FORTPEAT - SURROGATE 1
Suasana
yang terasa sedikit berbeda dari biasanya. Entah kenapa Peat merasakan
mertuanya menjadi lebih perhatian hari ini. Makan malam yang selalu ia hadiri
dengan suaminya dirumah sang mertua cenderung lebih hangat dan nyaman.
Nyaman,
namun asing.
Terasa
seperti detik detik sebelum datangnya badai.
Dentingan
antara piring dan alat makan pun terdengar. Dengan senyum hangat khas seorang
ibu, sang mertua mulai menaruh beberapa makanan diatas piring Peat. Matanya
yang mulai berkeriput namun tak sebanyak wanita seusianya menatap Peat dengan
hangat. Bahkan sang ibu mertua tak menatap suaminya sedemikian rupa.
Hanya
respon yang sama yang bisa Peat berikan. Dengan senyum lebar khas miliknya serta
sedikit mata yang tertutup karena pipinya yang naik.
Makan
malam pun dimulai, seperti biasa percakapan antara sang suami dan ayah
mertuanya selalu terdengar serius. Percakapan seputar pekerjaan mereka dan
beberapa hal lain yang saling berkait.
Fort.
Suaminya yang saat ini ditunjuk sekitar satu tahun yang lalu sebagai direktur
utama perusahaan keluarga mereka. Perusahaan yang bergerak dalam bidang pangan
itu semakin hari menunjukkan beberapa penurunan. Hal ini pun Peat ketahui
karena tanpa sengaja menyimak obrolan kedua ayah dan anak tersebut.
Meski
tak terlalu parah, namun segala sesuatu yang terkait dengan penurunan akan
selalu terdengar negatif dan buruk. Jadi Fort belakangan memang lebih sibuk
dari biasanya hingga pria itu terkadang tak sempat untuk pulang kerumah mereka.
Tak
masalah bagi Peat. Suaminya tengah bekerja keras dan Peat harus menghormati
itu. Dan lagi pun tak ada perlakuan berbeda dari Fort, matanya dan getaran
setiap kali mereka bertemu tak berubah sejak mereka menikah 17 bulan yang lalu.
Peat
sangat mempercayai suaminya.
Pria
yang pertama kali ia temui dibutik milik ibunya. Hm, sudah berapa lama ya? 6
atau 7 tahun lalu? Harusnya kisaran segitu.
Tentu
mereka hanya saling bertukar sapa saat bertemu pertama kali. Cinta pandangan pertama
bukan makanan lagi untuk orang orang yang sudah berumur kepala dua seperti
mereka.
Fort
yang saat itu bekerja dibawah bimbingan ayahnya terbilang cukup sering
mengunjungi butik milik ibunya. Tentu eksekutif muda seperti Fort memiliki
banyak acara jamuan dan pertemuan yang harus dihadiri untuk menambah jangkauan
kolega. Banyak permintaan untuk jas, setelan maupun tuxedo dari pria jangkung
ini. Dan begitu juga dengan butik ibunya yang selalu memberi kepuasan terhadap
permintaan pelanggan.
Singkatnya
kami menjadi cukup sering bertemu, hingga sampai saatnya staff yang selalu
memegang pesanan Fort mengundurkan diri. Hingga pekerjaan staff tersebut
terpaksa dibagi secara merata pada staff lain termasuk Peat.
Mendapati
jika ia harus memegang kendali atas pesanan Fort, membuat Peat menjadi sedikit
lega. Saat itu mereka sudah cukup sering melempar canda dan menurut Peat akan
menyenangkan jika berurusan dengan Fort.
Namun
tak seperti tebakannya, Fort ternyata cukup rewel. Banyak perbaikan disana sini
yang membuat Peat kewalahan. Hanya untuk satu pesanan saja, Peat terpaksa
lembur setiap hari agar dapat mencapai waktu kesepakatan.
Namun
hal itu menjadi awal dari segalanya. Saat itu mereka mulai bertukar kontak dan
saling menghubungi satu sama lain, meskipun diawal mereka hanya berkirim pesan dengan
konteks pekerjaan, namun lambat laun pesan mereka berubah menjadi lebih pribadi
dan intim. Saling mengirim kata semangat dan kabar.
