VEGASPETE - AGREEMENT - 25 (END)

 3 bulan kemudian

Pete menjalani hari harinya dengan ketenangan. Dengan bermodalkan beberapa lembar uang yang tertinggal di saku rok yang ia pinjam, ia menyewa satu petak kamar yang dibayar rutin perbulan. Pete menamai dirinya dengan 'Biu'. Dia tak ingin mengenalkan nama aslinya karena akan sangat beresiko.

Pete sekarang menetap di kota Chiang Rai. Kota yang masih asri, ramah dan tenang. Kota ini sangat jauh dari kota Bangkok, sekitar 860 km keutara dan berbatasan langsung dengan Laos dan Myanmar. Pete memilih kota ini sebagai salah satu kelanjutan terapinya yang sempat putus dulu. Pete tak ingin dirinya mudah tergoncang dan kembali duduk dibalik pintu rumah sakit jiwa.

Hari hari Pete dipenuhi dengan pergi bekerja sebagai pekerja purna waktu di salah satu kafe dipusat kota. Setiap sabtu ia akan pergi terapi ke psikiater untuk melanjutkan pengobatannya yang sempat terputus, atau bisa dibilang diulang dari awal. Semacam kasus relaps. Dihari minggunya Pete akan berada di panti asuhan sebagai relawan untuk mengurus anak anak yang ditinggal atau kehilangan orang tuanya.

Hati Pete selalu bergetar ketika hari minggu datang. Setiap melihat anak anak kecil ia akan teringat dengan Venice dan Siena. Pete sangat merindukan anak anak itu. Meskipun Siena bukan anaknya, tapi tetap saja mereka sudah menghabiskan waktu beberapa hari dan menjadi sangat dekat. Jika hari biasanya Pete hanya akan bekerja sangat keras dan pulang hanya untuk tidur, sehingga tak ada kesempatan untuk merindukan mereka. Namun berbeda jika setiap weekend, Pete selalu teringat setiap menit bahkan detik. Tak jarang ia memeluk bantalnya erat dan menenggelamkan wajahnya disana sekedar untuk berteriak dan menangis. Meluapkan semua rasa rindu yang semakin menumpuk didadanya. Pete sangat ingin mencurahkan rasa kasih sayangnya, jadilah ia hanya bisa menjadi seorang relawan di panti asuhan. Merawat dan menyayangi anak anak tersebut seperti anaknya sendiri.

Hari ini setelah pulang dari terapi, Pete pergi mendatangi sebuah bukit yang ditanami oleh pohon pohon teh. Choui Fong Tea Plantation. Memakan waktu cukup lama menuju kebun teh ini karena jaraknya yang cukup jauh dari pusat kota. 60 menit menggunakan mobil. Pete lumayan sering menghabiskan waktunya untuk healing seperti saat ini. Hal ini tentu saja salah satu anjuran psikiatri yang menanganinya, dimana kegiatan semacam ini dapat menjaga kualitas dan mengontrol kesehatan mental menjadi lebih baik. Pete sangat merasakan manfaat dari traveling singkat tersebut, dimana ia merasakan kepala dan dadanya yang sering berat sudah berangsur ringan. Gejala panik yang sering ia peroleh karena suara suara kecil atau pemikirannya sendiri sudah sangat jauh berkurang. Psikiatri pun akhir akhir ini sering memujinya karena progres dari kesehatannya yang semakin meningkat tiap minggunya.

Pete melihat beberapa orang telah lebih dulu mengisi alun alun diatas bukit tempat para wisatawan bersantai. Tidak banyak memang tapi sedikit mengurangi rasa sepi dikebun teh tersebut. Pete berjalan sedikit keatas dan menemukan pondok kecil yang kosong. Pete mendudukan dirinya disana dan menatap hamparan hijau yang terbentang luas dihadapannya. Sangat menyejukan mata dan pikiran. Perasaan damai selalu hadir ketika dirinya memulai sesi menikmati dunia. Sesekali matanya terpejam ketika angin sepoi sepoi menyapu wajahnya. Senyumnya terkembang dan merekah ketika mendapati hatinya sangat tenang meskipun sudah satu jam lebih menghabiskan waktu disini, walaupun ia hanya memandang dan sedikit bersenandung tak mengurangi rasa ketenangan yang ia peroleh.

Hari sudah mulai gelap. Matahari sudah berada 30 derjat diatas tanah. Perut Pete pun sudah mulai berbunyi minta untuk diisi. Pete akhirnya turun dari pondok tersebut dan berjalan kebawah menuju mobil rental yang ia bawa. Pete sangat ingin mencicipi cokelat saat ini. Meski seharusnya ia mengisi perut keroncongannya dengan makanan padat, Pete lebih memilih mencari cokelat terlebih dahulu untuk memenuhi keinginannya. Eits, dia tak hamil. Pete hanya menginginkan cokelat, hanya itu.

