FORTPEAT - JINX - 13
Sudah 30 menit lamanya Joss pergi keluar, meja serta kursi yang Peat tumpuk masih belum cukup membuatnya mencapai plafon. Seberapa tinggi sebenarnya hotel ini hingga tumpukan setinggi itu masih belum cukup?
Peat kembali membawa kursi dan meja yang ia bawa dari ruang tengah menuju tempat awalnya. Peat kemudian menghempaskan tubuhnya keatas sofa. Tangannya terangkat menyeka keringat yang mengalir dipelipisnya.
Apa lagi yang bisa ia lakukan kira kira?
Cklek
Peat buru buru duduk dan membersihkan pakaiannya dari debu. Tangannya mengambil majalah yang tertumpuk dibawah meja disamping sofa dan segera membuka halaman tengah dari majalah tersebut.
"Hey, sedang apa hm?" Joss yang baru saja memasuki ruang tengah segera mendudukan dirinya disebelah Peat dan melirik majalah yang Peat baca.
"Kau- suka yang seperti ini?" selidik Joss dengan menatap Peat dari samping. Mata runcingnya membesar tak percaya.
Peat mengerutkan dahinya mendengar ucapan Joss. Ia memfokuskan pandangannya pada halaman yang ia buka.
"Aa!!" Peat berteriak dalam nada tinggi ketika sadar bahwa ia membuka halaman yang berisikan pria kekar dengan celana dalam yang menutupi area vitalnya.
Tanpa sengaja tangannya melempar majalah itu kelantai, dan menyadari jika majalah yang ia ambil memang majalah khusus edisi gay dari cover yang tak sengaja menghadap atas. Peat benar benar tidak tau jika ia mengambil majalah seperti itu, ia hanya mencari alasan jika Joss menanyai aktivitasnya. Dan kenapa juga hotel menyediakan majalah seperti ini?! Sial!
"Peat" Peat menolehkan wajahnya kesamping setelah mendengar Joss memanggil namanya.
Senyum seringai terpatri dibibir Joss melihat wajah Peat yang masih dipenuhi keterkejutan. Ia mencondongkan tubuhnya perlahan kearah Peat, hingga membuat Peat harus memundurkan tubuhnya agar tak berada dalam jarak dekat dengan Joss.
"Kau tak perlu melihatnya dari majalah Peat, aku bisa memberikannya padamu-" Joss mengangkat tangannya dan mulai mengelus pipi halus Peat.
"-secara langsung dan tentu lebih terbuka" Joss meniupkan napas hangatnya kedepan wajah Peat, membuat Peat reflek memejamkan matanya erat. Tangannya seketika terangkat dan ditumpukan pada dada lebar milik Joss, menahan agar Joss tak semakin dekat.
Tatapan Joss semakin sayu, matanya menatap mata Peat dan bibir yang digigit dibagian bawah itu bergantian. Peat terlihat sangat menggoda dan rasanya ia sangat ingin mengulum bibir itu sekarang juga.
Peat merasakan hembusan napas hangat Joss semakin kuat membelai wajahnya. Peat menjadi sangat panik, ia menggenggam t-shirt putih yang Joss kenakan dengan sengat kuat.
"J-Joss. Jang-"
Cup
Joss menempelkan bibirnya diatas bibir Peat yang masih terbuka. Matanya terpejam merasakan kenyal dan lembutnya bibir yang sangat ia dambakan. Membiarkan napas Peat memasuki celah bibirnya.
Buk
Peat segera mendorong Joss ketika merasakan bibir Joss mulai bergerak diatas bibirnya. Ia tak bisa. Hatinya menolak untuk melakukannya. Ia belum pernah berciuman dengan seorang pria dan ia tak ingin Joss yang melakukannya pertama kali padanya.
"Ma-maafkan aku Joss. Jangan sekarang, aku... belum siap" ucap Peat dengan nada pelan diakhir kalimatnya. Kepalanya tertunduk takut, ia merasakan tatapan tak suka Joss padanya saat ini.
"Hah.. Yasudahlah. Ini aku membawakan beberapa keperluan untukmu. Mandilah" Joss segera beranjak dari posisinya, wajahnya terlihat sangat kesal dan bahunya tampak tinggi. Joss memilih menuju ranjang dan merebahkan tubuhnya disana. Dirinya memang sangat marah dan kesal, ia ditolak oleh Peat membuat suasana hatinya jatuh hingga kedasar. Tapi ia tak bisa berbuat apa apa, ia tak mau menakuti Peat. Peat pasti akan pergi darinya jika ia berbuat kasar.