Hingga
akhirnya rasa nyaman antara keduanya mulai tumbuh dan berkembang menjadi benih
cinta. Mereka mulai menjalin hubungan dan akhirnya menikah 17 bulan yang lalu.
Jangan
kira hubungan mereka berjalan mulus. Tak satupun dari keluarga mereka yang
menginginkan putra mereka satu satunya menikah satu sama lain. Konsekuensi yang
ekstrim dikemudian hari membuat kedua keluarga menolak mentah mentah rencana
pernikahan mereka.
Di
zaman saat ini tak sedikit orang yang menganggap hubungan sesama jenis seperti
mereka wajar. Dan begitu pun kedua keluarga mereka, hanya saja mereka mampu
menerima sampai batas tertentu, tak sampai ke jenjang yang lebih serius.
Banyak
percobaan dan diskusi yang mereka lakukan. Mencoba meyakinkan keluarga masing
masing bahkan termasuk mengorbankan diri. Seperti Peat yang bersedia untuk
dikeluarkan dari nama pewaris keluarga. Keluarga Peat tak sekaya Fort, namun
keluarga Chaijindar cukup terpandang dengan bisnis industri produk kecantikan
serta butik.
Peat
yakin awal dari ancaman ini hanyalah gertakan dari Papinya semata, tak lebih.
Menyangka jika Peat akan menyerah pada Fort dan memilih perusahaan. Namun siapa
sangka Peat melangkah dua kali lebih maju, mengambil resiko besar hingga akhirnya
sebuah gertakan menjadi kenyataan.
Namun
Peat bersyukur, setidaknya ia masih diizinkan mengunjungi Papi dan Maminya, ia
tidak dicoret dari kartu keluarga. Peat pun tak tahu mengenai perusahaan
keluarganya saat ini, entah siapa yang menjalankannya, apakah masih dibawah
orang tuanya atau sudah berpindah tangan. Atau bahkan sudah dijalankan oleh
kakaknya sendiri
Sedangkan
Fort diancam dengan diusir dari kediamannya. Tak berbeda jauh dengan Peat, pria
dengan tinggi 182 cm itu mengiyakan ancaman tersebut dan turut melakukan demo
kerja. Hampir 2 bulan lamanya Fort tinggal bersama Peat diapartemen milik Peat.
Mereka hidup dengan sisa sisa uang yang mereka miliki direkening masing masing.
Peat yang menganggur dan Fort yang demo. Tak ada pemasukan sama sekali.
Dan
beruntungnya Fort memiliki skill yang sangat mumpuni. Perusahaan yang ia
tinggalkan mengalami penurunan pesat semenjak tugas Fort ditangani pihak lain,
hingga pada akhirnya orang tua Fort meminta sang putra kembali untuk mengatasi
permasalahan perusahaan.
Tentu
saja yang terjadi selanjutnya sudah bisa ditebak. Mereka diterima dan akhirnya
dapat melangsungkan pernikahan.
Sangat
berat namun manis. Tak ada hasil yang manis tanpa perjuangan bukan?
Tuk
Tuk
Ketukan
kecil dari telunjuk diseberang meja membuat Peat menarik sadarnya dan melihat
kearah sang ibu mertua. Tak hanya Peat, dua pasang mata lainnya ikut bergabung
menatap Nyonya rumah dari keluarga Sangngey.
“Ehm...
ada sesuatu yang ingin ibu bicarakan” dengan menegakan bahu dan menopang
seluruh sisi lengannya diatas meja, sang Nyonya rumah mulai melirik satu
persatu orang yang berada dihadapannya. Kemudian jari jarinya bertaut dan mulai
menampilkan senyum tipis yang sedikit terkulum.
Cukup
lama hening menyelimuti, sendok garpu yang masih berada ditangan masing masing terlihat
tergantung baik ditangan para empu. Namun tiba tiba terlihat sedikit pergerakan
dari sang ayah mertua setelah menatap istrinya dalam kurun waktu tertentu. Tubuhnya
sedikit mundur dengan alis yang menurun, Peat menangkap ada ketidaksetujuan
dari perilaku ayah mertuanya.