Pete mengemudikan mobilnya membelah jalan bukit yang sudah gelap. Mobilnya berjalan hanya ditemani lampu sorot mobil dan lagu yang ia putar dari ponselnya. Pete tak bisa menyewa mobil mahal karena terlalu banyak biaya yang ia keluarkan untuk kebutuhan terapinya. Psikiater memang tidak murah, tapi ia memperoleh hasil yang maksimal dengan besar biaya yang ia keluarkan.

Pete berhenti disalah satu mini market pertama yang ia dapati setelah menuruni lereng bukit. Pete memasuki mini market tersebut dan mulai mencari beberapa cokelat yang akan ia makan dan ia simpan untuk persediaannya. Tangannya mengambil beberapa chocobar, choco jam, cokelat leleh, dan berbagai bentuk cokelat lainnya. Keranjang belanjaannya sangat penuh dengan tumpukan cokelat. Lalu ia segera membawa keranjang tersebut menuju kasir untuk dibawa. Pete menggoyangkan kepalanya kekiri dan kekanan sambil menikmati musik yang diputar dimini market tersebut.

"Papa!!! "

Brukk

Kaki Pete ditubruk dan dipeluk erat oleh seorang anak kecil. Pete tak bisa melihat wajah anak itu dari atas karena anak itu menenggelamkan wajahnya dibetis Pete.

Pete menyerahkan uang yang sudah ditagih oleh kasir mini market dan mengambil belanjaannya. Pete sedikit menggeser badannya kesamping agar antrian dibelakangnya dapat maju. Pete berjongkok dan berusaha melepaskan pelukan dari anak kecil itu.

Degg

Jantung Pete seperti ingin loncat. Ia sangat terkejut melihat siapa yang memeluk kakinya seerat ini.

Venice.

Pete memeluk erat tubuh Venice yang masih menangis dengan keras. Venice terisak dengan mulutnya yang terbuka dan menampung setiap aliran air mata yang ia keluarkan. Hidungnya yang memerah dan mengeluarkan ingus itu sesekali ia hirup karena tak mau ingus masuk kemulutnya. Pete ikut menangis, hatinya menghangat melihat Venice berdiri dihadapannya. Rasa bahagia yang sudah lama tidak ia rasakan. Satu satunya sumber kekuatan yang selama ini ia miliki kini dipelukannya. Satu satunya hal yang membuatnya memilih hidup dibanding mati.

Pete menjauhkan Venice dari pelukannya dan menatap anak itu lamat lamat. Pipinya semakin gembul dan tubuhnya bertambah tinggi. Venice terlihat sangat sehat. Pete mengusap air mata Venice yang masih mengalir dengan ibu jarinya. Kemudian dengan cepat meraba kantong kantong jaketnya untuk menemukan selembar tisu. Namun dia tak menemukan apapun, sehingga ia menarik ujung kemejanya yang berada didalam jaket untuk mengusap wajah Venice yang sudah dialiri oleh ingus.

"Sayang, sayang. Cup cup cup. Berhenti menangis. Nanti kepalanya sakit" Pete kemudian menggendong Venice dan mengecup pipi gembul itu berkali kali. Ia sangat rindu dan ingin meluapkannya sekarang. Bahkan pipi Venice yang sudah tak dipenuhi air mata malah dipenuhi jejak saliva Pete karena tak berhenti mengecupnya. Dia kembali memeluk Venice sangat erat sampai Venice mengaduh sesak pada Pete. Pete kembali menjauhkan Venice dan menatap Venice lekat. Diwajahnya tak luntur sedikit pun senyum manis dengan dihiasi lesung pipi itu.

Pete memutar tubuhnya mencari seseorang yang datang bersama Venice. Tak mungkin anak sekecil ini bisa kesini seorang diri. Pete berharap jika bukan Vegas yang datang karena Pete sangat belum siap untuk mengobrol dengannya. Pete masih dalam masa terapi, jadi Pete tak mau dengan melihat Vegas akan kembali memperburuk kesehatannya. Dan juga Pete ingin orang itu tidak datang lagi kesini dan membawa Venice. Pete tak mau kejadian berbahaya terulang lagi karena dirinya. Apalagi dia tak mendengar kabar apapun mengenai Pavel. Bagaimana jika ia masih berkeliaran mencarinya. Bagaimana jika sewaktu waktu Pavel muncul dihadapannya dan saat itu ia bersama Venice. Pete tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.

Pete tak menemukan siapapun dengan wajah familiar yang membawa Venice didalam mini market. Pete mengambil belanjaannya yang sedari tadi ia letakkan diatas lantai dan berdiri sambil menggendong Venice.

