FORTPEAT - RARE SPECIES - 43
Tungkai panjang itu goyang, lemas hingga tak sanggup lagi berdiri. Tubuhnya jatuh terduduk diatas lantai dingin. Matanya yang berurai air mata melirik lampu merah menyala yang berada diatas sepasang pintu putih. Tangannya menarik rambutnya keatas cukup kuat, menunjukkan betapa frustasinya ia saat ini.
Baru sebentar ia merasa kembali hidup setelah berbulan bulan lamanya mati. Baru sebentar tangannya menggenggam erat tangan kecil itu. Baru sebentar ia mendekap tubuh ringkih itu. Baru sebentar, baru sebentar.
Hei, ia tau jika dirinya selama ini banyak melakukan kesalahan. Dunia malam, player dan seks bebas. Dirinya hanyalah manusia yang tergiur dengan adrenalin. Ia paham jika dirinya memang layak dihukum. Bahkan saat memiliki Peat disisinya ia masih bergumul diranjang orang lain.
Namun bolehkah ia mendapatkan kesempatan terakhir?
Ia ingin memperbaiki segalanya. Menyirami omega itu dengan cinta dan kasih sayangnya. Ia ingin membahagiakan Peat. Ia ingin mengobati setiap luka yang terbentuk ditiap sudut pria cantik itu.
Dan kini ia takut.
Ia takut jika Peat akan pergi meninggalkannya selamanya. Layaknya mimpi paling buruk, kepergian Peat akan menjadi titik terakhir dihidupnya. Fort tak akan pernah bisa hidup tanpa pria itu.
Layaknya candu, Peat sudah menjadi obat untuknya. Berbulan bulan ia hidup layaknya orang gila hanya karena kehilangan, dan kemudian ia kembali waras setelah bertemu obatnya. Namun ia tak bisa menjamin jika nyawanya akan selamat saat kehilangan Peat untuk selamanya.
Ia sangat membutuhkan Peat disisinya.
Kenangan buruk pun silih berganti melintasi kepala Fort. Kejahatan pertamanya yang membawa paksa Peat kedalam istana, kemudian ia hampir menanam benih pada omega itu ketika perasaan mereka masih asing satu sama lain. Fort ingat betapa kasarnya tiap kalimat yang ia lontarkan dihadapan Peat. Ia juga membiarkan pria cantik itu menunggunya diruang makan ketika ia berada diatas ranjang orang lain. Ia membiarkan Peat sendirian saat menghadapi Jom. Ia membiarkan Peat menanggung sakitnya jarum suntik dan obat obatan sendirian. Dan karena keteledorannya, ia juga berakhir diatas ranjang bersama orang lain untuk kali kedua.
Bajingan.
Hal terburuk yang ia lakukan ialah tak mempercayai omega itu. Ia menampar Peat hingga hidungnya mengeluarkan darah dan meninggalkannya sendirian ditaman bermain yang kosong. Bahkan ia membiarkan Peat ditarik keluar mansion dan hanya melihat bagaimana kotornya tubuh itu setelah dilempari berbagai telur dan tomat busuk.
Mengerikan.
Dibandingkan Jom dan ayahnya, bagi Fort mereka bukanlah apa apa, dirinyalah penjahat sebenarnya. Ialah penyumbang luka terbanyak. Peat sangat menderita karenanya.
Mata sembab itu kemudian menangkap lampu merah ruang operasi berubah menjadi hijau. Perasaan lega mengetahui operasi berjalan normal membuat Fort buru buru berdiri dari posisinya. Dengan segera pria besar itu berjalan kearah pintu yang masih tertutup.
Tak hanya Fort, beberapa orang yang sedari tadi berdiri diujung lorong pun bergegas berlari kearah pintu ruang operasi. Satu diantaranya kini terlihat merangkul bahu Fort dan melayangkan beberapa tepukan penguat disana.
"Semuanya akan baik baik saja" Bisikan disamping telinganya membuat Fort kembali menghela napas. Ia melirik kearah Boss sebentar dan melemparkan senyuman tipis. Setelah itu Fort kembali menatap kearah pintu operasi, menunggu kemunculan seseorang dari balik sana.
Tak lama, pintu itu terbuka dan menampakan seorang dokter lengkap dengan baju operasinya. Wajah lelah yang dipaksa memberi senyum pun terlihat. Prosedural. Menghindari terjadinya mental breakdown dari keluarga pasien.
