FORTPEAT - JINX - 14
Lampu penanda operasi yang terletak diatas pintu tampak memijarkan warna kemerahan. Seiring dengan sunyinya lorong rumah sakit yang menuju ruang operasi, menandakan betapa larutnya malam ini.
Disebuah kursi panjang yang terletak tepat didepan ruang kamar operasi dan melekat disisi dinding, tampak diisi oleh seorang pria dengan kulit pucat dengan pakaian yang telah di penuhi darah. Sama sekali tak mempedulikan penampilannya yang terlihat sangat kacau, pria mungil itu tampak termangu dengan kepala yang hanya memikirkan nasib pria yang sedang ditangani didalam ruangan. Wajah lelah dan cemas miliknya tampak berbaur, membuat orang yang melihatnya mampu luluh karena iba.
Tangan kurusnya mulai memegangi sisi lehernya dengan mata terpejam. Bibirnya terus berucap merapalkan setiap doa untuk keselamatan pria yang sedang berjuang didalam sana.
Drap
Drap
Drap
"Peat" sebuah suara lembut menyapa pendengaran Peat. Membuat pria kecil itu segera menoleh dan mendapati tiga orang yang sedang berjalan tergopoh gopoh kearahnya.
"Ibu" suara lelahnya keluar ketika melihat sosok wanita yang melahirkannya. Rasa sesak yang ia tahan agar terlihat kuat kini tak mampu lagi ia pertahankan. Matanya yang menatap lekat ibunya mulai berair dengan bibir yang melengkung sedih.
Grep
"Tak apa sayang, tak apa. Ada ibu disini" ibu Peat dengan cepat menarik putranya kedalam pelukan. Mengusap punggung yang sudah bergetar itu dengan lembut. Isakan tangis seketika pecah diantara pelukan hangat yang disalurkan oleh ibu Peat. Raungan ketakutan yang sedari ia pendam kini ia tumpahkan sejadi jadinya diperut ibunya. Tangannya bergetar ketika mencoba mencengkeram ujung kardigan yang dikenakan ibunya.
"Ibu.. Hiks, ibu.. Fort bu.. Fort- kumohon tolong selamatkan dia bu.. Tolong aku.. Ibu.. Hiks.." Peat menjerit sedih, bibirnya terus memohon pertolongan pada ibunya. Ia tak ingin kehilangan siapapun, ia tak ingin kehilangan Fort. Peat tak mau.
"Tak apa sayang. Fort akan baik baik saja" suara lain yang tak kalah halus pun terdengar, tangan yang sudah mulai keriput itu tampak mengelus surai halus milik Peat.
Hatinya terluka melihat pria kecil dihadapannya menangis sekian rupa untuk anaknya. Tak disangkal jika hatinya turut gundah karena nyawa anaknya kini dipertaruhkan diatas ranjang operasi. Tapi melihat pria kecil rapuh yang juga ia sayangi menangis seperti ini juga membuat hatinya ikut sakit. Besar rasa cinta dan sayang yang ia miliki hampir sama besar untuk kedua pria ini, ia sangat tak tega mendengar jeritan tangis Peat yang terus menyebutkan nama anaknya.
Peat segera melepaskan pelukan ibunya dan menatap kearah sumber suara. Wajah yang sudah dipenuhi air mata itu kini menghadap sosok tua lainnya yang datang bersama ibunya.
Grep
"Maafkan Peat, bu.. Hiks.. Aku tak bisa menjaga Fort. Maafkan aku" tangan Peat segera meraih kaki ibu Fort dan memeluknya, rasa bersalah yang besar menelusup kedalam hatinya melihat wajah ayu ibu Fort, membuatnya jatuh bersimpuh didepan kaki ibu Fort. Ia merasa harus meminta pengampunan dari wanita paruh baya yang sudah menganggapnya seperti anak sendiri ini.
Air mata ikut menggenang dipelupuk mata ibu Fort. Ia turunkan tubuhnya untuk melepas pelukan Peat pada kakinya. Mengangkat wajah cantik itu dengan kedua telapak tangannya dan menatap kedua mata rusa yang sembab karena menangis.
"Ssttt... Sssttt.. Ssstt.. Ini bukan salahmu sayang, jangan berkata seperti itu. Ibu tak ingin Peat menyalahkan diri sendiri. Fort akan baik baik saja, percayalah" ibu Fort mengusap air mata yang masih mengalir dipipi Peat dengan tangannya. Menyisir rambut Peat kebelakang dan mengecup dahi itu singkat. Tangannya berpindah untuk merengkuh Peat dalam pelukan, diikuti oleh ibu Peat dan adik Fort yang ternyata juga datang malam itu.