"Venice, sayang, kesini dengan siapa hm? " Pete menatap anaknya lembut. Venice menjatuhkan kepalanya diatas bahu Pete dan tangannya bergerak menusuk nusuk pipi Pete.

"Paman" Venice berujar dan ditanggapi Pete dengan anggukan ringan.

"Papa.. Apa papa masih sakit? " Venice menatap Pete dengan mata yang berkaca kaca, bibirnya mencebik seperti ingin menangis lagi. Pete selama ini bertanya tanya, selama ia menghilang apa yang dikatakan pria pria dewasa itu pada anaknya. Dan pertanyaannya pun akhirnya terjawab.

"Papa tidak sakit lagi sayang. Tapi papa harus minum obat" ujar Pete sambil mengusap rambut anaknya.

"Kalau begitu.. Huks.. Papa bisa pulang sekarang? " Venice mulai terisak. Air matanya kembali turun satu persatu. Pete lalu membawa Venice ke pelukannya lagi setelah mengalungkan kantong belanjaannya di lengan. Tangannya menepuk punggung Venice dengan ringan sambil menggoyangkan tubuhnya kekiri dan ke kanan.

"Sebentar lagi papa pulang. Tung-"

"Pete? "

Pete terkejut. Kakinya membawa ia sedikit terhuyung kebelakang. Jika saja kuda kudanya tidak kuat seperti sekarang mungkin dia akan jatuh terlentang kebelakang. Pete melihat Vegas yang sama sama terkejut sepertinya. Ekspresi mereka berdua tidak berbeda jauh namun berbeda makna. Jika satu orang terkejut dengan penuh rasa rindu maka yang satunya lagi terkejut dengan rasa penolakan.

Vegas berjalan terseret selangkah demi selangkah dengan Siena digendongannya. Ia merasa takjub dan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Pete ada dihadapkannya. Pete menginjak tanah yang sama dengannya. Pete ada. Pete disini. Hati Vegas menjadi sangat penuh dan bahkan meluap luap. Melihat orang yang ia cintai seumur hidupnya disini, menghirup udara yang sama dengannya. Tak sadar air mata mulai menggenangi pelupuk matanya dan akhirnya menetes. Vegas tak kuat menahan rasa yang membuncah. Kakinya sedikit berlari dan memeluk tubuh Pete yang menegang kaku dengan tangannya yang menganggur. Vegas kembali merasakan hangatnya tubuh itu, merasakan aroma vanilla yang selalu menguar dari tubuh itu, bahkan semuanya sangat terasa pas dipelukannya dengan dua anak yang tanpa sengaja ikut masuk dipelukannya. Mereka seperti setumpuk puzzle yang kehilangan satu kepingannya, namun akhirnya lengkap setelah kepingan tersebut mencocokan diri dan terlihat sangat indah. Vegas memeluk Pete semakin erat tanpa peduli tatapan orang yang masih mengantri untuk membayar. Vegas hanya tau jika separuh jiwanya sudah bertemu.

-----

Pete menidurkan Venice dan Siena diatas tempat tidurnya yang cukup empuyk dan menyelimuti mereka dengan selimut yang tidak terlalu tebal. Pete tak pernah berpikir jika Venice dan Siena akan kesini, jadi tak ada satupun persiapan yang mumpuni. Pete mematikan kipas agar hangat untuk dua bocah yang tertidur dengan mulutnya yang terbuka.

Pete berjalan keluar dan menutup pintu. Sekarang ia harus menemui Vegas diluar, tepatnya diteras. Pete tak mengizinkan Vegas untuk masuk. Rasanya tak enak saja. Bisa jadi traumanya masih ada sehingga menyebabkan tak nyaman dihatinya.

Pete mengambil posisi disamping Vegas yang duduk dipinggiran teras sambil menatap langit yang gelap. Tak ada bulan dan bintang kali ini dilangit. Seperti mereka tau jika ada dua orang yang ingin berbicara tanpa mau diintai atau diusik, jadilah mereka bersembunyi.

"Mereka sudah tidur Pete?"

"Um.. "

Kemudian hening. Tak ada percakapan hingga beberapa menit kedepan. Mereka satu sama lain masih menimang nimang apakah harus berbicara atau tidak. Pikiran mereka sangat penuh dengan petarungan batin mengenai hal ini dan itu.

"Vegas/Pete" mereka menoleh bersamaan hingga kedua mata itu terserobok dan menatap menyelami mata masing masing. Dengan suasana sebegini tenang sangat cocok untuk mulai berciuman. Vegas sangat ingin mencoba mendekatkan kepalanya. Tapi ia harus bisa menahannya. Ia harus membuktikan pada Pete jika ia tulus mencintai Pete tanpa embel embel lain.

