FORTPEAT - JINX - 12

Disebuah ruangan dengan nuansa abu abu terdengar suara ketukan sepatu dalam tempo cepat. Tangannya berada disamping pinggang dengan jari yang mengetuk pinggangnya. Satu tangannya terangkat menyentuh telinga yang dibatasi oleh sebuah ponsel. Wajahnya terlihat tak bersahabat, alis matanya menukik tajam dan matanya yang tersorot marah, giginya bergemelatuk hingga mengeluarkan bunyi derit karena gigi yang saling bergesekan. Rahangnya mengeras dengan deru napas berat yang mengiringi.

Pikirannya terus terganggu sejak satu jam yang lalu. Memorinya kembali berputar pada kejadian yang baru saja terjadi. Ketika dia hendak berbalik ke parkiran kondominium untuk menjemput Peat karena merasa Peat membutuhkan bantuannya untuk menemukan dompet miliknya, ia malah menemukan Joss yang tengah berbicara pada seseorang didalam mobilnya. Awalnya dia tak mengacuhkan apa yang dikerjakan oleh Joss, namun saat mobilnya melewati mobil sport hitam itu, dari ekor matanya ia melihat sosok familiar. Ia sangat ingat dengan apa yang dipakai Peat hari ini, dan hal itu sama persis dengan penumpang mobil Joss.

Ketika ia ingin mengejar Peat, Fort melihat jika Joss sudah mulai menyalakan mesin mobil miliknya. Buru buru ia menginjak pedal gas mobilnya untuk menabrak mobil sport hitam itu, berharap akan menghentikan mobil sport itu untuk pergi.

Saat Fort melihat Joss menurunkan kaca mobilnya, ia berpikir sudah berhasil menghentikan Joss dengan baik. Namun ia salah, ia terkecoh dan membuatnya kehilangan Peat.

Sudah sejak satu jam yang lalu ia berusaha menghubungi ayahnya namun belum juga diangkat. Ia menelpon sekretaris ayahnya dan mengatakan jika ayahnya sedang dalam meeting dan harus menunggu. Akhirnya Fort kembali menelpon ayahnya setelah 45 menit, dan sudah panggilan kedua namun belum juga diangkat.

Pip

"Ayah!" Fort segera berteriak ketika panggilannya akhirnya diangkat oleh sang ayah.

"Tolong aku"

-----

Usapan lembut berulang dikepalanya membuat sadarnya kembali dari tidurnya. Perlahan sepasang mata rusa dengan iris kecoklatan itu pun terbuka, menampakan mata indah yang sudah beberapa jam tertutup. Mata itu mulai menyesuaikan cahaya yang menusuk retinanya, mengerjapkan kelopak matanya dengan cepat untuk menghilangkan kabur dari pandangannya.

"Hai sayang, bagaimana tidurmu? Nyenyak hm?" suara berat namun terkesan lembut menyapa pendengaran Peat. Detak jantungnya yang semulanya normal kini berdetak lebih kencang. Kepalanya mengangguk sangat pelan, merespon pertanyaan yang diajukan sekenanya.

"Kau lapar? Kau ingin makan apa?" suara itu kembali terdengar, kali ini nadanya sedikit lebih riang. Matanya juga menatap Peat berbinar dengan senyum lebar diwajahnya.

Namun Peat menggeleng takut, ia tak selera makan apapun saat ini. Rasa takut menekan seluruh indranya, ia terlalu takut memikirkan hal lain selain dirinya yang kini hanya berdua disebuah ruangan bersama Joss.

"Kau takut padaku?"

Suara riang itu seketika berubah menjadi dingin dan dalam. Membuat bulu halus Peat meremang dengan sendirinya. Cengkramannya ditepi selimut mengerat dengan sendirinya karena reflek tubuhnya yang merasa terancam.

