perusahaan termaju di Korea Selatan, tentunya harus diikuti dengan kemajuan teknologi dan produknya. Termasuk bagian RnD yang harus bertugas meneliti dan melakukan trial untuk menemukan formulasi yang tepat bagi perkembangan produk. Apalagi dizaman sekarang dengan teknologi yang sangat canggih selalu menemukan caranya sendiri dalam menciptakan hal baru.

Timnya sudah berkutat dengan produk nanosuspensi ini hampir satu bulan lamanya dan mulai menemukan titik terang. Membuat etos kerja yang mereka miliki semakin meningkat hingga menumpuknya banyak dokumen percobaan diatas meja. Kadang tim mereka akan pulang lebih larut sebagai akibat rasa penasaran dari kegagalan trial yang mereka lakukan.

Mata rusa itu melihat satu persatu tulisan yang tertera diatas kertas. Senyum puas tergambar ketika hasil kerja keras mereka selama satu bulan terbayarkan. Hari ini ia bisa mengajukan laporan pada tim produksi dan Quality Control untuk melakukan produksi skala pilot untuk produk baru tersebut.

"Permisi, Timjangnim" suara lembut dari arah pintu ruangan tim RnD membuat pria berambut brunette itu menoleh. Mengangkat sebelah alisnya seolah bertanya.

"Kepala Operasional memanggil anda."

Helaan napas pun terdengar. Peat tau pasti apa yang akan dibicarakan pria tua itu dan dia sudah menolaknya dua hari yang lalu. Dengan langkah berat ia pun beranjak meninggalkan meja kerjanya.

"Gomawo Jieun-a" Peat menepuk pundak sempit anggotanya itu sebelum menghilang dibalik pintu kaca ruangan timnya.

-----

Asap mengepul dari bibir tipis merah muda itu terbang menyatu dengan udara luar. Menyilangkan tangannya diatas pagar besi dan menatap kerumunan gedung yang berjejer padat. Kembali jarinya terangkat untuk memasukan batangan rokok yang sudah terbakar setengahnya. Menyesapnya lagi dan menghembuskannya perlahan.

Wajahnya tidak tampak baik baik saja. Dahinya mengernyit dengan mata yang tampak sendu. Pikirannya kembali melayang pada perkataan Kepala Operasional, ia mengatakan jika mau tidak mau Peat tetap harus mengambil proyek ini untuk kebaikan kedua perusahaan. Tapi mengingat ia harus kembali menjajaki kakinya di Thailand sama sekali tak membuatnya senang. Apalagi ia harus berurusan dengan perusahaan yang sangat ia kenali namanya.

Kejadian di masa lalu membuat dirinya terlalu takut untuk menginjakan kakinya kembali disana. Mengingat nasa lalunya yang begitu kelam dan pahit selalu berhasil membuat hatinya bergemuruh sakit. Pengkhianatan yang ia terima terlalu berat hingga ia pernah berpikir untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Beruntung orang tuanya sangat suportif, bahkan orang tuanya sama sekali tak memaksanya untuk bercerita mengenai masalah yang tengah ia hadapi.

Dan setelah berusaha sekuat tenaga menyelesaikan pendidikan sarjananya disebuah universitas di Chiang Mai. Peat memilih pergi dan terbang ke Korea Selatan untuk mengambil studi profesi Apotekernya hingga melanjutkan hidup dan karirnya disini.

Tak terpikirkan untuk kembali ke tanah kelahirannya. Meski orang tuanya masih berada di Chiang Mai, ia tak berniat untuk kembali. Bahkan menelpon orang tuanya saja jarang. Bersyukurnya orang tua Peat mengerti dan memilih mengunjungi anak mereka setiap tiga bulan sekali ke Korea Selatan.

Satu satunya cinta tulus yang ia terima hanya berasal dari orang tuanya. Ah tidak tidak! Menurut Peat itu adalah kasih sayang, sebagaimana Peat juga mengasihi dan menyayangi mereka setulus hati.

Cinta? Persetan dengan kata busuk itu! Itu semua hanya omong kosong belaka yang dapat diucapkan dengan mudah. Bahkan kau bisa mengatakan kalimat 'aku mencintaimu' tanpa berkedip. Cinta hanyalah kebohongan berlanjut yang dipercayai sebagai bentuk rasa peduli. Benar benar kata yang menjijikan.

Tapi mau bagaimana lagi. Ia hanyalah seorang karyawan swasta yang butuh hidup dan uang. Menjadi parasit dan bergantung pada kekayaan orang tua bukanlah gayanya. Ia akan mengambil proyek ini dan terbang ke Thailand. Bekerja sekeras mungkin dan kembali ke Korea Selatan dalam waktu cepat.

Jemari kurus itu pun menjatuhkan rokoknya yang hampir habis, kemudian menginjak puntung rokok itu dengan ujung sepatunya.

"Peat" suara bariton yang sangat dikenali Peat pun terdengar. Membuat kepalanya menoleh kesamping dan mendapati Hyunsik disana.

Hyunsik pun melangkah mendekati Peat dan segera meraih ujung dagu Peat. Menjangkau bibir kemerahan itu dan menyesapnya layaknya candu. Gerakan tiba tiba yang terjadi membuat tubuh Peat sedikit oleng kebelakang namun tetap menyeimbangkan permainan Hyunsik. Tangannya ia simpan dibahu lebar itu ketika tangan Hyunsik mulai melingkari pinggang rampingnya.

Bunyi kecipak khas ciuman pun menemani desiran udara. Seperti tak ada yang ingin mengalah, keduanya saling mendorong kepala masing masing untuk memperdalam ciuman.

Plop

"Aku merindukanmu Peat" ujar Hyunsik dengan napas tersengal dengan menatap bibir basah yang masih terhubung dengan bibirnya melalui benang saliva.

"Temui aku nanti sore ditempat biasa"

Cup

Dengan kecupan terakhir dibibir itu, Peat meninggalkan Hyunsik dengan mengedipkan satu matanya menggoda. Melangkahkan kaki jenjangnya menuju pintu rooftop dan menghilang bersamaan dengan pintu yang tertutup

TBC

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FORTPEAT - SURROGATE 2🔞

FORTPEAT - JINX - 16 🔞

FORTPEAT - RARE SPECIES - 5 🔞