FORTPEAT - RARE SPECIES - 45

Mata yang berair dengan mulut yang menguap lebar. Atasan kaos putih dengan leher yang sedikit keriting. Celana abu abu pendek diatas lutut. Bibirnya menghela napas dan melirik malas sang ibu yang duduk dikursi penumpang disampingnya.

Hari ini ia libur dan berencana tidur hingga siang. Kegiatan penuh anak kantor seperti dirinya benar benar menguras tenaga. Belum lagi departemen sumber daya yang harus terus menerus berhadapan dengan komputer dan segala kecanggihan. Matanya lelah dan ingin rehat penuh selama weekend.

Namun sang ibu mendesaknya untuk bangun. Wanita paruh baya itu ingin membeli banyak barang dan keperluan bulanan dapur. Peat tak tahu apakah sebelumnya kepala sang ibu terbentur sesuatu atau ibunya dirasuki hal gaib, pasalnya sang ibu tak pernah melakukan hal semacam ini. Kebutuhan rumah selalu dikerjakan oleh asisten rumah tangga. Selain memasak rasanya ibu tak pernah melakukan hal lain.

Namun apa boleh buat. Melihat wajah cerah sang ibu saat mengajaknya membuat Peat urung melanjutkan tidur. Kapan lagi ia berkencan dengan sang ibu bukan?

Setelah memarkirkan mobilnya dibasement mall yang mereka datangi, sang ibu segera menyeret Peat kesana kemari. Banyak barang yang dibeli, ada sofa, lemari, ranjang, tirai, hiasan dinding dan yang lain. Sedikit mencurigakan memang, apa mereka memiliki rumah baru yang membutuhkan furniture sebanyak ini?

Dan kali ini mereka sampai di supermarket. Dengan troli kosong, ia dan sang ibu mulai mengitari supermarket tersebut dengan mata yang menjelajah.

"Ibu, apa kita punya rumah baru?" Rasa penasaran yang Peat tahan sedari tadi akhirnya ia ajukan. Dan juga suasana supermarket yang cukup sepi pagi ini membuat Peat lebih nyaman dibandingkan bertanya ditoko furniture sebelumnya.

"Tidak. Kenapa sayang?" Ujar sang ibu, tangannya kemudian meraih sayur mayur yang berada dalam boks pendingin disebelah kanan.

"Ibu membeli banyak furniture. Kupikir kita akan punya rumah baru"

"Oh itu. Ibu hanya berpikir untuk mengganti dekorasi rumah. Semalam ibu melihat sebuah video interior, desain interiornya sangat cantik, jadi ibu ingin mencobanya pada rumah kita." Peat menganggukan kepalanya, mengerti dengan ucapan ibunya.

"Sayang"

"Eum?"

"Bagaimana hubunganmu dengan Jane?"

Pria cantik itu menghela napas. Bibirnya mencebik kecil mengingat beberapa hari yang lalu saat ia mengatakan ingin memiliki hubungan serius dengan wanita cantik itu. Namun seperti yang sudah sudah. Ia ditolak. Gadis itu masih menginginkan hidup bebas dan bercumbu dengan pekerjaannya.

Hei umur Peat sudah 27 dan ia ingin membina rumah tangga dengan seorang pasangan. Ia ingin memiliki rumah kecil dan beberapa anak yang memenuhi rumah. Sangat sederhana namun sulit untuk didapat.

"Masih belum ya?" Karena tak mendengar tanggapan dari sang putera, sang ibu kembali bertanya dengan nada memastikan, seperti paham dengan gelagat yang puteranya berikan.

"Apa kau tak mau membuka peluang untuk pria sayang?" Lagi pertanyaan sang ibu hanya dibalas dengan diam.

Peat mengerti jika dirinya cukup spesial. Ia memiliki gender sekunder sebagai seorang omega dan bisa mengandung. Namun ide dirinya yang berposisi sebagai submisif membuat Peat mundur. Dirinya belum siap. Karakternya yang cukup keras membuat Peat cenderung mendominasi.

"Oh god! Kepalaku pusing, percakapan kita terlalu berat bu" Mendengar sang anak yang menghindari menjawab pertanyaannya membuat sang ibu menggeleng kecil dengan senyuman tipis. Selalu seperti ini setiap kali membahas masalah hubungannya.

