VEGASPETE - AGREEMENT - EXTRA CHAP B
Hotel Hera sudah dipenuhi oleh kerumunan manusia. Ballroom hingga taman belakang semuanya didekorasi seindah mungkin. Seluruh pintu hotel terbuka, mengizinkan semua tamu undangan masuk keruangan mana saja. Bahkan kamar pun dipersiapkan sebaik mungkin agar para tamu yang menempuh perjalanan jauh dapat beristirahat, tak tertutup kemungkinan juga untuk para tamu yang hanya singgah namun ingin menikmati fasilitas kamar dari hotel tersebut.
Ruang pesta tampak sangat indah dan elegan. Warna maroon dan hitam mendominasi dekor yang terpasang kali ini. Setiap lorong pun diperlakukan sama, dinding dinding yang awalnya kosong itu dihiasi dengan sulur dan bunga bunga berwarna senada. Taman belakang pun tak kalah cantik, dome dengan bahan kayu yang melilit dan berukuran sangat besar bersarang ditaman belakang hampir menutupi seluruh permukaan taman. Bagian dalamnya digantungi tanaman hias dan didepan gerbang masuk dome ditutupi oleh salur salur kuning pucat yang dililiti bunga maroon dan hitam.
Pesta pernikahan kali ini terasa sangat megah dan mewah, menggambarkan bagaimana karakter dari kedua mempelai yang juga megah dengan ciri khasnya masing masing. Pencampuran warna maroon dan hitam melambangkan dominasi kedua mempelai namun tampak serasi.
Setelah pengucapan sumpah sakral didepan pendeta dan pemberkatan, semua orang dihadapkan dengan menu yang tak kalah fantastis. Tak terkecuali tiga sekawan yang saat ini duduk dikursi bundar bersama bocah kecil disisi mereka.
"Oh my! Kenapa croffle ini sangat enak! Ah.. Cokelatnya.. Wah.. " Pete kehabisan kata kata saat menjelaskan betapa lezatnya croffle yang ia makan. Matanya terpejam menikmati setiap lelehan cokelat yang masuk ke kerongkongannya. Tidak terlalu manis, tapi tidak pahit juga, ada sedikit rasa asin tapi sangat pas. Sungguh perpaduan sempurna untuk rasa sebuah cokelat.
Pete menatap kedua anaknya yang juga memakan makanan mereka. Jika Venice memiliki selera makanan yang sangat mirip dengannya, berbeda dengan Siena. Siena lebih menyukai makanan western atau itali. Dipiringnya terdapat seonggok spageti, satu slice pizza dan satu box lasagna. Tapi keduanya memiliki satu persamaan, wajah yang sudah belepotan. Beberapa cipratan cokelat sampai kedaun telinga dan kemeja putih yang Venice gunakan, seluruh tangannya berubah menjadi lumuran cokelat sebagai hasil dari rasa penasarannya seberapa banyak cokelat yang bisa tertampung pada mousse cake yang ia makan, kemudian tanpa sengaja tangannya yang penuh cokelat itu akan menyeka keringatnya karena terlalu bersemangat menghabiskan semua makanan dimejanya. Tak banyak perbedaan, wajah Siena sudah dipenuhi kumis dan jenggot dari saus tomat spagetti yang ia makan. Tumpahan lasagna bahkan jatuh keatas rok dressnya dan memberi dekorasi baru disana.
"Huaaa!!!" Siena menangis ketika saos tomat tak sengaja masuk kematanya saat dia menggosok matanya yang gatal. Pete segera mengambil tisu dan berjongkok didepan Siena, kemudian ia menghapus saos tomat dari mata Siena sambil menenangkan Siena agar tidak menangis. Pete mengambil sebotol air mineral yang berada diatas meja dan menumpahkannya sedikit ketangannya kemudian ia membasuh mata Siena yang terkena saos tomat. Pete menggendong Siena kemudian duduk kembali diatas kursinya, menggerak gerakkan kakinya yang menjadi dudukan Siena agar Siena dapat tenang kembali, gerakan tepukan yang lambat dipunggungnya membuat Siena tenang dan malah tertidur.