“Bu?
“ tentu saja Fort, Peat tak berani menegur sang ibu mertua untuk berbicara
lebih cepat. Imagenya tak terlalu bagus sedari awal, ia tak ingin
memperburuk keadaan.
“Pagi
ini saat ibu menghadiri pertemuan rutin dengan teman teman ibu, mereka membawa
cucu cucu mereka dan mengenalkannya satu sama lain.”
Serasa
menelan besi panas, Peat merasa tenggorokannya terbakar. Bahunya yang semula
tegak menjadi turun. Tangannya sekilas terlihat bergetar. Semua bagian
ditubuhnya bereaksi hebat.
Ternyata
badai yang ditunggu datang juga.
“Hentikan
omong kosong ibu dan ayo selesaikan makan malam ini. Aku masih memiliki
beberapa janji yang harus kuhadiri” sebuah pijatan kecil Peat rasakan dipaha
kirinya, tangan suaminya berada disana untuk memberi kekuatan sebelum kembali
naik untuk memegang sendoknya kembali.
Dalam
sekejap suasana berubah canggung. Tak ada lagi suara atau percakapan yang
mengisi, tak ada lagi aura nyaman yang melingkupi. Hanya dentingan alat makan
yang menyeruak dengan lambat.
Selera
makan pun semakin menurun, tangan Peat bergerak jauh lebih lambat dari
sebelumnya. Matanya yang menatap makanan tanpa sengaja melirik kearah sang ibu
mertua yang tak lagi mengangkat sendok dan garpu miliknya.
“Peat,
bagaimana menurutmu? Apa permintaan ibu berat? “ bibir Peat terasa kelu,
tubuhnya mematung saat secara sadar ditembaki pertanyaan yang tak ingin ia
jawab.
“Sudah-“
“Ibu
hanya menginginkan cucu. Ibu hanya menginginkan anak anak kecil lucu berlarian
dirumah ini. Rumah ini semakin sepi dan ibu semakin bertambah tua. Tak ada
hiburan apapun. Ibu pikir setidaknya jika ibu memiliki cucu, hal hal seperti
ini akan cenderung membaik. Memiliki sesuatu hal untuk diperhatikan dan
disayang jauh lebih baik rasanya”
Tangan
Peat yang kini bergantian menggenggam erat tangan Fort, mencegah sang suami
membantah dan membiarkan ibu mertuanya berbicara. Tepukan ringan diatas tangan
Fort pun mengakhiri sentuhan keduanya sebelum Peat menarik tangannya kembali
untuk dirinya sendiri.
“Menurutku
tak buruk”
“Sayang!”
cukup terkejut mendengar balasan suaminya, Fort sedikit meninggikan bicaranya.
Kepalanya menoleh menatap Peat yang berada disebelah kanannya dengan pandangan
tak percaya. Apalagi ia melihat senyum manis yang pria itu suguhkan untuk
ibunya. Damn!
“Benarkah?
Hah.. Ibu lega sekali. Ibu tau jika kau juga menyukai rencana ini Peat.
Terimakasih sayang” sang Nyonya rumah membalas senyum manis sang menantu, kedua
tangannya terkepal didepan dada karena terlalu bahagia.
Peat
mengangguk kecil dan kembali menggenggam alat makan miliknya. Hembusan napas
kecil yang bergetar terlihat seolah melepaskan sesak didasar dadanya.
Ya,
tak buruk. Setidaknya banyak pilihan untuk mendapatkan anak saat ini. Mereka
bisa memilih untuk mengadopsi bayi dari panti asuhan dan mengurusnya. Dan lagi
ia juga akan memiliki teman baru seperginya Fort bekerja. Ini terlihat semakin
baik dipandangannya.
“Oh
ibu tak sabar untuk menggendong seorang bayi! Ah, benar, tunggu sebentar, ibu
harus menghubungi teman ibu yang merupakan dokter obgyn. Fort, kapan kau
ingin melaksanakan surrogate? “
Baru
saja kentang yang berada digarpu berada diambang batas bibir Peat, kalimat
pertanyaan lain yang jauh lebih buruk meluluhkan semua tata pikirnya.