Peat tak dapat merespon apapun. Ia sangat takut untuk sekedar menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Joss, pikirannya seolah berkata jika ia tidak boleh berkata atau melakukan apapun, jika tidak nyawanya tidak akan selamat.

"Hey Peat. Dengarkan aku. Aku tak akan melakukan apapun padamu jika kau berperilaku seperti anak baik" Joss mendekatkan wajahnya ke wajah Peat, mengelus pipi halus itu dengan tangan besarnya.

Tubuh Peat menegang, sentuhan lembut yang diberikan Joss malah berakibat kebalikan pada tubuhnya. Membuat kelenjar air matanya kembali berproduksi hingga menggenang dipelupuk mata.

Peat memejamkan matanya erat ketika melihat wajah Joss mendekat dan mengecup puncak hidungnya. Setitik air mata mengalir diekor matanya, membuat Joss mengusap lelehan itu dengan ibu jarinya dan menyesap air asin itu dengan mata terpejam. Joss kemudian mengecup kedua mata Peat bergantian dan lalu menyibak poni yang menutupi dahi Peat. Matanya mengamati mata indah yang masih terpejam itu dengan lekat sebelum mengecup dahi yang tersibak itu lama.

Peat semakin menguatkan cengkramannya pada tepian selimut. Tangannya bergetar hebat dan ia butuh pelampiasan.

"Kita makan, okey?"

Peat mengangguk lemah. Tak ada lagi keberanian untuk menolak perintah Joss.

-----

Mata rusa itu meniti seluruh badannya, kini tangan dan kakinya sudah dibalut dengan perban, ada noda kecoklatan yang memanjang diatas perban yang ia gunakan, sepertinya lukanya cukup lebar hingga perbannya memiliki bercak darah. Ketika tangannya terangkat keatas kepala, ia mendapati sebuah perban kecil yang sepertinya juga tertempel disana. Kepalanya mengangguk kecil mendapati dirinya yang dirawat dengan baik oleh Joss. Setidaknya ia tidak dibiarkan kotor seperti tawanan buruan lain yang biasa ia lihat di televisi. Walau badannya masih sakit tapi ini lebih baik dibanding tidak dirawat sama sekali.

Peat juga melihat pakaiannya yang juga sudah berganti dengan piyama putih dengan motif kuda. Matanya membesar ketika mengingat jika Joss sudah mengganti pakaiannya. Buru buru tangannya masuk kedalam celananya dan meraba bagian anus. Kering, tidak basah dan tidak sakit.

Hah...

Hembusan napas lega seketika keluar dari bibir tipisnya. Joss tak melakukan apapun padanya dan ia bersyukur atas itu.

"Aku suapkan?" pemilik tangan besar yang sedang mengaduk sup ayam dalam mangkuk kaca itu tampak melirik Peat sebentar dengan senyum yang tersungging, membuatnya tampak sangat menawan. Namun berbeda dalam mata Peat, ia melihat senyuman itu layaknya seringaian, dan itu mengerikan.

Joss kemudian mendudukan dirinya ditepian ranjang yang Peat duduki sambil terus memutar sendok besi yang ia pegang dengan tujuan untuk menghilangkan rasa panas lebih cepat.

"Joss.. Hmm.. Bolehkah- aku makan sendiri?" cicit Peat pelan, lagi lagi ia takut Joss akan tersinggung dan berbuat sesuatu yang mengerikan.

"Kenapa?" ujar Joss tak suka, menurutnya Peat butuh perhatian darinya, tapi kenapa Peat tak ingin disuapi?

"Aku- aku hanya takut merepotkanmu" balas Peat pelan. Matanya menatap tangannya yang bertaut diatas selimut. Tak berani menatap Joss secara langsung.

"Kkk.. Jangan sungkan, aku suka kau repotkan" Joss terkekeh sambil mengusap kepala Peat, ternyata pria kecil ini hanya mengkhawatirkannya. Membuat hati Joss semakin lapang dan lega.