Peat menghela napas lega. Ia kira Joss akan meneriaki dan memukulnya karena menolak. Ternyata tak ada yang terjadi, dan Peat sangat bersyukur. Peat kemudian memilih beberapa keperluan yang ia butuhkan dari belanjaan yang dibawa oleh Joss.
Eh? Aroma berry? Dia mengetahuinya?
Peat melirik punggung Joss yang membelakanginya sejenak. Kenapa Joss mengetahui aroma sampo dan sabun kesukaannya?
Peat segera menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran buruk yang terlintas dibenaknya. Ini tidak seperti itu bukan?
Benarkan?
-----
"Got it!" salah seorang polisi dengan tubuh gembul tampak berdiri dari kursinya dengan teriakan kemenangan. Wajahnya menyunggingkan senyum lebar seperti mendapat hadiah lotre.
"Kau menemukannya?" seru polisi lain pada polisi gembul itu. Dengan satu anggukan, seluruh anggota beserta Fort ikut bersorak.
Ruangan CCTV pun mulai ribut, beberapa orang tampak berlari keluar dan beberapa orang tampak berdiskusi, satu orang tampak menelpon rekan kerja mereka yang kini tengah berada di kondominium. Semuanya bekerja semakin maksimal mengingat berhasil menemukan arah jalan dari mobil sport hitam yang dibawa Joss.
Fort segera mengabari ayahnya, senyum yang sangat lebar tampak terukir diwajah lelahnya. Setelah istirahat yang bahkan tak bisa disebut istirahat karena matanya yang sama sekali tak bisa terpejam, akhirnya semua lelahnya terbayar juga. Setelah lebih dari 24 jam Peat dibawa Joss, akhirnya mereka menemukan titik terang.
Akhirnya ia akan membawa Peat kembali pulang.
-----
Peat menatap bosan layar hitam yang berada didepannya. Setelah selesai mandi, Peat merasa tubuhnya sangat lelah dan ingin tidur. Tapi melihat Joss yang sudah terlelap diatas ranjang membuat Peat urung untuk bergabung. Peat memilih untuk duduk disofa yang terletak diruang tengah dan berniat ingin mengisi waktunya dengan menonton tayangan di televisi. Namun naasnya televisi yang berada disana tak dapat hidup dengan beberapa kali percobaan, membuat Peat hanya bisa melamun tanpa melakukan apapun.
Mata Peat sekilas melirik Joss yang masih tidur. Sejujurnya Peat tak terlalu takut dengan Joss setelah percakapan mereka pagi ini, meskipun kadang aura menyeramkan Joss masih kentara ia rasakan namun tak sedominan pertama kali Joss menculiknya. Peat malah merasa kasihan, ternyata Joss memiliki cerita yang sangat menyedihkan. Ditinggalkan oleh kekasih yang sangat dicintai bahkan kau membencinya saat ia menutup mata. Peat tak berani membayangkan rasa sakit yang diterima oleh Joss.
Helaan napas akhirnya terdengar dari bilah bibir tipis itu, Peat mulai merasa sangat bosan. Tangannya menepuk bantalan sofa beberapa kali dan menemukan jika sofa cukup empuk untuk ditiduri. Peat kemudian merebahkan tubuhnya, merasakan bagaimana nikmatnya punggung kakunya bertemu permukaan lembut sofa, membuat bibirnya mendesah tertahan karena punggungnya terasa sangat nyaman.
Peat sesaat kemudian memejamkan mata, tidur bukan ide buruk untuk mengisi kebosanan.
-----
Tubuh kecil yang berbalut t-shirt putih dan celana hitam selutut tampak bergerak dalam tidurnya. Tidurnya terusik ketika merasakan beban diatas perutnya. Dalam tidurnya, ia menepis beban yang berada diatas perutnya dan kemudian beringsut kebagian kosong tempat yang ia tiduri.
Lagi, beban itu kembali terasa ketika Peat sudah menggeser tubuhnya lebih jauh. Tangannya kembali terangkat menepis beban yang berada diatas perutnya. Tubuhnya pun ia ringsutkan lebih jauh kebagian yang kosong untuk menghindari beban yang kemungkinan akan kembali berada diatas perutnya
Tunggu!
