VEGASPETE - AGREEMENT - 24
"Lepaskan semua pelacak pada tubuhmu Pete" Pavel yang berdiri didepan pintu menyilangkan tangannya didepan dada dan menatap Pete dengan penuh dominasi.
"Aku tak menggunakannya" Pete mengelak. Tak mungkin ia melepas harapan satu satunya. Senjata terakhirnya.
"Ck, kau mau aku menelanjangimu dan melepaskannya atau kau sendiri yang melakukannya? " Pavel berjalan mendekati Pete dan meraih kancing baju Pete. Tangannya mulai membuka kancing tersebut dari atas.
Grep
Pete memegang erat tangan Pavel ketika tangan Pavel mulai beralih pada kancing kedua. Sudah cukup semua malu yang dia peroleh. Dia tak ingin dipermalukan dan dilecehkan lagi. Mata yang biasa menatap hangat itu kini berubah penuh dengan kilat kebencian.
"Biar aku lepas sendiri" ucap Pete dengan penuh penekanan.
"Baiklah. Lakukan disini"
"Jangan gila! Aku tak mungkin membuka bajuku disini! " Pete menggeram tertahan mendengar permintaan Pavel. Akal sehatnya sudah hilang rupanya.
"Pfftt.. Jangan malu Pete. Lihatlah sekelilingmu, kau terlihat paling cantik jika bertelanjang seperti itu-" Pavel mengelus dagu Pete dan kemudian ibu jarinya bergerak menekan nekan bibir bawah Pete. Jakun Pavel bergerak keatas bawah menelan saliva, hanya melihat dan meraba bibir Pete saja membuat libidonya naik.
Pete menepis tangan Pavel kasar. Napasnya memburu menahan emosi yang kapan saja siap untuk keluar. Telinganya sangat panas mendengar ocehan Pavel. Dia bukan pelacur! Yang dengan mudah memperlihatkan tubuhnya untuk orang lain.
"-Sial! Lepaskan disini atau kuperkosa kau sekarang! " Pavel mencengkram pipi Pete kuat. Matanya menatap marah kearah Pete. Berani sekali jalang ini!
Pavel mendorong Pete keatas kasur dan kemudian merangkak diatas tubuh Pete. Matanya menatap Pete penuh nafsu. Pete mencengkram kedua bahu Pavel kuat. Matanya menatap Pavel dengan takut.
"Pavel! Pavel! Sadarlah! Jangan begini.. Kumohon.. Sadarlah! " Pete berteriak dihadapan wajah Pavel sambil memohon. Mata Pavel sudah diselimuti kabut nafsu. Telinganya tak lagi mendengar rengekan Pete.
Pavel mencium bibir Pete yang mengundangnya sedari tadi. Melumat, menghisap dan menggigit daging merah muda itu secara ganas seakan akan madu keluar disana. Pavel tak ingin melepaskan makanannya. Dia begitu lapar. Dan hanya tubuh dibawahnya ini yang dapat mengenyangkannya.
Pete merintih kesakitan disela ciuman sepihak Pavel. Dia tak menikmati satupun gerakan Pavel. Pete memukul mukul dada Pavel sekuat yang ia bisa. Air matanya kembali membanjiri wajahnya.
Pavel mencoba menyusupkan lidahnya kerongga mulut Pete. Tapi Pete merapatkan giginya agar tidak ada kesempatan untuk Pavel masuk. Pavel menggigit keras bibir bawah Pete untuk memancingnya berteriak. Namun Pete tetap mempertahankan giginya agar terkatup rapat meskipun anyir darah dari bibir bawahnya masuk dan menyirami lidahnya.
Pavel menggeram, ia sangat marah ketika keinginannya tak dituruti. Pavel menjauhkan wajahnya dari Pete. Tangannya kemudian beralih keleher Pete dan mencekik Pete dengan kuat.
Pete merasakan cengkraman dilehernya semakin menjadi jadi. Wajahnya mulai memerah menahan sesak. Gigi yang ia katup dari tadi akhirnya terbuka untuk meraup beberapa oksigen yang ada disekitarnya. Tangannya mencoba melepaskan tangan Pavel dari lehernya. Menepuk nepuk tangan Pavel yang tak mau lepas dari leher tersebut.