Troli pun mulai terisi penuh. Merasa cukup dengan apa yang dibeli akhirnya sepasang ibu dan anak itu berjalan menujur kasir. Namun ditengah perjalanan, Peat melihat sesuatu yang rasanya tak asing.

Pada rak makanan ringan, tiga bocah tampak saling berdebat satu sama lain. Anak perempuan tampak marah dengan wajah garang yang ia perlihatkan, sementara dua anak laki laki lainnya tengah membuang muka dengan mulut yang masih beradu argumen.

Tanpa sadar Peat terkikik geli, melihat tiga bocah yang bertengkar hanya karena satu kemasan makanan ringan.

-----

Suara tangisan yang bersautan. Dering ponsel yang turut menyemarakkan. Belum lagi suara desisan dari teko pemanas air yang berbunyi. Pecah sudah pagi Fort.

Dengan tangan yang menyambar ponsel, pria dengan tubuh tinggi itu berlari menuju arah pantri. Mulutnya yang bergerak tengah berbicara dengan orang diseberang sana, sedangkan tangannya sibuk membuatkan susu formula sebagai alternatif makanan untuk tiga bayi kembarnya pagi ini.

Ruangan VVIP yang tampak suram itu sudah 4 hari ini menjadi ramai. Kehadiran tiga orang bayi yang umurnya baru 6 minggu itu terlihat memberikan dampak signifikan bagi Fort.

Tiap pagi ia akan direpotkan dengan makanan dan popok para bayi. Padahal Fort ingat betul jika 3 jam sebelumnya ia sudah mengganti popok bersih untuk ketiga bayinya. Dan hari ini lebih merepotkan, dirinya baru sadar jika stok ASI bantu dalam freezer sudah habis, hingga ia terpaksa menggunakan susu formula yang beruntungnya dikirimkan Khun Tan kemarin.

Setelah menyelesaikan urusannya dengan ponsel. Fort mulai mengecek suhu susu formula keatas tangannya. Kesalahan hari pertama saat ia ingin menghangatkan ASI bantu tak ingin terulang, dirinya tanpa sengaja memberikan ASI yang cukup panas hingga anaknya merengek seharian. Hal itu juga membuatnya urung untuk berangkat ke Azea dan memilih mengurus para bayi kembar.

Pria yang sudah mengenakan kemeja putih itu bergegas menuju ranjang kecil yang ia pesan dua hari yang lalu. Tiga bayi dengan piyama kembar warna warni terlihat merengek keras, tangannya yang tertutupi sarung tangan motif terlihat mengepal saking kuatnya menangis. Buru buru Fort memasukkan ujung dot dari botol susu yang ia pegang. Menyangga dua botol dengan satu tangan dan satu botol lagi dengan tangan lainnya.

Seketika tubuhnya jatuh hingga berjongkok diujung ranjang bayi. Mengambil napas panjang sebelum kembali mengisi ulang tenaganya dengan melirik para bayi yang sibuk mengisi perut lapar mereka. Senyum tipis terukir dibibir penuh sang alpha, ia menyukai kegiatan dimana dirinya disibukkan dengan keluarga.

Iris aqua itu kemudian melirik sang omega yang masih betah dengan mimpi indahnya.

"Kuharap kau bisa secepatnya bergabung mengurus anak kita sayang."

Dengan menumpu pelipisnya diujung pembatas ranjang, Fort mengamati satu persatu wajah yang tersaji didepannya. Senyumnya semakin mengembang seiring dengan arah pandangannya yang terus berjalan.

Sekali lagi ia melewati pagi yang indah.

Dan Fort sangat menyukainya.

-----

Suara sentakan sepatu dilorong rumah sakit mengisyaratkan jika Fort tengah khawatir. Beberapa menit lalu tepat setelah dirinya membersihkan diri, Fort mendudukan dirinya pada kursi besi biasa yang ia gunakan untuk memperhatikan Peat, namun kali ini tak hanya omega itu, Fort juga memperhatikan tiga bayi kembar yang terlelap disisinya yang lain.

Baru saja tulang ekornya menyentuh bantalan kursi, tubuh Peat seketika mengejang hebat. Tanpa basa basi Fort segera memanggil perawat melalui bel emergensi dengan tangannya yang mendekap kepala sang omega.

Dirinya ketakutan, takut jika ada hal buruk yang terjadi setelah ini. Namun secara labil perasaannya berubah tenang. Pikiran adanya kemungkinan Peat akan bangun entah kenapa timbul, respon hebat yang ia lihat seperti pertanda jika Peat masih ada dan akan segera kembali.