Peat mengangguk lemah, ia tak akan bersikeras. Menuruti kemauan Joss sekarang lebih penting, selagi tak akan merugikan dirinya Peat bisa mengikuti alurnya.

Suara hening yang mendominasi kini hanya diselingi dentingan sendok dan mangkuk. Peat memakan setiap suapan yang diberikan Joss tanpa penolakan, membuat Joss merasa menjadi pria paling beruntung di dunia. Melihat pemilik hatinya kini terlihat baik dan beribu kali menggemaskan karena menurutinya dengan baik. Senyumnya terkembang lebar dengan mata berbinar yang terus fokus menatap Peat.

"Ekhem-"

"Kau mau minum? Sebentar" Joss menaruh mangkuk yang ia pegang disamping meja nakas yang terletak disebelah ranjang yang ditempati Peat. Ia bergegas menuju meja lain disudut ruangan yang berisikan satu kantong plastik besar berwarna putih. Tangan Joss merogoh plastik itu dan mengambil sebotol air mineral, lalu ia kembali menuju Peat sambil membuka tutup botol dari air mineral tersebut.

Joss menjulurkan botol tersebut dan disambut Peat dengan baik. Ia tak terlalu haus namun minum juga bukan ide buruk.

"Joss, kau tak makan?" Peat mulai memberanikan diri untuk bertanya. Sepertinya Joss tidak berbahaya jika ia menurut seperti anjing yang baik. Matanya melirik Joss sekilas setelah berhasil menutup botol minumnya.

Grep

Hampir saja air yang baru sampai ditenggorokannya ia muntahkan saat Joss tiba tiba menubruk tubuhnya untuk dipeluk. Tulangnya hampir remuk karena eratnya pelukan yang diberikan oleh Joss, apalagi tangannya kini masih terluka karena pertarungannya dengan Joss sore tadi.

"Aku sangat bahagia Peat"

Eh?

Peat dibuat bingung dengan pernyataan tiba tiba dari Joss. Apa hubungan antara pertanyaannya dengan pernyataan Joss?

"Terimakasih sudah mengkhawatirkanku. Sudah sangat lama tak ada yang menanyaiku hal seperti ini. Terimakasih"

Puk

Puk

Tangan Peat menepuk pinggang Joss beberapa kali. Napasnya mulai terengah karena sesak. Ia bisa mati jika begini.

Joss melonggarkan pelukannya dan menjauhkan kepalanya untuk menatap wajah Peat.

"Kau benar benar membuatku semakin mencintaimu Peat" Joss tersenyum lebar dengan tangannya yang menangkup wajah Peat.

Peat tersenyum bingung, ia tak tahu harus merespon Joss seperti apa. Ia hanya mengeluarkan beberapa kata dan Joss bereaksi sehebat ini.

"Peat?"

"Y-ya. Kenapa?" alis Joss bertaut heran dengan jawaban Peat.

"Aku bilang aku mencintaimu Peat"

"Ya, aku sudah mendengarnya" ucap Peat tak yakin, senyum kaku ia lemparkan karena takut salah bicara.

"Aku mencintaimu Peat" ucap Joss lagi, dengan suara yang lebih yakin dan tatapan lekat kematanya.

"Hm.. Terimakasih?" lagi, Peat tak yakin, ia tak tahu harus merespon apa dengan pernyataan Joss. Ia tak bisa mengatakan 'aku juga mencintaimu' ketika perasaannya bahkan tak berkata demikian.

"Sudahlah, habiskan sup mu. Aku pergi" Joss dengan wajah masam beranjak dari posisinya dan meninggalkan Peat sendirian dikamar luas yang bercat putih itu.

-----

Aku buru buru menoleh kearah pintu tepat setelah tubuh Joss menghilang dari balik pintu. Dengan cepat aku menuruni ranjang yang kutempati dan berlari menuju pintu kamar. Aku menempelkan telingaku kedaun pintu dan mulai menajamkan pendengaranku.

