VEGASPETE - AGREEMENT - 14

 Beberapa pemeriksaan dilakukan terhadap kondisi Pete. Ketika ia dibawa ke Dona Asylum Hospital dengan dugaan mengalami disosiatif, dokter ahli kejiwaan menjalankan beberapa tes dan mengumpulkan anamnesa mengenai kondisi Pete. Pasalnya disosiatif sangat jarang ditemukan pada pasien dengan kejadian traumatis pada umur dewasa.

Dengan hasil tes yang dijalani dan anamnesa yang dikumpulkan. Pete dinyatakan mengalami Major Depressive Disorder.

Tegaknya diagnosa tersebut menyebabkan Pete dilarang menemui siapapun untuk saat ini. Melihat dari kondisinya yang sering melukai diri bahkan ingin bunuh diri, Pete akan mendapatkan perawatan secara intensif. Ia akan diberikan ruangan khusus yang dapat membantu terapinya.

Sudah berulang kali Porsche berusaha menerobos rumah sakit tersebut. Memohon dan sampai mengancam pihak rumah sakit agar mempertemukannya dengan Pete. Dia ingin melihat Pete secara langsung. Perasaannya tak tenang ketika mendengar kabar dari Phi Tankhun bahwa Pete mengalami gangguan mental dan harus di rawat di rumah sakit jiwa. Ia harus tau bagaimana keadaan Pete sekarang.

Porsche merasa buruk sebagai seorang teman. Dengan segala kejadian yang baru saja menimpa Pete, ia tak ada disisi pria mungil itu. Kehilangan orang tua dan anak yang dikandung bukanlah hal yang mudah. Harusnya ia paham bagaimana karakter temannya satu ini. Pete tak akan mungkin berbagi bebannya pada orang lain. Pete tak pernah mementingkan dirinya sendiri diatas orang lain. Dia tak ingin memberatkan dan merepotkan orang lain. Sekalipun itu teman atau ayah dan ibunya. Pete akan memendam masalahnya sendiri dan mencoba menyelesaikannya sendiri.

Porsche juga merasakan ada yang janggal disini. Porsche merasa hubungan Vegas dan Pete sedikit.. aneh? Apalagi ketika ia tau Pete cemas bagaimana respon Vegas ketika tau Pete mengandung. Bukankah itu kabar gembira? Tak mungkin Vegas tak menyukainya. Porsche sangat tau bagaimana dalamnya cinta Vegas terhadap Pete. Sudah jelas itu adalah kado terindah untuk pernikahan mereka.

Porsche sangat ingin menanyai Vegas kenapa Pete sampai seperti ini. Apa yang mereka lakukan? Separah apa luka yang Pete peroleh sehingga berada di rumah sakit ini? Apa Vegas tak menghibur dan menemani Pete setelah kematian orang tua dan anak mereka? Namun Porsche sama sekali tak bisa menemukan Vegas. Baik dirumah mereka, dikantor Vegas, bahkan Porsche melawan egonya sendiri menghubungi Kinn untuk menanyai Vegas. Tapi sia sia.

Tak ada satupun yang tau dimana keberadaan Vegas saat ini.

-----

Sebulan berlalu. Aku terus mengawasinya dari kejauhan melalui monitor cctv yang kupantau dari ponsel. Setiap malam aku mengunjungi rumah sakit ini diam diam. Aku datang hanya sekedar memeriksa keadaannya. Apakah Pete baik baik saja? Apakah dia menghabiskan makanannya? Apakah dia masih.. bernapas?

Beberapa minggu awal Pete masih sulit untuk makan dan membersihkan diri. Kegiatannya selalu dibantu oleh perawat disini 24 jam penuh. Setiap hari ia akan menjalani terapi bicara dari pagi hingga siang, dan dilanjutkan dengan pemeriksaan kesehatan. Sisanya ia akan bersantai. Namun Pete selalu mengisinya dengan menatap dinding yang dipenuhi stiker lucu. Matanya tampak lesu. Tak ada gairah sama sekali. Kadang saat tidur siang dia sering meracau atau terisak isak. Bibirnya selalu mengucapkan ampun dan maaf. Satu kali bahkan ia menyebutkan nama suaminya lalu berganti menyebut orang tua dan anaknya.

