VEGASPETE - SUN

Hidup adalah rintangan. Semua yang dilalui adalah ujian bagi masing masing ciptaan. Sebagian dihadapkan dengan kesengsaraan, ketidakpunyaan dan kesedihan. Sebagian lagi dihadapkan dengan kekayaan, kebahagiaan, dan kelayakan. Semua adalah ujian. Tinggal bagaimana para peserta ujian mencari cara dan bagaimana menjawabnya. Dengan langkah apa mereka menjalaninya. 

Semua pilihan ada baik dan buruk. Terlepas dari dampak bagi sekitar. Semuanya kembali pada diri ciptaan. Hanya Tuhan yang mampu menilai segala perbuatan.

-----

Minggu ke-1

Pete memelankan suara kakinya. Kepalanya menyembul dibalik tembok tinggi yang kotor dan penuh coretan. Matanya berpendar melihat keadaan sekitar. Masih sepi. Pete kemudian membawa kakinya berpijak pada kursi kayu yang sudah lapuk dibelakang gudang sekolah. Kakinya berjinjit menggapai tepian atas pagar tembok yang juga sama kumalnya dengan dinding gudang. Tangannya berhasil tertumpu pada pagar tembok dan ototnya sedikit bekerja keras untuk menaikkan bobot tubuhnya yang tidak ringan melewati pagar tembok.

Hap.

Kaki Pete sukses mendarat diatas rumput basah yang bercampur percikan tanah. Kakinya berlari menuju semak semak belakang sekolah dan mulai menyusuri kebun yang sudah tak terawat. Sebisa mungkin menghindari kubangan tanah agar sepatunya tak kotor. Mencuci sangat melelahkan. Jadi lebih baik menghindarinya dari sekarang.

Pete berjalan dengan santai sambil menikmati sejuknya pohon pohon apel yang sudah rimbun. Beberapa buah yang sudah ranum tertangkap oleh mata Pete. Salah satu dahan terendah memegang satu apel yang sudah sangat merah.

Pete sedikit menekuk lututnya. Matanya terarah pada apel yang bergoyang ringan seperti memanggil untuk dipetik. Lidah Pete sedikit terjulur ketika merasakan mulutnya sudah berair. Pete mengambil ancang ancang

1

2

3

Srakk

Bunyi rumput bergesek terdengar lumayan keras karena loncatan Pete. Tangannya berhasil meraih apel merah tersebut. Pete tersenyum menang. Apel tersebut ia simpan kedalam tas ringannya yang ia sandang dari tadi.

Pete kembali berjalan. Wajahnya terlihat sangat berseri, walaupun beberapa goresan menghiasi disana sini dan satu plester menghiasi hidung tingginya. Namun hal tersebut tak mengurangi keindahan wajahnya. Malah membuat wajah feminimnya terlihat sedikit maskulin.

Setelah 45 menit berjalan, Pete sampai disebuah bukit yang berbatasan langsung dengan jurang. Pete memejamkan matanya sambil menghirup udara lembab disekitar. Pohon disekitar bukit sedikit basah karena hujan yang baru berhenti tadi pagi setelah menerpa kota Chiang Mai sedari malam. Rasa hangat sekaligus sejuk selalu ia dapatkan jika sudah berkunjung kesini. Pete menyukainya. Kegundahan serasa terbang jauh jika sudah menjajalkan kakinya diatas bukit ini.

Pete mendekati sebuah batu yang cukup besar dan stabil karena tertancap pada tanah bukit. Bagian atasnya sudah agak mengering karena sinar matahari. Pete mengambil posisi duduk diatas batu besar tersebut. Tubuhnya ia condongkan sedikit ke belakang dengan bertumpu pada tangannya. Kakinya ia ayunkan seirama.

Tuk

Pete merasakan lemparan batu mengenai pucuk kepalanya. Tangannya mengusap bagian yang sakit dan wajahnya berubah kesal. Kepalanya berputar mencari sumber pelempar batu.

Kosong

Tak satupun matanya melihat manusia disekitar sini. Tubuhnya sedikit bergidik ngeri. Tak mungkin hantu akan keluar saat matahari selurus dengan ubun ubun kepala- pikirnya.

Dia tak takut dengan hantu atau sebagainya. Namun rasa merinding tetap tak terelakan jika sudah berpikir kearah sana. Pete mengendikkan bahunya acuh. Dia tak menemukan kesimpulan yang tepat.

Pete kembali menikmati siangnya. Namun kali ini dengan mata terbuka lebar dan menatap pemandangan yang selalu sama namun tak membuat bosan.

Tuk

Pete kesal. Batu kembali mengenai puncak kepalanya. Apakah hantu ini kurang kerjaan? Kenapa terus melemparinya? Bisakah dia melepas penat sebentar saja? Sungguh menyebalkan!

Sesaat kemudian Pete merasakan tepukan dibahunya dari arah belakang. Pete menegang. Siapa itu? Apa benar hantu? Oh! Bagaimana ini?! Aku sudah sesumbar dan membuatnya marah ternyata! Bagaimana ini?!

Pete memejamkan matanya erat. Dia tak berani berbalik dan menoleh kebelakang. Seluruh bulu halus ditubuhnya berdiri. Kulitnya merasakan sensasi dingin dari belakang tubuhnya.