“Surrogate?”
-----
Ckittt
“Ah,
fuck!” teriakan penuh umpatan keras itu seketika menggema setelah mobil
sedan yang Fort kendarai ia rem mendadak. Tangannya bergerak mengacak rambutnya
frustasi karena jalan pikiran Peat dan ibunya.
“Kalian
gila, benar benar gila” dengan tangan yang sudah berpindah mencengkeram kemudi,
napas sang dominan terlihat berat dan tak beraturan. Matanya menatap nyalang
kearah depan, kearah jalan yang masih dipenuhi kendaraan yang berlalu lalang.
Tak
mampu berkilah Peat hanya memilih diam. Apa yang bisa ia lakukan disaat seperti
tadi? Membantah ibu mertuanya mentah mentah? Tak mungkin! Bagaimanapun juga
wanita itu ibu dari suaminya. Sudah sepatutnya ia menuruti permintaannya.
“Heh,
kau tak ingin menjawab? Baiklah. Kau saja yang pergi kerumah sakit untuk
menyumbangkan spermamu. Kuyakin penismu masih menyemburkan sperma dengan baik
terakhir kali”
“Bukankah
perkataanmu cukup kasar sekarang? Aku tak menyukainya” kini Peat ikut
berjengit. Tubuhnya yang sebelumnya tenggelam dalam kursi penumpang kini tegap
dan menatap marah kearah Fort.
“Dan
aku lebih tak menyukai ide kalian yang menyetujui surrogate. Kau gila
huh?! “ kini Fort berteriak didepan wajah Peat. Ia benar benar di puncak marah
saat ini.
“Lalu
kau mau apa?! Kau hanya mengabaikan perkataan ibumu hingga akhirnya ia memilih
menyudutkanku. Kau berharap aku mengatakan tidak?! Fort, ibumu tak pernah
menyukaiku! Apa menurutmu yang akan terjadi jika aku menolaknya hah?!”
Kedua
kepala dalam mobil itu semakin memanas. Keduanya sama sama berada dalam puncak
emosi dan tak mengalah satu sama lain.
“Apa
masalahmu sebenarnya Fort? Kau bahkan akan mendapatkan keturunan darah dagingmu
sendiri jika melakukannya. Bukankah itu tak buruk? Dan ini hanya surrogate,
kau tak perlu melakukan hubungan intim dengan orang lain. Dan- aku juga
mendapatkan seorang anak yang akan memanggilku ayah nanti” Peat menurunkan nada
suaranya. Ia cukup yakin dari segi manapun hal ini menguntungkan Fort. Dan bagi
Peat kehadiran seorang anak diantara mereka akan menambah keharmonisan keluarga
kecil mereka kelak. Jadi harusnya Fort tak masalah dengan hal ini.
“Apa
kau sanggup hidup dengan anak yang bahkan tak mengalir darahmu sama sekali? Semua
ketidak setujuanku hanya karena aku mencintaimu Peat. Aku tak mau kau kesulitan
selama berada disisiku. Kumohon, kumohon tolak ide ini dan aku akan segera
mengurusnya. Aku akan menemui ibu untuk membatalkan ini. Jika nanti ibu
bersikap konyol padamu, aku tak apa jika kita tak lagi mengunjungi mereka. Bisakah
Peat?” mata besar itu benar benar terlihat memohon dalam kefrustasian. Satu tangan
besar Fort pun terangkat membelai pipi halus sang submisif lembut. Seolah
meminta Peat menuruti perkataannya.
Tangan
Peat kemudian merayap dan menangkup tangan Fort yang berada dipipinya, Peat
menggeser tangan Fort dan menaruhnya didepan bibirnya, matanya menatap wajah
sang dominan lekat sambil mendaratkan kecupan kilat disana.