Kenapa ia bisa berpindah sejauh ini ketika ia hanya tidur disofa?
Peat segera membuka matanya lebar dan mendapati dirinya yang sudah berada ditepi ranjang. Ia melirik kesamping dengan ekor matanya, kearah berlawanan dari ringsutannya.
"Sudah bangun?" Peat segera menarik selimut yang berada dibawah pinggangnya, menutupi seluruh tubuhnya hingga bibir, menyisakan hidung dan matanya saja yang tampak dari luar.
"Kenapa kau menatapku yang sedang tidur?" was was Peat, matanya melirik Joss dengan cemas.
"Tidak ada. Hanya saja melihatmu tertidur ternyata sangat menyenangkan, kau menggemaskan Peat" Peat semakin memasukkan kepalanya lebih dalam kedalam selimut ketika tangan Joss terangkat membelai rambutnya. Hingga kini hanya matanya saja yang terlihat.
"Kenapa tidak tidur diranjang? Kau takut padaku?" Peat menggeleng pelan. Bukan takut alasan utamanya, hanya saja memang dia yang tak mau. Peat merasa sangat tidak nyaman tidur dengan orang lain, terkecuali Fort yang memang selalu menempelinya saat tidur.
"Terus kenapa hm?"
"Aku.. Hmm.. Takut mengganggumu tidur. Jadi aku memilih tidur disofa saja" meski sedikit ragu memilah alasan yang sesuai, Peat akhirnya memilih menggunakan alasan itu saja. Joss sepertinya tipikal orang yang sangat suka disanjung dan dihormati, jadi jawabannya adalah pilihan terbaik menurutnya.
"Kkk.. Lain kali jangan seperti itu. Kau sama sekali tak pernah mengganggu Peat. Aku akan sangat senang jika kau mau tidur bersamaku"
"Eum" Peat bergumam, menjawab perintah Joss sekenanya.
Perlahan Peat mulai menurunkan selimutnya, wajahnya kini telah tampak keseluruhan. Matanya menatap Joss cukup lama dengan bibir yang terbuka namun tertutup kembali, sesaat kemudian bibirnya terbuka namun tertutup kembali.
"Tanyakan saja jika ada yang ingin kau tanyakan Peat" ujar Joss halus. Mata runcingnya menatap teduh Peat untuk memberikan keyakinan pada Peat agar bertanya padanya.
"Eum.. Bolehkah aku melihat foto- Sky, Joss?" cicit Peat pelan.
"Sebentar"
Joss bergegas menuruni ranjang dan pergi menuju sebuah lemari yang terletak tak jauh dari ranjang. Joss kemudian mengambil dompet miliknya dan kembali keatas ranjang
"Mendekatlah" ucap Joss sesaat tubuhnya kembali terbaring diatas ranjang, kepalanya ia tumpukan dengan tangan agar dapat lebih tinggi dari tubuhnya.
Ragu menghampiri Peat. Apakah memang perlu untuk melihat foto saja harus berdekatan? Tapi Peat penasaran, Peat ingin melihat seberapa mirip mereka. Atau Joss hanya membual tentang Sky padanya.
Namun Peat akhirnya beringsut sedikit lebih dekat. Merasa tak ingin terlihat intim, Peat memilih mendudukan dirinya diatas kasur, lalu kembali bergerak lebih dekat dengan Joss.
Srettt
Joss menjulurkan dompetnya kearah Peat. Peat melirik Joss dan melihat Joss menggerakan dagunya keatas satu kali seakan menyuruh Peat untuk membuka dompetnya.
Tangan kurus putih itu mulai tergerak membuka dompet yang diberikan.
Degg
Peat terkejut. Sebuah foto yang terpajang dibalik plastik transparan dalam dompet itu berisikan seorang pemuda yang tersenyum lebar kearah kamera. Yang mengejutkan bukan karena senyumannya yang sangat indah. Namun orang yang tersenyum itu yang membuat Peat terkejut. Ini sangat persis dirinya. Mereka hanya berbeda warna rambut. Jika Peat mengubah warna rambutnya menjadi hitam, maka ia yakin bisa hidup sebagai Sky.
"Bagaimana? Sama persis bukan?" suara Joss menyela lamunan Peat. Membuat Peat menatap Joss dengan tatapan terkejut.
"Ini- Sky?"