"Wah, aku kasihan melihatmu Pete. Bahkan kau tak bisa menikmati makananmu" Pol menatap Pete iba. Pete baru makan satu suap croffle karena dari tadi sibuk mengatur Venice dan Siena makan. Dia bergerak kekiri dan kekanan kemudian kesana kemari untuk mengambil makanan kesukaan anak anaknya.
Plakk
"Kau mengasihani Pete tapi tidak denganku! Kau tak lihat aku belum makan apapun karena Nose tak mau tanganku lepas dari tubuhnya?! " Arm meneriaki dan memukul kepala belakang Pol cukup kuat. Ia kembali mendekap baby Nose yang mulai terisak karena berkurangnya rasa hangat dari tangan pipinya.
Pol meringis sambil mengusap bekas pukulan dibelakang kepalanya. Arm memang menakutkan jika marah. Pol segera memeluk Arm dan mengecup pipinya singkat. Arm memutar bola matanya jengah melihat kelakuan aneh suaminya. Bisa bisanya ia bersimpati pada Pete yang sudah mencicipi makanan dibanding dengan dirinya yang belum mencoba apapun. Ugh! Harusnya ia tak menikahi laki laki ini
"Ah maaf sayang. Ayo sini aku suapi. Jangan marah okey? " Pol buru buru mengambil makanan yang berada dihadapan Arm dan menyendoknya. Pol mengarahkan sendok itu ke depan mulut Arm dan membujuknya membuka mulut.
Arm tak bergeming sama sekali. Ia masih kesal dengan Pol. Wajahnya tertekuk masam dengan tetap menggoyangkan tubuhnya untuk menidurkan Nose.
Pete terkikik geli melihat keluarga didepannya ini. Pol tetap bodoh seperti biasa rupanya. Pete melihat Venice yang sudah melamun dengan mulut yang sedikit terbuka. Venice sudah sangat kekenyangan sepertinya.
"Sayang, mengantuk hm? " Pete mengusap rambut Venice pelan tak ingin mengejutkan sang anak. Mata Venice yang tadinya kosong kini mulai berisi bayangan Pete saat menoleh kearah papanya. Kepalanya mengangguk lemah mengiyakan pertanyaan Pete.
"Papa gendong dipunggung Venice mau? " mata Venice yang sudah mengerjap menahan kantuknya terpaksa ia buka untuk menatap papanya kembali. Venice mengangguk pasrah karena sudah tidak kuat menahan kantuk.
Pete dengan hati hati membawa tubuhnya yang sudah menggendong Siena bak koala kehadapan Venice. Pete memperlihatkan punggungnya dan kemudian dilompati oleh Venice sambil memegangi leher Pete. Tangan kirinya menampung pantat Venice dan tangan kanannya menampung pantat Siena didepan. Bobot kedua anaknya tak main main beratnya, membuat pergerakan Pete sangat pelan karena harus hati hati.
Pete berjalan meninggalkan Pol dan Arm berserta bayinya dimeja itu menuju salah satu kamar yang sudah ia kantongi kuncinya. Tubuh Pete semakin berat ketika Venice sudah sepenuhnya tertidur dipunggungnya, menyebabkan langkahnya sedikit terseret karena terlalu berat. Beban seberat 37 kg berada diatas tubuhnya, wajar saja tubuhnya terlihat sedikit bungkuk dengan langkah yang terseret.
Hap
Pete merasakan seseorang mengambil Venice dari punggungnya. Pete menoleh kebelakang dan mendapati Vegas dengan raut wajah bersalah.
"Maaf, aku terlalu lama meninggalkanmu"
"No, it's okey. Kau harus menggantikan papa untuk menyambut tamu" Pete menggeleng sambil tersenyum. Pete memperbaiki posisi Siena agar lebih nyaman dibawa.