Sesekali mata besar itu bergantian melirik pintu ruangan yang tertutup. Berharap jika pintu tersebut akan terbuka sesegera mungkin.

Fort sangat membutuhkan penjelasan atas kondisi Peat saat ini.

-----

Maaf Yang Mulia. Kejang yang terjadi hanyalah reaksi spontan dari otot Khun Peat yang sudah lama tak bergerak.

Alpha itu menangkup wajahnya putus asa. Rahangnya mengeras dengan mata yang terpejam. Ia pikir setelah ini akan kembali melihat mata indah sang pujaan. Ia pikir setelah ini ia akan membawa pulang sang pujaan.

Tapi ternyata nihil.

Belum ada kemajuan sama sekali pada kondisi omeganya.

Pria alpha yang duduk diatas kasur, tepat disebelah sang omega itu mulai mengangkat kepalanya. Matanya menatap sayu kearah wajah sang omega. Tangannya terangkat dan mengusap lembut pipi putih itu. Tubuhnya kemudian jatuh dan memeluk tubuh Peat yang mengurus.

"Aku lelah. Rasanya saat ini tubuhku dihantam batuan berkali kali. Aku tak mau jadi kuat didepanmu. Aku ingin menangis dengan memelukmu-

-izinkan aku"

-----

Srettt

"Ada apa nak? Kau menangis" Usapan lembut dipipi Peat membuat pria cantik itu tersadar. Matanya melirik kearah ayah ibunya yang memperlihatkan raut penuh tanya.

Peat terdiam. Ia tak mengerti kenapa tiba tiba dirinya menangis. Diatas lapisan kaca meja makannya pun terlihat beberapa bercak air yang sepertinya merupakan air matanya.

"Apa makanan ibu tak enak malam ini? Apa kita makan diluar saja?"

"Ah, tidak bu. Bukan begitu." Peat melambaikan tangannya cepat sebagai bentuk sanggahan dari pertanyaan sang ibu. Senyum tipis Peat suguhkan untuk menenangkan rasa khawatir dari kedua orang tuanya.

"Ayah, ibu. Peat harus segera ke kamar karena ada meeting online malam ini. Makanan ibu sangat enak, aku menyukainya"

Cup

Cup

"Aku mencintai kalian"

Pria cantik itu kemudian bergegas meninggalkan ruang makan setelah mengecup pipi ayah ibunya.

Ada yang tak beres dengan dirinya.

-----

Ruangan putih yang terlihat sangat luas, tak terlihat ujung dan sudut yang mampu memperkirakan berapa luas ruangan tersebut. Tak terlihat benda apapun, bahkan lampu penerang sekalipun, namun ruangan tersebut tetap terang layaknya disinari cahaya lampu. Kini ruangan tersebut hanya berisikan suara langkah dari sepasang sandal bulu berwarna putih dan mengundang iris cokelat terang itu melihat kesekitar dengan kerutan didahi.

Dimana ini?

Seingatnya ia berada diatas kasur ditemani sebuah video dari acara youtube yang ia gemari. Bahkan rasanya belum selesai hingga menit terakhir.

Apa ia tertidur?

Hmm, kalau begitu berarti ini mimpi.

Plakk

"Akh!"

Oh? Apa ini bukan mimpi? Pahanya terasa sakit setelah ia tampar. Tapi tak mungkin ada ruangan seputih dan seterang ini.

Peat terus berjalan, menyusuri ruang yang tak tau dimana ujungnya. Kakinya pun lambat laun semakin lelah. Napasnya tersengal. Bahkan untuk melanjutkan jalan pun Peat memilih berhenti sejenak sambil menopangkan tangannya diatas lutut. Keringatnya bercucuran, bahkan beberapa tetes keringat sempat memasuki matanya.

Dengan napas yang masih tersengal Peat memilih melanjutkan langkahnya. Tak ada untungnya hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun. Perasaan was was jika dirinya ternyata memasuki ruangan terlarang membuat Peat tak berpikir dua kali untuk berlari. Ia harus menyelematkan diri.

Drap

Drap

Drap

Langkah itu semakin cepat. Jantungnya yang berdegup cepat serta kepala yang sesekali menoleh kebelakang semakin menambah suasana mencekam. Ruangan yang semulanya sangat terang berangsur menjadi gelap. Sangat gelap hingga pada akhirnya tubuh kecil itu jatuh tak sadarkan diri.

