FORTPEAT - RARE SPECIES - 44

Satu langkah

Dua langkah

Entah apa tapi jalan menuju rumah kali ini terasa sangat suram. Hati yang tak tenang dengan mata yang sesekali melirik keujung jalan.

Langkahnya secara bertahap menjadi sangat pelan. Jantungnya berdebar sangat kencang hingga suara lain tak lagi terdengar. Entah apa yang terjadi, Peat merasa rumahnya tak akan lagi sama. Kepulangannya kali ini hanya akan berisi kabar buruk yang rasanya akan seperti neraka.

Tepat sepatu hitam sekolahnya berhenti didepan pagar. Tangan yang biasanya segera mendorong pagar tersebut tiba tiba saja menjadi berat. Rasanya hatinya tak sanggup melangkah lebih jauh kedalam rumah.

Kepala Peat kembali diisi banyak pikiran. Tak biasanya ia seperti ini, berulang kali ia mencoba mengingat kesalahan apa yang ia perbuat hingga dirinya menjadi setakut ini.

Namun nihil.

Tak satupun kesalahan yang dirinya ingat belakangan ini. Ia pergi sekolah seperti biasa dan pulang di jam yang sama.

Oh tidak tidak.

Tiga hari yang lalu ia bolos kelas bersama teman temannya. Pelajaran matematika yang tak Peat sukai membuat Peat membujuk teman temannya agar mau bolos bersama.

Tipikal siswa SMA tahun kedua. Sangat santai tanpa adanya beban yang begitu ketara. Anak dengan umur 18 tahun yang gemar memacu adrenalin, haus akan hal yang menantang dan mencoba berbagai macam kenakalan.

Dan inilah fasenya. Peat menyukai perkumpulan dan berbagi tawa. Semenjak duduk dibangku SMP, Peat mulai lihai mengatur kehidupan sosialnya. Ia mulai memiliki banyak teman namun tetap mematuhi aturan yang orang tuanya berikan.

Tak jauh berbeda dengan tingkah anak seumuran. Peat akhirnya bisa merasakan bagaimana rasanya memiliki janji sepulang sekolah, rasanya bermain futsal bersama, rasanya memiliki kencan dengan gadis yang ia suka. Peat merasakan semuanya.

Namun satu satunya hal yang tak akan pernah ia rasakan adalah menginap dirumah satu sama lain. Bahkan ia tak bisa mengundang temannya untuk bermain dirumah megahnya. Pekerjaan keluarganya tak memungkinkan untuk Peat membawa temannya ke istananya.

Perlahan gerimis pun turun. Peat yang masih berdiri didepan pagar segera bergegas masuk karena ia tak diizinkan sedikit pun terkena hujan.

Namun hatinya tetap saja tak tenang. Meski tau jika kesalahannya adalah membolos kelas, tapi perasaan takutnya jauh lebih dalam. Seperti perasaan yang siap kehilangan hal yang paling berharga.

Sekelebat bayangan dua peti mati ditengah rumah membuat Peat terkesiap. Kepalanya menggeleng cepat menyingkirkan bayangan buruk yang seharusnya tak pernah terlintas dibenaknya.

Mana mungkin orang tuanya meninggal.

Rasa takut yang Peat miliki sepertinya sudah menelan bulat bulat kewarasannya. Ia harus meminta maaf pada ayah dan ibu karena sempat terbesit pemikiran seperti tadi.

Tangan kecil itu kemudian beralih mendorong gagang pintu utama rumahnya. Meskipun sudah meyakinkan diri jika apa yang ia bayangkan sebelumnya adalah hal mustahil, tapi tetap saja Peat takut hingga membuat langkahnya begitu hati hati dengan mata yang terus mengarah kedepan.

Satu langkah

Dua langkah

Tiga langkah

Senyum terkembang lebar ketika irisnya menangkap dua siluet yang tengah duduk diruang tengah rumah.

Ayah dan ibunya ada disana.

Lengkap dengan baju kerja yang pagi ini mereka kenakan.

Lengkap dengan gestur mesra yang mereka perlihatkan.

Ayah dan ibunya tak kemana mana.

Dan ia berumur 18 tahun.

