FORTPEAT - JINX - 1
Dua manusia tampak bergelung dibawah selimut tebal berwarna coklat kemerahan. Tubuh keduanya terpisah namun sangat dekat hingga bahu mereka saling bersentuhan.
Jam terus berputar, menandakan waktu yang terus maju dan memperdalam tidur mereka. Seiring waktu tubuh mereka mulai bergerak tidak teratur karena reflek tidur. Membuat tubuh mereka makin lama beringsut semakin ketengah.
Kini tubuh mereka sudah saling menempel. Tangan mereka tidak sadar melingkari tubuh satu sama lain. Alam bawah sadar mereka seperti memerintahkan untuk mencari kehangatan yang lebih dari tubuh pihak lain.
-----
Secercah sinar matahari yang baru saja terbit memasuki sela sela ventilasi kamar dengan nuansa coklat putih itu. Dua manusia yang masih sibuk melanjutkan mimpinya tampaknya belum terusik dengan sinar yang sudah menghujam matanya.
Tak lama. Lima menit kemudian dering alarm dari salah satu ponsel mengejutkan salah satu dari mereka. Tangannya yang masih terhimpit diantara dadanya dan perut orang disebelahnya, perlahan terangkat menggapai ponselnya yang terletak diatas meja disamping tempat tidurnya. Seolah tau bagian mana yang akan disentuh, tanpa membuka mata ia mematikan ponsel tersebut dan kembali ke posisi awalnya sambil mulai mencari lagi kehangatan pada tubuh lainnya
Tak butuh waktu lama sampai ia sadar akan posisi tidurnya saat ini. Mata berat yang masih mengantuk itu tiba tiba menjadi sangat segar dan terbuka lebar. Buru buru ia menjauhkan tubuhnya dari tubuh pria didepannya.
Tak
"Aw! Sstt.. " tak sengaja ia membenturkan kepalanya ke ujung kasur yang terbuat dari kayu. Membuat tangannya reflek terangkat mengusap pucuk kepalanya yang berdenyut sakit. Bibirnya meringis kesakitan dan matanya menyipit untuk mempertegas bahwa ia tengah kesakitan.
"Kenapa kau bangun pagi sekali? Ayo tidur lagi" suara serak khas bangun tidur tiba tiba terdengar. Sebuah tangan kembali menarik dirinya masuk kedalam selimut dan memeluknya seperti sebuah guling.
"Bangunlah Fort.. Uh.." ia mencoba melepaskan pelukan yang melilitnya erat dengan menumpukan tangannya didada pria yang disebut Fort itu.
"Lima menit lagi Peat. Ayolah, aku masih mengantuk" Fort kembali menarik Peat kepelukannya. Ia mendekap tubuh kecil itu dengan erat. Memiliki sesuatu didalam pelukan saat tidur adalah hal yang wajib bagi Fort, apalagi jika Peat yang mengisinya, Fort merasa tidurnya akan sangat nyenyak.
Peat tak bisa berbuat banyak. Tenaga Fort memang kuat dibanding dirinya. Peat hanya bisa pasrah membiarkan tubuhnya menjadi guling.
"Hanya lima menit, okey? Kita harus ke kampus pagi ini. " Peat memperingati Fort dan hanya disambut gumaman oleh Fort.
"Apalagi kelas pagi ini dengan Acan Mei. Kau masih mau luluskan? "
"Acan Mei? Oh no! " Fort yang mendengar nama dosen terkiller itu disebutkan segera turun dari ranjang dan berlari keluar kamar Peat. Ia tak bisa lagi terlambat. Bisa bisa pupus harapan tamat tepat waktunya.
Peat terkekeh melihat Fort yang panik seperti kesetanan hanya karena nama Acan Mei disebutkan. Jelas saja itu hanya trik Peat agar Fort bangun dan bersiap ke kampus, temannya satu itu sangat pemalas. Ia hanya tau mengenai kekasih, seks dan kekasih. Seperti tadi malam, ia baru saja putus dari kekasihnya yang entah sudah keberapa. Dan seperti biasa, tiap kali ia putus, ia akan mencari Peat dan bercerita kemudian meminta ditemankan tidur. Fort bilang dia tak suka tidur sendiri. Jadi kalau kekasihnya tidak bisa menemaninya tidur, Peat lah yang harus berkorban.