Peat pingsan.

-----

Panas sangat terik menerpa sepasang mata yang terlelap. Pria dengan tubuh kecil yang terbaring diatas rumput rendah itu pun terusik, tanpa sadar ia mengangkat tangannya untuk menghalau sinar matahari yang langsung mengarah ke matanya.

Dengan punggung yang dipenuhi tanah dan potongan rumput, Peat perlahan mendudukan tubuhnya. Tangannya beralih memijit pelipis dan pangkal hidungnya, kepalanya terasa sangat pusing.

Menyadari jika dirinya lagi lagi tak bangun ditempat yang sama, Peat kembali memindai sekeliling dengan matanya.

Bukan!

Tempat ini sangat familiar dan Peat paham betul jika ia sering mendatangi tempat ini.

"Akh" Seketika pusing kembali melanda kepala Peat. Rasa sakit yang begitu hebat hingga membuat pria kecil itu menekuk tubuhnya. Raungan sakit kembali terdengar hingga lambat laun omega itu kembali pingsan untuk kedua kalinya.

-----

Pelukan hangat dari sang dominan terhadap sang submisif selalu memberi rona indah. Saling berbagi hangat tubuh menjadikan tanda bahwa satu sama lain masih saling memiliki.

Harapannya tak banyak, Fort ingin omega dalam pelukannya ini membalas kembali dengan tangan yang mengalung dipinggangnya.

Rindu.

Sangat rindu.

Padahal setiap hari bertemu.

Cup

Fort mengecup ujung bahu sang omega. Kembali menatap kekasihnya tanpa ada sirat kebosanan disana.

Cup

Kali ini pipi putih yang menerima kecupan.

"Hei sayang, mataku cukup bengkak pagi ini. Semalaman aku menangisimu karena terlalu rindu. Beruntungnya anak kita tak begitu rewel pagi ini hingga kita bisa bermesraan seperti ini" Fort melesakan tubuhnya semakin dekat kearah Peat, tubuh Peat begitu nyaman, tak ingin jauh rasanya.

"Hihi, maaf jika aku bau, aku sedang tak ingin pergi kemanapun. Rasanya hari ini aku hanya ingin berbaring disini seharian denganmu. Tapi tenang, satu jam lagi aku akan mengambil air hangat untuk membersihkan dirimu, aku tau kau tak menyukai tubuh lengket" Fort kembali mengecup pipi sang omega, jika saja bibir Peat tak terisi selang mungkin ia akan mengecup labium itu berkali kali.

"Aku belum melaporkan kerjaanku kemarin padamu. Eum, baiklah, pagi kemarin aku sudah kembali memanaskan ASI. Akhirnya seorang suster membantuku mengisi stok ASI kedalam freezer. Lalu setelahnya aku menunggu Khun Tan datang dan kemudian pergi ke Azea. Ugh, melelahkan. Namun untungnya Atreka dan Azea bisa ditempuh dalam waktu 1.5 jam dengan pesawat kerajaan. Sesampainya di Golden House, aku dihadang tumpukan kertas, padahal aku sangat yakin hari sebelumnya sudah menyelesaikan ribuan kertas. Belum lagi laporan dari berbagai bidang dan sektor. Aku terus melakukan hal itu hingga 8 jam kedepan. Setelah selesai aku mengunjungi ruang doa, seperti biasa, aku mendoakanmu, jadi cepatlah kembali karena aku tak mau doaku tak terkabul. Bahkan rasanya kali ini aku lebih sering berdoa dibandingkan ibu yang berstatus sebagai Omega Agung, hihi. Kemudian aku pulang dan kembali kesini." Pria besar itu melirik dahi Peat yang sedikit basah. Sedikit heran namun tangannya segera menarik ujung lengan baju miliknya dan menyeka keringat tersebut.

"Apa yang kau lakukan disana hm? Kau berkeringat sayang. Apa kau bertemu hantu? Atau berolahraga? Kkk... Sepertinya selera humorku cukup payah. Hah.. Aku merindukan tawamu sayang" Tangan Fort kemudian beralih mengusap kepala Peat, jari jarinya pun menelusup menyisir surai sang omega.