Bahkan dalam mimpi pun dia tak dibiarkan tenang. Hatiku sangat miris melihatnya.

"Dokter Pavel. Ada yang ingin saya diskusikan" salah seorang dokter menepuk bahuku. Mengisyaratkan agar aku mengikutinya ke ruangannya.

"Bagaimana Dok? Apa ada masalah? " aku mengambil kursi terdekat dan kemudian duduk berhadapan dengan dokter tersebut. Dome Woranart.  Nama itu tersampir dijubah sang dokter.

"Begini dok. Saya sudah beberapa kali menghubungi Khun Vegas untuk memberitahu hal ini. Namum telpon saya tak pernah diangkat. Jadi saya ingin meminta tolong dokter Pavel untuk mengabari ini pada Khun Vegas. Karena saya lihat anda sangat dekat dan begitu peduli dengan Khun Pete" terang dokter Dome. Aku hanya mengangguk anggukan kepala, menangkap maksud dari dokter Dome.

"Kenapa dokter tidak mencoba menelpon teman dekat Pete? Saya pikir mereka lebih tau tentang Vegas"

"Saat ini Khun Pete tidak diizinkan menemui satu orang pun dok. Jadi saya takut jika memanggil temannya akan mengganggu terapi yang diterima. Karena untuk penyebab dari depresi yang dialami Khun Pete sendiri belum bisa kami gali. Sepertinya dia belum siap bercerita. Anamnesa pertama pun hanya kami lakukan bersama Khun Vegas. "

Aku mengangguk setuju mendengar pendapat dokter Dome. Aku sendiri bisa mengawasi Pete secara langsung karena profesiku sebagai dokter dan direktur dari Dona Asylum Hospital sendiri adalah kakakku. Ben Phoom. Wajar jika semua orang mengizinkanku kesini, bahkan menyambungkan cctv kamar Pete pada ponselku.

"Baiklah. Jadi apa yang harus aku ketahui? " aku menaikan sebelah alisku penasaran. Kusilang tanganku didepan dada seperti dalam posisi siap untuk mendengarkan.

"Kami menemukan kadar hormon hCG pada Khun Pete meningkat. Hasil ini baru saya ketahui tadi pagi setelah pemeriksaan darah lengkap yang sampelnya kami ambil kemarin. Pada pemeriksaan pertama kami belum menemukan apapun, jadi dapat kami asumsikan jika Khun Pete telah hamil dan sudah memasuki minggu ke lima" dokter Dome menjelaskan sambil menyodorkan hasil tes pagi ini. Ujung jarinya menunjuk pada salah satu baris dengan tulisan hCG. Aku melihat hasil tes tersebut dan kemudian melihat dokter Dome kembali.

"Apa Pete sudah diberitahu? "

"Belum dok. Kami masih mempertimbangkan hal ini. Khun Pete memang sudah menampakkan kemajuan pesat dari kondisi fisik dan mentalnya. Ia sudah mulai banyak berbicara dengan terapis. Bahkan ketika ia berkunjung ke halaman ia membantu perawat lain mengurus pasien. Tapi kondisinya belum sepenuhnya stabil. Apalagi tak lama ini dia juga kehilangan seorang anak. Kami takut kondisi Khun Pete akan kembali menurun"

"Hmm.. Kalau begitu tidak usah beritahu dulu dok. Kita tunggu sampai Pete pulih. Aku juga tak ingin terjadi apa apa padanya" aku tersenyum tipis. Kemudian pamit dari hadapan dokter Dome.

"Oh iya. Apakah kunjungannya masih dilarang dok? " aku berbalik menghadap dokter Dome.