Bahkan si playboy ini datang dalam keadaan bahagia dan sumringah setelah putus dari kekasihnya. Peat tak habis pikir dengan para manusia yang masih saja mau berjejer antri untuk menjadi kekasih temannya ini. Kenapa mereka mau dengan manusia macam Fort ini? Yang setiap kali berpacaran tak cukup dengan satu orang, dia bisa memiliki 3 bahkan 4 sekaligus. Jika kekasihnya tak terima, ia bisa memutuskannya dan mencari penggantinya segera. Tapi jika sampai Fort sudah meminta untuk ditemani tidur berarti stok pacarnya memang sudah habis. Jadi terpaksa Peat berkorban sementara sampai Fort kembali memacari orang orang yang mengelukannya.
Peat kemudian turun dari ranjangnya dan berjalan menuju kamar mandi. Ia harus bersiap juga karena kelas pagi hari ini. Tapi yang pasti kelas pagi ini bukan kelas Acan Mei, kkk...
-----
"O oih Peat! Kau menipuku? " Fort mengeluh melihat dosen yang baru saja masuk kedalam kelas. Ia menatap Peat kesal, harusnya ia bisa tidur lebih lama jika yang masuk adalah Acan Dun. Peat hanya mengendikkan bahunya kemudian tertawa menanggapi keluhan Fort.
Beberapa saat kemudian akhirnya Acan Dun membuka mata kuliah pagi ini. Mahasiswa yang duduk dibagian depan tampak menyimak dan mencatat poin poin penting mengenai farmakokinetik obat yang disampaikan oleh Acan Dun. Berbeda dengan mahasiswa lain yang berada dibagian belakang. Mereka semua tampak sibuk dengan urusannya masing masing. Ada yang sibuk dengan ponselnya, ada yang sibuk dengan novel atau komiknya, ada yang bergosip, tapi tentu juga ada yang tetap menyimak meskipun duduk dibagian belakang seperti Peat.
Peat merasakan sikutan berkali kali menyentuh lengannya. Peat menoleh kearah Fort yang sudah menampilkan senyumnya yang selalu memakan korban. Setiap orang akan nyaris mematung jika mendapatkan senyuman dari Fort, begitu menawan dan mempesona. Apalagi jika ia sampai mengedipkan matanya yang hanya akan menambah kesan tampan berkali kali lipat. Dia hanya tinggal menunjuk dan orang itu akan langsung menjadi pacarnya.
Tapi itu semua tak berlaku bagi Peat. Peat bahkan sudah lelah melihat senyuman itu. Setiap hari. Catat. Setiap hari! Setiap hari ia selalu melihat senyum Fort disekelilingnya. Baik selama dikampus atau di kondominiumnya. Fort selalu menempelinya seperti lem, apalagi ketika dirinya baru saja putus, Peat benar benar akan ditarik kesana kemari atau Fort akan mengikuti Peat kesana kemari. Bahkan untuk ke kamar mandi saja Fort akan menemaninya kedalam sampai Peat benar benar selesai dengan urusannya. Bahkan ia rela menunggu disamping urinoir saat Peat tengah buang air kecil. Saking terbiasanya dia sudah tak malu untuk urinasi sambil ditatap oleh Fort, mulutnya sudah terlalu kering untuk memprotes sikap Fort. Jadi biarkan saja.
Orang orang sering salah paham melihat kedekatan mereka. Mereka bahkan memiliki julukan sebagai dreamy couple karena katanya mereka terlalu serasi.
Bagaimana tidak, perawakan mereka terbilang sangat lucu. Fort dengan tubuh atletis dan menjulang dengan fitur wajah yang tegas membuatnya sangat tampan. Sedangkan Peat dengan tubuh yang lebih kecil dan wajah yang terbilang cukup manis membuat mereka tampak sangat serasi.
Tapi sayang, itu semua hanya kesalah pahaman yang tak berarti. Meskipun Fort diketahui memiliki orientasi biseksual, berbeda dengan Peat. Peat menyukai seorang wanita dan sekarang tengah menjalin hubungan kurang dari 2 bulan dengan salah satu juniornya. Tapi kesalah pahaman itu tak membuat Peat menjauhi Fort, baginya Fort hanyalah seorang sahabat yang baik. Dan Peat juga bukan tipe orang yang mudah dipengaruhi oleh orang lain. Jadi kesalah pahaman mengenai dirinya dan Fort bukanlah suatu masalah besar.