"Phah... Vel.. Akhh-akkhuu.. Akan.. Mel-lepass.. Kanhh.. Disinhh.. "
Seketika Pete meraup semua oksigen yang ia butuhkan setelah Pavel melepaskan tangannya dari leher Pete. Tangan Pete mengelus ngelus jejak cekikan yang ada dilehernya. Wajahnya yang memerah kembali normal dan beberapa batuk keluar dari mulutnya. Pete mengatur napasnya menjadi lebih baik. Kepalanya terasa sedikit pusing karena kekurangan oksigen.
Setelah napasnya menjadi normal. Pete menatap Pavel yang menantang matanya. Pete menghembuskan napas berat. Pete kemudian berdiri dan memalingkan wajahnya menjauhi Pavel. Ia merasa sangat hina saat ini. Dimana letak harga dirinya? Pete merasa harga dirinya jatuh dan diinjak injak hingga terkubur dalam tanah. Setetes air mata kembali jatuh dipipi Pete.
Pete mulai melepas kancing bajunya satu persatu. Kemudian tangannya bergerak melepas beberapa tempelan chip plastik yang ada ditubuhnya. Kemudian Pete juga melepaskan celananya hingga meninggalkan celana kain berwarna abu abu. Tangannya bergerak melepaskan chip plastik yang menempel diarea kakinya.
"Bagian paha dalam dekat selangkanganmu. Aku tau disana juga ada" Suara Pavel menyela ketika Pete terlihat ingin menaikkan celananya untuk dipakai kembali.
"Tidak ada apa apa disana"
"Kalau begitu biar aku-"
"Okey! Okey! Biar aku saja, kau disana saja " Pete memotong ucapan Pavel sedikit panik. Kenapa dia sangat tau semua rencana ini? Pete mendesah. Apa mereka sudah gagal dari awal atau bagaimana?
Cukup lama Pete terdiam dan menimang nimang apa harus melakukannya atau tidak. Pete takut akan diserang jika ia melepaskannya.
Pavel menatap jengah Pete yang masih berdiam diri tak melakukan apapun. Pavel kemudian mendekati Pete namun didorong sangat keras oleh Pete hingga ia hampir menabrak pintu, untung saja refleknya sangat cepat sehingga dapat menahan tubuhnya dengan tangannya.
"Sudah kubilang jangan bergerak! Okey! Aku lepaskan sekarang" Pavel mendengus kesal. Pete sangat menguji kesabarannya disini. Jika saja dihadapannya ini adalah orang lain. Maka ia harus mengucapkan selamat tinggal pada nyawanya.
Pete dengan berat hati melepas celana pendek yang ia gunakan dan segera melepaskan satu chip plastik disana. Tangannya bergerak dengan cepat dan memakai celana kainnya yang menggantung disetengah pahanya.
Namun tiba tiba tubuh Pete didorong paksa oleh Pavel hingga terjatuh menghantam kasur. Pavel sangat buas. Nafsunya sudah mencapai tingkat tertinggi ketika fetishnya dipenuhi oleh Pete. Pete dengan satu helai celana dalam yang menutupinya sangat membuat Pavel bergairah.
Tangan Pavel bergerak menjalar kebawah ke antara pangkal paha Pete. Tangannya bergerilya meremas dan memijat penis Pete dari luar. Matanya tertutup kabut nafsu melihat Pete yang sudah memerah dan memekik ketika penisnya dimanjakan oleh Pavel.
"Tu-tungguhh.. Hmmhh.. Jang-ngannh.. Pleasehh.. " Tangan Pete berusaha menggapai tangan Pavel yang berada diselangkangannya. Desah tertahan yang keluar dari mulut Pete menambah kesan erotis dimata Pavel. Senyum Pavel mengembang dari telinga ke telinga.
"Pleasehh.. Pav-velkhh.. " Pavel seperti dirasuki. Dia sama sekali tak mendengar dan melihat keadaan Pete. Dimatanya hanya Pete yang terlihat sangat erotis.
Bugh
Pete sekuat tenaga menendang Pavel dan meloncat dari atas kasur, kemudian ia berlari kesudut ruangan. Pavel terdorong hingga tubuhnya membentur dinding. Pavel meringis sakit dan menatap Pete tajam.