"Jika kondisi Khun Pete membaik, 2 minggu lagi ia sudah boleh dikunjungi" dokter Dome membalas pertanyaanku dengan senyuman. Senyum dengan lesung pipit. Oh.. Aku jadi merindukan Pete.

Aku mengangguk mengiyakan informasi tersebut dan melanjutkan perjalananku ke parkiran. Aku harus segera kembali ke rumah sakit karena satu jam lagi akan ada operasi.

-----

Sepanjang perjalanan aku berpikir. Apa takdir mereka sangat kuat? Bahkan mereka diberkahi seorang anak lagi. Aku merasa tali peganganku semakin menjauh. Rasanya sangat sulit untuk menggapai Pete.

Setelah pertemuan pertama kami di jembatan. Aku selalu memikirkannya. Padahal kondisinya sangat acak acakan saat itu. Mata sembabnya, hidung merahnya, air matanya, dan juga pipinya yang memerah. Dia seperti anak SMA yang baru putus cinta. Siapa sangka dengan wajah yang seperti itu ternyata sudah 28 tahun. Aku sedikit terkekeh mengingat wajahnya saat itu.

Namun aku kembali teringat perkataan dokter Dome. Bahwa Pete tengah mengandung. Bolehkah, jika aku saja yang menjadi ayahnya? Aku tak berniat memberitahu Vegas sama sekali. Aku.. tak rela..

Bugh

Tubuhku bertabrakan dengan tubuh seseorang. Hampir saja aku terjatuh jika saja reflekku kurang cepat. Aku segera berpegangan pada tiang yang berada didekatku.

Aku kemudian menegakkan posisiku dan melihat si penabrak yang jatuh terduduk didepanku. Sepertinya ia berlari sehingga tak melihatku didepannya. Ia menggunakan pakaian serba hitam. Topi hitamnya ia turunkan kebawah menutupi wajahnya dan mulai mengambil ancang ancang untuk pergi.

"Vegas?" aku sedikit merundukkan tubuhku untuk melihat wajahnya. Tak salah lagi. Ini Vegas. Tapi ada apa dengan wajahnya? Semuanya memar dan tampak baru.

Vegas mendongak kearahku. Dia terkejut. Dia mendorongku dan lari masuk kedalam rumah sakit. Aku sedikit meringis kesakitan. Mataku ku alihkan kearah Vegas yang mulai menghilang.

-----

Aku bertumpu pada kedua lututku. Napasku belum juga beraturan. Mataku melirik kekanan dan ke kiri. Disini sepi. Aku kemudian mendudukkan diriku dilantai rumah sakit. Menekuk satu kaki keatas dan satunya lagi aku biarkan memanjang. Satu tangan aku letakkan diatas dada yang masih turun naik dengan cepat. Sedikit sesak.

Aku melirik jam ditanganku. Pukul sepuluh malam. Apakah Pete sudah tidur?

Kurasakan napasku kembali normal. Kabur dari berandalan memang sedikit sulit. Tapi bagaimana lagi. Aku tak bisa melawan mereka sekarang. Aku ingin menemui Pete. Melihat bagaimana keadaannya.

Sudah hampir sebulan aku tak melihatnya. Hari hariku dipenuhi penyesalan dan minuman keras. Aku bertandang dari bar ke bar, sekedar menghilangkan perasaan sesak dan bersalah didadaku. Aku mabuk sampai pagi dan kemudian menyewa hotel untuk tidur. Tunggu, jangan salah paham dulu. Aku hanya sendiri. Tak ada orang lain. Aku tak tau apa yang terjadi denganku. Tapi akhir akhir ini aku tak pernah tidur dan having sex dengan orang lain. Aku tak nyaman.