"Kita makan apa setelah ini? Hm? Hm? " Fort segera memburu Peat dengan pertanyaan sesaat setelah Peat menatapnya.
Peat berpikir sambil mengetuk ngetukkan penanya dipipi. Begitu banyak pilihan makanan dikepalanya saat ini. Jika bisa Peat ingin memakan semua makanan yang terlintas dipikirannya, tapi perutnya hanya satu, jadi ia hanya bisa memilih satu menu saja.
"Kau bisa memilih dua. Kita bisa membungkusnya jika tidak habis"
"Serius? Tumben kau menjadi baik. Biasanya kau akan melarangku makan banyak" Peat menatap Fort tak percaya dengan senyum mengejeknya.
"Bukan begitu. Aku melarangmu karena kau sendiri nanti yang akan mengeluh karena sakit perut. Jadi kau tidak mau du-"
"Mau! Mau. Aku mau Khao Pad dan Pad Thai. Hehe" Peat tersenyum lebar dengan matanya yang melengkung seperti bulan sabit kearah Fort. Membuat Fort mengacak rambutnya karena tak tahan karena gemas.
"Ekhem. Khun Fort, coba jelaskan kembali bagaimana cara metabolisme dari parasetamol yang baru saya jelaskan?"
Kelas mendadak hening setelah suara Acan Dun yang berat memenuhi seisi ruangan. Mahasiswa yang berada dibagian depan tampak memutar tubuhnya kebelakang melihat pelaku yang disebutkan namanya oleh dosen. Mahasiswa yang sebenarnya juga melakukan aktivitas lain, satu persatu mulai menyembunyikan ponsel, novel atau komiknya dan ikut menatap kearah Fort. Mereka tiba tiba menjadi murid baik dan ikut menghakimi Fort dengan tatapannya.
"Ko tod khap, Acan Dun" Fort menampilkan senyum memelasnya sambil menempelkan kedua telapak tangannya didepan wajah untuk meminta maaf. Ia sama sekali tak menyimak penjelasan dari Acan Dun. Untuk pura pura menjawab saja ia tak memiliki ide.
"Khun Peat? "
"Parasetamol dimetabolisme di hati dengan enzim CYP-"
"Cukup. Sebaiknya kalian menyimak ketika saya menjelaskan, bukan malah bermesraan dibelakang. Meskipun kalian pintar sekalipun, jika tidak memiliki tata krama yang baik sama saja dengan nol. "
"Ko tod khap Acan" Fort dan Peat secara serempak kembali meminta maaf yang hanya ditanggapi anggukan oleh Acan Dun.
Fort dan Peat menghela napas berat mereka ketika Acan Dun kembali menjelaskan mata kuliah didepan kelas. Mereka kemudian saling bertatapan cukup lama dan akhirnya terputus ketika mereka sama sama terkikik geli menertawai diri mereka sendiri.
-----
Dihadapan Peat kini telah tersedia 3 macam makanan. Matanya berbinar senang ketika melihat asap yang mengepul dan aroma harum makanan yang menusuk hidungnya. Dua untuk Peat dan satu untuk Fort.
Tangan Peat bergegas mengambil sendok dan garpu yang terletak disebelah piringnya. Tangannya akhirnya mulai menyendok nasi goreng yang sudah menggodanya sedari tadi.
Hap
Fort menahan tangan Peat untuk menyuap makanan tersebut kemulutnya. Alis mata Peat bertaut tidak suka, bibirnya pun terjungkit sebelah karena tak terima acara makannya diganggu.
"Berdoa dulu sebelum makan" Fort terkikik geli melihat wajah Peat yang tertekuk pasrah. Ia melepaskan sendok dan garpunya kemudian menangkupkan tangannya untuk berdoa.
Peat kembali tersenyum lebar, ia bersemangat setelah menyelesaikan doanya dan kembali meraih sendok dan garpunya.
"Stop stop"
"Apalagi?! Aku mau makan Fort! " Peat dengan kesal menghempaskan tangannya kesisi piringnya. Demi Tuhan ia hanya mau makan! Tapi kenapa selalu di ganggu?!