"Kau duluan" Pete memutus tatapan mereka dan menatap kearah jalanan yang juga sangat sepi. Sekarang sudah pukul 9 malam. Di Chiang Rai tidak ada kehidupan malam layaknya Bangkok. Para penduduk lebih memilih berdiam dirumah dan berkumpul dengan keluarga masing masing. Hanya segelintir orang yang masih beraktivitas itupun hanya dibeberapa tempat wisata seperti Clock Tower.

"Apa kabarmu Pete? " Vegas membuka suaranya kembali. Matanya belum melepas Pete yang duduk disebelahnya. Terlalu rindu hanya sekedar untuk berpaling kearah lain.

"Baik. Tak pernah sebaik ini" Pete tersenyum kecil tanpa menoleh kearah Vegas.

"Kau bahagia disini? "

"Ya. Aku hanya perlu menjaga diriku disini, tanpa harus memikirkan orang lain" Pete menoleh dan mendapati Vegas yang masih menatapnya. Wajah Vegas sangat sulit terbaca sekarang. Hanya ada kerutan didahinya sebagai penunjuk ekspresi.

"Kau tak rindu dengan anak anak? - ah, bukan. Venice maksudku" Vegas buru buru mengubah perkataannya. Karena ya, kenapa juga Pete harus merindukan Siena?

"Hm, aku sangat merindukan mereka. Tak perlu seperti itu, aku juga merindukan Siena" Bahkan jika ia tidak mengalihkannya dengan bekerja keras, mungkin Pete hanya akan menangis seharian dikamar.

"Kembalilah Pete. Venice dan Siena mencarimu setiap hari. "

Pete terdiam. Dia tak ingin menjawab permintaan Vegas. Pete memilih untuk memainkan permukaan tanah menggunakan sandal yang ia gunakan.

Vegas menghela napas. Sesungguhnya ia tak mengerti kenapa Pete pergi dan meninggalkan Venice. Vegas sangat tau bagaimana protektif dan sayangnya Pete pada Venice. Dan sangat tidak mungkin Pete bisa berjauhan darinya. Sehingga setiap malam Vegas selalu berpikir dan merenung. Mungkin saja karena dirinyalah Pete memilih untuk pergi.

"Pete, aku mulai menemui psikolog. Awalnya satu kali dalam 2 minggu, namun sekarang aku menemuinya satu kali satu minggu. Aku mulai bercerita padanya tentang apa yang kurasakan. Psikolog bilang aku orang yang sulit mengontrol emosi. Aku kemudian diberikan saran agar dapat mengatasinya. Kemudian aku akan kembali lagi untuk melaporkan apa saja yang sudah aku lakukan dan hasilnya sangat baik. Menurut psikolog itu emosiku sudah tak setajam dulu. Aku mengatur hidupku dengan baik. Seperti sekarang. Aku menjalani proses penyembuhanku hari ini disini. Aku membawa mereka agar ikut menikmati indahnya Choui Fong Tea Plantation. Aku merasa hatiku sangat tenang. Kami berencana akan mencari penginapan malam ini, karena jika pulang akan memakan waktu kurang lebih 10 jam. Siapa sangka kami bertemu denganmu Pete. Setidaknya anak anak itu mendapatkan tempat tidur yang layak malam ini. " Vegas menceritakan beberapa kilas hidupnya selama tiga bulan terakhir ini sambil menerawang jauh langit gelap diatasnya. Pete hanya mendengarkan dan sesekali mengangguk untuk menimpali perkataan Vegas.

Pete juga sedikit merasakan perubahan pada diri Vegas. Matanya tak lagi tajam dan manipulatif. Matanya tampak teduh dan menenangkan. Saat Pete memintanya untuk tidak masuk Vegas hanya menuruti, tak lagi offensive. Pete pikir akan ada percekcokan malam ini, namun tak ada satupun kejadian didalam pikiraanya yang terjadi. Semuanya menjadi sangat tenang dan normal. Seperti seharusnya.

"Pete. Maafkan aku-" Vegas berucap sambil memutar tubuhnya menghadap Pete sepenuhnya. Tangan Vegas mengait tangan Pete yang berada dipangkuannya. Pete menoleh dan melihat Vegas dengan tatapan datar. Wajah Vegas tampak menyedihkan kali ini, gurat rasa bersalah, takut dan khawatir menjadi satu. Pete belum mau terbuai dengan perubahan Vegas. Pete belum mempercayainya.

"Aku mengakui semua kesalahanku. Maafkan aku yang suka bermain dibelakangmu. Maafkan aku karena memaksamu menikahiku. Maafkan aku karena membuatmu berkali ribu terluka karena kehamilan orang lain dan penyebabnya adalah diriku. Maafkan aku yang egois karena mementingkan diriku sendiri. Maafkan aku yang berbuat kasar padamu. Maafkan aku sudah menuduhmu berselingkuh hingga membunuh anak kita-" Vegas menghembuskan napasnya perlahan. Dadanya mulai terasa sesak dan berat mengingat berapa banyak ia menyakiti Pete. Pete terlalu kuat menghadapi bajingan seperti dirinya selama delapan tahun lebih.