Kadang aku tertidur dibar atau di depan ruko karena terlalu mabuk. Aku seperti gelandangan. Padahal aku mampu membeli semua bar yang aku singgahi. Namun bagaimana lagi. Aku terlalu frustasi. Hampir setiap hari aku bertemu dengan segerombolan preman dan memprovokasi mereka untuk meluapkan rasa frustasiku. Aku memukul, menghajar dan menendang mereka. Dan juga jumlah mereka berkali lipat lebih banyak dariku. Aku tak bisa berpikir jernih. Meskipun pada akhir pertarungan, aku selalu menjadi bulan bulanan berandalan itu. Setiap hari akan ada lebam baru diatas lebam yang mulai membaik. Seperti hari ini

Melihat panggilan dari dokter Dome hari ini membuatku teringat Pete. Aku sangat merindukannya. Aku tak mampu menggambarkan seberat apa hatiku menanggung rasa rindu ini. Tapi aku tak pernah berani mengunjunginya. Aku takut, dia akan menangis dan mungkin akan menyakiti dirinya lagi.

Setetes air mata jatuh disudut mataku. Tanganku segera mengusapnya tanpa menunggunya turun. Aku hanya akan melihatnya hari ini. Dan tanpa suara.

-----

Hari ini Porsche, Pol dan Arm mendapatkan informasi jika Pete sudah dapat ditemui. Setelah pulang dari kantor, mereka membuat janji untuk menemui Pete hari ini. Mereka membawa banyak makanan kesukaan Pete bahkan Pol membawakan gitar kesayangan Pete. Pasti Pete sangat senang.

Porsche mengetuk pelan pintu ruangan Pete. Memutar knopnya dan membuka sedikit pintu tersebut. Porsche mengintip kedalam ruangan. Melihat keadaan Pete terlebih dahulu. Apakah dia dalam kondisi baik untuk bertemu atau tidak. Porsche melihat Pete tengah membolak balikan majalah kuno dengan sedikit bersenandung. Kepalanya ia goyangkan kekanan dan kekiri mengikuti irama nyanyiannya.

Porsche tersenyum melihat temannya yang tampak membaik. Hatinya dipenuhi rasa syukur. Karena Pete disini, dan tak pergi meninggalkan mereka.

"Oi, Pete! Kami datang" Porsche membuka lebar pintu tersebut. Pete menolehkan kepalanya kearah pintu dan terkejut melihat tiga temannya yang sedang melambaikan tangan kearahnya. Pete mencebik. Dia ingin menangis. Air mata menggenang dipelupuk matanya.

"Eh eh. Kau kenapa? Apa kami mengganggu? Tunggu tunggu, jangan menangis. Kami akan pergi. Kami kel-"

"Aku merindukan kalian!" Pete melompat dari ranjangnya. Ia berlari menubruk Porsche dan memeluknya erat. Pete terisak dengan menyembunyikan wajahnya didada Porsche. Porsche tak kuasa menahan tangisnya. Ia ikut menangis dengan menumpukan pipinya diatas kepala Pete. Porsche mengusap punggung Pete pelan. Pol dan Arm juga ikut memeluk Pete. Mereka menangis bersama. Meluapkan rindu dan melepaskan semua kekhawatiran yang berada di dada mereka.

Pete mulai menggerakkan badannya. Dia sudah merasa sesak dan ingin melepaskan pelukannya. Pete mengambil bagian depan t-shirt putih Porsche. Mendekatkannya kearah hidungnya dan mengeluarkan ingusnya yang menumpuk dihidung karena menangis. Porsche tercengang melihat bajunya yang menjadi kotor karena ingus Pete.

"Kau akan marah Porsche? " cicit Pete sambil menatap Porsche dengan mata berkaca kaca seperti anak kucing. Emosi Porsche yang sudah sampai ke ubun ubun terpaksa ia turunkan melihat kondisi Pete saat ini. Jika saja pria didepannya ini tidak sakit, bisa jadi ia akan memukul kepala Pete.

Pete kemudian tersenyum lebar melihat Porsche yang menghembuskan napas berat. Dia tau temannya ini tak akan marah. Matanya beralih menatap tentengan yang dipegang oleh Arm.