"Kkk.. Minum dulu Peat. Jangan langsung makan" Fort menyodorkan sebotol air mineral yang tutupnya sudah ia buka. Senyum lebar tak lepas dari bibirnya melihat tingkah Peat yang sangat menggemaskan dimatanya. Bahkan Peat yang mengambil botol air mineral dengan kasar dan menenggaknya hingga habis pun terlihat sangat menggemaskan.
"Puas? " Peat mendelikkan matanya kearah Fort. Ia tak ingin diganggu lagi. Apapun yang menghentikannya, ia tak akan menggubris. Meski langit runtuh sekalipun.
Peat mulai menyendok kembali nasi goreng yang sedari tadi sangat ia idamkan. Baru saja nasi goreng itu sampai didepan mulut Peat, tangan Fort kembali memegang pergelangan tangannya. Peat berusaha melawan kekuatan Fort dengan mengangkat sendok tersebut agar masuk ke mulutnya. Tapi Fort semakin kuat menurunkan tangannya kebawah. Peat tak kehabisan akal, kali ini ia menurunkan kepalanya untuk mengejar sendoknya yang sudah berisikan nasi goreng. Namun kening Peat malah ditahan dengan telunjuk oleh Fort sehingga tak bisa turun untuk memakan nasi goreng tersebut.
"Hah! Apalagi?! Kenapa kau menggangguku makan?! " Peat berteriak sekeras mungkin pada Fort. Dia sangat kesal melihat Fort yang terus saja mengganggunya makan.
Fort terkikik geli melihat wajah marah Peat. Bibir mungil Peat mencebik lucu dengan dahi yang berkerut. Menggoda Peat adalah daftar wajib dalam kegiatan sehari harinya. Ia tak pernah melewatkannya sekalipun karena respon Peat yang sangat ekspresif, sehingga moodnya selalu baik setiap hari.
Drrtt
Drrtt
Peat dan Fort melirik ponsel yang bergetar diatas meja. Nama PunPun dengan emoji love berwarna merah terlihat pada layar ponsel tersebut. Peat segera mengangkatnya dan mendekatkan ponsel tersebut ke telinganya.
"Ya sayang. Kenapa?"
"..."
"Aku di kafe belakang gedung fakultas. Kau mau kesini?"
"..."
"Baiklah. Tunggu aku 20 menit. Aku mencintaimu"
"..."
Pip
Peat kembali meletakkan ponselnya diatas meja dan mulai membereskan barangnya yang tersebar diatas meja. Terakhir tangannya mengambil kunci mobilnya yang juga terletak diatas meja.
"Kau mau kemana? Kau belum makan" Fort menengadahkan kepalanya melihat Peat yang sepertinya akan beranjak pergi.
"Punpun mengajakku bertemu difakultasnya. Jadi aku harus kesana"
"Habiskan dulu makananmu, baru temui dia" Fort berdiri dan mendorong bahu Peat kebawah agar duduk kembali dikursinya.
Tak
Peat memukul dahi Fort dengan sendok yang ia ambil dari piringnya. Ringisan kemudian terdengar dari mulut Fort sambil mengusap dahinya yang dipukul.
"Jika kau membiarkanku makan dari tadi aku tak perlu pergi dengan perut kosong. Kau tau sendiri jika aku terlambat bagaimana. Aku pergi dulu. Bye.. " Peat bergegas meninggalkan Fort dan berjalan menuju fakultas kedokteran.
-----
Angin malam berhembus sangat kencang membuat siapapun yang berada ditengah malam itu dapat bergidik karena kedinginan. Terkecuali satu orang yang duduk disudut balkon gelap dengan tangan yang memeluk kakinya erat hingga ke dada. Tubuh pria itu bergetar diiringi beberapa isakan yang lolos dari bibirnya yang sudah ia gigit sekuat mungkin agar tak bersuara. Matanya hanya mampu menatap nanar lampu jalan yang berada disebrang kondominiumnya. Matanya memerah dengan lelehan air mata yang mengalir dikedua sudutnya.
Entah sudah keberapa kali dia menjalin hubungan. Tapi selalu saja tak berhasil. Hari ini dia lagi lagi diputuskan oleh kekasihnya dengan alasan yang tak masuk akal.
