FORTPEAT - JINX - 15

Ramainya jalanan di siang hari membuat beberapa jalan utama Bangkok sedikit mengalami kemacetan. Membuat salah satu pengemudi yang berada dibalik setir mobil berwarna biru berinisiatif menghidupkan musik untuk menghilangkan rasa bosan yang menghampirinya. Bibir tipisnya tampak ikut bersenandung mengiringi tiap lagu yang terputar.

Mata rusa itu sesekali melirik penumpang yang berada disampingnya. Dengkuran halus dengan selimut tipis yang menutupinya membuat si penumpang terlihat seperti seorang bayi diusianya yang sudah kepala dua.

Mereka akhirnya pulang ke Nonthaburi setelah tiga hari. Karena kegiatan yang mereka lakukan hari itu dan beberapa adegan manja Fort yang selalu ingin dipeluk oleh Peat membuat luka yang masih basah itu kembali terbuka, membuat Fort harus dirawat lebih lama satu hari karena lukanya yang kembali dijahit.

Setelah itu Peat selalu menolak permintaan Fort, baik itu kecupan atau pelukan. Peat sangat yakin jika ia berikan satu kali kesempatan, Fort akan memanfaatkannya dengan baik dan itu tentu akan berbahaya dan memperlambat kepulangan mereka. Alhasil Fort sering merajuk dan mendiaminya seperti sekarang.

Pagi ini Fort bersikeras agar dia yang membawa mobil agar Peat tidak lelah, tapi tentu saja ide itu ditolak Peat mentah mentah. Oh ayolah, siapa juga yang akan membiarkan seorang pasien mengendarai mobil tepat setelah ia dipulangkan? Apalagi berkendara dari Bangkok memakan waktu 2 jam lebih, dan hari ini pun macet, bisa jadi mereka akan berada diperjalanan 4 jam lamanya.

Jari jari kurus dan panjang itu pun berhenti dari ketukannya diatas setir mobil ketika melihat mobil didepannya sudah mulai bergerak. Peat kembali fokus pada jalanan yang mulai terlihat lebih lapang.

Tanpa disadari sebuah tangan perlahan bergerak mengitari pinggangnya. Mata besar itu tampak melirik si pengemudi, bibirnya terangkat untuk tersenyum disertai gigitan dibibir bawah tebalnya. Wajah liciknya mulai tampak ketika lingkaran tangannya ternyata tak direspon apapun oleh si pengemudi.

Perlahan jarinya mulai turun untuk dapat masuk melalui bawah t-shirt yang digunakan Peat. Jarinya pun kemudian naik hingga akhirnya ujung telunjuknya mulai merasakan sensasi dingin kulit pinggang Peat.

Plakk

"Kau mau aku turunkan?" Peat memukul tangan yang mulai menggerayangi pinggangnya kuat. Matanya mendelik tajam pada Fort yang malah terkekeh geli karena respon Peat. Seperti yang diharapkan dari seorang Wasuthorn, wajah marah yang sangat menggemaskan.

"Peat, aku bosan" keluh Fort manja, pantatnya mulai bergerak ketengah inci demi inci. Tubuhnya selalu memerintah untuk bersentuhan dengan Peat.

Tuk

Tubuh besar itu akhirnya membentur persneling dan rem tangan yang berada ditengah, membuat gerakannya terhenti dan tak bisa lagi menjadi lebih dekat pada Peat. Matanya menatap tajam kearah penghalang tersebut, bibirnya berkedut ingin menyumpahi ide orang yang menaruh persneling dan rem tangan ditengah tengah mobil.

"Dengarkan saja lagu yang kuputar. Playlistku menyenangkan asal kau tau" bibir tipis itu tersenyum bangga setelah memamerkan list lagu keren yang ia miliki.

"Aku sudah sering mendengar playlistmu. Berikan aku mainan lain"

"Kau mau apa?"

"Aku tak menolak jika kau memberikan bibirmu- Akk!!!" tarikan pada rambutnya sukses membuat Fort menjerit tepat setelah kalimatnya selesai. Dengan mata yang masih mengamati jalan, Peat dengan acak meraih rambut Fort untuk ditarik. Kepala mesum itu harus diberi pelajaran agar kembali normal.