"Berani sekali kau jalang!! " Pavel berteriak kesetanan. Emosinya memuncak. Darahnya berdesir. Tak tau diri! Selama ini ia mengulurkan tangannya dan mendapatkan balasan seperti ini?!
"Kuperlakukan kau dengan baik dan kau memperlakukanku seperti ini?! Dasar jalang tidak tau diri! Jangan merasa suci! Bahkan tubuhmu sudah pernah dicicipi pria lain! " Pavel berjalan kearah Pete dan meneriaki Pete tepat diwajahnya.
Plakk
Pavel menampar Pete sekuat tenaga. Menyebabkan luka robekan disudut bibirnya dan telinganya menjadi berdenging. Pete meringis kesakitan. Hatinya ikut sakit tak menyangka bibir yang selalu berucap manis padanya sekarang menghinanya sehina itu.
"Maaf.. Maafkan aku.. Aku- aku hanya takut.. padamu.. " Pete berujar dengan suara yang bergetar. Kepalanya menunduk kebawah dan matanya terpejam erat tak berani melihat Pavel.
"Hah.. Sayang, kau tak perlu takut padaku okey? Kau tau aku sangat mencintaimu, mana mungkin aku bisa menyakitimu" Pavel mengangkat tangannya dan membelai rambut Pete hingga pipinya. Pavel tersenyum manis menatap Pete yang masih menunduk dengan tubuh yang bergetar.
Pavel hendak menarik tangan Pete untuk memeluknya dan melanjutkan kegiatan mereka namun diinterupsi oleh getaran ponsel disaku celananya.
Pavel kemudian merogoh sakunya dan mengangkat panggilan tersebut
"Hm"
"..."
"Shit! Baiklah"
Pip
"Kenakan pakaianmu Pete. Kita akan pergi malam ini" Pavel menatap Pete sesaat dan bergegas menuju kamar lain untuk mengemasi beberapa pakaian dan peralatan yang kemudian dimasukkan kedalam kopernya.
Pete tak menyia nyiakan kesempatannya. Buru buru ia mengambil pakaiannya dan memasangkannya dengan cepat. Ia sangat bersyukur dan berterimakasih pada orang yang menelpon Pavel tadi, meskipun tidak tau akan kemana yang penting untuk saat ini ia bisa bernapas lega.
-----
Semua orang menatap pintu dengan lampu merah yang menyala diatasnya. Berbagai ekspresi terlihat disana. Sebagian terlihat kosong, sebagian terlihat cemas dan sebagian lagi terlihat berusaha tegar. Lorong rumah sakit tersebut sangat hening, tak ada satupun yang berniat untuk berbicara. Mereka semua sibuk bermain dengan pikiran masing masing.
Sudah hampir satu jam orang yang mereka bawa ditangani didalam sana. Tapi belum ada kabar sama sekali sampai sekarang. Semuanya hanya mampu menyokong orang itu dengan doa yang mereka panjatkan.
Srett
Pintu yang mereka lirik dari tadi akhirnya terbuka dan menampakkan seorang dokter dengan pakaian hijau. Semua orang serempak berlari menuju dokter tersebut.
"Bagaimana keadaan phi Vegas dok? " Macau segera menanyakan kabar Vegas. Hatinya sangat tidak tenang sebelum memperoleh konfirmasi dari dokter
"Khun Vegas mengalami cidera yang sangat parah. Dia banyak kehilangan darah. 2 pasang tulang rusuknya patah. Otot dikaki dan tangannya robek. Sebelah matanya mengalami infeksi. Seluruh lukanya juga mengalami infeksi karena tak dirawat dan sudah terkontaminasi bakteri. Tulang bahunya mengalami dislokasi. Semua luka terbuka sudah kami bersihkan dan kami obati. Kami juga sudah melakukan operasi kecil untuk memperbaiki posisi tulang. Untuk matanya sudah kami bersihkan dan obati, namun akan diperiksa kembali secara berkala untuk memastikan korneanya tidak ikut terinfeksi. Sekarang Khun Vegas sedang kami bius. Tubuhnya sangat lemah karena tidak mendapat asupan apa apa berhari hari. Jadi sekarang kami mengutamakan kebutuhan nutrisinya dan istirahat yang cukup. Anda dapat mengunjungi nanti setelah 6 jam diruang inapnya. Terimakasih. Saya permisi Khun Kinn, Khun Macau" dokter tersebut pun pamit dari hadapan mereka. Napas lega terdengar ramai setelah penjelasan dari dokter tersebut.