"Maafkan aku mengurungmu, memukulimu, menyiksamu bahkan memaksamu berhubungan badan. Maafkan aku membuatmu melihat diriku dan Us dengan sengaja. Maafkan aku yang membuat dirimu ingin bunuh diri. Maafkan aku yang selalu menyakitimu Pete. Hiks.. Maafkan aku yang tak pernah memikirkan perasaanmu Pete. Aku terlalu egois. Maafkan aku.. Maafkan aku karena kau menemui dan menikahi bajingan sepertiku Pete.. Maafkan aku.. Maafkan aku.. " pertahanan yang Vegas bangun akhirnya runtuh. Ia terisak pilu. Tangannya yang menggenggam tangan Pete bergetar.

Pete tak tega. Ia merengkuh tubuh Vegas kedalam pelukannya. Menepuk nepuk pundak bidang itu sambil menenangkannya. Vegas meredam isakannya dibahu Pete. Sesekali mulutnya terbuka untuk meminta maaf lagi dan lagi.

Pete menjauhkan tubuhnya dari Vegas. Menatap wajah lelaki yang ternyata masih sangat ia cintai itu. Tangannya terulur menyeka cairan bening yang mulai berhenti mengalir dari mata Vegas.

"Aku masih tak tau harus menjawab apa. Tapi terimakasih sudah berani untuk meminta maaf. Terimakasih sudah mau mengakui semua kesalahanmu. Terimakasih sudah mau berubah Vegas. Aku tau tidak mudah untuk berjalan mencari seorang psikolog. Kau akan menjadi daddy yang baik bagi mereka. Terimakasih Vegas" Pete menatap mata Vegas dengan mengusap pipinya lembut dan tersenyum manis. Pete belum tau seperti apa perasaannya sekarang. Apakah dia sudah berani atau belum untuk memaafkan Vegas. Pete merasa jika semua pasti ada waktunya.

"Vegas. Dengarkan aku baik baik. Aku masih akan disini. Ada banyak alasan kenapa aku harus bertahan disini lebih lama. Aku belum bisa memberi tahumu. Tapi yang jelas aku disini untuk kebaikan semua orang, termasuk diriku. Besok pagi berangkatlah kembali ke Bangkok. Jangan datang kesini lagi, apapun alasannya. Semua akan ada waktunya. Biar aku sendiri yang kembali. Kumohon jaga Venice dengan baik. Jaga juga Siena dengan baik. Hanya itu permintaanku. Sekarang tidurlah. Maaf aku tak bisa menyediakan tempat untukmu tidur. Aku pergi dulu" Pete beranjak setelah mengucapkan hal tersebut dan memasuki rumah-tepatnya kamar yang selama ini ia huni. Meninggalkan Vegas sendirian dengan perasaan campur aduk didepan teras dan ditengah dinginnya malam.

-----

"Biu, kau dicari lagi. " Jom menepuk bahuku dua kali dan menunjuk seseorang dengan ibu jarinya. Aku memutar bola mataku malas. Apa dia sekarang pengangguran atau bagaimana? Sudah 9 minggu dia seperti ini. Dan setiap hari selasa dia akan mendatangi kafe tempatku bekerja dari jam 3 hingga tutup. Bahkan setiap hari paket baru selalu saja berada didepan kamar petak yang aku sewa. Dia mengirin bunga, cokelat, perhiasan, makanan, pakaian kosmetik, obat obatan, bahkan sampai makanan kucingpun dikirimkan. Pengirimnya tak menuliskan namanya, ia hanya mengucap kata kata semangat dan khusus untuk makanan kucing katanya karena aku sering memberi makan kucing jalanan, makanya dibelikan. Aku selalu menasihatinya untuk tak mengirimkan apapun, tapi dia selalu mengelak bahwa bukan dirinya yang mengirimkan dengan tersenyum lima jari. Satu kali aku menunggui orang yang mengantar paket kedepan kamarku agar bisa langsung aku kembalikan hingga aku tak tidur semalaman. Namun pengantar paket tersebut tak kunjung datang. Tapi ketika aku mandi untuk berangkat kerja. Paket itu sudah tergeletak didepan pintu kamarku. Apa dia sampai mempekerjakan pengantar paket khusus? Sangat tepat sekali timingnya.

"Kau sudah pengangguran ya? Tamat riwayatmu jika anakku tak mendapatkan fasilitas yang baik" ancamku dan duduk didepannya. Vegas tersenyum lebar ketika melihatku duduk dihadapannya.