“I'm
good, for real. Anakmu akan menjadi anakku juga. Aku akan mencintainya
sedalam aku mencintaimu. Meskipun anak itu bukan darah dagingku, tapi aku tetap
ayahnya. Ini bukan hanya tentang ibu, Fort. Tapi juga aku. Aku menginginkan
seorang anak diantara kita. Aku ingin mengurusnya dengan baik, membelikannya
makanan terbaik, memakaikannya baju terbaik, menghiasi kamarnya dengan baik,
bermain dengannya dengan baik. Bahkan aku ingin merasakan rasanya saat pertama
kali melihat gigi pertamanya tumbuh, melihat ia mulai menelungkup, merangkak
hingga berjalan. Aku menginginkannya Fort”
Grep
Rengkuhan
erat Fort berikan pada submisifnya. Raut yang Peat perlihatkan membuatnya benar
benar terpukau. Malaikat tercantik ini benar benar anugerah untuknya. Bahkan
ketika ia masih ragu hingga detik ini, tapi Peat tetap menerima usulan ibunya
dengan mantap. Matanya terlihat tak berbohong. Mata itu terlihat tulus.
“Baiklah.
Aku mengerti, namun jika nanti tiba tiba pikiranmu berubah, katakan padaku.
Kita akan mengakhiri hal ini saat itu juga. Meskipun dengan janin yang masih
bertumbuh” Fort sedikit memberi jarak antar mereka, matanya dengan serius
menatap Peat seolah mengatakan jika ia tak main main dengan ucapannya.
“Hei,
jangan seperti itu. Jangan mengganggu bayi yang tak bersalah. Dan juga aku
berjanji tak akan berubah pikiran” Peat memukul pelan dada Fort saat mendengar ucapan
pria besar itu, bibirnya mencebik tak suka saat Fort mengatakan akan
mengorbankan janin yang sedang bertumbuh.
Cup
Tak
tahan melihat wajah merajuk sang submisif, membuat Fort segera mengecup bibir
kemerahan tersebut dan kemudian tersenyum.
“Baiklah.
Aku mengerti, terimakasih sayang”
“Eum,
aku juga terimakasih”
-----
Dering
ponsel pintar yang tergeletak diatas meja kerja menarik perhatian Fort.
Terpampang nama pemanggil yang sama sekali tak membuat Fort berminat
menanggapi.
Ibunya.
Ibunya
terlalu kekanakan. Meskipun Fort sudah menyetujui perkataan Peat, namun sampai
detik ini ia masih ragu. Fort rasa ini bukanlah langkah yang benar dalam
kehidupan berumah tangganya. Bagaimana bisa ia membiarkan Peat mengurus anak
dari perempuan lain?
Jika
saja anak itu merupakan hasil adopsi menurut Fort akan lebih nyaman. Setidaknya
mereka berdua memiliki posisi yang sama.
Dan
belum lagi ibunya yang terus memaksa Fort untuk bertemu dengan wanita yang akan
membantu mereka terlebih dahulu. Tak masalah sebenarnya, namun nada ibunya saat
berbicara membuat Fort sedikit jengkel. Seperti sedang menjodohkannya dengan
wanita lain.
Ponsel
Fort terus bergetar, ibunya sepertinya tak akan menyerah dalam waktu dekat.
Tangan
Fort akhirnya meraih ponsel tersebut dan menghela napas panjang sebelum
mengangkatnya.
“Kenapa
kau begitu sibuk? Ini sudah jam pulang dan harusnya kau bisa mengangkat telpon
ibu lebih cepat Fort” terdengar suara diseberang sana merajuk kesal.
“Maaf
bu, pekerjaanku menumpuk. Ada apa?” Fort memijit pangkal hidungnya diiringi
nada suara yang tak berminat.
“Tsk,
utamakan telpon ibu dibandingkan pekerjaanmu. Yasudah, kapan kau akan bertemu
Nene?”
Sesuai
dugaan. Ibunya akan menanyakan perihal ini lagi. Bahkan Fort tak tahu darimana
ibunya mengenal Nene.
Sepintas
pikiran lain tiba-tiba saja keluar dari kepalanya, membuat Fort segera
menegakan tubuhnya dan tersenyum tipis.