Porsche yang juga berada dirumah sakit merogoh sakunya untuk mencari ponselnya. Tangannya dengan lihai mencari nama Arm dikontak panggilan dan mulai menelponnya. Pikiran Porsche terbagi dua sedari tadi. Dia terus memikirkan Pete dan Vegas secara bergantian. Porsche merasa tak nyaman jika belum mendapatkan informasi mengenai Pete, jadinya ia memilih menelpon Arm untuk memastikan Pete ada dimana sekarang. Apakah sudah pulang atau belum. Porsche tak mungkin menelpon Pete, ia takut akan mengganggu Pete dan menyebabkan kekacauan.
Beberapa detik kemudian telpon Porsche diangkat dari sebrang sana. Suara Arm yang sedikit berat mulai terdengar.
"Pete belum pulang dan sinyalnya masih berada dirumah Pavel. Harusnya ia sudah dirumah stengah jam yang lalu Porsche" keluh Arm seakan tau apa yang ingin ditanyakan Porsche.
"Kalau begitu kita jemput dia"
"Baik. Aku akan menyiapkan peralatan untuk kalian. Segeralah pulang. Tolong cepat. Perasaanku tak enak"
"Okey" Porsche mematikan ponselnya dan mengajak Kinn dan Pol untuk kembali. Porsche sedikit menjelaskan situasi kepada Macau yang protes karena tidak diizinkan ikut sehingga Macau hanya mengangguk pasrah. Dia harus disini menunggui dan mengawasi Vegas. Sangat berbahaya jika dia ditinggal sendiri.
-----
Sebuah mobil sport dan beberapa pajero memenuhi sebuah rumah bergaya klasik dengan desain seperti castle. Satu persatu penghuni mobil tersebut turun dan menjelajahi setiap sudut luar rumah. Beberapa orang dengan pakaian seragam formal diperintahkan untuk berdiri disetiap sudut rumah dengan memegang pistol untuk bersiap.
Kinn kali ini tak mau mengambil resiko. Jadi dia membawa semua pengawalnya untuk menyerang Pavel dan menjemput Pete untuk pulang.
Sekitar 30 pengawal yang tersisa masuk kedalam rumah bersama dengan Kinn, Porsche dan Pol. Mereka mendobrak paksa rumah yang tampak sunyi. Mereka selanjutnya menjelajahi setiap sudut dan ruangan dirumah tersebut.
Hati Porsche merasa tidak enak ketika terus terusan mendapat laporan dari para pengawal yang tidak menemukan Pete.
"Arm, apa benar sinyalnya masih disini? " Porsche menekan earphonenya sedikit lebih dalam agar terfokus pada suara Arm disebrang sana.
"Ya, masih disana Porsche"
"Okey"
Porsche kembali memerintahkan semua orang untuk mencari lagi keseluruh penjuru rumah. Porsche selanjutnya juga ikut menelisik rumah Pavel. Tangannya tak sengaja membuka suatu ruangan gelap. Porsche masuk dan menyalakan lampu.
Blam
Porsche menghempaskan daun pintu tersebut sangat kuat. Dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ruangan ini berisikan foto foto Pete dan beberapa foto yang sangat tidak pantas dilihat. Bukan karena hal tersebut buruk, tapi karena hal ini sangat pribadi, bukan untuk konsumsi umum.
"Ada ap-"
"Jangan masuk! Kalau ada yang berani akan kutembak kepala kalian!" Porsche berteriak memotong pertanyaan Pol yang hendak membuka pintu, sehingga Pol mengurungkan niatnya. Ia belum mau mati muda. Dia masih ingin menikmati rumah tangganya bersama Arm.
Porsche kemudian berjalan mencari beberapa petunjuk diruangan ini karena sepertinya ada pergerakan disini sebelumnya. Dilihat bagaimana berantakannya sprei dan beberapa barang disini.