"Jangan menyiksa pacarmu begitu Peat. Kau akan malu nanti jika berjalan dengan pacar botak" keluh Fort setelah rambutnya terlepas dari tangan Peat. Ia mulai menurunkan cermin diatas kepalanya dan membenahi rambutnya yang berantakan karena tarikan Peat.

"Kalau begitu kita harus putus sebelum kau botak. Aku akan mencari pacar lain setelah ini"

"Cih, jangan mimpi Peat. Tak akan mudah putus dariku. Aku akan mengikatmu erat ditanganku" Fort mencolek dagu Peat dengan telunjuknya dan diakhiri kikikan geli dari bibir Fort

"Percaya diri sekali. Kau mau mencoba sekarang?"

"Kau yakin? Jangan sampai menyesal"

"Ya, aku yakin. Jadi bagaimana? Kita putus?"

"Peat!" protes Fort, bibirnya mencebik maju dengan alis bertaut sedih. Membuat Peat yang melihatnya dari kaca tengah mengulum senyum. Bayi besar ini sungguh lucu jika digoda seperti ini.

"Jangan berbicara menakutkan seperti itu" sambung Fort sambil merebahkan kepalanya ke bahu Peat, tangannya memeluk lengan Peat dan menatap Peat dengan tatapan memelas. Ingin Peat agar luluh dengan tingkah gemasnya.

"Kkk.. Baiklah, pacarku ternyata menggemaskan juga"

"Kau menyukainya?" Peat bergumam, bertingkah layaknya orang yang berpikir keras saat mendengar pertanyaan Fort.

"Kau menyukainya kan? Iyakan?" Peat masih berdengung, melanjutkan sandiwaranya tanpa berniat menjawab pertanyaan Fort.

"Okey, baiklah. Tak masalah, kau boleh lolos kali ini Peat. Tapi untuk selanjutnya kau pasti akan mengatakan kau menyukaiku setiap saat" Fort melepaskan pelukannya dari lengan Peat dengan alis yang ia angkat beberapa kali. Menunjukkan ekspresi tak mau kalah pada Peat.

Peat mendengus lucu, bibirnya tertarik memberi senyum cemooh pada percaya diri Fort yang terlalu tinggi. Kini Peat kembali memfokuskan dirinya pada jalanan ketika merasa Fort sudah bermain dengan ponselnya.

Fort melirik Peat sesaat, menatap wajah kekasihnya yang kini serius melihat jalan. Tiba tiba sebuah ide licik terlintas dikepalanya ketika melihat pipi halus itu tidak dalam mode pertahanan.

Cup

"Fort!!"

-----

Sesaat setelah sampai didepan pekarangan rumah megah milik keluarga Sangngey, mobil berwarna biru itu mulai membuka kap bagasinya hingga menampakan beberapa tas dan keperluan lain yang diangkut dari rumah sakit.

Dengan cepat Peat melangkahkan kakinya menuju bagasi mobil dan mulai mengemasi barang barang Fort, diiringi oleh Fort yang mengangkat beberapa kantung plastik karena perintah dari Peat.

Dengan cekatan Fort yang sudah berada didepan pintu rumahnya segera membuka pintu dari kayu mahoni itu dengan lebar. Mempersilahkan sang kekasih agar masuk kedalam rumah megahnya.

Peat segera menanggalkan sepatu miliknya dan menggantinya dengan sandal rumah yang berbentuk puppy dan diselimuti bulu bulu halus berwarna coklat diluarnya. Sandal itu miliknya yang memang sengaja ditaruh dirumah Fort, ibu Fort sengaja membelikannya untuk Peat karena Peat sering berkunjung kerumah mereka.

"Hm, sepertinya aku harus membelikan sandal baru untukmu" ujar Fort saat melihat kaki Peat yang memakai sandal puppy tersebut.

"Memangnya kenapa? Ini masih sangat bagus Fort. Aku menyukainya"

"No no. Aku tak mau kau menggunakan barang pasangan dengan Prigkhing. Jadi aku akan membelikan yang baru untukmu, dan jelas itu akan pasangan denganku" Peat memutar bola mata malas, salahnya yang sudah serius menanggapi ocehan Fort.