"Maaf, saya ingin berbicara dengan wali pasien Wasuthorn"
"Saya dokter"
Jantung Fort serasa diremas kuat ketika melihat sepasang sepatu yang maju satu langkah didepannya. Khun Tan. Pria berumur yang masih gagah itu maju sebagai wali dari omeganya. Bukan dirinya.
Miris bukan?
Tapi memang seperti itu adanya. Statusnya saat ini hanyalah orang asing bagi Peat. Meski sebelumnya mereka sepakat menamai kekasih satu sama lain, tentu kuasanya jauh berbeda dari Khun Tan yang memiliki kekuasaan penuh pada Peat dengan title sebagai paman. Jika saja dirinya dan Peat masih terikat status mate, tentu dengan bangga ia akan melangkah menemui sang dokter.
Namun apapun itu, siapapun itu. Yang terpenting saat ini adalah keselamatan Peat. Persetan dengan status dan perwalian, omeganya didalam sana tetaplah prioritas utama.
"Baik. Puji syukur, operasi yang dilakukan berjalan lancar. Ada sedikit kendala namun semuanya teratasi dengan baik. Ketiga bayi berhasil dikeluarkan dengan selamat. Namun karena bobot tubuh yang kecil dan terlahir prematur, saat ini ketiganya akan dipindahkan ke NICU dan dimasukan kedalam inkubator. Mengenai kondisi Khun Peat selanjutnya saya harapkan tuan ikut dengan saya"
Grep
"Khun Tan, saya ikut"
-----
"Disini, terlihat penggumpalan darah pada otak Khun Peat. Beruntungnya Khun Peat dapat sampai disini dan ditangani ketika masih dalam golden time. Jika saja terlambat, maka banyak kemungkinan buruk yang akan terjadi. Namun hal ini sangat janggal jika disebutkan sebagai penyebab dari kondisi Khun Peat saat ini. Eklampsia. Pasalnya saat saya melihat rekam medis dari dokter kandungan pribadi Khun Peat, saya tak melihat penurunan kondisi tubuh berarti. Namun saat masuk hari ini, beliau memiliki tekanan darah yang cukup tinggi. Maaf, saya ingin bertanya, apa Khun Peat buta?" Dokter dengan name tag Tawan Vihokratana itu menaikan kacamatanya yang sedikit turun, tangannya sibuk menunjuk titik titik pada gambar dilayar monitor komputer yang sedikit ia putar hingga mereka bisa melihat dengan seksama, matanya juga terlihat melirik bergantian kearah Fort dan Khun Tan.
"Ya dok. Dua minggu lalu Peat kehilangan penglihatannya" Lirih Fort, wajah lelahnya terlihat begitu khawatir menanti respon dari sang dokter.
"Ah, benarkah? Kalau begitu masuk akal. Kakinya mengalami pembengkakan dibagian sendi, hal ini berlangsung lama hingga kakinya menjadi sakit ketika digerakan. Oleh sebab itu terjadi penurunan fungsi pada kakinya. Matanya juga mengalami penurunan fungsi penglihatan. Hal hal ini biasanya merupakan gejala dari eklampsia. Kemudian, apakah Khun Peat sering mengeluhkan sakit kepala?" Tak lagi menatap Khun Tan, dokter itu hanya menatap kearah Fort, seolah tau siapa disini yang mengetahui kondisi pasiennya.
"Tidak dok."
"Seharusnya Khun Peat merasakan sakit kepala hebat jika kondisinya seperti ini. Eklampsia biasanya ditandai dengan adanya kejang, darah ketika mengandung cenderung mengental, dan oleh karena itu episode kejang yang terjadi akan menginduksi terjadinya penyumbatan di pembuluh darah. Penyumbatan di pembuluh darah otaknya menyebabkan kurangnya asupan oksigen dan kemudian berujung koma. Seperti yang saya bilang sebelumnya, keberuntungan berpihak pada kita. Khun Peat sudah ditangani dengan semestinya dan saat ini kita hanya perlu menunggu sampai Khun Peat sadarkan diri" Pria dengan kacamata itu kembali memutar monitor komputer kearahnya diiringi senyum khas yang menenangkan.
"Dokter"
"Ya?"
"Reject. Apa ada hubungannya antara reject dan kondisi Peat?"
Seketika senyum Tawan luntur, wajahnya berganti keras setelah mendengar penuturan Fort.