'Kau terlalu baik'.
Sungguh alasan yang sangat klise. Apa salah memperlakukan kekasihmu dengan baik? Apa setiap orang ingin diperlakukan kasar ketika menjalin kasih?
Peat sudah mencoba berbagai cara disetiap kali menjalin hubungan dengan para kekasih yang ia miliki. Peat berusaha mengubah caranya agar sang kekasih tetap nyaman untuk tinggal bersamanya. Ia sangat tulus setiap menjalani hubungannya, bahkan ia tak pernah sedikitpun menyakiti dan memaksa kekasihnya nelakukan apapun bahkan ketika ia merasa ingin. Peat selalu meminta izin atau persetujuan dari sang kekasih untuk melakukan apapun. Apa dia harus berubah menjadi jahat agar kekasihnya tak meninggalkannya?
Ia seperti merasakan sebuah kutukan. Nasib sial yang terus mengikutinya sejak pertama kali menjalin hubungan asmara. Bagaimana tidak jika setiap hampir 2 bulan menjalin kasih, kekasihnya selalu meminta putus dengannya. Apa dia memang ditakdirkan untuk tak bisa memiliki kekasih? Apa ia ditakdirkan hidup sendiri sampai mati? Rasanya ia tak ingin lagi memiliki kekasih.
Tangannya semakin mengepal erat disisi tubuhnya ketika hatinya kembali berdenyut sakit. Bahkan udara dingin yang terus terhempas ketubuhnya mulai menurunkan suhu tubuhnya. Tubuhnya akhirnya menggigil hebat. Sudah beberapa jam dia duduk disini semenjak sore sepulang dari bertemu dengan Punpun. Tak sesuap pun makanan ataupun minuman mengisi tubuhnya semenjak siang. Tubuhnya tak memiliki kekuatan untuk mempertahankan diri dari terpaan angin kencang.
Bibirnya mulai membiru. Wajahnya menjadi pusat pasi. Matanya menjadi sangat berat. Kepalanya serasa berputar dengan penglihatan yang sudah berangsur mengabur. Telinganya berdenging tak mendengar suara lain yang memanggilnya dari dalam kondominium gelapnya. Kekuatan untuk mempertahankan posisi duduknya tak lagi ada. Badannya seketika limbung dan hampir jatuh jika saja sepasang tangan tak sigap menyambutnya.
"Peat! "
-----
Fort terus bergerak mengeluarkan semua selimut hangat yang tersimpan dilemari Peat. Kakinya sibuk berlari kesana kemari untuk mencari benda yang dapat menyelimuti Peat. Tubuh temannya sangat dingin, badannya menggigil hebat. Fort sedikit panik mendapati Peat yang terus menggigil sambil mengigaukan nama Punpun. Ia juga berlari keluar kamar Peat menuju ke kamarnya untuk mengambil beberapa helai selimut tebal.
Fort menatap Peat yang masih menggigil dengan bibir yang bergetar meracau meskipun 6 helai selimut tebal telah menutupinya. Sesekali ia menyeka peluh didahinya dan berkacak pinggang kearah kasur. Otaknya berpikir cara apalagi agar Peat dapat kembali hangat. Suhu AC kamar sudah ia naikan hingga 32 derajat. Namun tetap saja tak ada perubahan.
Fort akhirnya berinisiatif melepas pakaian atasnya hingga menyisakan tubuh atas yang telanjang. Ia masuk kedalam tumpukan selimut tebal yang membalut tubuh Peat. Tangannya dengan lihai ikut menarik paksa baju Peat hingga ikut bertelanjang dada seperti dirinya.
Fort berpikir sentuhan antara kulit dan kulit akan lebih efektif karena suhu tubuhnya cukup panas untuk menghangatkan Peat. Fort menutupi tubuh mereka berdua dengan selimut berlapis hingga dada dan memeluk tubuh Peat erat. Tangan kekarnya merengkuh tubuh kecil yang menggigil itu hingga semua kulit mereka bersentuhan. Fort berusaha menyalurkan hangat tubuhnya semaksimal mungkin pada Peat. Pipinya ia tempelkan pada pipi Peat agar juga ikut merasakan panas.