"Ya, itu Sky"
Peat kembali menatap foto yang berada didompet Joss sekali lagi. Meyakinkan dirinya bahwa ia tak salah lihat.
Benar, ini bukan dirinya dan ini adalah Sky. Peat sama sekali tak pernah berfoto seperti ini dan ia tak memiliki pakaian seperti yang digunakan pria didalam foto tersebut. Ini benar benar orang lain yang sangat mirip dengannya.
Ia tak mungkin memiliki kembaran. Peat sangat tahu jika foto semasa kecilnya hanya sendiri. Namun ini sedikit membingungkan, bagaimama ada seseorang diluar sana yang sangat mirip dengannya tapi tak memiliki hubungan darah. Sepertinya ia harus menanyakan ini pada ayah dan ibu.
"Joss, bisakah aku menyimpan foto ini? Kurasa aku memerlukannya"
"Terserah, aku memiliki ratusan foto Sky. Jadi tak masalah jika kau mengambil satu dariku" Joss memutar tubuhnya dan menaruh kepalanya diatas paha Peat. Kemudian menyampingkan tubuhnya agar menghadap perut rata milik Peat lalu mengusak wajahnya kedalam. Tubuh Peat terasa hangat dan Joss sangat menyukainya. Ini benar benar terasa seperti ia berada bersama Sky.
Peat menarik foto tersebut dari dompet Joss dan kemudian menyimpannya pada saku depan t-shirt putih yang ia gunakan. Peat menatap Joss yang tampak nyaman dengan tubuhnya. Tangannya tanpa sadar terangkat dan mengelus rambut Joss dengan lembut. Peat hanya merasa jika ia perlu melakukan ini sekarang.
"Ini sangat nyaman. Terimakasih Peat" bisik Joss pelan, suaranya teredam oleh baju yang Peat kenakan.
"Maaf jika perkataanku nanti akan menyakiti hatimu Joss" secara tiba tiba Peat mengeluarkan suaranya dalam nada normal. Membuat Joss memutar kepalanya dan menatap Peat, walaupun ia hanya dapat melihat dagu runcing sang pemilik.
"Aku mungkin terlihat persis seperti Sky. Menurutmu mungkin perilakuku juga mirip dengannya. Tapi kau tau Joss, aku bukan Sky"
Seketika Joss segera bangun dari posisinya dan duduk menghadap Peat. Ia menatap Peat tak suka.
Satu tangan Peat kemudian terangkat hingga menyentuh pipi Joss, Peat mengusap lembut pipi itu untuk mengurangi ketegangan pada rahang tegas itu. Peat pikir dia harus meluruskan hal ini sekarang juga.
"Joss, coba dengarkan aku sebentar saja" Peat tersenyum lembut, matanya mengunci mata Joss untuk terus melihatnya. Membuat Joss terhipnotis dan mulai menurunkan egonya. Peat merasakan ketegangan ditubuh Joss mulai berkurang.
"Aku tak tau bagian mana diriku yang membuatmu tertarik padaku. Aku selalu menebak setiap hari kenapa kau begitu tertarik padaku. Dan selalu tak ada jawaban untuk itu" Peat menurunkan tangannya dari wajah Joss, kini tangannya beralih untuk menggenggam tangan besar itu.
"Kau hanya melihat Sky pada diriku Joss. Kau menyukaiku hanya karena kemiripanku dengannya, bukan karena aku" Peat terus berbicara dengan senyum lembut diwajahnya. Ia yakin Joss bukan orang jahat. Joss seperti ini hanya karena kehilangan orang yang ia cintai. Peat tau dan paham akan hal itu.
Setelah 24 jam ia habiskan bersama Joss, menurut Peat, Joss adalah pribadi yang hangat. Dia selalu mengutamakan orang yang ia cintai. Peat berkali kali melihat Joss menahan amarahnya agar Peat tak takut padanya.
"Peat, aku sungguh sungguh mencintaimu Peat." sela Joss, ia tak mau perasaannya diragukan seperti ini.
"Apa yang kau pikirkan saat memelukku tadi?" Peat sedikit memiringkan kepalanya saat bertanya pada Joss.
Peat kembali tersenyum lembut ketika Joss tak kunjung menjawabnya. Joss hanya diam dengan tatapan bingung yang ia tampakan. Joss terlihat mulai ragu dengan perasaannya.