"Anakku!" sorakan melengking dari arah dapur terdengar begitu Fort dan Peat melewati ruang makan yang bersebelahan dengan dapur.

Seorang wanita paruh baya dengan senyum sumringahnya tampak berjalan menuju dua pria yang kini berhenti untuk menunggui wanita tua itu. Fort dan Peat ikut tersenyum lebar melihat Nyonya besar rumah ini memyambut mereka dengan hangat.

Grep

"Sudah kuduga kau hanya akan menyambut Peat, bu. Bahkan ketika anaknya seorang pasien pun yang dipedulikan tetap saja Peat" sindir Fort dengan berpura pura menatap seisi rumah tanpa melihat kearah ibunya yang memeluk Peat erat.

Ibu Fort sama sekali tak menghiraukan sindiran anaknya. Setelah melepaskan pelukannya pada Peat, ibu Fort menatap Peat dengan tatapan sayang.

"Maafkan ibu Peat sudah merepotkanmu. Apa dia nakal selama dirawat? Kau bisa mengadukannya pada ibu sekarang" ibu Fort mengambil alih barang yang dijinjing oleh Peat dan menyerahkan barang itu pada maid yang kebetulan berada didekat mereka. Ibu Fort lalu membawa Peat menuju ruang tengah untuk duduk diatas sofa.

"Ti-"

"Aku tidak nakal Bu. Kekasihku sendiri yang merawatku, jadi sudah seharusnya aku bertingkah baik" sela Fort tanpa menunggu jawaban Peat. Ia mendudukan dirinya disebelah Peat dan melihat raut wajah Peat yang terlihat menggemaskan karena terkejut.

Bagaimana tidak? Fort dengan gamblangnya menyebut Peat sebagai kekasihnya didepan ibunya sendiri. Peat tahu ibu tak akan marah jika mengetahui anak laki lakinya menyukai seorang pria, tapi bukan seperti ini juga cara mengenalkan dirinya sebagai kekasih!

"Apa?! Kalian berpacaran?" ibu Fort menunjuk kedua pria itu bergantian dengan mata yang membesar.

Fort mengangguk semangat, memperlihatkan senyuman bangga pada ibunya. Berbeda dengan Peat yang tampak malu sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Peat, katakan pada ibu jika kau dipaksa sayang." ibu Fort mengambil kedua tangan Peat dan menatap Peat dengan tatapan khawatir. Membuat wajah gembira Fort tertekuk kesal melihat reaksi ibunya.

"Bu-"

"Kenapa ibu berkata seperti itu?! Aku ini sangat layak menjadi pacar Peat. Lihatlah wajahku bu! Siapa yang tak mau memiliki kekasih setampan ini?!" lagi, Fort menyela ucapan Peat. Membuat Peat menatap tajam pria tan itu karena tak mengijinkannya untuk menyelesaikan perkataannya.

"Huhu.. Anakku yang malang, kau malah mendapatkan kekasih seperti ini. Ibu kasihan padamu sayang" ibu Fort memeluk Peat dengan wajah yang ia buat menjadi sedih, menepuk punggung Peat lembut seolah memberikan dukungan lebih pada pria kecil itu.

Fort menatap datar ibunya yang mulai bersandiwara. Kadang Fort bertanya, sesungguhnya dia memang dilahirkan dari rahim wanita ini atau tidak? Kenapa Fort selalu merasa Peat lebih disayang daripada dirinya dirumah ini?

"Jangan terlalu lama Peat, aku cemburu" Fort mengetuk pundak Peat agar melepaskan pelukan ibunya.

Melihat sifat posesif putranya membuat ibunya semakin semangat mengerjainya. Ibu Fort memeluk Peat lebih erat, Fort yang melihat itu segera berdiri dan menelusupkan tangannya diantara dua tubuh itu hingga pelukan itu terlepas. Dia mulai mendudukan pantatnya diantara ibunya dan Peat. Memberi jarak agar ibunya tak lagi memeluk Peat seperti tadi.

"Bahkan dengan ibumu sendiri saja kau cemburu? Ckckck" decak ibu Fort melihat kelakuan anaknya.