Hening.

Tak ada satupun suara dari luar sana. Aku tersenyum ketika menyadari jika Joss sudah memang pergi sepenuhnya.

Aku menyadari jika Joss membawaku kesebuah kamar hotel ketika melihat interior kamar ini pertama kali. Kesan mewah langsung tepikir saat melihat candelier yang menggantung ditengah ruangan. Sepertinya Joss memesan kamar VIP untuk persembunyian kami.

Aku mulai mencoba membuka pintu dengan menariknya kearahku.

Sial!

Terkunci!

Sepertinya Joss sudah membuat perhitungan matang untuk kamar ini. Aku mulai berjalan kembali menuju ranjang sambil menelisik setiap sudut kamar dengan mataku. Tak ada CCTV disini. Joss cukup pintar untuk menghilangkan CCTV yang dipasang disetiap sudut kamar untuk menghindari pelacakan.

Aku kembali mengitari kamar dengan mataku. Aku berlari kearah satu satunya jendela yang terpasang dikamar ini.

Sringg

Aku menyibak tirai yang menutupi jendela kamar itu dan mendapati ribuan kilauan cahaya yang terhampar dengan indah dari balik kaca jendela. Aku kemudian mengalihkan pandanganku kearah sudut sudut jendela. Namun nihil, akupun tak menemukan pengait jendela. Jendela ini tertutup permanen dan hanya bisa memasukan cahaya saja.

Aku meraba kaca jendela yang terbentang dihadapanku. Aku mengamati lekat setiap jengkal kaca jendela yang aku sentuh.

Apa aku harus memecahkan kaca ini? Tapi apa aku bisa melompat dari lantai yang entah keberapa karena objek tebawah yang aku lihat berada sangat jauh dibawah.

Perlahan aku menarik tanganku dengan perasaan kecewa. Jika saja aku seorang pemberani seperti super hero kesukaanku tentu aku tak akan ragu memecahkan kaca jendela dan melompat kebawah. Tapi tetap saja, jika aku memiliki keberanian sebesar itu aku akan tetap mati ketika mencapai dasar. Kamar ini terletak begitu tinggi dan aku tak memiliki kekuatan super seperti Luffi. Jika saja tanganku bisa memanjang, aku bisa bergelantungan dari sini dan sampai dibawah dengan selamat.

Aku beralih menatap sisi lain kamar. Aku melihat satu persatu sudut tanpa melewatkan apapun. Namun tak ada satupun celah yang bisa kumanfaatkan sebagai jalur pelarianku.

Aku berlari menuju kamar mandi dan mulai menelisik ruangan sempit itu. Namun sama saja, tak ada celah yang bisa kumanfaatkan. Disatu sudut memang terdapat plafon yang sepertinya bisa diangkat, namum ada lubang kunci disana dan tak bisa dimasuki sembarangan. Dan plafon itu pun sangat tinggi, aku tak bisa meraihnya dengan bertumpukan sebuah kursi saja.

Lagi, aku menghela napas berat saat merasa putus asa. Aku harus memutar otakku lebih keras untuk bisa kabur dari sini.

Dengan lemah aku berjalan keluar kamar mandi menuju ranjang yang beberapa jam ini kujadikan tempat teramanku. Lebih baik aku berpikir sambil berbaring diatas kasur.

-----

Sudah satu malam dan sekarang hampir menunjukkan pukul 6 pagi. Namun mata bulat besar itu tak kunjung merasa lelah.

Setelah mendapatkan bantuan dari ayahnya yang tentunya tidak gratis, Fort mengerahkan seluruh bantuan yang ia miliki untuk mencari Peat dengan bekal nomor plat mobil sport hitam milik Joss yang sempat ia hapal.