"Tidak tidak. Bagaimana mungkin seorang CEO bisa menganggur. Bagaimana kabarmu? Baik? "

"Ya begitulah, tidak ada yang spesial"

"Kau sudah makan? "

"Sudah. Ini sudah lewat jam makan siang Vegas. Pertanyaanmu tidak masuk akal" aku mendengus sebal mendengar pertanyaannya. Apa sekarang dia mulai bodoh atau bagaimana?

"Yah, kupikir kau hari ini akan menungguiku dan makan bersama" Vegas terlihat lesu setelah mendengar ucapanku. Bahunya yang tinggi menjadi turun. Dia terlihat menyedihkan.

Ah! Sial!

"Baiklah. Ayo kutemani makan. Kau mau apa? " apakah aku akan selalu seperti ini? Oh! Aku benci sifatku!

"Kari"

-----

"Biu. Dia datang lagi" Jom menyorakiku ketika baru masuk kedalam pantry. Sekarang sudah minggu ke 12 dia seperti ini. Aku menghela napas berat. Tapi, kenapa juga aku menghitung kedatangannya? Oh Pete! Abaikan saja. Dia akan pergi sendiri jika sudah lelah.

"Dia itu pacarmu ya? Kalau ada masalah sebaiknya disele-" aku menatap tajam kearah Jom. Membuat Jom segera mengatup mulutnya dan sedetik kemudian tersenyum dengan sign peace disamping wajahnya. Aku sudah berkali kali menjelaskan padanya jika Vegas bukan siapa siapa. Tapi otaknya selalu saja bodoh seperti biasanya. Sepertinya Jom itu alien. Tidak mengerti bahasa manusia!

Aku berjalan ketempat Vegas. Dan harus menemaninya hingga customer lain muncul.

-----

"Bisakah setiap hari selasa kau menunggu dikursi itu tanpa harus aku kabari? Demi tuhan Biu, dia sudah berbulan bulan seperti itu! " Jom mengerang frustrasi sambil menatap kearahku dengan tatapan kesal. Aku hanya bisa mengendikkan bahu acuh dan berlalu dari hadapannya untuk menemui Vegas.

-----

Seperti kata Jom, hari ini aku lebih memilih untuk duduk dikursi yang biasanya kami tempati. Aku melihat jam dinding yang sudah lewat sepuluh menit dari pukul 3. Aku sedikit gelisah. Sudah 15 minggu dia seperti ini dan belum pernah telat satu kalipun. Aku melirik kearah luar pintu, siapa tau menemukan Vegas yang baru datang atau salah kursi. Tapi tak ada satupun dari itu. Bahkan mobilnya pun belum terlihat. Apa dia baik baik saja?

Aku menunggu hingga pukul 03.45. Akhirnya mataku menangkap siluet yang berlari terburu buru ditangga dan masuk kedalam kafe. Vegas dengan cepat melangkahkan kakinya menuju arahku dan duduk dihadapanku. Vegas memegangi dadanya yang sesak karena berlari sangat kencang. Napasnya pun masih terengah engah dan dia mencoba menentralkannya. Aku buru buru berdiri dan mengambil segelas air minum kemudian memberikannya pada Vegas. Vegas menyambar gelas yang kuberikan. Dia meminum semua air tersebut dengan cepat dan bahkan tanpa sisa.

"Ada apa? Kenapa kau telat? Apa ada masalah? " aku melihat Vegas yang memejamkan matanya sambil menghirup napas dalam. Gelas yang berada ditepi meja segera kuraih dan kutaruh agak ketengah. Bisa bahaya jika jatuh.

"Oh itu. Venice dan Siena demam, jadi ak-"

"Apa?! "

"Biu dengarkan aku dul-"

"Kenapa sampai demam?! "

"Biu, dengarkan seben-"

"Dasar Vegas bodoh!!! Kau apakan anak anakku!!! " aku memukuli lengan Vegas berkali kali. Emosiku naik begitu saja. Apa dia bilang? Demam? Aku ingin melenyapkannya!

Vegas mencoba menghalau pukulanku. Mulutnya mengaduh kesakitan setiap kali pukulan berhasil menyentuh lengannya. Sesaat kemudian aku berhenti dengan memejamkan mataku dan menghirup napas dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Sangat puas rasanya memukuli orang bodoh seperti dirinya.

"Hah.. Biu. Dengarkan aku dulu, hanya 5 menit. " aku melihat Vegas dan kembali duduk keposisi semula.