Porsche mengitari ruangan tersebut dan tak sengaja menemukan sebuah ponsel dengan layar menyala di sudut kamar. Porsche meraih ponsel tersebut dan mengeceknya.
Ponsel Pete!
"Arm, apa pelacak juga ditaruh di ponsel Pete pagi ini? " Porshe
"Ya, aku menaruhnya disemua barang Pete dan beberapa ditubuhnya"
Porsche kembali menelusuri kamar dengan matanya. Matanya terfokus kearah lantai yang dipenuhi dengan tebaran chip plastik.
"Arrgghh!!! Kita kehilangan Pete, Arm!! " Porsche berteriak dan melempar earphonenya kedinding. Porsche menggosok wajahnya kasar dan meraung.
Porsche kecewa pada dirinya sendiri. Harusnya mereka tak mengizinkan misi ini untuk Pete. Harusnya mereka mencari jalan lain. Harusnya Porsche harus lebih keras menantang keinginan Pete. Jika tau seperti ini, Porsche harusnya melarang Pete. Jika saja. Jika saja..
"Argghhh!!! " Porsche membuang semua foto yang tergantung didinding. Menghempaskannya dengan kasar kelantai sambil terus menangis memanggil nama Pete. Porsche merasa sangat jahat dan kalut sekarang. Ketika mereka sudah tau akibat terburuk jika mengirim Pete kesini, tapi mereka tetap mengirimnya. Sahabat bodoh macam apa yang mengirim sahabatnya untuk mati. Sahabat macam apa?!
Porsche mengusap air matanya yang masih mengalir dan mulai menghidupkan korek ditangannya. Porsche kemudian melempar korek tersebut kearah lantai yang dipenuhi tumpukan foto. Porsche harus membakar semua kegilaan ini. Bagaimana perasaan Pete saat melihat ini. Apa dia baik baik saja? Tidak mungkin. Dia pasti sangat hancur. Melihat dirinya diperlakukan sebagai objek seksual seperti ini. Dia pasti sangat ketakutan. Dia pasti menangis. Harusnya dia tak kesini. Harusnya dia dirumah saja. Harusnya..
Porsche terduduk lemas. Tubuhnya menjadi sangat berat. Isakan memilukan selalu keluar dari bibir Porsche. Raungan kesakitan terdengar hingga keluar. Kinn yang sedari tadi menunggu diluar karena larangan Porsche akhirnya masuk juga. Dia tak sanggup mendengar Porsche menangis sendirian seperti itu didalam.
Kinn memeluk tubuh Porsche yang terlihat sangat rapuh. Tangannya mengusap lengan Porsche untuk menenangkannya. Porsche semakin meraung ketika merasakan sentuhan ditubuhnya, Porsche merasa ingin bersandar dan bergantung pada orang disampingnya ini. Ia sangat ingin menumpahkan segala sesak didadanya pada Kinn.
"Kinn.. Kinn.. Hiks.. Pete, Kinn.. " Porsche meraih bagian depan kemeja Kinn dan meremasnya. Matanya yang merah menatap Kinn dengan tatapan terluka. Kinn semakin mengeratkan pelukannya, hatinya ikut sakit melihat Porsche.
"Kinn.. Pete hilang.. Pete pergi.. Pete Hiks.. Kinn.. Tolong.. Tolong aku.. " Porsche terisak sambil memohon pada Kinn. Napasnya tersengal sengal. Kinn mengangguk dan mengecup puncak kepala Porsche berkali kali. Matanya menatap kobaran api yang sudah mulai membesar didepannya.
Beberapa saat kemudian tubuh Porsche terkulai lemas. Porsche pingsan karena shock dan kelelahan karena menangis.
Kinn menelusupkan tangannya ditengkuk dan lipatan lutut Porsche kemudian mengangkatnya dan berjalan keluar kamar. Setelah itu Kinn memerintahkan semua orang untuk keluar karena sebentar lagi rumah ini akan terbakar dan bergegas untuk melacak keberadaan Pete. Kinn merasa mereka belum jauh. Jadi mereka harus cepat.