Kini ia berada dikantor polisi dan ditemani secangkir kopi. Beruntung ayahnya memiliki kenalan seorang kepala polisi negara hingga aksesnya untuk melacak seluruh kamera CCTV dipermudah. Didalam ruangan itu bukan hanya berisikan dirinya sendiri, ada beberapa polisi lainnya yang ditugaskan menemani dan membantunya dalam mencari jejak mobil sport hitam tersebut.

Puk

"Hei nong, tidurlah. Biar kami yang melanjutkan" seorang wanita dengan perawakan tinggi namun tetap dalam proporsi tubuh yang ideal menepuk bahu Fort ringan. Wajahnya tampak kasihan melihat Fort yang sedari tadi bekerja keras menonton setiap rekaman CCTV.

"Aku tak apa phi. Kita harus cepat menemukan Peat, aku takut terjadi apa apa padanya" balas Fort sambil terus menatap layar lebar didepannya. Ia mengamati satu persatu rincian video yang terputar dengan baik.

"Kau akan tumbang sebelum menemukan kekasihmu jika memaksakan diri seperti ini. Pergilah tidur, aku berjanji akan memberikan kabar baik saat kau bangun nanti"

Fort menatap wanita disampingnya cukup lama, tatapan khawatir yang ia lemparkan terkalahkan dengan rasa yakin yang ia peroleh dari polisi wanita disebelahnya. Membuat dirinya akhirnya mengangguk menyetujui usulan dari polisi wanita tersebut.

"Bantu aku phi"

------

Sebuah tarikan kedalam pelukan hangat membuat mata rusa yang terpejam erat itu bergerak. Tidurnya sedikit terganggu dengan gerakan tiba tiba disampingnya.

Merasa ruang gerak tubuhnya yang menyempit membuat matanya terbuka perlahan. Rasa kantuknya seketika sirna ketika mendapati dada telanjang didepan matanya.

Joss.

Matanya kembali terpejam dengan erat saat merasakan kepala Joss yang menunduk mencoba melihat dirinya. Ia tak mau berinteraksi lebih lama dengan Joss, ia lebih baik berpura pura tidur.

Peat merasakan tubuh Joss semakin beringsut ketengah dan tangannya kini berada dibelakang kepala Peat. Tangan besar itu mengusap rambut Peat pelan dengan pelukan yang semakin mengerat walaupun kali ini tak menyesakkan. Joss cukup memberinya ruang untuk bernapas dengan baik.

"Aku merindukanmu Peat, benar benar merindukanmu" suara Joss mulai terdengar namun lirih. Membuat Peat harus memperlambat tempo napasnya agar mendengar suara Joss lebih jelas.

Cup

Joss mengecup puncak kepala Peat lama. Seketika pikiran Peat melayang, pikirannya tertuju pada Fort yang selalu memperlakukannya seperti ini saat tidur bersama. Namun rasanya berbeda, Peat tak senyaman seperti saat berada dalam pelukan Fort. Pelukan Fort jauh lebih nyaman dan hangat, kecupan Fort dikepalanya pun selalu memberikan kelitikan diperutnya, membuat dirinya selalu tersenyum tipis seperti orang bodoh.

Walaupun Peat mendapat perlakuan yang sama dari Joss, ia tak merasakan apapun kecuali rasa takut dan sedih. Peat tak mengerti kenapa ia merasa sedih, kecupan lama Joss dikepalanya menghantarkan rasa kesedihan yang begitu dalam untuknya.

"Jangan pergi lagi, kumohon" suara Joss mulai terdengar bergetar, kini Peat merasakan sebuah dagu bersarang dipuncak kepalanya.

"Aku berjanji, aku tak akan mengecewakanmu seperti dulu. Aku berjanji akan selalu menuruti semua keinginanmu. Tapi tolong, jangan tinggalkan aku. Hidupku terasa kosong Peat, aku tak tau arah. Jangan pergi lagi, kumohon" Peat merasakan tubuh Joss bergetar, samar samar telinganya mendengar suara isak tangis yang dicoba untuk ditahan.