"Hei" suara berat itu menyapa gendang telinga Pete. Membuat Pete terlonjak kaget dan refleks menutup teliganya dengan tangan.

"Maafkan aku! Maafkan aku! Aku tak bermaksud menantang kalian! Maaf-"

Suara gelak tawa menghentikan Pete meracau tidak jelas. Satu matanya terbuka perlahan dan diikuti matanya yang lain. Wajahnya memerah ketika mendapati seseorang berdiri disamping tubuhnya.

Telunjuknya terulur menyentuh tangan orang tersebut. Berkali kali. Hanya ingin memastikan bahwa orang disampingnya ini benar benar manusia.

"Aku manusia" suara itu kembali mengalun. Pete mengerjap cepat, wajahnya menjadi lebih merah dibanding sebelumnya. Pete membuang mukanya kearah berlawanan dari orang baru itu. Dia malu. Seorang petarung sepertinya langsung menjerit dengan tepukan dibahunya. Ugh! Memalukan.

Pete merasakan batu yang ia duduki sedikit sempit. Tubuh orang itu sedikit memaksa Pete untuk menggeser tubuhnya agak ketepi agar memberikannya space yang cukup untuk duduk. Tanpa sadar tubuh Pete mengikuti kemauan orang itu dan memberikan tempat sesuai keinginannya.

"Vegas" tangan pria itu sedikit lentik. Pete menatap kagum tangan yang terulur didepannya. Bagaimana bisa seorang pria memiliki tangan seperti ini.

"Ekhem, kau tak ingin berkenalan atau bagaimana? " suara itu menarik Pete dari lamunan kekagumannya. Pete tersenyum canggung. Dengan kikuk tangannya menyalami tangan tersebut.

"Pete"

-----

Minggu ke-3

Tangan Pete terulur dihadapan Vegas dengan berisikan sebuah apel. Vegas mengambil apel tersebut dan mulai menggigitnya. Matanya melirik Pete yang duduk disamping kanannya. Pete juga melakukan hal yang sama, menggigit sebuah apel yang berada ditangannya.

"Kau bolos lagi? "

"Eum. Aku tak suka matematika. " tangan Pete mengambil batu kecil yang tergeletak dibawah kakinya. Memainkan batu tersebut dengan melambungkan batu tersebut rendah beberapa kali ditangannya yang kosong.

"Ck. Alasan bodoh. Apa tak ada yang lebih baik? " Vegas tersenyum remeh mendengar alasan Pete. Dia bisa tidur dikelas tanpa harus kabur karena tidak suka bukan? Vegas yakin bukan itu alasannya.

"Eum.. Aku benci berada disekolah? "

"Lebih spesifik "

"Kenapa? Kau begitu ingin mengenalku huh? Kau menyukaiku ya? " Pete menaik turunkan alisnya sambil mencolek sedikit lengan Vegas. Pete bermaksud menggoda Vegas karena wajah Vegas yang selalu kaku dan dingin setiap bertemu.

Oh! Iya. Sedikit kabar, kalau ini adalah pertemuan ketiga kami. Dan selalu terjadi setiap hari senin.

Vegas menggelengkan kepalanya tak percaya. Pertama kali seumur hidupnya bertemu dengan orang yang rasa percaya dirinya setinggi langit. Vegas tak berniat menanggapi godaan Pete. Toh tujuan mereka sama disini. Menikmati dunia dan lari dari kenyataan hidup. Tak lebih dan tak kurang. Mereka hanya mengetahui nama satu sama lain.

"Kau sudah makan siang? " Pete melemparkan batu yang ada ditangannya kedalam jurang dihadapannya dan menoleh kearah Vegas sambil menunggu jawaban dari pria itu.

Vegas mengangkat apel ditangannya seperti menunjukkan jika makan siangnya adalah apel tersebut.

"Kau yang membawakanku makan siang"

Pete memutar bola matanya jengah. Kenapa sulit berkomunikasi dengan manusia satu ini.

"Makanan. Kau tau? Yang membuat kenyang perutmu Vegas! " Pete meninggikan sedikit suaranya karena kesal. Apa itu perlu diajari? Dengan wajah yang sepertinya pintar itu bisa bisanya tidak tau apa itu makanan.

"Kau bodoh atau bagaimana. Makanan itu ya benda padat yang dapat dikunyah dan ditelan tanpa mengganggu pencernaan. Apel ini menurutmu bagaimana cara menyantapnya? Lewat hidung? " Vegas menyentil dahi Pete sedikit keras. Kekehan terdengar setelah ia menyudahi kalimatnya. Pete tertegun. Bisa juga pria ini tertawa.

"Wah.. Kukira kau adalah robot paling canggih zaman sekarang. Tapi ternyata manusia, aku sedikit bersyukur tidak berteman dengan robot" Pete menatap Vegas dengan tatapan kagum -tentu saja dibuat buat. Vegas mendecih mendengar pernyataan Pete. Memang dia sekaku itu?