-----
Dari tadi tangan Pavel tak pernah lepas dari pinggangku. Berkali kali aku mencoba menjauhkan tangannya namun hanya mendapat delikan kesal dan ancaman. Aku menyerah dan membiarkannya memeluk pinggangku didepan umum seperti ini.
Ya, kami sudah berada di Bandar Udara International Suvarnabhumi. Pavel bilang kita akan ke Venice malam ini dan hidup berdua disana. Ternyata ini semua sudah ia rencanakan jauh jauh hari. Bahkan semua dokumen juga sudah ia siapkan.
Aku tak bisa hidup disana berdua dengannya. Apa yang akan terjadi nanti? Entahlah, aku tak berani membayangkannya. Mungkin aku akan hidup kembali dalam neraka seperti bersama dengan Vegas. Tidak. Pavel jauh lebih buruk dari itu, sepuluh kali lipat lebih buruk dibanding Vegas.
Oh Tuhan! Aku sudah lelah! Tak bisakah aku hidup dengan tenang satu hari saja? Aku hanya ingin hidup dengan damai. Tak lebih. Kenapa rasanya sangat sulit? Aku merasa sudah diujung kewarasanku saat ini. Aku hampir tidak bisa berpikir jernih lagi. Setiap melihat kendaraan yang lewat rasanya aku mau meloncat kehadapannya dan tetabrak mati.
"Jangan berpikir macam macam sayang. Kau tak akan bisa kabur dariku" Pavel membisikkan kalimat tersebut, sangat dekat ditelingaku hingga napas hangatnya menggelitik telingaku. Kemudian aku merasakan kecupan dan sedikit jilatan disana. Aku hanya bisa mengangguk dengan mata terpejam. Pavel tak mengenal rasa malu atau bagaimana? Aku ingin menangis saja.
Kami saat ini duduk di ruang tunggu. Pavel sekarang sibuk menciumi leherku dan membuat tanda disana dari samping. Tangannya memeluk pinggangku erat agar tak menjauh. Apa dia mau memperkosaku disini? Menjijikan!
Aku mengepalkan kedua tangan yang bertengger diatas pahaku. Rasanya ingin menangis lagi. Aku tak bisa membantahnya. Dia mengancam akan memperkosaku disini dan menyebar semua videoku dikamar mandi. Aku seperti hewan peliharaan yang dibelenggu lehernya.
"A-aku ingin ke toilet" aku mendorong tubuh Pavel dengan kuat lalu setengah berlari menuju toilet. Tadi aku melihat wajah Pavel sangat marah saat kudorong. Tapi tak apa. Aku tak bisa disana berlama lama dengannya. Bisa bisa dia melepas pakaianku satu persatu.
Melepas pakaian?
Sebuah ide terlintas dikepalaku. Aku kemudian masuk ke dalam kamar mandi dan mulai menyisir ruangan itu. Terdapat sekitar tujuh orang didalamnya. Jika aku meminta salah satu diantara mereka berganti pakaian denganku, aku bisa kabur dengan aman dari sini.
Aku melihat seorang dengan pakaian yang cukup eksentrik sedang mencuci tangan. Aku hendak mendekatinya namun sebuah tangan memegang pergelangan tanganku.
"Bukannya kau ingin ke toilet? Toilet disebelah sana" mataku membola melihat Pavel yang berada dibelakangku. Dia mengikutiku sampai kesini? Sial! Bagaimana caranya untuk kabur?!
Aku mengangguk lemah dan berjalan menuju toilet yang terbuka. Aku duduk diatas toilet duduk dan berpikir lagi. Aku harus kabur. Ini kesempatan terakhirku.
Tok
Tok
Tok
"Ayo cepat keluar sayang" Ah shit! Dia sangat tidak sabaran. Aku masih perlu waktu untuk berpikir!
"Kau tidak apa? Apa sangat sakit? "
Brakk
Aku tak habis pikir dengan dirinya! Dia mendobrak pintu hanya karena aku ditoilet yang tidak sampai 5 menit?! Oh fuck! Aku mengusap wajahku kasar.
"Ya, tunggu. Aku selesai sebentar lagi"
Aku akan memikirkannya lagi sambil jalan.