Sekitar 40 menit akhirnya tubuh Peat kembali normal tak menggigil lagi. Meski tubuhnya masih dingin tapi tetap saja sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Peat masih mengigau memanggil nama mantan kekasihnya. Fort semakin mendorong tubuh Peat menjauh masuk kedalam pelukannya. Membuat kepala Peat akhirnya bersandar penuh didada polosnya. Tangannya terulur mengusap surai hitam kepunyaan Peat sambil terus menggumamkan kata maaf.
Peat akhirnya tertidur, hembusan napasnya menjadi teratur. Fort melihat kearah wajah damai yang sudah terlelap dipelukannya. Ia mengecup puncak kepala temannya dan mulai memejamkan matanya mengikuti Peat ke alam mimpi
-----
Bayang sinar matahari yang sudah sepenggalah naik menyerbu masuk kedalam kamar kondominium disalah satu pusat kota. Menyebabkan cahaya temaram menyinari kamar tersebut seadanya dari balik celah tirai dan ventilasi kamar tersebut. Kamar yang dari kemarin tidak mendapatkan satu pencahayaan apapun menjadi sedikit terang dibanding sebelumnya.
Salah satu diantara orang yang tidur dibawah tumpukan selimut akhirnya terjaga. Mata rusanya mengerjap beberapa kali untuk menyingkirkan kabur dari pandangannya. Badannya sedikit tersentak kebelakang ketika mendapati dirinya dalam pelukan seseorang dengan keadaan tubuh yang bertelanjang dada yang juga sama seperti kondisinya. Kakinya yang masih terasa terbalut kain bahan membuat hatinya menjadi sangat lega. Bukannya kenapa atau bagaimana, sekarang ia tengah dipeluk oleh temannya yang terkenal playboy dan suka menghabiskan waktu diatas ranjang. Wajar saja ia sedikit was was karena mendapati dirinya dalam keadaan setengah telanjang seperti ini.
Matanya menatap wajah Fort yang belum terusik dan masih damai bersama mimpinya. Peat tertawa kecil ketika melihat kondisi Fort yang sangat menggelikan menurutnya. Wajah dan rambutnya sudah dibanjiri oleh keringat hingga sarung bantalnya menjadi sangat basah. Peat juga merasakan kulit yang bersentuhan dengannya juga basah karena keringat.
"Jangan menatapku, nanti kau suka" Peat terhenyak saat mendengar suara Fort yang keluar dengan wajah yang benar benar damai layaknya orang tidur.
"Kau berkeringat dan bau. Bangunlah dan pergi mandi" ujar Peat sambil menggerakan tubuhnya untuk melonggarkan pelukan Fort.
"Jangan bergerak, aku ingin tidur satu jam lagi." tangan Fort kembali mengeratkan pelukannya hingga wajah Peat masuk ke ceruk kehernya.
"Ini sudah jam 9 pagi. Kau tak mau sarapan? " Peat hanya bisa mengalah dan tak berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Fort. Fort sangat keras kepala dan keras otot, jadi ia lebih memilih membujuk dengan kata kata ketimbang perbuatan.
"Aku baru tidur pukul 4 pagi. Berikan satu jam dispensasi"
Peat tak membalas ucapan Fort. Ia memilih menuruti kemauan temannya untuk tidur satu jam lebih lama. Anggap saja sebagai upah karena telah merawatnya hingga dirinya basah kuyup karena keringatnya sendiri. Satu tangan Peat terulur melingkari sisi tubuh Fort dan menepuk punggungnya dengan tempo lambat. Berusaha agar temannya dapat terlelap lebih cepat dan tidak meminta tambahan waktu untuk tidur. Tak lama dengkuran halus kembali menyapa telinganya menandakan temannya sudah kembali tidur menuju mimpinya
-----
Dentingan sendok dan garpu menemani dua orang sekawan yang tengah menyantap bubur yang dibeli Peat buru buru dibawah kondominumnya. Setelah membersihkan diri dan seluruh barang barang yang basah karena keringat, Peat berinisiatif membeli bubur untuk sarapan mereka berdua. Suasana hati Peat belum baik, sehingga tak satupun kelakar yang keluar dari mulut masing masing.
Meskipun hari ini adalah hari sabtu, dimana mereka biasanya menikmati waktu senggang dengan bermain game ataupun menonton serial netflix, kini tak satupun dari mereka berinisiatif untuk mengusulkan kegiatan.