-----

Kaki yang masih dibalut sepatu pantofel itu melangkah memasuki ruang doa yang selalu digunakan ibunya. Menanggalkan alas kaki tersebut, Fort segera mengambil posisi didepan altar yang berisikan jamuan.

Dengan kaki bersimpuh dan tangan yang menggenggam didepan dada, iris aqua itu mulai terpejam.

Setiap hari setelah menyelesaikan pekerjaannya, Fort menyempatkan diri untuk mengunjungi ruang doa. Pikirannya yang selalu berpusat pada orang yang sama, selalu menjadi topik utama dalam permohonannya.

Butuh 30 hingga 45 menit Fort memanjatkan pintanya. Ia menjerit dan meracau dalam hati agar sang dewi mendengar keluhannya.

Satu keinginannya. Membawa Peat kedalam dekapan dan membangun keluarga hangat bersama bayi kembar mereka.

Apakah berlebihan jika ia menginginkan Peat kembali bersama?

Ia harap tidak.

Peat pasti berpikiran yang sama sepertinya.

Hanya saja omega itu masih sibuk menjelajahi mimpi indahnya.

Yang hanya perlu dilakukan-

-hanya menunggu bukan?

-----

Tersiarnya berita jika sistem demokrasi akan segera dirampungkan membuat sebagian pihak protes. Tak sedikit kalangan masyarakat yang meminta untuk diundurnya segala persiapan yang telah dilakukan. Bahkan secara massive rakyat mulai berkumpul didepan pintu pagar istana untuk menyuarakan hal tersebut.

Laporan mengenai kondisi masyarakat pun terus menerus masuk. Permintaan untuk ditangguhkannya implementasi dari sistem demokrasi terus berdatangan dari berbagai arah.

Prangg

Pukulan telak dari sebuah kepalan tangan pada guci besar diruang tengah Golden House membuat seisi ruangan  terdiam. Bunyi nyaring sebagai hasil dari pecahnya guci tersebut membuat orang orang yang berada didalam ruangan terdiam. Rapat mendesak yang diadakan untuk membicarakan respon masyarakat mengenai sistem demokrasi tampak mengundang amarah dari sang Raja.

Pria besar dengan setelan khas kerajaan disertai bet penanda jabatan itu terlihat begitu emosi. Matanya menatap nyalang kedepan dengan posisi tubuh yang setengah bungkuk kearah meja, kedua tangannya terkepal menumpu diatas meja dengan dihiasi darah yang menetes ditangan kanannya. Bahunya naik turun dengan napas yang memburu.

Brengsek!

Persetan Azea dan segala isinya!

Berbulan bulan ia memusatkan banyak tenaga dan pikiran untuk mengatur segala rupa perpindahan sistem, begitu banyak ia sisihkan waktu yang seharusnya bisa ia pergunakan untuk mencari keberadaan Peat, namun semuanya menjadi sia sia ketika mendengar keinginan dari rakyat.

"Apa mereka pikir pemerintahan adalah hal main main?!" Fort menatap bengis satu persatu menteri yang hadir, suaranya yang dalam membuat para menteri yang hadir terdiam dan hanya menundukkan kepala.

Siapa yang berani melawan Raja serigala?

Butuh waktu bermenit menit untuk Fort menenangkan emosinya. Pria yang berada dikepala meja itu pun akhirnya duduk dengan helaan napas berat dari mulutnya.

Kepalanya sudah penuh dengan kondisi omeganya dan kini ia harus dihadapkan dengan protes tak berdasar dari rakyatnya.

"Maaf Yang Mulia. Saya tak bermaksud berpihak pada masyarakat, namun poin poin yang mereka jabarkan cukup meyakinkan." Iris aqua itu menatap tajam kearah menteri perdagangan yang duduk dibarisan kanan, 3 bangku jaraknya dari Fort.

"Mereka menginginkan persiapan lebih matang. Mengaplikasikan sistem demokrasi tanpa adanya uji coba membuat masyarakat menjadi takut akan adanya overpowering dari presiden yang akan ditunjuk nantinya, belum lagi adanya lembaga baru yang dibentuk dari nol tanpa memiliki pengalaman atau dasar apapun. Dan alasan terakhir- para rakyat ingin mempertahankan Khun Peat sebagai calon Omega Agung"

Salah satu sudut bibir Fort terangkat dengan decihan sarkas yang menyertai. Lelucon apalagi yang harus diterima omeganya kali ini? Setelah menderita sekian rupa dan mereka masih ingin menyiksa omega itu dengan mendudukannya diatas tahta? Kehancuran seperti apalagi yang mereka inginkan untuk Peat?