"Yasudah bu, kalau begitu aku pamit. Aku harus menemui ibuku" Peat mengabaikan pertengkaran anak dan ibu itu dan memilih untuk pulang kerumahnya. Melihat Fort dan ibunya membuat Peat menjadi sangat rindu pada ibunya sendiri. Tak sabar rasanya ia pulang dan memeluk wanita cantik itu.

"Ya sayang, sampaikan salam ibu pada ibumu ya." Peat mengangguk, ia kemudian berdiri dari posisinya dan berjalan mendekati ibu Fort untuk ia peluk sekali lagi sebelum pamit.

Sesaat Peat sampai didepan rumah dan mengganti sandal miliknya dengan sepatu, sebuah tarikan dipinggangnya membuat Peat terpaksa berbalik dan menatap si pelaku.

"Kenapa hm?" Peat menumpukan tangannya dipundak Fort saat tangan itu sempurna melingkar dipinggangnya.

"Tak bisakah kau tinggal disini? Aku masih merindukanmu" Fort menyandarkan kepalanya pada pundak Peat dengan wajah yang mengarah pada ceruk leher Peat. Hidungnya mulai menikmati santapan kesukaannya yang menguar kuat dari ceruk itu.

"Fort, hampir seminggu aku tak pernah meninggalkanmu selain ke kamar mandi dan kau masih berkata rindu?" Fort bergumam dalam nada manja, hidungnya kini semakin mendekat pada daging berkulit putih itu dan mengusak ujung hidungnya disana.

Peat segera menjauhkan tubuhnya dari Fort saat rasa geli merasuki tubuhnya. Tangannya yang bertumpu pada pundak Fort ia dorong agar Fort tak lagi menciumi lehernya.

"Aku hanya pulang dan rumahku tepat disebrang rumahmu. Jadi jangan memasang wajah seperti akan kutinggal bertahun tahun"

"Ayolah, kau tinggal disini saja. Aku tak tau akan bernapas sampai kapan jika kau pergi dariku Peat" rengek Fort. Kembali ia menyurukkan wajahnya keleher Peat namun segera didorong oleh Peat.

"Jangan berlebihan. Kita masih bisa bertemu Fort. Aku bisa kesini atau kau bisa kerumahku"

"Eum, baiklah. Tunggu disini, aku akan mengambil barangku lagi dan pulang kerumahmu saja" Fort segera melepas pelukannya pada Peat dan berniat berjalan menuju kamarnya untuk kembali mengangkat barang yang belum ia bongkar. Tinggal bersama dirumah Peat juga tidak buruk.

Grep

"Jangan! Kau tak kasihan pada ayah ibumu? Mereka juga merindukanmu sama seperti ayah dan ibuku. Kau tau katanya jika pasangan terlalu sering bertemu, nanti bisa bosan. Aku tak jauh, hanya beberapa meter dari sini Fort" ucap Peat setelah menarik tangan Fort untuk kembali menatapnya. Sebaik mungkin ia mencoba menjelaskan pada Fort agar Fort mengerti. Peat sekarang merasa ia sedang berbicara dengan anak berumur lima tahun.

"Hah.. Aku tak akan bosan meskipun melihatmu seumur hidupku Peat. Tapi aku takut kau bosan- jadi pulanglah" lirih Fort, tubuh besarnya tertunduk lesu dengan aura suram disekelilingnya. Membuat Peat melipat bibirnya kedalam karena rasa bersalah, sepertinya ia salah bicara pada bayi besarnya ini.

"Hei. Baby-" tangan Peat terangkat menyentuh pipi Fort, mengusapnya pelan sampai sang empu mengangkat kepalanya dan menatap matanya. Peat kemudian tersenyum manis dengan tangannya yang terus mengusap pipi Fort.

"-aku akan kembali setelah mengabari ibuku. Aku hanya pulang sebentar untuk membersihkan badan dan berganti pakaian. Jika aku tak kembali dalam setengah jam, kau boleh menjemputku kerumah. Bagaimana?" Peat kembali melanjutkan kalimatnya dengan nada yang sangat lembut, membuat Fort mengangguk lucu dengan wajah yang memerah malu.

"Aku pulang ya"

"Cium"

"Fort.. " keluh Peat, matanya menatap kesekeliling mengisyaratkan jika mereka tidak hanya berdua disana. Ada supir dan tukang kebun milik keluarga Fort yang sedang bekerja.