Empat orang itu saling menguatkan. Mengusap punggung masing masing untuk saling memberikan dukungan disertai hati yang terus berdoa demi keselamatan orang yang tengah ditangani didalam ruangan operasi.
-----
Jari kakinya tertekuk ketika sensor tubuhnya menangkap sinyal dingin dari hembusan AC. Tubuh yang hanya terselimuti sebatas mata kaki itu tampak semakin meringkuk diatas sofa ruang rawat inap. Membuat ujung kakinya yang awalnya tak tertutupi ia coba bawa masuk kebawah selimut tipis yang ia gunakan.
Merasa tidurnya sudah terganggu karena udara dingin, Peat memilih untuk bangun. Ia mendudukan tubuh ringannya diatas sofa dan kemudian meregangkan tubuhnya untuk melemaskan ototnya. Tangannya dengan lihai mengambil selimut tipis yang tak sengaja ia temukan dilemari ruang rawat inap untuk dilipat.
Mata rusanya kemudian menatap jam dinding yang terpasang diatas jendela besar disamping ranjang Fort tertidur. Pukul empat pagi dan dia sudah dipaksa untuk bangun.
Tubuh kecil itu pun bergerak, membawanya mendekat kearah Fort yang masih tertidur. Sudah dua hari Fort tidur dan belum juga sadarkan diri. Beruntungnya tusukan hari itu tak sampai mengenai organ vital Fort sehingga tak ada cidera serius. Namun Fort mengalami hipovolemia karena banyaknya darah yang hilang karena luka tusukan dan robekan yang panjang diperutnya.
Peat menatap mata terpejam itu lekat. Tangannya terangkat mengurai helai rambut Fort. Senyum tipis tersungging dibibir Peat. Tangan bebas lainnya kini menopang pipinya ditepi ranjang.
"Fort. Cepatlah bangun, aku menunggumu. Aku ingin mengungkapkan suatu hal padamu dan kujamin kau akan menyukainya. Jadi- cepatlah bangun dan temui aku" Peat berucap dengan senyum lebar diwajahnya. Ia sangat yakin Fort akan bangun dalam waktu dekat. Bukan karena ucapan dokter, hanya perasaannya saja yang percaya diri.
Dokter memang mengatakan tak ada kendala besar selain hipovolemik yang memang harus segera ditangani karena dapat membahayakan nyawa. Namun siang tadi dokter mengatakan jika Fort berhasil melalui masa kritis setelah transfusi darah yang dilakukan. Sekarang hanya menunggu Fort untuk bangun dan hanya saja dokter belum dapat memastikan kapan.
Tangan yang semula berada dirambut Fort kini beralih mengambil tangan Fort yang tak memilili jarum. Peat mengusap punggung tangan besar itu lembut dan mengangkatnya.
Cup
Kecupan lama Peat layangkan pada telapak tangan besar itu, lalu ia bawa pipinya untuk bersentuhan dengan telapak tangan itu. Merasakan tiap inci dari tekstur tangan yang biasanya merangkul tubuhnya hingga menggenggam tangannya.
Seharusnya ia menyadari perasaannya lebih awal. Seharusnya ia tak berusaha menolak perasaan nyaman yang diberikan oleh Fort untuknya. Seharusnya Peat tak menggunakan alasan orientasi seksualnya untuk menyangkal perasaannya. Lihatlah sekarang bagaimana dirinya begitu merindukan sentuhan Fort, bagaimana dirinya begitu menginginkan tubuh besar itu merengkuh tubuhnya kedalam pelukan hangat.
Peat baru menyadari jika ia mencintai pria didepannya ini. Lebih dari 24 jam ia bersama dengan Joss, membuatnya tau jika hanya Fort yang bisa masuk kedalam hatinya. Setiap perlakuan yang diberikan oleh Joss padanya selalu mengingatkan Peat dengan Fort. Otaknya selalu membandingkan perbuatan kedua pria itu dan hatinya selalu memenangkan Fort disegala situasi.