"Kenapa tak menungguku? Mereka tidak bayi lagi untuk kau angkat bersamaan Pete"
"Aku tak tega melihat mereka tidur dalam posisi duduk Vegas, dan aku tak tau kau akan kembali lebih cepat dari dugaanku"
"Um, ayo jalan. Kau juga harus beristirahat Pete" Vegas mengelus rambut Pete dan merangkul bahunya. Pete mengangguk dan mereka akhirnya berjalan beriringan menuju kamar mereka.
-----
Vegas menatap Pete yang berada disisi lain ranjang. Mereka terpisahkan oleh dua bocah yang tertidur pulas setelah tubuhnya dibersihkan karena penuh dengan sisa makanan. Pete juga sudah mulai tertidur. Ia sudah bangun pagi pagi sekali untuk menyiapkan segala keperluan untuk acara hari ini, karena Pete yakin hari ini akan panjang dan melelahkan.
Tangan Vegas mencoba menjangkau pipi Pete dan mengusap sisa cokelat yang tertempel disana. Pete terlalu sibuk memperhatikan anaknya tanpa tak menyadari jika wajahnya juga ditempeli oleh cokelat.
Vegas menarik tangannya hati hati agar tak membangunkan Pete. Namun tangan Vegas ditahan oleh tangan Pete dan membawanya kembali keatas pipinya.
"Biarkan seperti ini sebentar, sangat hangat" Pete menyamankan posisi telapak tangan Vegas pada pipinya. Matanya masih terpejam sambil meresapi hangatnya tangan Vegas. Membuat senyum manis Pete terpatri begitu saja dibibirnya.
Vegas ikut tersenyum melihat Pete yang mulai bermanja padanya. Melihat Pete yang sudah sangat nyaman bersamanya membuat hati Vegas terenyuh. Perjuangan yang ia lakukan selama berbulan bulan akhirnya membuahkan hasil. Pete tak lagi mudah terkejut saat tak sengaja bersentuhan dengannya. Vegas terus mengusap pipi Pete dengan lembut, menyalurkan rasa sayangnya yang teramat dalam melalui tindakannya itu. Mata Vegas menatap Pete sangat lekat, memperhatikan wajah cantik yang sedang terpejam dan sepertinya hampir memasuki alam mimpi.
"Pete, ayo menikah" Pete yang baru saja akan memasuki mimpi tersentak dan membuka matanya lebar.
"Menikah? "
"Eum, ayo menikah"
-----
1 bulan kemudian
Vegas berulang kali meniup tangannya yang terbalut sarung tangan putih. Rasa gugupnya semakin menjadi karena pembawa acara sudah mempersilahkan mempelainya untuk masuk. Tangannya terkepal erat saat ini disisi tubuhnya. Dingin dan gemetar ia coba tahan sebisanya agar tak pingsan. Meskipun ini ketiga kalinya ia menikah, kegugupan pernikahan kali ini seribu kali lipat lebih tinggi dibanding yang pertama. Jantungnya berdebar sangat cepat hingga bunyi detakannya mencapai telinga Vegas.
Jantung Vegas rasanya sudah jatuh keujung ibu jari kakinya ketika melihat Pete yang masuk dari ujung berlawanan. Entah apa yang terjadi, tapi riuh sorakan tamu yang mengisi gereja tersebut sama sekali tak terdengar oleh Vegas. Bak dalam film romantis, mata Vegas memproyeksikan Pete sangat sempurna bagai malaikat yang turun dari langit. Satu sinar terus mengikuti langkah kaki Pete yang sangat cantik dengan setelan jas putih gading dan riasan tipis, tak lupa senyuman dengan lesung pipi yang tercetak di wajahnya. Telinga Vegas mulai berhalusinasi, alunan musik klasik terputar begitu saja menemani setiap langkah Pete yang terus mendekatinya. Vegas tak sadar bagaimana penampakannya saat ini, tubuhnya berdiri kaku dengan mulut yang terbuka lebar, matanya tak berkedip sama sekali dan fokus menatap Pete.