-----
Kinn dan Pol dengan beberapa pengawal sampai di Bandar Udara International Suvarnabhumi. Setelah mengantar Porsche pulang kerumah, Kinn meminta Arm untuk melacak Pete diseluruh wilayah kota Bangkok, termasuk dibeberapa bandara karena sangat besar kemungkinan mereka akan meninggalkan Thailand. Hal ini karena laporan dari pengawal yang menggeledah kamar Pavel dan tak menemukan dokumen dokumen penting disana serta phasport dan visa juga tidak ditemukan. 30 menit kemudian Arm mengabari kalau ia melihat Pavel dan Pete di Bandar Udara International Suvarnabhumi melalui rekaman cctv yang ia curi.
Kinn menyebarkan semua pengawal kepenjuru bandara. Mereka harus membawa Pete pulang hari ini. Bisa jadi ini adalah kesempatan terakhir mereka sebelum Pavel dan Pete benar benar pergi.
Drrtt
Drrtt
Ponsel Pol yang berada didalam genggamannya bergetar. Pol segera mengangkat panggilan dari Arm tersebut.
"Ya sayang, kenapa? "
"Aku menemukan daftar penumpang, Pavel dan Pete akan berangkat menuju Venice satu setengah jam lagi. Kalian harus cepat Pol"
"Baik. Terimakasih sayang. Aku mencintaimu"
"Um, aku juga mencintaimu"
Pip
Pol menoleh kearah Kinn yang sedang sibuk mencari Pete dengan matanya. Pol menepuk bahu Kinn sehingga Kinn menoleh kearahnya. Satu alis matanya terangkat seakan bertanya ada apa.
"Pete akan berangkat menuju Venice satu setengah jam lagi. Kita harus ke gate sekarang" ucap Pol menjelaskan. Kinn mengangguk dan mulai berlari diikuti Pol dibelakangnya.
-----
Aku dan Pavel sudah berada didalam pesawat. Tak sedetik pun Pavel melepaskan genggamannya padaku, bahkan pergelangan tanganku memerah karena saking kuatnya cengkramannya. Aku menghela napas berat. Hah.. Bagaimana caraku kabur jika begini.
Aku melirik Pavel yang sibuk dengan ponselnya disebelahku. Aku mencoba memberanikan diri untuk kedua kalinya. Aku akan pergi lagi ke toilet.
"Pavel. Bolehkah aku ke toilet sebentar? Perutku masih sakit" Pavel melirikku dan menggeleng. Astaga, apa dia mau aku pup dicelana? Meskipun bohong tapi harusnya dia sedikit perhatian jika memang mencintaiku. Aku merungut kesal.
"Perutku sangat sakit. Ini hanya sebentar. Kita sudah diatas pesawat, aku tak akan bisa kabur" aku melihatnya dengan tatapan memohon sambil memegangi perutku.
"Please.. " sambungku. Cukup lama dia berpikir dan akhirnya mengangguk.
"Jika 5 menit kau tidak kembali, aku akan menjemputmu dan menarik paksamu keluar" suara Pavel terasa sangat mengintimidasi, tapi ini adalah kesempatan emas. Aku harus memanfaatkanya.
Aku segera berdiri dan berlari kebelakang. Untung saja aku melihat seorang wanita dengan rambut cepak mengenakan pakaian serba hitam keluar dari toilet. Aku menarik tangannya dan menatap matanya melalui kaca mata hitam yang ia gunakan
"Tolong aku"
-----
Pavel mulai gusar. Kursinya terasa sangat tidak nyaman. Matanya tak lepas dari jam tangan dan arah belakang pesawat. Sudah lewat 5 menit tapi Pete belum kembali. Pavel sekali lagi menoleh ke belakang melihat Pete apakah sudah keluar atau belum.
Pavel tersenyum. Ia melihat Pete keluar dari sana dengan sebuah masker diwajahnya. Pavel mengerinyit heran. Darimana Pete mendapatkan masker. Perasaannya menjadi buruk. Ia mengambil langkah besar untuk menghampiri Pete. Matanya hanya terpaku pada sosok yang menggunakan cardigan hitam, kaos putih dan celana jeans. Bahkan saat penumpang lain tak sengaja menabrak bahunya tak ia pedulikan.