Peat baru tahu jika ia hanya membutuhkan lampu hijau Noeul untuk mencintai Fort. Peat begitu menyayangi Noeul, karena Noeul adalah satu satunya orang yang mampu menembus dinding berlapis Peat untuk menjalin pertemanan. Peat sudah berada ditahap dimana ia mampu merelakan cintanya untuk Noeul, meskipun hal itu akan sangat menyiksa dirinya ia tak peduli. Asalkan Noeul bahagia ia akan merelakan apapun.
Dan setelah hari dimana Noeul mengatakan ia menyukai orang lain, Peat pikir hatinya saat itu merasa lega karena Noeul tak salah paham dengannya, namun nyatanya hatinya lega karena akhirnya ia dapat mencintai Fort dengan terbuka. Bahkan setelah saat itu Peat merasa dirinya tak lagi membangun dinding pertahanan tebal dengan Fort, dinding itu sudah goyah dan runtuh hingga mereka dapat saling menjangkau satu sama lain, Peat sudah merelakan dirinya untuk mulai bergantung dan bersandar pada Fort.
Peat merasakan kantuk kembali menyerangnya, mulutnya terbuka lebar sebagai reflek dari kantuk. Ia mulai merebahkan kepalanya disisi ranjang, memposisikan kepalanya untuk menghadap tangan yang masih bertaut. Kali ini ia sangat ingin tidur bersama Fort.
Sesungguhnya ia sangat ingin berada diatas kasur yang sama dan memeluk tubuh besar itu. Tapi situasi tak memungkinkan, apalagi perut Fort yang terlihat masih basah akan luka. Peat takut akan mengenai bagian itu dan memperparah keadaan Fort.
Merebahkan kepalanya disamping Fort saja sudah cukup membuat hatinya senang. Merasakan bagian dari dirinya bersentuhan dengan tubuh lain sudah cukup membuat jiwanya tenang.
Perlahan mata rusa itu kembali tertutup, tanpa menyadari gerakan acak dari kelopak mata si penidur diatas ranjang.
-----
Menggantungnya matahari diatas langit dalam sudut 30 derajat tak kunjung membangunkan pria kecil yang ditutupi selimut tipis khas rumah sakit. Tangannya yang kedinginan ia tarik masuk kedalam selimut hingga menutupi tubuhnya sebatas leher. Kepalanya terus mengusak dada tubuh lain layaknya anak kucing yang mencari kehangatan dari tubuh induknya, menghiraukan sentuhan demi sentuhan yang terus diberikan tangan besar disurai hingga pipi halusnya.
Saat pertama kali kesadaran kembali ketubuhnya, Fort menemukan Peat dengan napas teratur menggenggam tangannya. Kepalanya masih terasa berat hingga ia hanya mampu pasrah dalam 30 menit pertama. Kemudian ia berinisiatif untuk membawa Peat keatas ranjang bersama dirinya. Menidurkan prianya dengan hati hati agar tak membangunkannya. Fort kemudian memilih berbaring miring menghindari posisi lukanya dan dengan tujuan agar dapat melihat Peat sebanyak yang ia suka. Tangannya ia telusupkan dibawah leher Peat, membawa kepala itu menghadap kedadanya untuk saling berbagi kehangatan.
Sudah hampir 4 jam mereka seperti ini, dan belum juga rasa bosan menghampiri Fort untuk tak melihat wajah cantik prianya. Sudah lebih dari separuh hidupnya ia melihat wajah ini, tapi hingga detik ini pun ia masih merasakan kuatnya magnet wajah itu dengan matanya, sepertinya tak lepas dan tak akan pernah.
Cklek
Pintu ruang rawat inap itu terbuka, menampilkan sepasang wanita tua dengan seorang anak perempuan dibaliknya. Hampir saja mereka memekik melihat anak yang terbaring dua hari tak sadarkan diri, kini telah bangun dan mampu tersenyum kearah mereka jika saja Fort tak segera memberikan kode dengan menaruh telunjuknya didepan bibir untuk tak bersuara, dipastikan satu lantai ruang rawat VIP itu akan berisik dengan pekikan tiga wanita disana.
Ibu Peat berjalan setengah berlari menuju Fort. Mengambil wajah Fort dan menatapnya haru. Fort melemparkan senyum lebarnya dan mengangguk, seolah mengatakan jika ini memang dia dan dia sudah sadar. Ibu Peat segera memeluk pria besar itu, hatinya membuncah kesenangan melihat Fort akhirnya sadar dan senyum yang selalu ia senangi itu dapat terlihat lagi.
Plakk
Berbeda dengan ibu Fort, tangan keriputnya segera menepuk lengan anaknya. Memberikan tatapan marah namum terlihat hangat dan dipenuhi rasa syukur.