Peat tak mengerti sama sekali maksud dari Joss. Selama mereka mengenal dulu, tak satu kali pun Peat merasa dekat dengan Joss. Seingatnya tak lebih dari dua kali mereka bertemu empat mata dan itupun tak ada yang berakhir baik. Selebihnya mereka bertemu dengan Mook yang selalu bersama mereka.

Apa sebenarnya yang terjadi?

Ia merasa Joss tidak membicarakan dirinya.

Perlahan getaran tubuh Joss menjadi tenang. Tubuhnya tak lagi berguncang. Dengkuran halus pun mulai memenuhi gendang telinga Peat. Sepertinya Joss sudah mulai terlelap.

Sedikit demi sedikit Peat mulai memberi jarak antara mereka. Sangat tak nyaman rasanya untuk tidur dalam pelukan asing.

Baru saja Peat berhasil melepaskan kedua tangan yang melingkari tubuhnya, ia kembali ditarik mendekat. Menyebabkan tubuhnya kembali berada dilingkaran tangan besar itu.

"Jangan pergi kumohon-" isakan dari bibir Joss kembali terdengar, namun kali ini Peat berani menatap mata terpejam itu. Ia melihat raut memohon yang sangat menyedihkan dari Joss.

Peat tak tega. Ia memperbaiki posisinya agar lebih nyaman. Membuat posisi mereka kini berbalik, kepala Joss berada di dada Peat dengan memeluk pinggang Peat erat. Peat megusap punggung lebar itu pelan, mencoba menenangkan kembali pria yang menangis dalam tidurnya. Peat hanya merasa kasihan pada Joss, orang tidur tak akan mungkin berbohong bukan?

"Terimakasih-

-Sky"

-----

Peat terus menatap Joss yang duduk dihadapannya. Bubur yang berada didepannya tampak tak semenarik Joss, tangannya hanya sibuk memutar sendok dalam tempo pelan dan terus mengamati pria besar dihadapannya.

Pikirannya terus memutar kata kata 'Sky' yang diucapkan Joss semalam. Peat sangat yakin dan mendengar jelas jika kata Sky diucapkan oleh Joss semalam.

Siapa Sky?

Kenapa Joss menyebut nama itu?

"Apa kau sudah terpesona padaku Peat? Kau menatapku terlalu lama. Jangan salahkan aku jika membawamu keatas ranjang sekarang juga" Peat berdeham sedikit keras untuk menghilangkan rasa gugupnya karena ketahuan menatap Joss. Buru buru ia menyendok bubur didepannya untuk mengalihkan perhatian yang kini dilayangkan Joss padanya.

"Kau ada pertanyaan? Tanyakan saja, aku akan menjawan sebisaku" Joss kembali bersuara. Ia kembali melahap bubur dihadapannya sambil terus mencuri pandang kearah Peat.

"Hmm..." Peat bergumam, ia tak tau harus mengatakan apa untuk menanyakan hal yang berputar dikepalanya.

"Bunga?"

"Bunga?" dahi Peat berkerut bingung, ia sama sekali tak paham maksud dari perkataan Joss. Untuk apa ia menanyakan bung-

Tunggu, bunga?

Itu... Joss?

"Kau yang mengirimiku bunga itu?" Peat menatap Joss tak percaya, sendok yang ia pegang sedari tadi jatuh hingga terbenam kedalam bubur miliknya.

"Ck, kenapa? Kau tak menyangka? Oh ayolah, siapa lagi orang yang baik hati selain diriku yang akan memberikanmu bunga" Joss meletakkan sendoknya disamping mangkuk dan mulai menatap Peat, satu sudut bibirnya terangkat menampilkan seringaian mengerikan.

"Ha? Tapi.. Tapi untuk apa?" suara Peat memelan. Ia mulai takut. Ia mengingat foto Fort yang dipenuhi darah dan buket terakhir yang ia terima juga seperti terpercik darah. Apa ia sedang bersama psikopat sekarang?