"Ehem.. Khun Vegas"
"Khun"
"Khun Vegas"
Pembawa acara beberapa kali memanggil nama Vegas untuk menyadarkannya dari lamunan. Pete sudah berdiri dihadapannya tapi Vegas tetap saja tak bergeming untuk mengambil tangan Pete.
"Khun Vegas"
"Khun-"
"Vegas!!! " Tankhun akhirnya berteriak sambil melempar clutch yang ia pegang kearah Vegas. Bibirnya tampak bergerak gerak mengumpati Vegas yang melamun seperti orang bodoh.
Vegas terhuyung setelah mendapatkan lemparan dari Tankhun. Membuatnya kembali sadar dan melihat situasi di sekelilingnya.
"Oh god! " Vegas mengerang malu mendapati dirinya yang terlihat bodoh didepan kerabatnya.
Tangannya segera mengambil tangan Pete dan membawanya kesisinya untuk berhadapan dengan pendeta.
"Apa aku semempesona itu hm? Kkk.." Pete berbisik sangat pelan hingga hanya Vegas yang mampu mendengar.
"Pete, please.. " rengek Vegas dengan suara yang sangat pelan, dia ketahuan oleh Pete dan itu memalukan. Pete terkekeh melihat Vegas yang hanya menundukkan kepalanya dengan telinga yang sudah sangat merah. Kenapa suaminya-tunggu, calon suaminya ini bisa semenggemaskan ini? Pertama kalinya Pete melihat sisi Vegas yang seperti ini, dan Pete menyukainya.
Vegas dan Pete kemudian melepas tautan tangan mereka dan berdiri menghadap pendeta sepenuhnya. Suasana mulai terasa hikmat. Hanya suara pendeta yang mengucapkan sumpah dan diikuti oleh Vegas dan Pete. Semua hadirin yang hanya terdiri dari kerabat dekat tampak ikut menikmati momen itu.
Pernikahan yang sederhana, sesuai dengan yang Pete inginkan. Disebuah gereja dan hanya dihadiri saudara dan kerabat dekat. Tak ada rekan kerja, tak ada kenalan, tak ada media. Pesta pun tidak diadakan, Pete berpikir ini adalah pernikahan kedua dengan orang yang sama, jadi pengucapan janji sakral sudah lebih dari cukup untuknya. Bahkan cincin mereka kali ini terlihat jauh lebih sederhana. Cincin perak yang hanya dihiasi satu berlian kecil dengan ukiran nama satu sama lain di cincin masing masing.
Prosesi pengucapan sumpah sakral diakhiri dengan ciuman diatas altar. Lumatan kecil yang dipertontonkan pada hadirin diiringi senyuman dibibir keduanya. Vegas lebih dulu menjauhkan wajahnya dan menatap mata Pete sangat dalam. Mata indah dengan iris cokelat yang mampu membawanya masuk sangat dalam dan membuatnya berkali kali jatuh cinta.
"Aku mencintaimu Pete"
"Aku mencintaimu Vegas"
-----
"Phi, tak apa. Pergilah. Aku akan menjaga Siena dan Venice dengan baik. Jangan khawatir" Macau menepuk pundak Pete yang masih berjongkok dihadapan Venice dan Siena.
Hari ini tepat setelah satu minggu pernikahan Vegas dan Pete, mereka memutuskan untuk pergi berbulan madu selama satu minggu ke kota Venice, Italia. Pete sudah sangat rindu melihat kota itu dan ingin mengajak Vegas kesuatu tempat. Awalnya Pete ingin membawa Siena dan Venice tapi ia urungkan karena mereka harus sekolah. Pete sudah membujuk Vegas untuk membiarkan anaknya mengambil libur sekolah namun ditolak oleh Vegas. Vegas beralasan jika membawa anak anak itu, nantinya libur mereka akan lebih lama dari seharusnya, Siena mengalami jet lag yang parah setelah berpergian dengan pesawat, jadi dia biasanya akan istirahat bahkan tak jarang hingga demam selama satu minggu. Pete pun menyerah dan memilih menitipkannya pada Macau.