"Kau apakan anakku huh? Berani beraninya kau membawanya tidur keatas ranjang. Lepas!" ibu Fort dengan suara yang dibuat seolah marah terlihat mengibaskan tangannya cepat agar Fort melepaskan pelukannya pada Peat, menghiraukan suara mengaduh Fort karena pukulan dilengannya.
Tidur nyenyak Peat mulai terganggu. Perlahan sebelah matanya terbuka dan mendapati kerumunan manusia disekelilingnya. Setelah matanya terbuka sempurna, wajahnya kemudian terlihat bingung. Matanya mencoba mencari seseorang yang dapat menjelaskan situasi yang terjadi.
Peat kemudian mendapati Prigkhing yang menatap jengah manusia manusia didepannya. Tak sengaja mata mereka bertemu, Peat menatap Prigkhing dengan tatapan bingung seolah bertanya apa yang terjadi. Prigkhing memajukan bibirnya kearah orang disebelah Peat, menunjuk bintang utama keributan pagi ini. Peat masih dengan raut bingungnya segera menoleh kesamping.
Degg
Jantungnya berhenti berdetak. Tubuhnya kaku dan rasanya ia berhenti bernapas untuk sesaat. Dengan mata kepalanya sendiri Peat melihat Fort tengah berargumen dengan ibunya sendiri. Matanya tak lepas dari wajah Fort yang mulai berubah dari berkerut menjadi tertawa. Tak lama Fort memutar kepalanya kearah Peat saat merasakan sepasang mata menatapnya begitu lekat.
"Pagi Peat" dengan senyum hangat dan suara beratnya, Fort menyapa pria kecil yang masih setia berada diatas lengannya.
"Fort" perlahan senyum mulai terbentuk dibibir Peat, setetes air mata turun dari ekor matanya, hidungnya tampak memerah cantik.
Grep
"Syukurlah" Peat segera melingkari tangannya pada tubuh Fort, menenggelamkan wajahnya didada bidang itu dengan kilat. Peat sangat bahagia. Setelah dua hari ia habiskan untuk menunggu Fort, akhirnya pagi ini Tuhan memberi hadiah yang layak untuk penantiannya.
Peat menjauhkan kepalanya dengan tangan yang tetap melingkari tubuh Fort. Bibirnya tak lagi kuasa untuk tak tersenyum lebar. Peat rasa ini adalah senyum terlebar yang ia miliki dan ia keluarkan sepanjang 20 tahun hidupnya.
Hati Fort mencelos. Rasanya hatinya jatuh ketempat paling dasar saat melihat senyum lebar dari Peat. Ia merasa terhisap kedalam sebuah portal yang dilabeli nama Peat, bahkan rasanya ia mampu untuk mencium ujung kaki Peat untuk mendapatkan senyuman seperti ini. Fort benar benar sangat jatuh cinta pada manusia dihadapannya ini. Pelukan longgar yang diberikan Peat dipererat oleh Fort, rasanya ia sangat ingin tubuh itu terikat kuat padanya dan tak ingin ia lepas.
Plakk
"Kau mau tak sadarkan diri lagi atau bagaimana?" kembali, pukulan ibu Fort dilengan Fort terasa sangat pedas. Membuat Fort lagi lagi mengaduh kesakitan karena pukulan sang ibu.
Peat segera melepaskan pelukannya dengan mendorong bahu Fort. Peat mendudukan tubuhnya cepat. Dengan wajah panik, Peat segera menyibak baju rumah sakit Fort dan melihat perban diperut Fort yang memerah.
"Astaga! Bagaimana ini? Maafkan aku Fort" wajah panik Peat terlihat seperti akan menangis, mata berairnya menatap Fort dengan tatapan menyesal.
"Aku baik. Jangan terlalu khawatir. Ayo peluk la- Ibu!!!" seru Fort tak terima ketika melihat ibu Peat yang menarik anaknya untuk turun dari ranjang, membawa Peat kepelukannya tepat setelah Peat berada disampingnya.
"Apa? Aku ingin memeluk anakku" balas ibu Peat dengan memperlihatkan wajah mengejeknya.
"Kembalikan Peatku, bu. Dia milikku!" Fort mencoba menggapai tangan Peat namun segera dijauhkan oleh ibu Peat. Dahinya berkerut tak suka melihat Peat yang semakin jauh darinya.