"Cium.." rengek Fort, ia memajukan wajahnya hingga kini sangat dekat dengan wajah Peat.

Cup

"Aku pergi!" sorak Peat setengah berlari tepat setelah dirinya mengecup bibir Fort. Fort terkekeh geli melihat tingkah menggemaskan Peat, tampak dari samping telinga itu memerah menahan malu.

"Sampai jumpa baby!"

-----

Didepan layar televisi datar yang dihiasi acara ragam yang mengundang tawa, sepasang ibu dan anak tampak bergelung saling melepas rindu. Pria dengan kulit putih bersih itu tampak berbaring dipangkuan sang ibu dan memeluk perut ibunya erat. Kepalanya bergerak kedalam untuk mencari posisi terbaik.

"Aku rindu ibu"

"Ibu juga sayang" usapan dikepala Peat terasa begitu nyaman. Membuat sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman.

Sepulang dari rumah Fort, Peat bergegas menuju rumah dan menemui ibunya. Rasa lelahnya terasa terobati melihat paras ayu sang ibu yang menyambutnya dengan duduk diruang tengah. Melupakan niat awalnya untuk membersihkan diri, Peat segera mendekati sang ibu dan langsung bermanja. Meskipun hatinya sudah terasa penuh dengan sikap Fort tapi tetap saja selalu ada ruang untuk bermanja dengan ayah dan ibunya.

Peat sangat menyukai aroma sang ibu. Begitu lembut dan menenangkan. Membuat Peat selalu betah bermanja pada wanita paruh baya ini.

"Ibu memasak banyak makanan karena kau bilang akan pulang hari ini"

"Benarkah? Es krim?" Peat menarik wajahnya sedikit menjauh untuk menatap sang ibu. Matanya berbinar mendengar kata yang terlontar dari bibir ibunya.

"Juga ada, kkk. Kita makan sekarang?" kekeh sang ibu ketika melihat wajah Peat yang berseri. Anaknya sangat suka makan, tapi anehnya ia tak gemuk, entah kemana kumpulan lemak itu disimpan ditubuhnya.

"Kita tunggu ayah saja. Aku ingin makan bersama"

"Yasudah, kau sebaiknya mandi dan berganti pakaian dulu. Ayah akan sampai sebentar lagi."

Peat mengangguk semangat, ia mulai melepaskan pelukan pada tubuh ibunya dan berlalu menuju kamarnya.

-----

Tok

Tok

Ketukan pada pintu rumah terdengar hingga ruang tengah. Ibu Peat menolehkan kepalanya kearah pintu rumah dan berjalan mendekati pintu tersebut. Tangannya mulai bergerak memutar kunci dan menarik knop pintu kayu tersebut.

"Sore bu"

Grep

Sebuah pelukan bersarang begitu saja ditubuh ibu Peat ketika pintu kayu itu terbuka. Tubuh yang jauh lebih besar itu menunduk untuk memeluk tubuh wanita paruh baya didepannya.

"Sore sayang. Bagaimana kondisimu? Sudah lebih baik?" tanya ibu Peat sambil menepuk bahu itu beberapa kali, kemudian ia melepaskan pelukan Fort dan membawanya masuk kedalam rumah.

"Sangat baik. Terimakasih sudah meminjamkan putramu bu"

Cup

Fort mengecup pipi ibu Peat kilat dan kemudian melemparkan senyuman khasnya pada wanita itu. Ibu Peat ikut tersenyum, kepalanya mengangguk sambil mengusap punggung lebar itu.

"Aku yakin tujuanmu kesini bukan untuk berterimakasih saja. Peat ada di kamarnya jika kau penasaran" ibu Peat mengedipkan sebelah matanya pada Fort dan kemudian tertawa melihat Fort yang langsung bergegas menuju lantai dua setelah sebelumnya memeluk tubuh ibu Peat sesaat.

Tok

Tok

Cklek

Pintu tinggi itu pun terbuka ketika knop pintu diputar searah jarum jam. Fort terkekeh ketika mendapati pintu yang tak terkunci, seakan sebagai tanda untuk dirinya bisa bebas keluar masuk kamar itu kapan pun juga.