"Kau pikir aku tidak bisa tertawa? Yang benar saja. Memang ada robot yang memakai baju pasien seperti ini. Sekali bodoh ya tetap bodoh rupanya" Vegas beranjak dari tempat duduknya setelah menyelesaikan satu buah apel. Vegas berjalan menuju sekumpulan bunga yang berjumlah sedikit. Tangannya mengambil beberapa tangkai dan kembali ke posisi semula.

Pete mengamati Vegas sedari tadi. Mulutnya bergerak gerak namun terkatup lagi, bergerak lagi kemudian terkatup lagi.

"Kkk... Kalau ingin bertanya, tanyakan saja. Apa aku menakutkan?" Vegas tertawa melihat gerak gerik Pete. Apa Pete sebegitu memperhatikan perasaannya? Vegas tau apa yang ingin ditanyakan Pete. Tapi sepertinya Pete memiliki hati yang gampang sungkan. Jadi ya.. seperti itulah.

"Hah.. Maaf jika lancang. Dari hari pertama kita bertemu aku penasaran melihatmu. Kenapa kau memakai baju pasien?" Pete memainkan sepatunya dengan rumput kering dibawah kakinya. Ada perasaan kurang enak dihatinya saat ini. Jadi dia tak berani menatap Vegas.

"Hmm. Karena aku pasien?"

"Oh ayolah Vegas! Apa kau akan terus seperti ini? Menyebalkan! " Pete berteriak kesal kepada Vegas. Tak bisakah dirinya serius satu kali saja. Dia menghancurkan suasananya.

"Hahaha. Kenapa marah? Apa aku salah? Aku benar seorang pasien, Pete. Salah sendiri tidak menanyakan aku sakit apa" Vegas mengusak surai Pete acak. Membuat Pete semakin menggeram karena rambutnya menjadi acak acakan. Oh Tuhan!

"Ck. Aku takut kau tersinggung jika langsung bertanya seperti itu. Itu saja tidak paham" Pete menyilangkan tangannya didepan dada dengan bibir yang cemberut.

"Kenapa dengan pose mu? Kau ingin menggodaku? Kau tau Pete. Tidak ada siapa siapa disini. Jika kau ma-"

Pletak

Pete memukul kepala Vegas. Kenapa tiba tiba berubah mesum begini?! Dasar sinting! Pete mendengus kesal

"Dasar mesum! Jadi kau sak- Vegas!! " Pete terkejut melihat Vegas yang memegangi kepalanya. Wajahnya terlihat sangat kesakitan. Vegas berusaha sekuat mungkin untuk tidak berteriak. Meskipun disini sepi, rasanya Vegas tak ingin Pete menjadi panik karena dirinya. Tapi mau bagaimana lagi, Pete adalah tipe orang yang terlalu peduli pada orang lain. Jadi melihat Vegas yang kesakitan seperti ini membuat dirinya panik setengah mati.

Tangan Pete tanpa sadar terulur ikut memegangi tangan Vegas yang memegang kepalanya sendiri dari arah depan, sehingga wajah kesakitan Vegas menjadi semakin jelas dimatanya.

"Oh.. Bagaimana ini? Bagaimana ini? Ve-Vegas.. Bagaimana ini? Apa sangat sakit? Hiks.. Bagaimana ini..? Maafkan aku.. Vegas.. Hiks.. Bagaimana ini..? " Pete menangis. Dia merasa bersalah sekaligus sedih melihat Vegas. Tangannya yang ikut berada disisi kepala Vegas bergetar. Matanya yang terus mengalirkan air mata bergerak searah, melihat bergantian antara tangan dan wajah Vegas.

Beberapa saat kemudian rasa sakit Vegas berkurang, tak sesakit sebelumnya. Satu matanya terbuka perlahan. Ia melihat Pete yang sudah bercucuran air mata. Niat jahil timbul dihati Vegas. Sepertinya mengerjai Pete akan sangat menyenangkan.

"Arrgghhh!! Arrgghhh!! " Vegas berteriak kesakitan sambil sesekali mengintip Pete. Suara Pete semakin tinggi dan akan keluar setiap Vegas berteriak kesakitan. Pete sesekali memanggil ibunya. Suara tangisannya menjadi sangat kencang. Vegas tak tega. Vegas memeluk Pete yang masih menangis. Suara tangisannya belum mengecil, sehingga Vegas terpaksa mengorbankan telinganya untuk menenangkan Pete. Usapan lembut dipunggung Pete berangsur angsur membuat suara Pete mengecil.

"Ssstt.. sstt ssstt ssstt.. Tenang. Aku disini. Aku sudah tak sakit lagi. Aku aman. Tenang Pete.." Vegas mengatakan hal itu berkali kali untuk menenangkan Pete. Tangisan Pete perlahan berubah menjadi sesenggukan. Beberapa cegukan menyelip diantara usaha Pete untuk menghentikan tangisannya. Pete melepaskan pelukan Vegas dan menatap Vegas dengan dada yang naik turun menahan tangisnya yang kapan saja bisa pecah.

"Kau.. Kau sungguh sudah tak apa? Hiks.. Kau sudah baikan? " suara parau Pete mencapai gendang telinga Vegas. Mata sembab yang memerah itu menatapnya meminta kepastian. Cegukan setelah menangisnya masih ada namun jedanya sudah mulai lama. Wajah Pete sangat merah sekarang. Vegas tertegun kembali. Belum ada yang menangisinya sehebat ini. Bahkan Pete hanyalah orang yang baru ia temui untuk ketiga kalinya pada hari ini.