"Harusnya saya tahu jika ini bukan kasus biasa" Helaan panjang dari sang dokter membuat kekhawatiran pada dua pria didepannya semakin tinggi. Kepalan tangan pada tangan mereka menunjukkan bagaimana cemasnya mereka dengan perkataan sang dokter selanjutnya
"Saya akan berusaha semaksimal mungkin. Dan begitu juga dengan anda serta Khun Tan. Dalam kasus seperti ini, medis tidak selalu menjadi pilihan utama. Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik demi keselamatan Khun Peat"
-----
Derap langkah dari bagian belakang rumah terdengar beriringan dengan gelak tawa renyah dari seorang anak laki laki berumur 6 tahun. Mata yang kecokelatan bak mata rusa terlihat berbinar bahagia ketika tau dirinya masih dikejar oleh sang ayah dari arah belakang.
Sinar matahari pagi yang tak terlalu terik dan tidak mendung, membuat suasana pagi hari itu semakin baik. Belum lagi suara sang ibu yang memanggil mereka agar segera masuk dan sarapan bersama.
Tak mau menghiraukan panggilan satu satunya wanita dirumah mereka, kedua pria dengan umur jauh berbeda itu berlari membelokan tujuan mereka menuju pintu masuk belakang, namun kaki panjang sang ayah terlihat sangat lambat seperti membiarkan jagoannya berada didepannya.
Tuk
Bugh
"Aw! Hueee" Dalam sekejap gelak tawa berubah menjadi rengekan kesakitan dari si jagoan yang tersandung undukan teras. Bocah itu jatuh tersungkur dengan kedua tangan dan lututnya yang menumpu bobot tubuh. Uraian air mata seketika membanjiri pipi bayinya dengan mulut yang terbuka lebar untuk meraung.
Dengan sigap kedua orang tua tersebut berlari mendekati sang anak, namun karena jarak yang berbeda, sang ayah lebih dulu mencapai sang anak dibandingkan sang ibu. Lirihan sedih sebagai bentuk pengertian dari sang ayah jika jagoannya tengah terluka membuat bocah 6 tahun itu merengek bersama ayahnya. Perbedaan suara diantara keduanya membuat rumah megah dengan tiga lantai itu semakin gaduh, hingga sang ibu akhirnya turun tangan karena telinganya yang tak kunjung memperoleh kedamaian.
"Aduh ayah, kenapa suaranya malah semakin besar. Ayo nak, sini sama ibu" Wanita yang belum menginjak kepala tiga itu segera meraih tubuh Peat kecil dari gendongan sang suami. Menangkupnya kedada dan mulai menopang pantat sang anak dengan kedua tangannya.
Anak dengan umur 6 tahun, bahkan beratnya hampir 20 kg. Peat sangat berat untuk ibunya angkat, namun bagaimana lagi, anak semata wayangnya menangis hingga tersedu sedu, tak mungkin ia biarkan dengan suaminya yang bahkan ikut merengek bersama.
"Oh anak ibu, pasti sakit ya nak? Dimana yang sakit? Mau ibu bantu obati?" Setelah mendudukan sang putera diatas kursi makan, wanita cantik itu kemudian berlutut dan mulai membersihkan kedua telapak tangan dan lutut Peat yang memerah, meniupnya dan kemudian berpura pura merapalkan mantra diatas luka.
"Bagaimana? Masih sakit?" Tangis yang mulai reda namun sesekali diiringi sentakan kecil mulai membawa ketenangan. Peat yang tersihir dengan mantra ibunya menggeleng pelan. Seketika rasanya luka di tangan dan lututnya sembuh.
"Terimakasih ibu, huks.."
"Iya sayang, sama sama" Senyum lembut dengan usapan dikepala Peat membuatnya berhenti dari tangis. Tangan kecilnya mulai mengusap kasar sisa air mata dipelupuk mata.
Dalam sekejap raut yang penuh tangis itu kembali berubah ceria. Bocah dengan hidung merah dan mata bengkak itu mulai memekik kegirangan saat melihat roti panggang, telur goreng dan sosis berada diatas piring biru miliknya. Dan tentu disampingnya terisi gelas dengan susu hangat. Makanan dan minuman favorit miliknya sudah siap disantap.
"Kkk... Apa sesenang itu anak ayah?"
"Um! Hihihi" Kikikan geli dari sang putera membuat sepasang suami istri itu ikut tertawa. Cinta terpancar dari masing masing mata yang terbuka. Rasa hangat menjalari tubuh masing masing dengan suka cita.