"Kau memikirkan Sky, Joss. Bukan aku"
"Tapi- tapi.. "
"Tapi apa hm? Kau harus paham dengan perasaanmu sendiri Joss. Kau tau, aku tak melihat diriku dimatamu. Bahkan ketika kita berada dalam jarak sedekat ini, matamu bukan untukku"
"Lalu aku harus bagaimana Peat? Bantu aku.." suara Joss melemah, air wajahnya berubah, tak lagi keras, tak lagi arogan. Wajahnya terlihat memelas, lelah dan iba. Matanya memancarkan ingin pertolongan.
"Aku tau kau sangat tersiksa selama ini Joss. Kau membawaku kesini hanya karena rasa bersalahmu pada Sky. Kau hanya ingin menebus kesalahan terakhirmu padanya. Jika boleh, aku akan mengatakan ini sebagai seorang Sky untukmu." Peat memejamkan matanya dan menghirup napas dalam. Sesaat kemudian mata rusa itu terbuka dan tersenyum dengan lebar.
"Joss, kau adalah pria baik dan hangat. Kau adalah yang terbaik diantara semua pria yang pernah Sky temui. Jangan terlalu menyalahkan dirimu, Sky tidak akan suka. Kau harus kembali pada dirimu Joss, membuka lembaran baru tanpa penyesalan didadamu. Kau berhak mencintai dan dicintai. Kurasa Sky tak akan marah jika kau mulai mencoba membuka hati. Dan kurasa itu juga keinginan Sky, melihatmu kembali bahagia dengan perasaanmu. Jika kau memang ingin Sky bahagia, kau harus membahagiakan dirimu sendiri terlebih dahulu Joss"
Grep
Tubuh besar itu segera merengkuh tubuh kecil dihadapannya. Tubuh besar itu bergetar, air mata mengalir deras dipipinya. Isakan kesedihan terdengar begitu jelas ditelinga Peat. Lirihan permintaan maaf disela tangis Joss terdengar sangat menyesakkan. Membuat Peat ikut membalas rengkuhan itu dan menangis bersama Joss.
Joss menyadari jika selama ini rasa cinta yang ia miliki hanya karena dirinya melihat Sky pada Peat. Joss menyadari jika rasa protektif yang ia berikan pada Peat semata mata karena dirinya merasa takut, takut mengulang kejadian yang sama dan berakhir meninggalkan Peat. Joss merasa jika ia harus berada disamping Peat untuk menghilangkan rasa penyesalannya pada Sky, rasa sesal ketika ia tak mampu melindungi dan menemani Sky hingga akhir. Rasa sesal ketika ia malah membenci pria kecil itu ketika hembusan napas terakhirnya.
"Terimakasih.. Terimakasih Peat.. Terimakasih.." Peat menyadarkan Joss dan ia sangat berterimakasih akan hal itu. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada Peat, membuang rasa sesak pada dadanya.
Brakk
"Menjauh kau bajingan!!!" teriakan marah menggema sesaat setelah bunyi pintu yang dibuka paksa terdengar.
Membuat pelukan antara Joss dan Peat terlepas dan melihat kearah datangnya pintu. Mata Peat membulat melihat seseorang yang selalu ia pikirkan.
Fort
Ia melihat Fort datang dengan baju yang masih sama seperti terakhir kali mereka bertemu. Bukannya takut, Peat malah tersenyum bahagia melihat Fort yang masih memasang wajah marahnya. Peat segera meloncat dari ranjangnya dan berlari menuju Fort.
Swisss
Bugh
Namun bukannya menyambut Peat, Fort malah berlari melewati Peat dan memukul Joss yang berada dibelakang Peat.
Segera tubuh kecil itu berbalik dan melihat kejadian dibelakangnya. Matanya melebar melihat Fort yang kini duduk diatas perut Joss dan memukuli wajah Joss habis habisan.
Peat segera menarik tubuh Fort yang berada diatas Joss, namun tangannya ditepis. Fort kembali memukuli Joss dengan brutal.
"Bajingan! Sialan kau brengsek!!!"
Bugh
Bugh
Bugh
Segala umpatan terus terlempar dari mulut Fort, tangannya tak berhenti memukuli Joss bahkan ketika darah sudah mengalir dari pelipis, hidung dan mulut Joss.
"Hentikan Fort!!!" teriakan Peat membuat Fort yang masih mencengkram kerah Joss berhenti. Membuat wajah bengisnya hanya bisa melemparkan tatapan marah kearah Joss.