"Terimakasih" suara Peat pertama kali yang memecah keheningan diantara mereka. Membuat Fort mau tidak mau memberhentikan suapannya dan menatap kearah Peat.
"Tak masalah" Fort membalas dengan memamerkan senyuman lebar kearah Peat, bermaksud agar Peat menjadi nyaman dan tak murung kembali.
"Aku putus lagi Fort" Peat akhirnya menjatuhkan sendoknya diatas kotak sterofom dan memilih menatap Fort dengan wajah sedihnya. Ia sudah terbiasa berkeluh kesah pada Fort dan begitu juga sebaliknya.
Fort memilih menarik kursi Peat mendekat kearahnya dan menepuk puncak kepala Peat sesekali.
"Aku turut sedih."
"Apa menurutmu aku kekasih yang buruk? " Peat menghela napas sambil menatap kosong lantai dibawahnya.
"Tidak tau. Kita belum pernah berpacaran"
Plakk
Peat memukul lengan Fort sedikit kuat setelah mendengar ucapan Fort. Sempat sempatnya ia bercanda seperti itu. Peat mendengus kesal melihat Fort yang terus mengusap lengannya dengan ekspresi kesakitan yang dibuat buat. Ia tak memulul sekeras itu. Berlebihan!
"Hah... Apa menurutmu aku benar benar memiliki nasib sial Fort? Sepertinya aku benar benar dikutuk sehingga hubunganku tak pernah melewati 2 bulan. Aku ingin menyerah mencari kekasih" Peat menghembuskan napas beratnya sambil menyenderkan tubuhnya ke senderan kursi dan beralih menatap dinding kosong didepannya. Wajahnya terlihat sangat lelah dan sorot matanya sangat sendu. Seperti tak ada harapan lagi untuknya.
"Hei hei. Dengarkan aku Peat. Menurutku jika kau sudah melakukan yang terbaik dalam hubunganmu dan masih saja gagal, berarti itu bukan kesalahanmu ataupun nasib sial seperti yang kau katakan. Hanya saja kau belum menemukan orang yang tepat dan sesuai dengan perlakuanmu. Aku yakin kau akan menemukan yang jauh lebih baik dan mampu menerima semua perlakuanmu. Nasib sial itu tidak ada, percayalah padaku" Fort mengambil kedua bahu Peat dan memutarnya untuk menatap kearahnya sepenuhnya. Mata Fort berusaha mengunci mata yang beriris cokelat terang itu untuk menatapnya. Ia ingin apa yang ia sampaikan dapat diterima dengan baik oleh si pendengar.
Peat menatap mata Fort lekat. Entah kenapa ia merasa tersihir sehingga mengangguk mengiyakan ucapan Fort. Padahal ia tahu itu hanya kalimat penenang yang Fort buat demi menenangkannya. Tapi ia merasa sangat nyaman dan menjadi lebih tenang hanya dengan kata kata itu.
"Good boy" Fort mengusak rambut Peat sambil tersenyum lebar.
"Aku bukan anak kecil. Singkirkan tanganmu" Peat menepis tangan Fort yang berada diatas kepalanya dan memilih menjauhkan kursinya. Ia lebih berminat untuk makan dibanding merespon Fort yang menertawainya.
"Aku benar benar takjub padamu Peat. Tak sampai beberapa menit yang lalu kau masih dalam mood buruk dan seperti orang yang tak memiliki semangat hidup. Tapi lihatlah sekarang, kau menyantap bubur seperti tidak diberi makan satu minggu, Ckckckck" Fort berdecak sambil menggelengkan kepalanya tak percaya.
"Berisik! Aku mau makan! " Peat berteriak kesal kearah Fort. Selain ia memang kesal, ia juga berteriak untuk menutupi rasa malu karena merasa ikut aneh pada dirinya sendiri.
Fort hanya terkekeh menanggapi teriakan Peat. Kepalanya ia tumpukan diatas kepalan tangannya dan menatap wajah Peat yang sangat lucu ketika makan, apalagi raut kesalnya masih terlihat. Menikmati wajah Peat lebih mengenyangkan dibanding menyantap bubur dihadapannya.
TBC
Komentar
Posting Komentar