"Wah, bahkan bulu kudukku merinding mendengar ucapanmu. Cih, apa aku terlihat begitu mudah? Bukankah pikiran seperti itu terlalu kejam? Bahkan tak satupun dari kalian meminta maaf pada omegaku setelah mengirimnya begitu keji kedalam jeruji besi. Maksudku, dimana hati kalian?" Nada tak percaya menggaung dihati masing masing manusia yang mendengar ucapan sang Raja. Tertohok hingga suara mereka tersekat dikerongkongan, tak mampu membalas satu katapun.

Gila! Apa mereka baru sadar? Fort tak habis pikir dengan pikiran rakyatnya. Apa memang semengerikan ini orang orang yang ia pimpin? Ah, Fort akhirnya mengerti keluh kesah Peat mengenai alpha selama ini.

"Yang Mulia-"

"Cukup. Aku tahu dan bukan aku orang yang kalian inginkan maafnya. Tapi omegaku, silahkan sampaikan padanya. Mengenai permintaan yang disampaikan, jawabannya akan dijawab oleh Khun Peat sendiri. Sekian rapat hari ini. Kalian benar benar menakjubkan"

Pria dengan tahta tertinggi itu pun akhirnya meninggalkan ruang tengah tersebut dan menyisakan keheningan tak berarti dari seluruh menteri yang menghadiri.

-----

Segelas es jeruk dengan sisi luar gelas yang basah. Satu tangan dengan kulit putih tampak mengaduk enggan minuman didepannya. Entah terhitung berapa kali dirinya menghela napas. Lebih dari satu setengah jam ia menunggu teman kencannya di kafe yang mereka janjikan, namun sampai sekarang batang hidung perempuan itu tak kunjung terlihat.

Jika dihitung ini adalah teman kencannya yang ke tujuh sejak pertama kali ia berkencan dibangku SMA. Dan fakta teranehnya, ialah dirinya dan para teman kencannya tak pernah terlibat dalam hubungan serius.

Tunggu! Peat tak seperti yang kalian bayangkan, ia bukan bajingan yang mendekati seseorang dalam waktu bersamaan. Saat ini umurnya sudah 21 tahun dan merupakan mahasiswa semester 4. Bukankah wajar jika ia dekat dengan beberapa orang sejak umurnya 18 tahun?

Dan juga bukan berarti Peat adalah pria yang hanya menebar harapan palsu. Tiap kali ia mencoba memiliki status dengan teman kencannya, banyak hal yang membuat rencana itu urung terlaksana. Kadang ia ditolak secara langsung, atau ia memergoki wanita yang ia taksir bermesraan dengan orang lain dan bahkan ia sendiri yang kehilangan minat secara tiba tiba.

Dan Peat pikir salah satunya juga seperti kali ini. Teman kencannya yang menghilang tanpa kabar di hari kencan mereka.

Drap

Drap

Drap

Buk

"Huhu, huks.. Eung.."

"Astaga!" Pria cantik itu buru buru mengangkat tubuh seorang anak yang tak sengaja menabrak kakinya. Dengan wajah panik Peat membawa anak yang hampir menangis itu kedalam pelukannya.

"Mana yang sakit? Kau tak apa?" Peat mengusap surai panjang sang anak dan kemudian beralih menepuk nepuk punggung kecil itu pelan.

"Huks.. Paman.. Apa ini bengkak?" Peat seketika menurunkan pandangannya dan melihat dahi yang ditunjuk sang anak, merah memang namun belum bengkak.

Degg

Mengejutkan. Pria cantik itu terkesiap melihat sepasang mata dari anak perempuan tersebut. Mata itu beriris biru, lebih tepatnya berwarna aqua. Mata itu sangat mirip dengan mata seseorang yang rasanya pernah Peat kenal.

Tes

Tes

Satu persatu cairan bening menetes dari mata cokelat terang tersebut. Bukan dari anak perempuan yang baru saja mengaduh kesakitan, melainkan Peat yang kini meneteskan air mata. Entanlah, rasanya menatap iris aqua anak perempuan ini memantik rasa sedih yang bahkan Peat tak tahu apa. Rasanya Peat tak mau lepas dari tatapan itu.