Oh Tuhan, pagi yang hangat.
-----
Suara dari alat patient monitor disebelah ranjang bangsal rumah sakit terdengar normal seperti biasanya. Tak cepat dan tak lambat. Ruangan yang cukup luas berukuran 8 x 6 meter itu memiliki penerangan yang cukup dari sinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela yang tersibak tirai.
Pria dengan rambut terurai diatas bantal rumah sakit itu terlihat dipasangi banyak kabel. Ah, apa selang? Yang pasti begitu banyak yang tertempel ditubuh pria yang masih tak sadarkan diri sejak 3 hari yang lalu. Diujung telunjuk kirinya terdapat penjepit yang terhubung kemonitor, dipergelangan tangan kirinya terdapat satu selang kateter yang atasnya tertutup, satu selang masuk melalui mulut, dua lobang hidung pun diisi dengan selang oksigen, serta beberapa kabel yang ditempel dibagian dada.
Hah... Hatinya sakit melihat omeganya kembali menderita.
Iris aqua itu terpaku melihat sosok yang terbaring tak bergerak dihadapannya. Dari kursi besi yang ia duduki, matanya terus menelisik setiap inci tubuh omega didepannya.
Kira kira sedang apa omeganya saat ini?
Dimana Peat sekarang?
Kenapa tidurnya begitu nyenyak?
Apa disana begitu menyenangkan hingga Peat enggan untuk bangun?
Puk
"Tidurlah Yang Mulia. Saya akan menjaga Khun Peat" Tepukan dibahu Fort membuat pria dengan iris aqua itu menoleh kebelakang. Matanya menangkap sosok Khun Tan dengan setelan formal biasanya, tengah tersenyum tipis kearahnya.
"Tak apa Khun. Saya sudah tidur semalam. Saya masih ingin disini." Fort kembali menolehkan wajahnya kearah Peat, tak ada kata lelah untuknya. Bahkan ia sanggup duduk disini berhari hari hanya dengan menatap wajah cantik yang tertidur itu.
"Khun Peat tak akan menyukainya jika anda memaksakan diri seperti ini Yang Mulia. Saya tak akan memaksa anda pulang. Tidurlah dikasur itu untuk beberapa jam. Saya tak akan berani meninggalkan Khun Peat tanpa ijin dari anda"
Tak hanya kata kata hormat yang dikeluarkan oleh Khun Tan, tenaganya juga ia keluarkan untuk menyeret paksa tubuh Fort agar beranjak dari posisinya menuju kasur yang disediakan khusus di ruang VVIP tersebut.
Pertama kalinya Fort membiarkan tubuhnya diseret. Dalam segi kekuatan Khun Tan bukanlah apa apa untuknya meskipun besar tubuh mereka tak jauh berbeda, tentu dirinya masih lebih besar. Namun tenaganya cukup terkuras habis karena tak tidur selama berhari hari. Jika dirinya tertidur, dalam sekejap matanya akan kembali terbuka. Bukan dirinya, melainkan Judy yang akan mengisi tubuhnya dan mengawasi Peat.
Kesepakatan antar mereka. Baik Fort maupun Judy tak akan mau meninggalkan omeganya sendirian. Taktik ini biasanya hanya dilakukan ketika adanya peperangan, dan tentu diimbangi dengan latihan sebelumnya. Namun saat ini tubuh mereka melakukannya tanpa persiapan sehingga energi mudah terkuras. Belum lagi kondisi mental yang tak mendukung. Semuanya serba kekurangan.
Buk
Tubuh besar Fort dilempar begitu saja keatas kasur hingga besi penyangganya sedikit berderit karena ditimpa bobot berat tiba tiba.
"Mohon maaf Yang Mulia. Anggap saja ini sebagai bentuk perhatian dari calon mertua. Silahkan tidur. Saya bangunkan setelah 6 jam." Khun Tan kembali membalikkan tubuhnya dan melangkah menuju kursi besi yang sebelumnya Fort duduki. Tangannya kemudian mengeluarkan ponsel miliknya dan mulai bergerilya diatas sana.
Ia tetap harus bekerja bukan?
-----
Bocah dengan tinggi yang tak melebihi 150 cm itu tampak menatap kesal kearah pria dengan setelan formal didepannya. Tangannya yang menggenggam erat pensil itu terlihat memutih. Ia marah. Ia ingin pergi dengan ayah dan ibu namun tidak diizinkan. Dan buruknya ia disuruh belajar dan menyelesaikan pekerjaan rumah yang bahkan tak ia mengerti satupun.