"Jawab Vegas.. Hiks.. " Pete mendesak Vegas dengan menghirup ingusnya yang seperti menumpuk diujung lobang hidungnya. Vegas tetap diam. Membuat Pete rasanya ingin kembali menangis. Dadanya naik turun begitu cepat. Cegukan tangisannya yang sebelumnya berjeda lama, kini keluar dengan tempo yang sangat cepat.

Vegas panik.

"Baik baik. Aku sangat baik. Kau tak usah menangis lagi. Aku sudah sangattt baik" Vegas buru buru menghentikan Pete untuk menangis. Vegas memegang bahu Pete seperti memberikan rasa percaya pada ucapannya. Pete kemudiam menahan tangisannya semampunya hingga menjadi relaks kembali.

Vegas dan Pete saling menatap sambil menunggu tangisan Pete reda. Pete memerah melihat Vegas yang tak berhenti menatapnya. Tanpa sadar tangan Vegas memegang pergelangan tangan Pete.

"Vegas.. Jangan menatapku seperti itu.. Hiks" bibir Pete mencebik kembali membuat Vegas kelabakan.

"Okey okey, aku tak akan menatapmu. Jadi berhenti menangis okey? " Vegas memutar kepalanya kehadapan jurang. Vegas tersenyum dan menggeleng heran. Ada ada saja. Ada orang yang seperti ini ternyata.

Pete menarik napasnya dalam dan menghembuskannya perlahan. Dia mengontrol rasa sesaknya. Perlahan Pete kembali normal. Menyisakan mata sembabnya dan jejak air mata yang belum hilang.

"Sudah lebih baik? "

"Um.. "

"Aku sakit kanker darah stadium 3 jika itu yang ingin kau tau. " Vegas melirik Pete sebentar dan kembali menatap hamparan pemandangan didepannya.

"Sudah sejak kapan? " Pete menatap sisi wajah Vegas lamat lamat. Memperhatikan bagaimana kondisi Vegas. Tapi matanya tak melihat keanehan. Vegas bahkan sangat segar untuk ukuran seorang pasien.

Vegas cukup lama terdiam. Matanya jauh menerawang kedepan. Ada guratan kesedihan disana. Vegas menghembuskan napasnya dan menoleh melihat Pete yang masih menatapnya. Vegas tersenyum.

"Jika ku ceritakan tentang diriku. Kau juga harus menceritakan tentang dirimu. Deal? "

"Deal" Pete mengangguk tersenyum dan menjabat tangan Vegas.

"Aku didiagnosa leukimia dari umur 7 tahun. Daddy dan mommy selalu mengirimku ke rumah sakit mulai saat itu. Pernah sampai aku terbang ke Singapura untuk pengobatan. Dan saat aku berumur 11 tahun aku dinyatakan bersih dari kanker. Tapi kanker ya tetap kanker. Mereka tak pernah sepenuhnya hilang. Pengobatanku waktu kecil memprediksi hanya memperpanjang umurku 5 tahun lamanya. Kau tau apa artinya? Berarti setelah 5 tahun kedepan kemungkinan aku menderita kanker menjadi lebih besar jika tidak dikontrol dengan baik. Setelah 5 tahun lagi aku melakukan pemeriksaan yang sama. Dan unurku diperpanjang 5 tahun lagi. Tapi dokter tak selamanya benar. Ya, mereka juga manusia. Mungkin pasiennya juga salah. Kkk.." Vegas terkekeh membuat Pete yang sedari tadi menyimak menjadi mengerutkan dahinya.

"Kenapa kau tertawa? " Pete memiringkan kepalanya lucu. Vegas terdiam melihat Pete yang tampak menggemaskan dimatanya. Tiba tiba kerongkongannya menjadi kering.

"Ekhem. Aku tertawa karena mengingat diriku. Pesanku, semoga tak pernah ya.. Tapi jika kau menjadi pasien sebaiknya turuti semua perintah dokter. Jangan nakal. Atau kau sendiri yang menanggung akibatnya. Aku tak sampai merasakan perpanjangan hidup 5 tahun keduaku. Sekarang aku berumur 20 tahun. Dan kankernya kembali"

"Aku turut sedih mendengarnya. Apa kau nakal? Makanya seperti itu? "

"Hmm. Kurasa iya. Aku jarang mengontrol diriku akhir akhir ini. Aku merasa hidupku sedikit terkekang. Tunggu dulu. Bukannya kau harus memanggilku phi, bocah?! Dasar! "

Tuk

Vegas memukul puncak kepala Pete dengan kepalannya. Pete meringis dan mengusap kepalanya kesakitan.

"Uh.. Maaf phi. Kenapa kasar sekali" Pete mencebikkan bibirnya.

Vegas terkekeh dan ikut mengusap kepala Pete. Pete menatap Vegas yang tertawa sangat lama. Pete merasakan jantungnya sedikit berdebar. Wajahnya mulai memerah malu. Pete membuang wajahnya untuk melihat pohon yang bertengger disampingnya. Rasanya menatap pohon lebih baik.