Grep
Pavel menarik paksa tangan tersebut untuk menoleh kearahnya. Masker tersebut ia tarik secara kasar dan menampakkan wajah yang asing.
Shit!
-----
Aku buru buru turun dari pesawat ketika melihat pintu sudah mulai terangkat. Aku berlari sekuat mungkin dengan sepatu boot heels yang aku gunakan. Aku mengacuhkan sorakan petugas dan pramugari yang menyuruhku kembali karena sebentar lagi mereka akan siap lepas landas. Mataku berpencar mencari jalan keluar yang bisa aku gunakan
Aku mendengar suara ribut dari belakang. Sepertinya Pavel mengetahui jika aku kabur darinya. Langkahku semakin ku percepat dan mendorong pintu kaca yang tepat dihadapanku.
Aku berlari menuju tangga darurat dan masuk kesalah satu ruangan. Aku menyandarkan punggungku pada dinding tembok berwarna putih itu. Napasku terengah engah, apalagi aku menggunakan masker saat berlari. Kakiku sangat sakit karena untuk pertama kalinya menggunakan heels dan juga harus berlari. Aku mengatur napasku. Aku tak bisa berlama lama disini.
Ternyata aku memasuki ruangan penyimpanan alat untuk bersih bersih. Didalamnya terdapat sebuah cermin besar. Aku melihat diriku yang masih tersengal sengal dengan baju crop top hitam dan mini skirt dengan warna senada, tak lupa satu jaket kulit hitam dan satu sling bag yang juga berwarna hitam dilengkapi dengan boot heels yang juga berwarna hitam serta satu sunglasses. Aku mengulum senyumku dengan penampilan sekarang. Aku harus seperti ini untuk kabur dari psikopat itu.
Aku mendesah lelah. Sangat bersyukur akhirnya bisa kabur dari genggamannya. Tapi pikiranku sedikit kacau saat ini. Sejak memutuskan untuk kabur, aku berpikir apakah aku masih bisa pulang bertemu dengan Venice? Setelah dipikir pikir semua masalah yang terjadi, selalu diriku yang menjadi pokok permasalahan. Bagaimana jika nanti aku kembali menemui Venice dan menyebabkan masalah lagi. Aku tak mau Venice kenapa napa bahkan sampai terluka. Aku tak akan memaafkan diriku jika sampai itu terjadi. Atau bagaimana jika bukan Venice saja. Bagaimana jika selanjutnya adalah Porsche? Pol atau Arm? Aku tak berani membayangkannya.
-----
Kinn dan Pol melihat bahwa jadwal keberangkatan ke Venice terakhir hari ini sudah lewat. Bahkan mereka sempat naik keatas pesawat sekedar untuk mengecek penumpang atas izin dari direktur bandara. Mereka tak menemukan Pete dimanapun.
Satu kali mereka mendapatkan orang menggunakan pakaian yang sangat mirip dengan Pete saat keluar sore ini. Tapi itu adalah seorang wanita.
Mereka juga tak menemukan Pavel dimanapun. Mereka berdua hilang. Pol segera menelpon Arm dan menanyakan apakah ada daftar penumpang ke negara lain yang berisi nama Pete dan Pavel. Namun Arm hanya menghela napas dan menjawab tidak. Kali ini mereka benar benar kehilangan jejak mereka berdua.
-----
Pete menatap keluar jendela taksi. Matanya terlihat kosong. Pikirannya kacau. Ia tak tau apa yang ia lakukan kali ini benar atau tidak. Ia harus menjauh dari anaknya dan sahabatnya. Ini semua demi keselamatan mereka. Pete yakin Venice akan mengerti kondisinya, Pete yakin semua orang akan menyayangi Venice dan menjaganya.
Pete tak tau bagaimana nasib Vegas sekarang. Pete hanya mampu mendoakan agar Vegas selamat. Vegas harus selamat dan mengasuh putra putrinya. Setidaknya Venice tumbuh dengan masih merasakan kasih sayang orang tuanya.
Pete akan pergi sejauh yang ia bisa dan bersembunyi sedalam yang ia bisa. Hingga ia tak dapat ditemukan sama sekali. Hingga semua orang berpikir, dia sudah mati.
TBC
Komentar
Posting Komentar