"Cepatlah kembali. Aku dan anak anak menunggumu disini"

-----

Tuk

Tuk

Slurpp

Rasa basah yang Peat rasakan dipipi membuatnya terbangun. Mata dengan iris cokelat terang itu perlahan terbuka dan mulai membiasakan cahaya sekitar. Tak seperti sebelumnya dimana matanya disengat sinar matahari secara langsung, kini kedua matanya dihadapkan dengan cahaya redup. Bukan malam. Melainkan sesosok makhluk tampak menghalangi sinar matahari kearahnya.

Gelap.

Tak jelas bentuk dan wajah dari sosok didepannya. Namun yang pasti sosok ini bukanlah manusia. Sosok ini adalah hewan dan rasanya sangat familiar.

"Nick?"

"Hai Peat. Lama tak bertemu"

-----

Dengan dahi berkerut bingung, Judy menatap ketiga bayi yang kini menangis. Dengan tangan yang terlipat didepan dada, serigala itu berpikir keras apa lagi yang harus ia lakukan. Ia mengamati betul apa yang Fort lakukan pada manusia berliur ini.

Ia sudah mengganti popok.

Ia sudah memberikan susu hangat.

Bahkan kulitnya sempat terbakar karena tak sengaja menyentuh air panas.

Lalu apa lagi?

'Oi. Bangun dan lihat ini.' Judy menyerah, ia tak tau akan melakukan apalagi pada bayi bayi ini. Lebih baik ia bertanya pada Fort atau telinganya akan berdarah karena suara melengking dari mulut kecil itu.

'Ck, kau berniat membantu atau apa. Ayo bertukar saja, aku tak bisa mempercayakan anak anakku padamu sialan' geraman kesal jelas terdengar dari Fort. Bukan dirinya yang meminta untuk berganti ruh, melainkan serigala ini yang menawarkan diri. Serigala ini mengasihani Fort karena semalam tak sempat untuk berganti ruh karena Fort yang menangisi Peat semalaman.

'Hei, aku mencoba membantu disini? Kau tau biasanya saat malam aku hanya perlu menunggui omegaku. Anak anak ini tak pernah terbangun saat kita berganti ruh. Kau cukup katakan apa yang harus kulakukan dan kau bisa kembali istirahat' balas Judy tak terima. Tak bisakah pria jahat itu melihat bentuk baik dari hatinya? Menyebalkan!

'Hah.. Baik baik. Ini salahku karena mempercayakan bayi bayiku pada serigala bodoh sepertimu. Kau pikir aku disini siang hari? Aku bekerja bodoh! Gunakan akalmu! Tsk, Sekarang coba liat disekitarmu. Anak anakku mungkin saja terganggu tidurnya. Atau perutnya terlalu penuh karena kau memberinya susu tepat satu jam setelah aku selesai memberinya makan.'

Ah... Begitu rupanya..

'Pasanglah jaring jaring yang berada dikiri kanan boks tidur mereka. Cuaca yang tak menentu seperti ini cenderung memproduksi banyak nyamuk. Dan lagi turunkan suhu kamar hingga 20. Anak anakku bisa saja kepanasan dan merengek seperti sekarang. Apa perintahku cukup jelas?'

Judy mengulum senyum sambil mengangguk kecil. Pintar juga bocah 30 tahun ini. Setidaknya otaknya juga berisi mengenai edukasi anak, bukan hanya pornografi bersama Peat saja.

-----

Tak terbayang jika selama ini, 27 tahun yang ia rasakan beberapa saat lalu itu hanyalah mimpi belaka. Ia tak menyangka jika kenyataan akan menghantamnya sekeras ini. Ternyata kehidupan sebenarnya yang ia jalani berbeda sepenuhnya dibanding hidup yang ia alami didalam mimpi.

Benar. Ia sangat ingat pedih dan perihnya kehilangan kedua orang tuanya saat ia menginjak umur 18 tahun. Ia sangat ingat ketika dirinya yang berumur 18 tahun itu mendapati dua peti mati ditengah tengah rumah tepat setelah pulang sekolah. Dua peti mati itu dikelilingi puluhan pria yang merupakan kaki tangan dari orang tuanya.

Ia ingat hari hari menyedihkannya yang selalu sendirian setelah mencapai rumah, jauh berbeda rasanya dengan apa yang terjadi dimimpinya. Ia masih dipeluk oleh sang ayah ibu ketika pergi dan pulang.