"Whaaa. Apa ini untukku Arm? " matanya berbinar melihat besarnya tentengan yang dibawa. Pasti banyak makanan disana. Arm hanya terkekeh geli melihat ekspresi Pete yang seperti anak kecil. Arm kemudian meletakkan tentengan tersebut diatas meja disamping ranjang Pete.

"Iya, untukmu. Tapi jangan dimakan sekarang. Makan siangmu saja belum habis. Kau harus habiskan itu dulu" Arm menunjuk makanan yang hanya usak sedikit, dan mungkin hampir utuh.

"Ugh, aku bosan dengan ini. Setiap hari menunya sama. Aku tak sanggup" Pete menyilangkan tangannya didada dengan kesal. Bibirnya sedikit maju seperti bebek.

Takk

Pete merasakan sentilan didahinya. Tangannya reflek mengusap bekas sentilan itu dan menatap tajam kearah Pol.

"Jangan bercanda kau. Aku tau kau tak menghabiskannya karena sudah memakan lima buah apel. Sampah kupasannya harusnya kau buang sebelum berbohong bodoh! " Pete mendengus mendengar ucapan Pol. Apa anak ini tidak kasian melihatnya? Dia seorang pasien sekarang!

"Ini kubawakan gitar. Aku tau kau tidak ada aktivitas disini. Silakan berterimakasih padaku" Pol menaruh gitar yang masih berada dalam sarungnya diantara meja dan ranjang Pete. Pete sedikit kesal dengan perkataan Pol. Apa apaan itu! Menyuruh orang berterimakasih. Bahkan Pete tak berniat sedikitpun untuk berterimakasih pada Pol.

Tapi Pete sangat senang hari ini. Temannya tak meninggalkannya. Pete sempat berpikir bagaimana nanti jika terapinya selesai. Apakah masih ada yang mau berhubungan dengan lulusan rumah sakit jiwa? Ternyata dia tak perlu menunggu terapinya selesai. Temannya bahkan mengunjungi saat ia masih dalam masa terapi. Pete sangat terharu.

-----

Tok Tok Tok

Aku mendengar ketukan dari pintu kamar. Aku mengerinyit heran. Apa kunjungan masih diizinkan pukul 11 malam? Ah, mungkin itu Porsche. Sepatunya tertinggal dikamarku dan membawa sendal kelinciku pulang. Dasar pelupa!

Aku berjalan menuju pintu dan membuka pintu yang kukunci dari dalam. Aku berniat untuk tidur tadi, jadi aku sudah menguncinya dari jam 10.

Cklek

Tubuhku membatu melihat orang yang berada dihadapanku. Seluruh sensor tubuhku berenti. Suara detik jam berputar disekelilingku. Membuatku limbung dan jatuh terduduk ke lantai.

Vegas.

Dia datang.

Satu satunya kehadiran yang sangat tidak aku harapkan. Mau apalagi dia? Aku harus kabur. Aku harus pergi dari sini.

Tubuhku yang terduduk beringsut kebelakang. Menyapu lantai dengan tubuhku yang belum bisa berdiri. Aku takut. Aku ingin sembunyi. Aku menoleh ke kanan dan kiri. Mencari tempat persembunyian. Tak ada celah disini. Bagaimana ini? Aku harus apa? Tak sadar air mataku turun. Mataku tertunduk, tak berani menatap Vegas yang masih berdiri diambang pintu. Apa yang dia pikirkan sekarang? Apa dia akan menyeretku? Apa dia akan menghajarku? Memukulku?

Oh tuhan! Bagaimana ini.

Aku melihat kaki Vegas yang mulai berjalan kearahku. Aku semakin panik. Aku merangkak kesudut terjauh ruangan. Meringkuk disana dengan menyembunyikan wajahku dibalik kepalan kedua tanganku.

Aku merasakan cahaya mulai temaram. Vegas menutupi cahaya dan bayangannya menutupi seluruh tubuhku. Badanku bergetar ketakutan. Aku takut, sangat takut.