"Aku yang melahirkannya. Kenapa dia menjadi milikmu?" ibu Peat tak mau kalah. Menggoda Fort sangat menyenangkan rupanya.
"Ayo sarapan. Tak usah hiraukan pria ini. Anak ibu menjadi semakin kurus karena harus mengurusi pria sakit sakitan ini" ujar ibu Fort sambil membawa Peat beserta ibu Peat dan Prigkhing ke sofa. Makanan yang sedari tadi ia bawa dengan kantong plastik besar ditangannya mulai ia keluarkan satu persatu ke atas meja.
Fort menatap sekumpulan manusia itu tak percaya. Sebenarnya dia pasien atau bukan disini? Kenapa ia malah merasa dikucilkan? Dan kenapa semua orang sangat bernafsu dengan Peatnya?
Arggh! Dasar pengganggu!!!
-----
"Prigkhing, jaga ibu dan hati hati dijalan. Aku dan Fort akan segera pulang secepat mungkin" Peat menepuk pelan kepala Prigkhing sebelum memberikan pelukan pada adik kecil kesayangannya itu.
Kali ini ibu Fort dan ibu Peat beserta Prigkhing akan kembali ke Nonthaburi. Setelah mendengar penjelasan dokter yang mengatakan Fort akan dapat dipulangkan dalam dua hari, Peat menyarankan agar mereka pulang ke Nonthaburi karena ayah mereka yang juga tengah sibuk dan butuh bantuan.
Awalnya ibu Fort tak terima dan menyarankan agar Prigkhing menemani Fort disini. Selain karena Prigkhing adalah adik Fort, ibu Fort juga tak mau membebani Peat untuk mengurus anaknya. Ibu Peat pasti juga merindukan anaknya dan ibu Fort paham akan itu, karena dia juga merasakan hal yang sama pada Fort. Tapi ia harus segera pulang karena suaminya yang juga butuh bantuannya dirumah.
Namun Peat menolak, Peat ingin memastikan Fort sehat seratus persen dengan mata kepalanya sendiri. Begitu juga Fort yang memohon pada ibu Peat untuk meminjamkan anaknya.
Akhirnya mereka sepakat dengan Peat tetap berada di Bangkok untuk menemani Fort dengan syarat mereka harus segera pulang setelah dua hari.
"Jangan terlalu lama. Aku cemburu" sorak Fort melihat Peat dan Prigkhing yang masih saling berpelukan.
Fort mengibaskan tangannya dengan wajah kesal yang ia perlihatkan pada Prigkhing yang menghadapnya. Menyuruh agar adiknya itu segera pulang dan menyingkir dari Peat.
"Phi Peat, jaga dirimu, hati hati dengan binatang buas. Aku pulang"
Cup
"Prigkhing!!!"
Teriakan menggelegar milik Fort terdengar hingga memenuhi lorong saat melihat Prigkhing mengecup pipi Peat sebelum berlari mengejar sepasang ibu ibu yang sudah lebih dulu pergi. Wajahnya semakin terlihat kesal dengan tangan terkepal marah. Berani beraninya gadis kecil itu mencium prianya!
"Bahkan dengan adikmu saja kau cemburu. Asal kau tau saja, Prigkhing sering menciumku seperti itu dan aku juga sering menciumnya" ujar Peat setelah menutup pintu dan berjalan menuju ranjang Fort.
"Apa? T-Tunggu! Sering kau bilang? Kau.. Tidak menyukainya- kan?" Fort bertanya dengan wajah penuh selidik. Apa kini ia harus bersaing dengan adik sendiri?
Peat menganggukan kepalanya cepat dengan senyum lebar diwajahnya, membuat Fort terkejut dengan mulut yang terbuka lebar. Tak percaya jika Peat menyukai Prigkhing.
"Kau serius?" Fort segera mengambil kedua tangan Peat dan menggenggamnya erat. Matanya melihat netra coklat itu dalam, mencoba mencari kebenaran dari sana.
"Apa menurutmu aku harus membenci Prigkhing?" sebelah alis Peat terangkat, kembali bertanya pada pria pencemburu didepannya.
"Ck! Kau tau maksudku bukan itu Peat! Ayo katakan kau tidak menyukainya!" desak Fort, wajahnya kini terlihat memohon, membuat Peat terkekeh sambil mendudukan dirinya ditepi ranjang.