"Kau sendiri bagaimana? Kenapa bolos begini? " Pete menoleh menghadap pemandangan didepannya. Pikirannya melayang pada kejadian yang membuatnya tak suka setiap hari senin.

"Hmm aku kesini untuk menenangkan pikiranku phi. Setiap hari minggu ayah akan pulang kerumah. Jika kondisinya baik, itu tidak akan jadi masalah. Namun ayah selalu pulang dalam keadaan mabuk. Ayah sepertinya depresi karena kehilangan ibu baru baru ini. Dia pulang hanya untuk memberiku uang dan kemudian memukuliku. Bukannya aku tak bisa melawan, tapi melawan orang mabuk hanya akan menghabiskan tenaga. Jadi biasanya aku akan bersembunyi dikamar hingga pagi. Jadi setiap senin moodku selalu buruk. "

Vegas menepuk bahu Pete beberapa kali untuk menguatkannya. Pete menoleh kearah Vegas dengan wajah murungnya. Vegas tersenyum.

"Pilihan yang bijak. Setidaknya kau tidak merugikan siapapun"

"Benarkah phi? "

"Eum, tentu"

-----

Minggu ke-6

Pete berlari mendaki bukit yang biasanya ia gunakan bersama Vegas. Pete ingin memamerkan sesuatu pada Vegas. Hari jumat lalu nilai matematika Pete mendapatkan nilai 50. Dan Pete sangat bangga. Biasanya Pete hanya akan mendapatkan nilai 15 atau paling tinggi 30. Namun 2 minggu yang lalu Vegas menertawai nilai matematika Pete yang sangat buruk. Jadilah Pete mati matian untuk belajar matematika.

Pete duduk dibatu biasa tempat mereka mengobrol. Tangannya melambaikan lembar ulangannya dengan bangga keatas udara. Senyumnya merekah melihat angka 50 yang tertulis sangat besar.

Sudah satu jam Pete menunggu Vegas. Matanya sibuk melihat arah jalan yang biasanya Vegas pakai untuk datang atau pulang. Pete mulai kehilangan semangatnya. Sepertinya Vegas tak datang hari ini.

Pete merobek satu lembar kertas dari bukunya. Dan menulis sesuatu disana

Phi. Aku sudah menunggumu hari ini. Padahal aku ingin pamer nilai ulangan matematikaku. Tapi ternyata kau tak datang. Apa kau baik baik saja? Semoga saja begitu. Aku tak bisa menunggumu lagi. Aku harus bekerja. Aku tinggalkan kertas ulanganku disini. Kau harus melihatnya ya. Soalnya ini pencapaian tertinggiku, hehe. Aku mohon disimpan dulu kalau kau sudah selesai melihatnya. Jadi senin besok tolong bawakan, dan kembalikan padaku ya..

Pete menaruh kertas berisikan pesan tersebut diatas kertas ulangannya kemudian dihimpit dengan sebuah batu agar tidak terbang. Pete kemudian berbalik berjalan pulang.

Hanya selang 10 menit setelah Pete pergi, Vegas datang. Wajah pucatnya terengah engah sesampainya diatas bukit. Matanya berkeliling mencari Pete. Tak sengaja ia melihat kertas yang tertinggal diatas batu. Vegas mengambilnya dan membacanya.

"Kkk.. Dasar bodoh"

-----

Minggu ke-8

Vegas tersentak ketika merasakan hembusan ditelinganya. Reflek Vegas menoleh kesamping dan menemukan Pete yang masih memajukan bibirnya. Mata mereka terkunci satu sama lain. Menyelam ke masing masing mata cukup lama. Suasana sedikit berubah panas. Mereka berdua sama sama mulai mengikis jarak diantara mereka.

Tapi seketika Pete sadar dan langsung menarik wajahnya yang sudah sangat merah hingga telinganya. Mereka berdua menjadi kikuk dengan berusaha mengerjakan hal lain selain saling berinteraksi. Vegas berdehem beberapa kali berusaha membasahi kerongkongannya yang tiba tiba kering.

"Umm.. Aku- aku hanya ingin mengagetkanmu saja tadi. " cicit Pete pelan.

"Hum.. Duduklah" Vegas mengangguk kikuk dan menepuk bagian kosong disebelahnya.

Suasana menjadi canggung diantara mereka. Tak ada satupun yang berbicara. Mereka sibuk dengan pikiran masing masing.

-----

Minggu ke-9

Vegas melepaskan sweaternya dan memakaikannya pada Pete. Cuaca hari ini sangat dingin. Langit mendung dan sepertinya akan turun hujan. Mereka saat ini duduk dibawah pohon rindang. Takut kalau saat hujan turun mereka belum ada perlindungan. Pete menatap Vegas dan dibalas dengungan oleh Vegas.

"Phi juga kedinginan nanti. Baju pasien yang tipis itu tak akan menahan udara dingin" Pete melepaskan sweater yang disandangnya dan melebarkannya hingga bahu Vegas. Pete merapatkan tubuhnya pada Vegas agar sweater tersebut bisa menutupi badan mereka berdua.