Ia ingat jika semua kebahagiaannya sangat bertolak belakang dengan penderitaan yang selama ini ia lalui. Bahkan ditanggal yang sama ketika dirinya pertama kali bertemu langsung dengan Fort, ia tak menemukan pria itu sama sekali dalam-

"Nick. Aku- bertemu dengan Fort dimimpiku" Peat ingat betul jika dirinya bertemu dengan Fort, dan tentu bersama tiga orang anak yang menggemaskan.

Buk

"Itu semua karena hatimu berkata jika Fort bukanlah bagian buruk dari kehidupanmu Peat" Pria cantik itu menolehkan kepalanya dan mendapati seorang wanita yang sangat ia kenal duduk disampingnya.

"Kau menyeleksi semua hal buruk dari ingatanmu dan membentuk sebuah dunia yang hanya berisikan hal hal yang membahagiakanmu. Dan disana termasuk Fort dan anak anakmu"

"Anak anakku?" Bingung. Dahi yang mengkerut menandakan jika Peat tak paham dengan apa yang Luna bicarakan. Kepalanya menoleh kekanan dan kekiri meminta penjelasan lanjut dari Nick ataupun Luna.

"Kau sudah melahirkan Peat. Tiga bayi kembar dalam perutmu sudah hadir didunia. Tubuhmu habis termakan rasa sakit akibat reject yang kau alami. Darahmu tak lagi bisa memperlambat efek yang terjadi."

"Apa aku- meninggal?" Gelengan kepala dari Luna membuat Peat menghembuskan napas lega. Bersyukur karena dirinya masih hidup

"Tidak. Kau saat ini koma. Hampir 7 minggu lamanya"

"7 minggu? Tunggu, jadi dunia mimpiku hingga berumur 27 tahun hanya berlangsung selama 7 minggu? Maksudku, dunia mimpiku terasa sangat normal, jam disana berfungsi dengan baik dan terhitung 24 jam. Bagaimana mungkin?" Raut terkejut yang ketara dari pria cantik itu membuat Moon Goddes terkekeh. Hambanya ini sangat menggemaskan.

"Kupikir hal itu tak perlu penjelasan Peat. Aku kesini ingin menyampaikan sesuatu padamu"

Tiba tiba suasana menjadi suram. Awan cerah yang merangkak diatas kepala mereka perlahan menjadi gelap. Danau besar yang biasanya Peat gunakan untuk berlatih dengan dua makhluk dikiri kanannya itu terlihat sangat tenang dan menakutkan.

"Maaf. Aku tak berhasil mengubah semua ketetapan"

Degg

Perjanjian itu!

Kepala Peat mendadak kosong. Ia ingat telah menjanjikan Luna nyawanya untuk hal ini. Rasa egois seketika menjadi dominan. Bolehkah ia tarik kembali janjinya? Ia tak ingin mati sekarang.

"Satu satunya hal yang bisa kutarik adalah efek yang menyakiti submisif. Rasa sakit jika sang dominan berselingkuh tak akan ada lagi. Rasa sakit jika sang dominan mereject tak akan ada lagi. Hanya itu. Hanya itu yang mampu aku lakukan"

"Luna" Suara lirih dari sampingnya membuat wanita dengan rambut terurai itu menoleh, menatap sisi samping wajah Peat yang merenung menatap kedua kakinya.

"Hm?"

"Apa aku- harus mati?" Mata sang dewi seketika membulat, ia terkejut melihat tubuh Peat yang bergetar.

Grep

"Hei, lihat aku" Dengan mata yang berusaha menarik iris cokelat terang didepannya, Luna menangkup pipi tirus omega dihadapannya agar menatap kearahnya.

"Apa aku harus mati?" Mata indah itu berkaca kaca, membuat Luna segera merengkuh Peat kedalam pelukannya.

"Aku tak tau kalimat seperti apa yang bisa menenangkanmu. Perubahan seperti ini tentu memiliki akibat yang harus ditanggung. Peat, kau harus ingat jika aku tak mengiyakan tawaranmu hari itu."

"Jadi aku tak akan mati?" Setelah kembali menjauhkan jarak antara tubuh mereka, Peat kembali memastikan jawaban perihal nyawanya.

"Kematian bukanlah sesuatu yang bisa kukendalikan. Semuanya sudah tertulis dibuku takdirmu Peat. Namun sebagai gantinya kau harus berkorban sesuatu untuk perubahan ini"

Belum sempat senyumnya tertarik untuk kepastian hidupnya, kalimat terakhir membuat rasa takut dan khawatir kembali timbul.