"Peat, kau tau arti dari bunga mawar hitam dan mawar merah?" Peat menggelengkan kepalanya takut. Rasa berani yang ia peroleh pagi ini hilang begitu saja bagai asap.

"Bunga mawar merah adalah lambang cinta dan mawar hitam melambangkan kebencian. Seperti perasaanku padamu-" Joss menatap bengis kearah Peat. Bibirnya melengkung kebawah dengan sorot mata marah. Tangannya yang berada disamping mangkuk terkepal kuat seakan menahan amarah. Membuat Peat menahan napasnya karena takut Joss akan berbuat macam macam dan melukainya.

"-aku begitu mencintaimu hingga rasanya aku bisa begitu membencimu. Kau terlalu naif Peat. Kau terlalu mengagungkan pertemananmu tanpa mempedulikan perasaanku. Dan aku semakin membencimu ketika melihat dirimu dan pria itu menjadi terlalu dekat. Seharusnya aku membunuh pria itu malam itu juga lewat wanita yang kukirim kesana, tapi semuanya gagal. Gagal Peat!" Joss mengungkapkan emosinya sambil terus memukul meja berkali kali. Peat melihat separuh tangan Joss memerah karena memukul benda keras dibawahnya.

Tubuh Peat merosot, badannya bergetar ketakutan. Joss tak tampak bersahabat, Joss tampak mengerikan. Peat menautkan jarinya dan terus berdoa pada Tuhan, ia tak ingin mati hari ini.

"Kau tau?! Aku sangat mencintaimu hingga dititik dimana aku juga sangat membencimu" Peat menggigit bibir bawahnya kuat, lelehan air mata mulai berlomba menuruni pipinya. Ia sangat ketakutan melihat Joss yang masih menatapnya dengan marah.

Joss mendengus keras, emosinya meluap dengan sendirinya. Kepalanya yang penuh kini mulai terasa ringan.

Mata runcing itu mulai terpejam, ia mencoba mengatur napasnya yang memburu agar emosinya mereda. Ia tak boleh seperti ini jika benar benar menginginkan Peat bersamanya.

Joss menegakan tubuhnya dan mulai berjalan mengitari meja persegi yang menghalangi dirinya dan Peat. Tangannya menarik kursi kayu yang melekat pada meja dan mendudukinya hingga posisinya bersebelahan dengan Peat.

Matanya menatap Peat yang sudah terisak. Walaupun tanpa suara tapi Joss tahu jika Peat ketakutan melihatnya. Wajah yang selama ini ia kagumi itu sudah dipenuhi oleh basah, membuat hatinya melunak dan merasa bersalah.

Grep

Joss menarik Peat kedalam pelukannya. Mengusap pundak sempit itu lembut agar si pemilik tenang. Ia tak ingin Peat menangis karena dirinya.

"Maafkan aku. Aku tak akan berteriak seperti tadi lagi. Maafkan aku" Joss merasakan satu anggukan bergetar dipelukannya. Meskipun Peat mengangguk, isakan dan getaran tubuh Peat masih belum reda, membuat Joss semakin mengeratkan pelukannya untuk memberikan rasa hangat yang menenangkan untuk Peat.

"Peat, kau tau apa arti dari anyelir putih?" Joss kembali bertanya, matanya menerawang jauh dinding putih dihadapannya, ia ingin memberitahu Peat sekarang juga tentang bunga yang ia kirimkan.

Tak ada jawaban. Sepertinya Peat terlalu takut menjawab pertanyaannya.