"Ayo peluk papa sayang, huhu, papa akan merindukan kalian" Pete merengkuh putra putrinya kedalam pelukannya. Pete memeluk mereka sangat erat sampai sampai Venice meninggikan lehernya karena sudah mulai sesak.
"Kau membuat mereka kehabisan napas sayang" Vegas menjauhkan tubuh Pete dari Siena dan Venice. Pete meronta, dia kembali mendekati anaknya setelah menepis tangan Vegas yang memegangnya agar tak mendekati anaknya.
"Kau tak paham perasaanku Vegas" Pete mencebik dan menatap Vegas dengan raut sedih. Ia kembali memeluk Siena dan Venice sambil mengecupi kedua pipi anak anak itu.
Vegas menghela napas berat. Mereka tidak akan berangkat dan ketinggalan pesawat jika seperti ini terus. Vegas memberi sinyal pada Macau agar memegangi Siena dan Venice. Macau menganggukkan kepalanya tanda paham dengan maksud kakaknya.
Secara serempak Vegas dan Macau menarik tubuh dari sekumpulan manusia yang masih berpelukan itu. Macau membawa ponakannya masuk kedalam rumah dan membuka tirai jendela selebar mungkin agar keponakannya masih bisa melihat orang tua mereka dari dalam. Sedangkan Vegas menarik Pete dan menggendongnya layaknya karung beras. Kaki Pete bergerak meronta ronta agar dilepaskan. Tangannya terulur dengan jari jari yang bergerak mencoba menjangkau anaknya yang dibawa kabur kedalam rumah oleh Macau.
"Venice!! Siena!! " Pete berteriak memanggil nama kedua anaknya dengan mimik wajah yang sedih.
Plakk
Vegas tersenyum senang sambil memukul pantat Pete cukup keras agar Pete diam dan tak bergerak. Beban tubuh Pete tak ringan, jadi jika bergerak terus bisa saja mereka berdua jatuh. Vegas menggeleng melihat kelakuan istrinya ini. Ah.. Akhirnya dia sudah bisa menyebut Pete sebagai istri. Senyumnya berubah menjadi sangat lebar hingga menampakkan gerahamnya.
Tiba tiba saja Pete terdiam. Dahi Vegas berkerut heran. Kenapa Pete diam? Apa Pete memang sepatuh ini? Seingatnya tidak
"Turun" suara dingin menusuk masuk kedalam telinga Vegas. Membuat suasana disekelilingnya menjadi dingin hingga bulu halusnya meremang.
"Kubilang turun" Vegas masih melanjutkan langkahnya dengan cepat menuju mobil yang terparkir diluar gerbang rumah mama dan papanya. Pete mulai tampak berbahaya.
Tak lama Vegas merasakan sebuah tangan menelusup masuk kedalam celananya dan mulai meraba pipi pantatnya.
"Pete! Apa yang kau lakukan?! Jangan macam macam! " suara panik Vegas memunculkan seringaian dari bibir Pete. Pete terus memasukkan tangannya hingga sampai kebawah pipi pantat Vegas.
Nyut
"Akk!! Pete!! "
Vegas segera menurunkan Pete dengan sedikit melemparnya keatas rumput karena aksi tiba tiba Pete yang meremas pantatnya menggunakan kuku jarinya. Vegas memegangi pantatnya yang sedikit perih karena cakaran Pete. Wajahnya meringis saat tak sengaja menggesekan kain celana dalamnya dengan bekas cakaran.
"Kau berani melemparku Vegas?! Okey! Selama di Venice kita pisah ranjang! " Pete berdiri dari posisinya yang terduduk karena lemparan Vegas dan bergegas menuju mobil.
Mati kau Vegas!
TBC
Komentar
Posting Komentar