"Venice dan Siena demam tadi malam karena phi Tong mengizinkan mereka bermain hujan saat pukul 12 siang. Jadi aku harus merawat mereka tadi malam. Untungnya panas mereka turun tadi pagi. Jadi aku terlambat menemui hari ini. Maafkan aku Biu. Lain kali aku akan mengabarimu jika terlambat lagi. "

"Tak usah. Kita ke bangkok sekarang juga. Aku tak mau melihat anakku menjadi sawan jika terus terusan bertemu phi Tankhun"

"K-kau serius Pete? "

"Biu, Vegas! " aku memelototi Vegas yang salah memanggil namaku. Aku sudah mengatakan padanya jika aku bernama Biu disini, jadi dia juga harus memanggilku seperti itu.

"Ah. Maaf! Ayo, kita pulang! "

-----

Pete sekarang berada di mobil Vegas. Setelah mengemasi beberapa barangnya, Pete memilih untuk berangkat malam itu juga ke rumah. Pete tak tau sekarang bagaimana perasaannya. Yang jelas dia sudah jauh sangat nyaman meskipun hanya berdua dengan Vegas. Pete merasakan perjuangan Vegas untuknya dan sedikit membuat hatinya terbuka. Jujur saja, suasana hatinya selalu menjadi baik saat hari selasa. Memikirkan Vegas yang akan datang membuat jantungnya berdetak tidak normal. Pete menyukai sensasinya, dia sudah lama tak merasakan perasaan seperti ini. Terakhir ya dengan orang yang sama yang juga membuat jantungnya selalu berdetak tak karuan.

Pete tau sebenarnya Vegas merawat Venice dan Siena dengan baik. Ia hanya membuat alasan agar dapat kembali, Pete masih malu mengakui jika ia sudah mulai merasa nyaman. Lagipula pengobatannya sudah selesai dari 2 minggu yang lalu. Jadi sepertinya dia sudah cukup kuat untuk kembali dan melindungi orang orang yang dicintainya. Persetan dengan Pavel. Meskipun dia muncul, Pete akan menghabisinya. Pete sudah dalam kondisi seratus persen prima sekarang.

"Pete, bolehkah aku menanyakan sesuatu? " Vegas memutus percakapan Pete dengan dirinya sendiri. Pete hanya berguman setuju dan menoleh kearah Vegas. Hutan disisi jalan lebih menarik kali ini untuk dilihat.

"Kenapa kau pergi? Apa karena aku?"

Pete menggeleng dengan sedikit gumaman.

"Aku pergi karena aku masih sangat lemah Vegas. Aku tak ingin siapapun terluka, apalagi anak anak. Aku tak akan sanggup bila terjadi sesuatu pada mereka. Aku kesini untuk semua orang, termasuk diriku"

"Apa yang salah Pete? Kau sakit? "

"Ya. Aku masih sakit Vegas. Mentalku belum stabil. Aku masih sering mengalami serangan panik. Itu karena pengobatanku belum selesai 5 tahun yang lalu. Jadi aku memilih menyembuhkan diriku disini. Aku juga tak mau Pavel menemukanku diantara kalian, itu bisa berbahaya" Pete menyamankan dirinya untuk tidur, matanya mulai terpejam.

"Hah... Maafkan aku Pete. Jika saja aku tak menyakitimu mungkin kau tak harus seperti ini" suara Vegas terdengar sangat lirih. Pete menghembuskan napasnya kasar. Matanya kembali terbuka.

"Sudahlah. Apa kau tak bosan setiap saat meminta maaf padaku? Itu sudah berlalu Vegas. Sekarang aku sudah sangat sehat. Kau tidak perlu merasa bersalah lagi" Pete beralih menatap Vegas yang sedikit membungkukkan tubuhnya. Pete terkekeh melihat Vegas yang lesu seperti ini.

"Aku tak berbohong. Aku sungguh sungguh sudah sehat. Oh iya, kau bilang akan meminta maaf pada Coco denganku bukan? Ayo kita pergi sore besok. Sekalian dengan Venice dan Siena, aku ingin mengenalkan mereka pada sodaranya yang lain" suara Pete terdengar ceria membuat Vegas kembali tersenyum tipis. Hatinya menghangat dan kupu kupu berkeliaran dalam perutnya. Dia sangat menyukai suasana ini. Semoga Pete dapat kembali padanya.

-----

Vegas mencium tanah dan nisan dengan tulisan Coco berkali kali. Air matanya terus saja menetes seperti keran air yang terbuka. Perasaan bersalah meluap begitu saja. Bibirnya mengucap rasa maaf berkali kali, dan memohon pada Tuhan agar setidaknya satu maafnya dapat terdengar oleh anaknya diatas sana.

Pete menarik tubuh Vegas yang sudah kotor dipenuhi oleh tanah. Tangannya menepuk nepuk kemeja Vegas yang dipenuhi tanah agar lebih bersih. Pete memeluk Vegas dengan erat dan mengusak rambut belakang Vegas dengan sayang.