"Paman! Aku pusing dan aku tak menyukai hitungan! Bagaimana bisa kau tega memaksaku menyelesaikan deretan angka ini?!" Menuju remaja membuat anak dengan mata cokelat terang itu cenderung labil. Perasaan menggebu gebu dengan mendahulukan mulut dibandingkan berpikir. Tak sadar jika perkataannya berisi nada tinggi yang tak seharusnya dilayangkan pada pengawal pribadinya. Khun Tan.
"Maaf Tuan muda. Namun Nyonya dan Tuan ingin anda menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum mereka kembali dari kerja" Pria dengan setelan formal itu hanya menumpu kedua tangannya didepan perut. Kepalanya tegap tanpa adanya raut yang berarti. Sudah biasa, jadi ia tak akan marah hanya dengan hal seperti itu.
Bocah berumur 13 tahun itu seketika tantrum. Melempar buku dan alat tulisnya kearah sang pengawal dengan wajah yang merah padam. Teriakannya sangat melengking hingga terdengar ke perkarangan rumah.
"Jika tak ada yang mau bermain denganku setidaknya biarkan aku keluar! Argh! Aku ingin bertemu teman teman! Kenapa tak ada yang mengerti?! Kalian semua menyebalkan! Keluarga ini menyebalkan!" Setelah mengeluarkan isi pikirannya, Peat segera berlari menuju kamarnya dilantai 3. Mendorong paksa pintu berwarna biru itu dan segera menelungkupkan diri diatas ranjang.
Semuanya jahat!
Tak ada yang mengerti dirinya.
Ia iri.
Ia iri dengan teman teman sekelasnya yang membuat janji sepulang sekolah.
Ia iri dengan teman teman sekelasnya yang sudah berdiri di lapangan sepak bola dengan jersey lusuh masing masing.
Ia iri dengan teman teman sekelasnya yang menerobos hujan.
Ia iri dengan teman teman sekelasnya yang saling menginap dirumah satu sama lain.
Ia iri.
Sangat iri.
Hidupnya terlalu banyak batasan
Hidupnya terlalu banyak larangan.
Tidak boleh ini.
Tidak boleh itu.
Semuanya menyebalkan.
Perlahan pintu berwarna biru itu didorong dari arah luar. Menampakan sesosok wanita dengan rok span diatas lutut dan blazer abu abu yang masih menggantung diatas lengan. Dengan senyum tipisnya wanita itu melangkah dan duduk disamping Peat. Tangannya terangkat mengusap surai gelap sang putera, ingin sang anak tahu jika ibunya berada disisinya.
"Ibu.." Bocah dengan kulit putih itupun menghambur memeluk sang ibu. Wajah basahnya ia sembunyikan didada sang ibu. Isak tangisnya mengundang wanita cantik itu untuk menepuk pelan punggung anaknya.
"Aku- huks... Aku meneriaki paman Tan. Apa dia marah?" Suara kecil itu mengadu, pikiran mengenai keiriannya ia kesampingkan karena dirinya yang cukup takut setelah memarahi pengawalnya.
"Kenapa hm? Apa paman Tan berbuat salah?" Gelengan cepat ia dapatkan dari sang anak, membuat satu kecupan akhirnya melayang dipuncak kepala Peat.
"Aku marah. Aku ingin main, seperti teman teman yang lain. Huks.. Peat tak punya teman ibu" Peat menarik wajahnya dari dada sang ibu, menatap sendu dengan air mata yang terus menetes.
"Astaga... Anak ibu pasti kesal ya? Maafkan ibu ya sayang" Tangan sang ibu bergerak menyeka pipi basah itu, kemudian menyisir rambut sang anak kebelakang dan merapikannya.
Sedih mendengar penuturan buah hatinya. Ketakutan tak berdasar yang mereka miliki membuat anak semata wayang mereka menjadi terkekang. Jika saja kondisi pekerjaan mereka bukanlah kelompok mafia, mereka tak mungkin melarang Peat menghabiskan waktu lebih banyak dengan teman temannya.
Ketakutan jika musuh mengetahui identitas Peat. Ketakutan jika Peat akan diculik. Ketakutan jika Peat akan hilang dari tangan mereka.
Peat. Anak itu istimewa. Entah apa yang terjadi, namun Peat tak sama dengan mereka.