Fort kembali menutup pintu itu dan mulai mencari kekasihnya. Mengedarkan matanya keseluruh penjuru kamar dan tak menemukan apapun selain baju bersih yang terlipat diatas kasur.

Fort melangkah menuju kasur tersebutan mendudukan tubuhnya disebelah baju yang terlipat. Matanya menatap pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat. Akal liciknya timbul sesaat pintu tersebut mulai terbuka dan menampilkan Peat dengan bathrobe putihnya.

"Hai baby"

"Aaa!!" teriak Peat saat menangkap suara rendah ditelinganya, gerakan mengusap rambutnya dengan handuk kecil terhenti, tubuhnya reflek mundur dan memegangi dadanya karena terkejut.

"Tsk! Ai Fort!!" Peat melempar handuk kecil ditangannya kearah Fort. Menampakan raut wajah kesalnya pada Fort. Bibirnya mencebik lucu, pipinya menggembung lucu.

"Kkk... Kesini, aku keringkan rambutmu" Fort menggerakan telunjuknya didepan dada, memerintahkan Peat untuk mendekat padanya.

Dengan kaki yang menghentak, Peat berjalan mendekati Fort dan duduk diatas lantai dengan membelakangi pria itu. Tangannya terlipat didada seolah manandakan jika ia masih kesal pada pria besar itu.

Fort mulai mengeringkan rambut Peat dengan handuk ditangannya. Kepalanya tertunduk hingga kini hidungnya mencapai puncak kepala Peat, kembali hidungnya bersentuhan dengam aroma berry yang begitu ia sukai.

"Rambutku sepertinya akan kering dalam dua jam jika seperti ini kelakuan pegawai salonnya." sindir Peat dengan melirik Fort yang masih mengecupi puncak kepalanya.

"Ugh! Aku sangat menyukai baumu Peat" ujar Fort sambil terus menyesap aroma dari rambut Peat. Kini hidungnya mulai turun dan menciumi tengkuk Peat.

Srett

"Biar aku mengeringkan rambutku sendiri" tangan Peat dengan cepat menarik handuk yang berada ditangan Fort, tangannya kembali bergerak mengeringkan rambutnya dengan handuk.

Peat segera berdiri dari posisinya dan duduk ditepi ranjang saat Fort mulai merebahkan tubuhnya diatas kasur. Kepalanya ia tumpukan dengan satu tangan dengan tubuh miring menghadap Peat. Matanya melirik kulit paha putih bersih yang terlihat malu malu bersembunyi dibalik bathrobe. Tanpa sadar tangannya yang bebas diam diam menjalar untuk merasakan halusnya paha yang terekspos itu.

Plakkk

Peat mendelik tajam setelah memukul tangan yang hampir menyentuh pahanya. Matanya menipis dan menatap tajam kearah Fort yang kini tersenyum polos.

"Baby" panggil Fort, namun diacuhkan oleh Peat.

"Sayang" lagi, Fort mencoba berkomunikasi namun tetap saja diabaikan oleh Peat.

"Peat"

"Hm" Peat bergumam menanggapi panggilan Fort, membuat Fort menggelengkan kepalanya karena kelakuan sassy Peat.

"Aku belum sempat menanyaimu. Selama bersama dengan Joss, apa saja yang kalian lakukan?" kini nada Fort berubah menjadi lebih serius, membuat Peat reflek memberhentikan gerakan mengusap kepalanya dan menatap kearah Fort.

"Hmm.. Tak ada yang spesial, aku tidur mandi dan makan. Kemudian kami sedikit berbicara dan selain itu hanya aku yang mencari cara untuk kabur"

"Lalu.. Kenapa kau memeluknya malam itu? " selidik Fort, kini tubuhnya sudah duduk dan menghadap Peat dengan sempurna. Matanya terlihat menatap Peat was was, seperti siap dan tidak untuk mendengar jawaban Peat.

Peat meraih tangan Fort dan menggenggamnya. Menangkupkan kedua tangan itu dan membawanya keatas paha miliknya. Senyum manis ia suguhkan untuk meredakan rasa gundah yang kini tampak jelas dari wajah Fort.