"Aku menyukai Prigkhing dan aku juga menyukaimu Fort" tangan yang sebelumnya menggenggam tangannya kini berbalik menjadi dirinya yang menggenggam tangan itu. Peat merapatkan tangan mereka hingga membentuk satu kepalan diatas selimut yang menutupi kaki Fort
"Aku tak mau membagimu Peat. Berhentilah menyukai Prigkhing" mohon Fort, bibirnya melengkung kebawah tak terima dengan pengakuan Peat.
"Astaga, kenapa kau menjadi menggemaskan seperti ini hm? Kalau seperti ini kau harusnya menjadi istriku saja" kekehan keluar ketika Peat melihat wajah Fort. Peat sangat rela jika harus menjari pihak atas dari pria berbadan besar ini.
"A-hah? Ka-kau kenapa? Jelaskan padaku dengan baik Peat! Aku tak mengerti!"
Dengan kekehan yang belum reda, Peat mendekatkan tubuhnya pada Fort hingga salah satu kakinya yang terlipat kini berada diatas paha Fort. Ia menangkup wajah Fort dengan kedua telapak tangannya dan mendekatkan wajah mereka.
Cup
"Aku mencintaimu"
Satu kecupan dibibir sukses membuat Fort terdiam seribu bahasa. Kepalanya kembali mencoba mencerna perkataan yang baru saja dilontarkan Peat.
Cup
Cup
"Aku mencintaimu Fort, apa kau masih belum mengerti?" Peat menatap netra hitam itu lekat hingga ujung hidung mereka bersentuhan. Dengan lembut tangannya mulai mengusap pipi Fort, mencoba menyalurkan setiap rasa melalui sentuhannya.
Cup
Peat tak lagi mengambil langkah pertama, kini giliran Fort yang meraih bibir merah muda itu dengan bibir tebalnya. Melumatnya sekilas lalu melepaskannya. Membiarkan mata mereka yang sedang terpejam menikmati hembusan napas hangat masing masing diwajah mereka.
"Aku juga mencintaimu Peat" bibir tebal itu kembali meraih candunya. Mengulum bibir bawah berisi itu hingga menimbulkan bunyi kecipak khas ciuman diantara mereka.
Fort merentangkan tangannya untuk meraih pinggang Peat dan membawanya untuk duduk diatas pangkuannya. Tangan Peat kemudian mengalung dileher Fort tanpa melepaskan tautan mereka. Dengan mata yang saling terpejam, Peat menikmati bagaimana bibirnya melumat bibir atas Fort.
"Hngghh" lenguhan tertahan dari bibir Peat membuat suasana ruangan itu semakin panas. Membuat Fort semakin memperdalam ciuman mereka dengan menelusupkan lidahnya melalui celah bibir Peat. Fort mengabsen setiap gigi rapi Peat dengan lidahnya dan kemudian menyesap daging tak bertulang itu agar mau bertarung dengan lidahnya.
Peat mulai merasakan pusing ketika dihujami dengan rasa nikmat yang bertubi. Tangannya ia bawa untuk meremas rambut belakang Fort untuk melampiaskan rasa nikmat yang ia peroleh.
Cklek
"Ah! Maaf, aku akan kembali nanti"
Blam
Seorang perawat tampak terkejut melihat adegan ranjang didepan matanya. Dengan segera ia kembali berbalik dan menutup pintu ruangan dengan cepat, wajahnya yang memerah tampak terlihat sangat jelas sebelum menutup pintu ruang rawat inap milik Fort.
Sesaat setelah telinganya menangkap suara yang menginterupsi kegiatan mereka. Peat segera melepaskan tautan mereka dan menyembunyikan wajah memerahnya dibahu Fort. Ia sangat malu karena ketahuan menciumi seseorang yang masih berstatus pasien. Apalagi dengan posisi mereka saat ini yang terbilang sangat intim. Peat rasanya sangat ingin menghilang saat ini juga, jika bisa ia akan menyusutkan ukuran tubuhnya menjadi sangat kecil dan masuk kedalam saku baju yang ia kenakan.
"Kau malu hm?" Peat merasakan sebuah tangan besar menyentuh pundaknya dan menepuknya pelan.
"Diam! Jangan bicara padaku!"
"Kau tak mau melanjut-"
"Tidak!"
"Kkk.. Baiklah baiklah" Fort kemudian memeluk Peat dan mengecup sisi kepala Peat dengan lembut.
"Terimakasih Peat. Aku benar benar mencintaimu"
TBC
Komentar
Posting Komentar