Apa yang harus ia tanggung?

"Setelah kehidupan ini, kau tak akan bereinkarnasi. Rasa sakit yang sudah dihilangkan belum memiliki wadah penampung sampai saat ini."

"Dan wadahnya adalah diriku" Anggukan dari Luna membuat Peat tersenyum getir. Apa seberat ini harga yang harus ia tanggung demi kehidupan layak para werewolf?

Seburuk apa lagi jalan yang disuratkan dalam takdirnya? Hidupnya sudah mengenaskan, dan kini ia dihempaskan sejauh mungkin hingga dasar palung.

"Jika aku menolak?"

"Rasa sakit itu akan kembali."

"Yasudah-" Peat menghirup napas sekuat tenaga dan menghembuskannya secara perlahan. Obsidian itu kemudian menatap lekat kearah wanita didepannya.

"Yasudah jika begitu adanya. Aku bersedia menjadi wadah sakit itu, kelak"

Grep

"Terimakasih. Pasti aku akan membantumu Peat, pasti. Sebisa mungkin aku akan membuatnya sangat ringan. Aku akan memohon pada Tuhan selama yang aku bisa. Terimakasih Peat, terimakasih" Peat membalas pelukan sang Dewi, matanya terpejam meyakinkan diri jika keputusan yang ia ambil sudah benar.

"Luna" Peat menarik tubuhnya dari pelukan sang Dewi. Kepalanya teringat sesuatu dan ia harus menanyakannya sekarang.

"Ya?"

"Apa aku akan hidup kembali?"

"Apa kau menyukai dunia mimpimu Peat?"

"Tentu"

"Jika disuruh memilih. Apa kau ingin kembali ke kenyataan atau tinggal didunia mimpimu?"

Oh Tuhan! Sungguh kepalanya akan pecah jika selalu dihadapkan dengan pilihan sulit seperti ini! Apa ia tak bisa menerima jalan yang dipilihkan saja? Argh!

"Jika kau memilih dunia mimpimu. Maka kau akan dibiarkan disana satu bulan lamanya sebelum nyawamu diambil"

"Jika aku kembali ke dunia nyata apa kondisiku akan sama dengan yang sebelumnya?"

"Ya"

Pria cantik itu kemudian terdiam. Ada sisi dalam dirinya yang menginginkan untuk tinggal didunia mimpi. 7 minggu saja ia sudah menjalani 27 tahun kehidupan disana. Bukankah tambahan satu bulan sudah cukup baginya untuk mencicipi usia tua? Dan lagi disana ia juga bisa bertemu Fort dan ketiga anaknya.

"Bolehkah aku bertanya?" Suara Luna membuat Peat menarik diri dari lamunannya, membuat pria cantik itu kembali fokus pada sang dewi yang masih berada disampingnya.

"Apa kau melihat pendamping Fort dalam dunia mimpimu?"

Degg

Seketika bulu halus Peat meremang. Jantungnya berhenti berdetak sesaat dengan mata yang terbelalak tak percaya.

Benar! Ia tak melihat pasangan Fort didunia mimpinya.

"Bahkan kau tak mau melihat Fort memiliki pasangan lain selain dirimu, ckckck. Bukankah itu menyebalkan?" Luna melirik kecil pria yang masih terkejut disampingnya. Wanita itu kemudian terkekeh karena Peat sepertinya baru menyadari sesuatu.

"Luna. Aku sudah menentukan!" Suara tinggi itu terdengar mantap ditelinga sang Dewi. Mata Peat yang berbinar menunjukkan jika dirinya sudah yakin dengan pilihannya.

"Baik sebelum itu kuberi satu hadiah untukmu Peat."

Cup

Cup

Setelah menarik kepala Peat mendekat, Luna mengecup singkat kedua mata pria kecil itu dan mengusapnya perlahan. Kemudian tangannya menjauh sesaat sebelum mengusap seluruh wajah Peat.

"Semua perjanjian akan hilang dari ingatanmu tepat setelah kau pergi. Sekarang pergilah dan kembali kedunia yang kau inginkan-

-terimakasih, Peat"

TBC

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FORTPEAT - SURROGATE 2🔞

FORTPEAT - JINX - 16 🔞

FORTPEAT - RARE SPECIES - 5 🔞