"Paman, kenapa paman yang menangis? Huks.. Apa aku membuat kaki paman sakit? Maafkan aku.." Anak perempuan yang duduk dipangkuannya itu mulai mengusap wajah Peat yang basah. Lagi. Sentuhan familiar diwajahnya membuat dada Peat semakin sesak.

Ada apa dengan dirinya sebenarnya?

Deru napas yang berangsur kuat berhembus disamping Peat. Hawa kedatangan seseorang disampingnya membuat Peat menoleh bersamaan dengan tubuh anak perempuan yang diangkat dari pangkuannya.

"Ayah! Aku tak sengaja menabrak paman itu, huks.. Maafkan aku" Anak perempuan itu segera memeluk leher ayahnya setelah mengadu tentang kejadian yang ia alami.

"Oh Tuhan, Aom. Kau tak apa nak? Ayah khawatir" Pria yang baru datang itu memeluk erat tubuh kecil digendongannya. Matanya terpejam erat, beberapa kecupan pun ia layangkan dilengan kecil sang anak, lega setelah menemukan anaknya kembali.

Mendapat anggukan kecil dari sang puteri membuat pria dengan tubuh yang hampir mencapai 2 meter itu membuka mata. Dan sekali lagi. Jantung Peat serasa ditusuk untuk kesekian kali. Mata itu, mata yang sama dengan anak perempuan itu. Untuk kedua kalinya, mata rusa itu menangis, membasahi pipinya yang sudah mengering sebelumnya.

"Saya mohon maaf. Anak saya tak sengaja menabrak anda tuan. Maafkan anak saya"

Mengacuhkan ucapan pria didepannya, dua anak laki laki lain yang kini bersembunyi dibalik kedua kaki ayahnya menarik perhatian Peat. Anak laki laki yang tampak seumuran dengan anak perempuan itu tampak takut dengan mata yang mencuri pandang.

Berbeda dengan sang anak perempuan, kedua anak laki laki ini memiliki mata dengan iris cokelat terang, sangat terang seperti miliknya.

"Apa puteri saya membuat anda terluka tuan? Maaf, saya akan membawa kerumah sakit dan menanggung biayanya" Ucapan pria besar didepannya kembali menarik perhatiannya. Matanya kembali melihat iris aqua itu dengan bonus raut khawatir yang entah kenapa menghangatkan hatinya.

Dengan sigap Peat menyeka pipinya yang basah dan sedikit merapikan tampilannya yang mungkin acak acakan karena menangis.

"Tidak. Saya tidak terluka. Puteri anda hanya sedikit menabrak kaki saya. Itu bukan masalah"

"Tapi- anda menangis"

Seketika Peat merasa kehilangan kemampuannya berbicara. Ada rasa malu karena dirinya yang tiba tiba menangis dihadapan orang asing.

"Ah, itu- saya-"

"Ah, ya saya mengerti. Ini mengenai teman kencan bukan?" Peat hanya mengangguk kecil, tak ingin menjelaskan lebih lanjut karena ia sendiri pun tak tau alasan kenapa dirinya menangis.

"Yasudah. Kalau begitu saya pamit. Maafkan perbuatan puteri saya. Semoga anda cepat berbaikan dengan teman kencan anda. Permisi"

Grep

Tangan Peat reflek memegang ujung kemeja pria yang baru saja berpamitan padanya. Membuat pria yang sepertinya berada diawal kepala tiga itu menoleh menatap kearah Peat.

"Anu.. Bolehkah saya memeluk anak anda? Ketiganya. Sebentar saja. Bolehkah?"

-----

Rangkulan pada bahu kanannya membuat Fort terkesiap. Dirinya yang setengah tertidur setelah hampir satu minggu lamanya terjaga cukup terkejut dengan gerakan kecil.

"Oi Yang Mulia. Tidurlah dengan posisi yang benar atau tubuhmu akan sakit"

"Siapa yang tidur? Jangan berisik Boss. Sebaiknya kau pergi dan urus istrimu" Fort menepis tangan yang masih bertengger dibahunya. Matanya yang mendadak segar memilih menatap wajah cantik omeganya.