“Bu,
aku tak bisa bertemu Nene. Aku dan Peat sudah menentukan orang yang akan
membantu kami”
“Hah?
Apa Peat yang memintamu seperti itu? Cih, dia pasti sangat takut kehilangan-“
“Bukan.
Aku sendiri yang mencarinya dan memberitahu Peat. Dan juga kami sudah bertemu,
aku tak suka ibu berbicara seperti itu mengenai suamiku”
“Ck,
terserah. Kalau begitu suruh wanita itu menemui ibu secepatnya. Ibu harus tau
bebet bobot wanita itu sebelum mengandung anakmu nanti. Tsk- menyebalkan”
Sambungan
telpon itu terputus seketika dengan lirih umpatan kecil sang ibu diujungnya. Tak
ambil pusing dengan sikap sang ibu, Fort memilih mengotak atik ponselnya kembali
dengan cepat dan segera menempelkannya disamping telinganya.
Nada
sambung selama beberapa detik masih mengalun. Jemarinya yang berada diatas meja
pun mengetuk cepat. Lidah Fort sedikit keluar untuk membasahi bibirnya yang
mulai mengering.
“Hai,
maaf. Aku baru saja selesai membersihkan kamar. Kenapa hm?” suara yang
selalu terasa seperti madu ditelinga Fort membuat pria itu mengembangkan senyum
lebarnya. Hidungnya sedikit berkerut karena terlalu bahagia.
“Tidak.
Hanya saja aku terlalu merindukanmu. Kau harus tau suaramu benar benar menjadi
canduku sayang” Fort menaruh kepalanya diatas meja dengan beralaskan pipi
kirinya, senyumnya tak luntur sedikitpun.
“Apa
suamiku tengah mencoba menggodaku hm? Ah, atau aku.. Nggh, Mhh, ahh, Forth.. Ngh..
Fasthh babe- ugh..” seketika wajah penuh senyum itu mematung memerah. Tubuh
Fort seketika menjadi panas saat mendengar erangan sensual sang submisif dari
sebrang sana. Jantungnya berdegup ceoat dan salivanya terasa lebih pekat dari
biasanya.
Peat
benar benar membuatnya gila.
“Hei
Fort! Kau masih disana? Bernapaslah agar aku tau jika kau masih hidup!”
“Ouh
Peat kau benar benar membuatku gila..” kini dahi Fort bertumpu diatas meja
dengan arah mata yang menatap kearah selangkangannya yang sudah menggembung.
Sial,
dia ereksi!
“Pulanglah
tak lewat dari jam 11. Jika tidak malam panas kali ini batal. See ya, Nhh..”
Ponsel
itu pun seketika menyala terang. Sambungan terputus dan menyisakan erangan putus
asa dari sang dominan.
Grep
Tangan
Fort segera meraih telpon kantor diatas mejanya dan mulai menelpon seseorang.
“Aku
harus pulang sekarang. Sisanya kupercakan padamu Boss”
TBC
Eiyo
guys! Apa kabar? Aku balik dengan buku baru, hihi. Sebenarnya buku yang kutulis
selams rehat bukan ini dan inipun baru aku tulis chapter 1 ini, tapi karena bebel
buku yang satunya lagi ngestuck karena aku ngambil tema fantasi lagi. Jadi yasudah
lah ya, gatau kapan mau dilanjut.
Buat
buku ini aku gatau nih bakal lanjut atau kudrop sampai sini. Tergantung responnya
temen temen sih. Rencananya bakal ku up tiap satu kali seminggu, tapi kalo peminatnya
kurang aku ga bakal lanjut.
Apa ya
parameternya? Komen kali ya? Tapi liat traffic pembacanya juga sih, lagipun ini
buku ekslusifnya blog ini, karena aku bakal up ke wattpad kalau buku ini udah END.
Hehe.
Oh iya, kalau temen temen pada mau notifikasi postingan baru, silahkan cantumin emailnya dibilah sisi kiri ya, yang ada garis tiga dipojok kiri.
Semoga
pada suka deh, jangan lupa jejaknya
See yaa
Komentar
Posting Komentar