Vegas menatap semua perilaku yang Pete lakukan. Pete terlihat sangat cantik jika dilihat dari sedekat ini. Kulit wajah yang mulus, alis mata yang tebal, bulu matanya yang lentik, mata besarnya, hidungnya yang tinggi dan bibirnya yang merah muda sedikit terbuka. Vegas menatap lama bibir Pete yang bersenandung. Vegas merasa kupu kupu seperti beterbangan didalam perutnya. Jantungnya berdetak dengan cepat. Vegas merasa cuaca dingin berubah menjadi lebih panas. Vegas sangat ingin mengecup bibir itu. Tidak. Vegas sangat ingin menciumnya dan menikmati bibir itu.

"Pete"

Pete menoleh mendengar panggilan Vegas. Dengan cepat tangan Vegas merengkuh tengkuk Pete dan mencium bibir Pete. Pete membelakakan matanya terkejut. Merasakan bagaimana bibirnya dilumat atas dan bawah. Vegas seperti kelaparan akan bibirnya. Pete hanya diam. Tak membalas dan tak menolak.

Lidah Vegas kemudian menelusup memasuki rongga mulut Pete. Membuat Pete melenguh dan tanpa sadar meletakkan tangannya didepan dada Vegas.

Pete akhirnya terhanyut dalam ciuman tersebut. Membalas setiap perlakuan Vegas terhadap dirinya.

-----

Minggu ke-11

Pete menyenderkan kepalanya pada bahu Vegas. Ia memejamkan matanya menikmati angin sepoi sepoi dan nyamannya bahu Vegas.

"Pete, aku mempunyai sesuatu untukmu"

Pete menegakan kepalanya dan melihat kearah Vegas. Matanya melirik sesuatu yang keluar dari saku Vegas.

Kalung.

Pete tersenyum mencondongkan tubuhnya kearah Vegas. Hampir satu menit dan Vegas belum juga memakaikannya kalung tersebut. Pete menatap Vegas yang melihatnya dengan kening yang berkerut.

"Pfftt.. Kau mengira kalung ini untukmu? " Vegas menahan tawanya melihat tingkah Pete.

Wajah Pete memerah padam menahan malu. Matanya terpejam erat. Rasanya ia ingin menggali lubang dan masuk kedalamnya saat ini. Pete menangkup wajahnya, dia tak sanggup kalau menatap Vegas saat ini. Suara tawa Vegas masih terdengar, membuat wajah Pete semakin memerah.

Lambat laun Vegas menghentikan tawanya. Tangannya terulur memegang tangan Pete yang menutupi wajahnya. Vegas berusaha melepaskan tangkupan itu tapi ditepis oleh Pete.

"Hei. Kau malu? Kkk.. Jangan malu.. "

"Bagaimana aku tak malu?! Kupikir kalung itu untukku!" balas Pete dengan suara yang teredam oleh tangannya sendiri

"Pete, lihat aku" Pete menggelengkan kepalanya. Dia masih malu

"Pete, ayo lihat aku"

"Tidak"

"Pete"

"Tidak mau phi! "

"Pete"

Pete masih kekeuh. Dia menggeleng tak mau membuka telapak tangannya.

Vegas tersenyum miring melihat Pete. Pikiran iblisnya mulai bekerja. Tangan Vegas mulai memegang paha Pete. Perlahan lahan menaikkan tangannya keatas.

Pete terkejut saat merasakan sentuhan dipahanya. Reflek tangannya memegang tangan Vegas yang hampir menyentuh kejantanannya.

"Akhirnya" Vegas tersenyum bahagia melihat wajah Pete yang memerah didepannya. Sangat cantik menurut Vegas. Tangannya menggenggam kedua tangan Pete erat agar tak kembali menutupi wajahnya.

"Pete aku bercanda, kalung ini memang untukmu" Pete menatap Vegas yang menggantungkan kalung tersebut dihadapannya.

"Lihat. Aku juga mempunyai kalung yang sama. " Vegas menunjuk kalung yang ia pakai. Kalung sederhana dengan simbol memanjang lurus.

"kau serius phi? Kau tak menipuku kan? "

"Tidak. Ayo mendekat sedikit. Biarku pakaikan"

-----

Minggu ke-12

Vegas menatap Pete yang mengerjakan tugas yang diberikan gurunya diatas batu tempat biasa mereka duduk. Vegas mengusap ranbutnya perlahan dan tersenyum.

"Pete, bolehkah aku menciummu? "

"Ha? Kena-"

Cup

Vegas menarik tengkuk Pete dan mulai melumat bibir Pete.

-----

Minggu ke-15

Vegas terlihat sangat pucat hari ini. Wajahnya seperti tak dialiri darah. Bibirnya berwarna hampir sama dengan kulitnya. Pete buru buru memapah Vegas ketengah dan duduk diatas rumput. Pete dengan perlahan menarik Vegas agar merebahkan dirinya dipangkuan Pete.

"Apa phi tidak apa? Kenapa tetap kesini jika seperti ini. Nanti malah semakin sakit!" Pete membelai surai hitam Vegas. Membuat gerakan menyisir namun dengan mata melotot seolah olah memarahi Vegas.

Vegas terkekeh, kepalanya terangkat dan mengecup bibir Pete. Membuat Pete memerah malu dan salah tingkah.