"Anyelir putih itu melambangkan kematian dan kesedihan. Aku tau ini tidak benar, tapi kalian sangat mirip Peat. Entah kenapa saat pertama kali melihatmu membuat perasaanku membuncah bahagia saat itu. Rasanya aku kembali ke hari pertama kali aku jatuh cinta. Namanya Sky, kekasih pertama yang sangat aku cintai. Kami bertemu saat sedang bersekolah di Junior High School. Hari kami berjalan baik sampai hari dimana ia pergi meninggalkanku. Hari dimana ia memutuskanku adalah hari aku sangat membencinya. Ia mencampakanku begitu saja karena ia memilih untuk melanjutkan sekolahnya diluar negeri. Namun ternyata itu semua hanya bohong belaka-" Joss mengambil napas panjang. Dadanya terasa sesak saat mengingat kembali rasa yang ia rasakan saat itu. Begitu sedih dan memilukan.

"-ternyata ia pergi untuk selamanya, Peat. Hiks.." tubuh Joss bergetar. Kini gilirannya yang menangis, air matanya berlomba menuruni pipinya. Isakannya semakin lama semakin keras, membuat seisi ruangan menjadi ribut dengan tangisannya.

Tanpa sadar Peat mengangkat tangannya, mengusap punggung bergetar itu lembut untuk menenangkannya. Peat tak tau bagaimana perasaannya saat ini. Ia tak tau harus marah karena dirinya diteror hanya karena mirip dengan orang yang sudah mati atau ia harus iba setelah mendengar pengalaman menyayat hati Joss.

"Hah..." Joss menghembuskan napas beratnya. Berkat Peat, Joss merasa mulai tenang sekarang

"Sky menderita kanker otak. Ia pergi keluar negeri untuk menjalani pengobatan kankernya. Mungkin ia berpikir akan lebih baik jika aku tak mengetahuinya. Namun hal itu justru semakin berbahaya, ia membuatku menyesal karena membenci pria kecil itu saat hembusan napas terakhirnya." Joss kemudian melepaskan pelukannya dan menatap wajah Peat yang terlihat sedih. Joss tersenyum, melihat Peat yang ikut sedih karena dirinya membuatnya semakin yakin untuk memiliki Peat. Peat benar benar malaikat yang sengaja dikirim Sky untuknya.

"Saat bertemu denganmu, aku bertekad, bagaimanapun aku tak akan pernah menyakitimu, aku akan menjagamu sebaik mungkin Peat. Karena bertemu denganmu, kini aku kembali menemukan jalanku, aku kembali mendapatkan arahku, aku tak buta lagi Peat." senyum lebar terpatri dengan indah dibibir Joss, wajahnya kian berseri saat mencurahkan perasaannya.

"Maafkan perbuatanku padamu kemarin, aku hanya tak tahu bagaimana lagi cara untuk membawamu bersamaku"

Cup

Joss mengambil tangan Peat dan mengecupnya sekilas. Kemudiam kembali menatap mata Peat. Alisnya tertekuk sedih seperti meminta untuk diampuni.

Peat mengangguk. Peat sangat bingung. Ini tidak seperti dugaannya. Bukan ini yang ia harapkan. Tak ada satupun gambaran akan ada cerita sedih dibalik Joss yang selalu mengejarnya. Membuat rasa marah yang selama ini ingin ia keluarkan karena Joss memicu kematian Mook, tak lagi bisa ia curahkan. Mendengar cerita yang begitu menyedihkan dari Joss sukses membuat pandangannya berbalik. Meskipun kini dirinya ditandai sebagai pengganti orang yang sudah mati, tetap saja rasa marah dan sedihnya tak sebanding dengan Joss.

Lagi pula kematian Mook bukan hanya salah Joss, melainkan juga dirinya sendiri. Jadi ia tak akan bisa menunjuk Joss sendirian ketika empat jari lainnya mengarah padanya. Peat lah yang memegang penyebab terbesar kematian Mook, bukan Joss. Karena itulah ia mendapatkan Jinx, karena memang hanya dirinya yang perlu bertanggung jawab disini.

TBC


Komentar

Postingan populer dari blog ini

FORTPEAT - SURROGATE 2🔞

FORTPEAT - JINX - 16 🔞

FORTPEAT - RARE SPECIES - 5 🔞