"Cih. Kupikir tidur bukanlah sebuah aib sampai kau malu mengakuinya. Noeul tertidur, dia sepertinya kelelahan karena rasa sakit. Oh iya, kabar baik. Noeul sepertinya akan melahirkan besok. Meskipun untuk seorang omega laki laki tak harus menunggu kepala bayi berada dibawah, tapi sepertinya kebiasaan lebih mendominasi" Pria dengan rambut yang terikat setengah itu mendudukan dirinya diatas sofa, kepalanya ia tengadahkan hingga lehernya bisa relaks diatas sandaran sofa.

"Benarkah? Karena itu kau terlihat berantakan seperti ini?"

Pria yang akan menambah status sebagai seorang Daddy itu terlihat sangat kacau. Kemejanya terlihat kusut dengan kancing yang terbuka dibagian atas, bahkan kancing ketiga masih menggantung dengan seutas tali yang hampir putus. Rambut yang diikat itu terlihat mencuat disana sini. Kulit tangannya penuh bekas cakar yang masih memerah.

"Hah... Sesekali menjadi pelampiasan tak buruk juga. Mereka sudah membawa bayi selama 9 bulan lebih, luka seperti ini tak bisa dibandingkan dengan apa yang mereka rasakan" Boss mulai memejamkan matanya, hari ini melelahkan, Noeul dan jagoannya benar benar menghabisinya.

"Cih, bersyukurlah. Bahkan aku tak menemaninya selama masa sulit. Aku terlalu buruk untuk menjadi seorang suami"

"Dan ayah"

"Eum, dan ayah"

"Kau buruk menjadi seorang ayah karena sampai sekarang kau belum menyentuh mereka Fort." Boss menegakan tubuhnya, matanya kini menatap pria besar yang tengah menatap omeganya.

"Aku... Tak bisa"

"Hentikan alasan bodohmu dan lihatlah anak anakmu Fort. Mereka membutuhkan kehangatan orang tua saat ini. Betapa buruknya kelahiran mereka yang tak mendapatkan pelukan dari kedua orang tuanya"

"..."

"Hei. Para bayi itu tak akan mengerti dan tak bisa mengerti mengenai masalah ini. Yang mereka mau hanyalah sosok orang tua yang merangkul dan merengkuh mereka. Bayangkan betapa menyedihkannya saat mereka tau jika mereka terbuang seperti ini."

"Mereka tidak terbuang!"

"Mereka terbuang Fort! Kau egois karena hanya memikirkan kenyamanan hatimu sendiri. Dan aku yakin Peat akan seribu persen setuju denganku"

"Aku..."

"Terserah. Jika kau tetap ingin beralasan itu terserah padamu. Tapi jangan menyesal. Jangan menyesal jika anakmu nanti merasa asing terhadapmu"

Kini pria yang masih duduk diatas kursi besi itu terdiam sepeninggalan Boss yang memilih keluar dari ruangan.

-----

Tanpa sadar sepasang sepatu berwarna cokelat tua berdiri didepan kaca tembus pandang disalah satu ruangan rumah sakit. Jejeran boks bayi terlihat padat namun tak semua terisi. Tak sampai sepuluh bayi disana.

Setiap boks yang terisi diberi tanda pengenal. Nama bayi, tanggal lahir dan bobot lahir. Tak lupa nama orang tua yang juga dituliskan sebagai tambahan.

Iris aqua itu menatap lekat tiga boks yang berada diujung kanan ruangan. Boks dengan bagian nama bayi yang masih kosong. Anak kembarnya. Tiga jagoan kecilnya. Belum bernama.

Seperti perkiraannya. Tangisan yang pecah saat pertama kali melihat wajah lucu yang tertidur lelap. Sakit menjalari tubuhnya. Tubuhnya bagai diremuk inci demi inci. Sekelebat kesalahan akan papa dari bayi bayi itu kembali menghantuinya. Dengan bibir bawah yang tergigit Fort mencoba meredam isakannya.

"Maafkan ayah sayang. Mari bertemu papa"

TBC


Komentar

Postingan populer dari blog ini

FORTPEAT - SURROGATE 2🔞

FORTPEAT - JINX - 16 🔞

FORTPEAT - RARE SPECIES - 5 🔞