"Aku tak apa. Aku baru saja kemoterapi 2 hari yang lalu. Jadi tenagaku belum pulih sepenuhnya" Vegas membelai wajah Pete. Vegas sangat menyukai setiap reaksi Pete terhadapnya.

Tapi Vegas terlalu takut untuk menyatakan cintanya. Vegas takut umurnya tak akan lama.

-----

Minggu ke-16

Hari ini Pete membawa kotak yang cukup besar. Pete berjalan sedikit pelan karena matanya melihat Vegas yang menunggunya diatas batu besar. Pete membuka kotak tersebut yang berisikan kue dengan tulisan 'Selamat Ulang Tahun Vegas'. Pete menghidupkan lilin kue tersebut dan melanjutkan jalannya dengan mengendap ngendap.

"Selamat ulang tahun.. Selamat ulang tahun.. Selamat ulang tahun Vegas.. Selamat ulang tahun.. " Pete berjalan kehadapan Vegas sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Senyum cerahnya tak berhenti menghiasi bibir Pete. Apalagi melihat wajah Vegas yang terkejut dengan kejutan Pete.

Vegas tak menyangka Pete akan memberinya kejutan. Padahal ulang tahunnya sudah 4 hari yang lalu. Vegas kemudian meniup lilin tersebut dan berdoa.

'Tuhan. Semoga kau memanjangkan umurku. Aku baru saja bertemu dengan malaikat hidupku disini. Izinkan aku menghabiskan waktuku lebih lama bersamanya. Aku mencintainya. Aku ingin hidup bersamanya'

Vegas membuka matanya dan melihat Pete. Mereka saling bertukar senyum. Vegas berdiri dan meraih tengkuk Pete untuk menciumnya.

Beberapa saat kemudian Pete merasakan ada yang basah diantara ciuman mereka. Pete menarik dirinya dari Vegas. Alangkah terkejutnya Pete mendapati hidung Vegas yang mengeluarkan darah.

"Phi! Darah!" Pete setengah berteriak karena kaget. Reflek Pete mengangkat tangannya dan menyeka darah Vegas dengan lengan baju sekolahnya yang berwarna putih.

Vegas menghentikan gerakan Pete. Tangannya terulur kearah wajah Pete dan menyeka sesuatu dari sana.

"Maafkan aku telah menciummu Pete. Kau jadi kotor dengan darahku" Vegas berucap dengan lirih. Hatinya sakit melihat Pete kotor karena darahnya sendiri. Bahkan Pete mencemaskannya dan membersihkan dirinya ketimbang membersihkan darah diwajahnya sendiri.

-----

Minggu ke-17

Vegas merebahkan tubuhnya dengan beralaskan paha Pete. Mereka sibuk bercengkrama menceritakan kisah lucu kucing mereka masing masing. Bagaimana Grey sering mengobrak abrik kotak makanannya, bagaimana Mino sering mengajak duel kucing lain diluar pagar.

Tangan Pete yang sedari tadi mengusap rambut Vegas hanya bisa menahan rasa sakit. Melihat tangannya yang dipenuhi rambut Vegas membuat dia ingin menangis. Tapi dia tak mau melihat Vegas sedih seperti kejadian mimisan waktu itu. Dia harus pura pura agar senyuman yang sangat ia sukai itu tetap pada posisinya.

Pete tau, ini bukan hubungan yang mudah. Pete baru merasakan rasa seperti ini untuk pertama kali dengan orang seusianya. Pete seperti menemukan harapan dan cahaya baru setelah kematian ibunya. Pete menjadi lebih dewasa dan ceria dalam menghadapi permasalahannya terutama yang berkaitan dengan ayahnya. Vegas seperti penunjuk jalan disaat dia buta.

Pete selalu berdoa pada Tuhan setiap detik agar tak mengambil Vegas darinya. Pete ingin Vegas sembuh dan dapat menemaninya lebih lama. Pete berjanji akan menjadi umat yang taat jika Vegas sembuh total nantinya.

-----

Minggu ke-18

Pete menunggu Vegas seperti biasanya. Pete menggambar sesuatu sambil menunggu Vegas. Tangan Pete begitu lincah menggores kertas yang ada dihadapannya.

Puk

Pete merasakan tepukan dikepalanya. Pete menoleh kesamping dan menemukan Vegas yang berdiri disana dengan senyuman yang selalu Pete sukai.

Tapi Vegas tampak berbeda hari ini. Vegas memakai kupluk menutupi kepalanya. Bibirnya sangat pucat dan kering, bahkan ada beberapa luka kering dibibirnya.

Pete terdiam, matanya menatap Vegas cukup lama. Pete tak tau harus bagaimana. Dia ingin menangis, tapi tak bisa. Tapi dadanya sesak melihat Vegas yang semakin lama semakin melemah.

Bibir Pete bergetar. Pete sekuat tenaga berusaha agar tidak menangis. Namun tetap saja air matanya jatuh tanpa permisi. Hidungnya mulai memerah.