Beberapa saat kemudian aku merasakan usapan dikepalaku. Membuat aku memicingkan mataku erat. Dia sudah mulai menyentuhku. Apa selanjutnya? Jantungku berdebat sangat cepat hingga memekakkan telinga.

"Apa kabar.. Pete? " semua rasa takutku runtuh dalam sekejap. Aku mendengar suaranya sangat lembut. Nada yang sudah lama tidam aku dengar. Suaranya mampu menghipnotisku untuk kembali tenang. Kenapa ini? Kenapa aku menjadi tenang begini? Dia seharusnya menyeretku! Memukulku! Mengumpatiku! Bukan seperti ini.

Usapannya tak pernah berhenti. Seperti mengisyaratkan bahwa ia disini dan tidak akan menyakitiku. Aku tak percaya ini! Dia pasti berusaha menipuku!

Aku memutar badanku dan bersimpuh dihadapannya. Air mataku kembali turun tanpa aba aba. Tanganku terulur meraih punggung kakinya. Aku bersujud dihadapannya

"Kumohon. Tinggalkan aku, Vegas.. Please.. Let me go..  Please.. " dengan berurai air mata aku mengecup punggung kakinya dan memohon berkali kali. Aku ingin hidup normal seperti yang lainnya. Aku ingin...

Bebas.

-----

5 Tahun kemudian

Seorang balita bertubuh gempal dengan jaket pading tebal yang membalut tubuhnya terlihat berlarian menyepak beberapa dedaunan yang mulai berguguran. Bulan ini mulai memasuki akhir dari musim gugur di kota Venice, Italia. Cuaca terasa sangat dingin karena peralihan menuju musim salju. Sehingga orang - orang mulai memakai jaket mereka sekedar menjaga tubuh tetap hangat.

Balita itu sesekali menoleh melihat orang tuanya dan tertawa memperlihatkan seluruh gigi susunya. Semua orang ditaman itu menatap gemas kearah anak tersebut. Bagaimana tidak. Ketika daun yang ia sepak masuk kedalam celah sepatunya, ia mulai gaduh. Menggoyangkan kakinya beberapa kali agar daun tersebut keluar dari sepatunya. Tapi daun itu masih tersemat disana tak mau keluar. Balita tersebut berjongkok dan tangan berlemak itu mengapit daun tersebut dan melemparnya asal.

"Venice. Ayo pulang" balita yang dipanggil Venice itupun menoleh kearah sumber suara. Kaki pendeknya berlari dan menubruk kaki papanya, kemudian memeluknya erat. Kepalanya ia tengadahkan dan merentangkan tangannya keatas. Ia ingin digendong. Tangan lain segera memotong tangan yang hampir menggapai tubuh Venice. Tangan tersebut mengangkat Venice dan memposisikan tubuh Venice dibagian kanan tubuhnya sambil menopang pinggang hingga bokong Venice menggunakan satu tangan. Tangan lainnya menarik pinggang pria yang sedikit cemberut karena gagal menggendong Venice.

"Jika kau cemberut seperti itu aku akan menciummu Pete" pria itu mengedipkan sebelah matanya menggoda Pete.

"Oh! Baiklah.  Aku tak akan menang melawanmu. Ayo pulang. Cuaca semakin dingin Pavel. Kasihan Venice"

"Siap bos! " Pavel memainkan nadanya seperti seorang tentara. Hal itu sukses membuat Pete terkekeh geli dan menggelengkan kepalanya.

Mereka pun berjalan beriringan menuju rumah yang hanya berjarak 150 meter dari taman.

TBC

Komentar

  1. kenapa bagian chapter 13 sama dengan chapter 14 ya kak?
    atau punya aku aja ya kak?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

FORTPEAT - SURROGATE 2🔞

FORTPEAT - JINX - 16 🔞

FORTPEAT - RARE SPECIES - 5 🔞