"Sebelum itu aku ingin mengatakan jika aku sama sekali tak memiliki hubungan apapun dan perasaan apapun pada Joss. Aku ingin kau yakin dengan perasaanku Fort" sebuah anggukan Peat dapati dari Fort, gurat gundah diwajah itu tampak berkurang dan membuat senyum Peat semakin mengembang.

"Akan ku ceritakan dari awal. Ini bermula saat kita masih dibangku SMA. Kau mau mendengarkanku?"

"Ceritakan"

-----

Hampir setengah jam Peat menceritakan kisahnya. Kini posisi mereka tak lagi duduk berhadapan, namun berbaring bersebelahan dengan tangan yang masih bertaut ditengah mereka. Fort masih patuh, matanya menatap mata rusa itu tanpa niat untuk menginterupsi jalan cerita.

"Aku kasihan pada Joss. Tapi aku juga tak bisa memintamu untuk mencabut laporan tentang Joss. Kau terluka karenanya dan aku juga marah. Tapi aku tak tega jika dia sampai tertangkap" ujat Peat pelan, matanya tertunduk dan memilih menatap kancing kemeja Fort yang sesungguhnya tidak menarik sama sekali.

Fort menarik Peat kedalam pelukannya. Menaruh dagunya diatas puncak kepala itu dan mengusap surai halus Peat. Ekspresi wajahnya tak terbaca, wajahnya datar tapi terlihat marah.

"Jadi kau berpikir memiliki jinx karena Mook?" Peat mengangguk, membenarkan perkataan Fort.

"Jika kukatakan jika jinx itu tidak ada, apa kau mau percaya?"

Peat menarik kepalanya dan menatap wajah Fort bingung. Sama sekali tak mengerti maksud dari ucapan Fort.

"Dengar Peat. Aku berjanji tak akan meninggalkanmu, baik itu bulan, tahun, bahkan seumur hidup aku akan bersamamu. Jinx itu tidak ada. Kau bisa mempercayaiku" Fort memegang dagu lancip Peat dengan telunjuk dan ibu jarinya. Menatap netra kecokelatan itu lekat, seakan menyatakan jika ia sungguh sungguh dengan ucapannya.

Cup

"Aku percaya" Peat tersenyum setelah ia mengecup singkat bibir Fort, ia kembali mengusakkan kepalanya diatas dada Fort sambil memejamkan mata.

"Ah, benar! Ada suatu hal yang aneh, saat itu Joss membelikan keperluanku dan semuanya beraroma berry. Tapi kupikir itu hanya kebetulan" ucap Peat saat teringat suatu keanehan yang terjadi.

"Itu bukan kebetulan Peat"

"Maksudmu?"

"Bunga yang dikirim oleh Joss itu bukan hanya sekedar bunga. Didalamnya ada alat penyadap suara." ujar Fort sambil memainkan kerah bathrobe Peat dengan jarinya.

Tanpa sadar tubuh Peat bergidik ngeri, seluruh bulu halusnya berdiri ketika mendengar ucapan Fort.

"Kau takut?" tanya Fort ketika jarinya tak sengaja menyentuh tengkuk Peat, sensor jarinya merasakan bulu halus yang meremang dibawahnya.

"Hm, itu sedikit menakutkan. Tapi ternyata ada yang lebih menakutkan lagi"

"Apa?"

Plakk

"Sampai mana tanganmu akan turun hm?" Peat memukul tangan Fort yang sudah menelusup masuk kedalam bathrobe dari pinggangnya, hampir saja tangan itu menggenggam bongkahan pantatnya jika saja Peat tak segera memukul tangan nakal itu.

Peat segera beranjak dari posisinya dan bergegas mengambil pakaian bersih yang masih terlipat diatas ranjang.

"Turunlah kebawah, ayah sepertinya sudah pulang. Kita makan bersama dibawah" ujar Peat sambil berlalu menuju kamar mandi. Meninggalkan Fort seorang diri yang tampak menatap tangannya berbinar.

"Aku tak akan mencuci tanganku seminggu kedepan"

TBC

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FORTPEAT - SURROGATE 2🔞

FORTPEAT - JINX - 16 🔞

FORTPEAT - RARE SPECIES - 5 🔞