"Terimakasih sudah menemui Coco dan meminta maaf padanya. Aku yakin dia sudah memaafkanmu. "

"Kau yakin? "

"Um. Aku ibunya kau tau. Jadi aku paling mengerti anakku"

"Anak kita"

"Kkk... Ya, anak kita"

Pete menarik dirinya dari pelukan dan merapikan rambut Vegas yang berantakan. Tangannya menarik Vegas kearah Venice dan Siena yang bergandengan tangan didepan makam Coco.

Pete menurunkan tubuhnya diantara Venice dan Siena dan memegang bahu keduanya.

"Venice, Siena. Kenalkan. Dia, namanya Coco. Saudara kalian. "

Venice dan Siena membulatkan bibirnya lucu sambil mengangguk cepat seperti mengetahui suatu hal yang baru. Pete terkekeh melihat ekspresi kedua bocah itu. Apa mereka tau jika makam itu simbol kesedihan?  Tapi mereka membuatnya sedikit lucu. Kkk..

"Sawadhi Coco" Venice dan Siena mengucapkan salam secara serempak. Tangannya melambai kearah makam seperti menyapa teman.

Sekitar 30 menit mereka berada disana. Sekalian menyapa dan mengenalkan Venice pada kakek dan neneknya. Mereka juga memanjatkan doa untuk tiga pemilik makam dihadapan mereka.

Pete menggendong Siena dan Vegas menggendong Venice. Mereka berjalan beriringan menuju mobil yang terparkir diluar area makam. Vegas sedikit lebih cepat berjalan dan posisi Pete menjadi dibelakangnya. Pete menatap punggung kokoh didepannya. Dia belum berani mengatakan bahwa dirinya memaafkan Vegas. Masih ada kekhawatiran didalam hatinya walaupun hanya setitik. Pete masih ingin mengamati perubahan Vegas. Pete merasa cukup untuk saat ini, dimana tak ada lagi ketegangan antara dirinya dan Vegas. Semuanya sudah berganti menjadi suasana yang hangat dan menyenangkan. Pete berharap semoga hubungan ini akan berkembang kearah yang lebih baik.

Pete mengecup pipi Siena yang menggembung lucu ketika di ejek Venice karena terlalu lambat. Membuat Pete tertawa dan berlari mendahului Vegas dan Venice, membuat Siena terkikik geli dan membalas mengejek Venice yang berada dibelakangnya.

It's such a beautiful day

-----

Langkah berdecit menggema dilorong bangunan rubuh dan terpencil disalah satu tepian kota. Sebuah tangan indah memutar knop pintu dan masuk kedalam ruangan pengap yang penuh debu dan tanpa pencahayaan sedikitpun. Dua manusia tampak berdiri dihadapan manusia lain yang terikat tali yang membentang dari sudut atas langit langit ruangan. Tubuhnya tampak sangat buruk dan tak sedap dipandang. Banyak bekas luka disana yang sudah terkoyak lebar dan tertutupi dengan lendir putih yang mengalir keluar. Sebagian kulit ditubuhnya sudah terkelupas dan menyisakan otot yang tertutup jaringan parut yang tidak sempurna. Kakinya remuk sebelah hingga lutut, menyebabkan bagian tersebut bergerak gerak karena tergantung diudara. Jari jari tangannya sudah tak nampak. Semuanya dipotong habis dan diberikan untuk dimakan oleh anjing jalanan. Matanya tertutup sebelah dan jejak darah mengering terlihat disana, namun jika dilihat lebih baik maka kelopak mata tersebut sedikit cekung ke dalam, seperti bola matanya sudah dicongkel keluar.

"Pavel. Sepertinya aku sudah tak memerlukan dirimu. Aku sudah menemukannya. Anggap saja ini bayaran karena kau telah berani menyentuhnya dan menyakitinya. Semua perbuatan selalu ada balasan. Kuharap kau tak akan marah. Macau, selesaikan saja semaumu. Aku harus pergi menjemput Pete, Venice dan Siena di Playground hari ini. Aku tak bisa lama lama, tanganku saat ini terlalu bersih untuk menyentuh hal kotor." Vegas berlalu setelah tersenyum menyeringai kearah Pavel yang menatapnya marah.

"Baik phi. Selamat bersenang senang"

Macau berjalan mengambil sebuah silet dari meja yang terletak disamping ruangan. Kakinya sedikit melompat lompat kegirangan kearah Pavel. Macau tertawa melihat orang yang menyakiti phi kesayangannya seperti daging busuk sekarang.

"Nikmati hari terakhirmu phi. Aku akan membuatnya menyenangkan"

"Bajingan!!! "

END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FORTPEAT - SURROGATE 2🔞

FORTPEAT - JINX - 16 🔞

FORTPEAT - RARE SPECIES - 5 🔞