Vegas menghela napas dan duduk dihadapan Pete. Ibu jarinya menyeka air mata Pete yang jatuh. Vegas tersenyum sendu

"Apa aku terlihat semenyedihkan itu hm? " Pete menggeleng kuat membuat Vegas terkekeh melihat reaksi Pete. Sudah sangat jelas dia menangis seperti ini tapi masih tidak mau jujur.

Vegas menarik Pete kepelukannya dan menepuk punggung Pete perlahan, mencoba untuk menenangkannya. Vegas terkekeh lagi, ia bingung, siapa yanh sakit sebenarnya disini?

-----

Minggu ke-23

Matahari sudah berada di ufuk barat. Sekarang waktu menunjukkan pukul 4 sore. Pete sudah menunggu Vegas selama 5 jam. Hati Pete merasa tak enak hari ini. Jadi dia bersikeras akan menunggu Vegas sampai datang. Dia tak peduli lagi dengan kerja paruh waktunya. Ia ingin bertemu Vegas saat ini juga.

Srek

Srek

Srek

Pete mendengar bunyi dedaunan yang bergesek. Reflek Pete menoleh melihat sumber suara. Mata Pete membola ketika mendapati Vegas yang datang dengan napas terengah engah. Pete segara menangkap tubuh Vegas yang limbung dan membaringkan Vegas dipangkuannya.

Vegas tampak kacau. Kupluk yang biasa ia pakai tak terpasang dengan benar. Jejak darah dibawah hidung masih terlihat. Bibirnya sangat kering dan luka. Matanya sayu dan ada lingkaran hitam dibawahnya. Bibir Vegas tak tertutup sempurna karena mencoba meraup oksigen.

"Pete.. Ku- kirah.. Hah.. Kau sudah pergih.. " Vegas berbicara tersengal sengal. Tangannya mencoba meraih pipi Pete yang sudah berurai air mata. Vegas menyeka air mata tersebut dan tersenyum.

"Janganh.. Hah.. Menang- ngis.. Pete.." Pete mengangguk cepat. Tangannya menyeka air matanya yang terus saja jatuh. Tapi air matanya tak kunjung berhenti. Pete sangat merasa sedih, hatinya seperti teriris. Dia tak kuat melihat Vegas seperti ini. Rasanya ia ingin menggantikan Vegas.

"Pete.. Maaf- maafkan akuh.. Aku.. Tak bisa memenuhi.. Janjikuh.. " Vegas meringis. Dadanya sangat sesak dan pandangannya sudah berputar hebat. Vegas menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan.

"Aku.. Mencintaimu.. " Pete mengangguk cepat. Suara isakannya sudah terdengar ditelinga Vegas. Air mata Pete semakin deras. Membasahi celananya dan kupluk Vegas.

"Hiks.. Aku juga phi.. Aku juga mencintaimu.. Hiks.. Phi, jangan tinggalkan aku.. Kumohon.. " Pete merengkuh kepala Vegas yang berada dipangkuannya. Pete berkali kali mengecup puncak kepala Vegas yang tertutupi kupluk basah karena air matanya.

Vegas tersenyum. Air mata mengalir diekor matanya. Kalau boleh jujur, Vegas masih ingin berjuang melawan penyakitnya. Vegas ingin berjuang untuk Pete, untuk cintanya. Tapi sepertinya Tuhan tak mengizinkannya memiliki Pete dikehidupan ini. Dia kalah melawan penyakitnya. Dia kalah melawan takdirnya. Dia harus bersabar. Vegas yakin Tuhan tak sejahat itu. Tuhan akan memberikan Pete untuknya diwaktu yang tepat.

Perlahan Vegas mulai menutup matanya. Dia sangat lelah. Sakit kepalanya sangat menghujam akal sehatnya untuk tetap terjaga.

"Pete.. Kepalaku sakith.. Biarkan.. Aku tidurh.. " Vegas menutup matanya. Membiarkan dirinya kalah melawan rasa sakit dipelukan orang yang dia cintai.

Bukit itu kini dipenuhi oleh teriakan Pete. Pete meraung kesakitan. Ia telah ditinggalkan. Ia sendiri. Ia merasakan perasaan yang sama lagi. Untuk kedua kalinya dirinya merasakan rasa ditinggalkan oleh orang yang sangat ia cintai. Pete memeluk Vegas dengan erat, mengecupi pipi Vegas yang mulai mendingin.

-----

Matahari. Satu kata yang sangat tepat untuk sebuah ciptaan Tuhan sehebat dirimu. Bahkan ketika cahayamu meredup di ufuk barat, kau memantulkan cahaya milikmu sekuat mungkin pada bulan. Setidaknya untuk menemani para pejalan dalam sepi dan dinginnya kegelapan.

Sama seperti Vegas. Pria yang memberikan cahaya yang dibutuhkan oleh Pete. Seseorang yang sudah lama kehilangan arah dalam perjalanannya yang dipenuhi kelam. Bahkan ketika ia ikut pergi bersamaan dengan tenggelamnya matahari diufuk barat. Dia meninggalkan pesan dan kesan dalam kenangan. Semoga Pete berjalan dalam terang yang ia tinggalkan

END


Komentar

Postingan populer dari blog ini

FORTPEAT - SURROGATE 2🔞

FORTPEAT - JINX - 16 🔞

FORTPEAT - RARE SPECIES - 5 🔞