Seorang omega.
Dan kabar lainnya ialah Peat yang memiliki pair dari kalangan atas.
Sebagai orang tua mereka cukup egois. Ingin mempertahankan sang putera untuk terus bersama. Peat adalah satu satu sumber napas mereka diantara buruknya dunia.
Mereka akan melindungi Peat, apapun caranya. Baik dari manusia, lingkungan terutama hujan. Peat harus berada ditempat teraman.
-----
Ruang temaram itu hanya disinari lampu dari balik pintu kamar mandi yang terbuka. Suasana tengah malam yang seharusnya sunyi kembali diisi isak kecil dari pria besar yang berada disebuah ruang inap VVIP.
Pria itu tampak duduk diatas ranjang bangsal rumah sakit, tepat disebelah tubuh yang masih betah untuk terbaring selama satu bulan.
Hanya dirinya yang menempelkan bibirnya cukup lama diatas dahi sang omega. Air matanya terus berjatuhan membasahi rambut dan bantal yang berada dibawahnya.
Tak seujung kuku pun rasa terpukulnya berkurang. Tak seujung kuku pun perasaannya menjadi lebih baik. Sebaliknya, perasaannya kian memburuk bahkan cendrung menjadi takut. Tiap kali matanya terpejam, kilasan mimpi buruk selalu mendatanginya, mengganggunya. Membuatnya cepat cepat bertukar ruh dengan Judy.
Tubuhnya semakin lama semakin melemah. Dan kondisinya diperparah dengan dirinya yang diharuskan bolak balik antara Azea dan Atreka.
Boss meminta tolong padanya untuk diberikan space waktu untuk satu hingga dua bulan kedepan. Noeul akan melahirkan dalam hitungan hari, dan jelas baik Boss ataupun Noeul tak bisa mengurus kerajaan dengan baik. Rencana perubahan sistem monarki menjadi demokrasi juga belum sepenuhnya rampung.
Ini adalah konsekuensi. Dan Fort tak bisa menghindarinya. Setidaknya ia bisa menemani Peat setiap malam menjelang pagi.
Tak begitu terlihat perbedaan selain wajahnya yang terlalu pucat. Anugerah sebagai alpha membuat bentuk tubuhnua menjadi selalu bagus dalam keadaan apapun.
Tapi tak jarang ia pingsan dan mendapatkan infus nutrisi dan mineral. Pola hidupnya kacau. Dalam satu bulan ia tidur tak sampai dalam hitungan jari. 4 kali? 5 kali? Fort pun tak begitu ingat.
Apa hidupnya sudah cukup menyedihkan?
Belum?
Baik. Ia belum menyentuh bahkan menengok putera puterinya yang masih berada di ruang NICU, sama sekali. Pagi tadi ia mendapatkan kabar jika besok bayi bayi tersebut akan dipindahkan ke ruang perinatologi karena kondisi mereka yang sudah stabil.
Jika saja kondisi Peat dalam keadaan baik, bayi bayi tersebut seharusnya akan diantarkan keruang rawat inap sang omega. Namun mengingat kondisi yang tak memungkinkan dan kondisi Fort yang tak siap bertemu dengan anaknya, membuat triplet tersebut harus tinggal diruang tersebut untuk sementara waktu.
Fort tak membenci putera puterinya sama sekali. Hanya saja dirinya malu. Ia malu bertindak sebagai ayah ketika dirinya sendiri yang menghancurkan hidup dari papa mereka. Bahkan setelah hampir 7 bulan mereka hanya didampingi Peat, apakah pantas jika dirinya yang menatap mata bayi bayi itu pertama kali? Apakah pantas jika dirinya yang menyentuh bayi bayi itu untuk pertama kali? Apakah pantas jika dirinya yang memeluk bayi bayi itu pertama kali?
Tidak.
Tak pantas sama sekali.
Tatapan pertama itu harusnya milik Peat. Sentuhan pertama itu seharusnya milik Peat. Dan pelukan pertama itu seharusnya milik Peat.
Ia hanyalah seorang bajingan yang sangat beruntung memiliki seseorang sebaik Peat.
Tubuh besar itu bergetar setelah menahan isak tangisnya. Fort mengeraskan rahangnya agar semua air mata kembali surut ketempatnya.
"Aku tak akan pernah bosan untuk memberitahumu sayang. Aku sangat mencintaimu, kembalilah padaku. Aku menunggumu"
TBC
Komentar
Posting Komentar