Melihat Fort yang lengah, dimanfaatkan Joss dengan baik untuk mendorong Fort paksa dari posisinya. Menyebabkan tubuh Fort limbung dan terjatuh kebelakang. Joss segara berlari kearah lain, ia mulai mengemasi barangnya dan berniat untuk pergi. Namun tiba tiba saja bahunya didorong hingga menghantam dinding disampingnya.
"Mau kabur kemana kau heh? Dasar bajingan!"
Bugh
Jleb
"Huk" Fort menatap kearah perutnya yang mulai meneteskan darah karena pisau yang ditusukkan oleh Joss. Lenguhan sakit tertahan terlontar dari mulut Fort. Matanya memerah dengan pelipis yang menyembulkan urat kehijauan.
"Aaa!!!" Peat berteriak histeris ketika melihat adegan penusukan didepan matanya.
Srett
"Menyingkir dariku" suara berat Joss terdengar bersamaan dengan tangannya yang menarik pisau dari perut Fort. Kakinya segera mengambil langkah panjang untuk segera pergi dari kamar itu.
Peat segera berlari mencoba menangkap tubuh limbung Fort. Tangannya ia letakkan tepat diatas tangan Fort yang tengah menahan pendarahan diperutnya. Peat menangis. Air matanya mengalir sangat deras. Ia hiraukan rasa sakit kepalanya ketika anyir darah mulai menusuk hidungnya.
"Fort.. Hiks.. Jangan, bertahanlah kumohon.." Peat merengkuh tubuh yang mulai melemah itu, satu tangannya masih mencoba menghentikan pendarahan pada perut Fort. Ia mengecupi pelipis dan puncak kepala Fort sambil terus memohon. Air mata terus saja mengalir dipipinya, hatinya terasa sangat sakit melihat Fort seperti ini.
Perlahan tangan Fort yang sudah tak memegangi perutnya terangkat, mencoba menggapai pipi Peat yang dibanjiri air mata. Ibu jarinya mulai mengusap air mata itu hingga meninggalkan jejak darah disana.
"Hah.. Maafkan aku Peath.. Wajahmu- hnggh, malah menjadi kotorh.." senyum paksa yang diberikan oleh Fort membuat Peat semakin meraung, tangannya semakin memeluk tubuh Fort dengan erat. Kepalanya menggeleng, seolah mengatakan tidak apa apa.
Perlahan napas Fort mulai tersengal, jarinya yang berada dipipi Peat mulai turun perlahan, menciptakan goresan darah panjang disana. Fort mengerang lemah, matanya mulai terasa berat.
"Aaaa!! Tidak Fort, tidak!!! Aaaa!!! Tolong hiks... Seseorang tolong aku!! Fort.. Kumohon bertahanlah.. Jangan tinggalkan aku hiks.. Fort!! Aku mencintaimu.. Bertahanlah untukku, kumohon.. Seseorang tolong aku!!! Aaa!!!"
Raungan dan teriakan kesakitan terdengar memilukan dari bibir Peat. Melihat lelaki yang ia cintai mulai kehilangan kesadaran dipelukannya membuat hatinya semakin teriris.
Drap
Drap
Drap
Tak lama kemudian derap langkah ribut mulai terdengar. Beberapa orang dengan seragam hitam dengan rompi bertulisan polisi tampak memasuki kamar hotel yang menjadi incaran mereka semenjak malam tadi.
Beberapa polisi tampak bergegas mengambil beberapa barang yang dapat mereka jadikan sebagai tandu. Satu orang lainnya tampak menolong Peat dan yang lainnya membantu menghentikan pendarahan pada perut Fort setelah mendapatkan kotak p3k disamping dapur. Gulungan kasa tampak ditekan diatas luka itu.
Peat melihat betapa kacaunya situasi saat ini. Matanya tak lepas dari Fort bahkan setelah tubuh Fort mulai diangkat menuju ambulance yang berada diluar hotel.
Tubuh Peat terasa sangat lelah, kepalanya sangat pusing. Tubuhnya sudah berkontak cukup lama dengan banyak darah. Namun hatinya menolak untuk menutup mata karena rasa sakit yang hebat dikepalanya, ia tak ingin kehilangan Fort. Ia harus memastikan keadaan Fort dengan mata kepalanya sendiri.
"Phi, tolong bawa aku ke rumah sakit"
TBC
Komentar
Posting Komentar