FORTPEAT - RARE SPECIES - 42
Grep
Sebuah pegangan kuat diujung bajunya membuat Fort berhenti bangun dari posisi berbaringnya. Matanya beralih menatap makhluk kecil dengan perut besar disebelahnya. Bibir yang menekuk sedih dengan mata yang menatap tak tentu arah, namun jelas berusaha menatap kearahnya.
Belaian lembut Fort berikan diatas pipi putih yang selalu merona setiap kali mereka berdekatan. Tak habis rasa kagumnya untuk mematri indah wajah menawan dihadapannya. Begitu sempurna dan layak diagungkan.
"Mau ikut sayang?"
-----
Bunyi deras dari air mengalir dan mengguyur tubuh pria yang kini duduk didalam bathtube terdengar semarak. Pekikan kecil ketika sang alpha mulai kembali menyiram tubuh polosnya berhasil mengundang kekehan geli diantara mereka.
Tangan besar yang menggosok tiap jengkal tubuh halus didepannya membuat bibirnya tak urung dari decak kagum. Apa semua omega memang begini? Segala tentang mereka selalu halus dan mulus.
Sudah terhitung lima hari dirinya memandikan sang omega secara langsung. Semenjak mata sang pujaan tak lagi berfungsi secara normal, dengan sigap Fort berubah menjadi sepasang mata untuk Peat.
Everyday
Every hour
Every second
Everytime
Jangan tanyakan mengenai horny-thing padanya saat ini!
Sangat aneh jika dirinya biasa saja ketika melihat tubuh polos Peat didepannya. Rasanya seperti- disuguhkan?
Tapi tentu masalah itu dapat ia selesaikan sendiri. Ia tak ingin membuat omega hamil ini menerima penis dilubang senggamanya. Setidaknya nanti sampai jagoan mereka lahir.
"Dingin" Rengekan dari bibir yang memucat itu membuat Fort seketika terlonjak dan buru buru mengambil handuk untuk dililitkan ditubuh Peat.
Oh kepalanya harus disiram dengan air es sekarang juga!
Lunatic!
-----
"Makanan datang! Awas panas" Semangkok panas sop ikan akhirnya mencapai mejanya. Asap mengepul dengan aroma semerbak memenuhi ruang makan. Sebelumnya juga tersedia nasi panas yang telah diisi kedalam mangkok stainless steel, ada irisan daging panggang, telur goreng dan beberapa makanan pendamping lainnya.
"Uhm.. Aromanya." Peat sedikit memekik senang ketika aroma lezat menusuk indera penciumannya. Tangannya bertaut didepan dada dengan mata yang terpejam sebagai aksi dari kesukaannya.
"Siapa dulu? Kkk.." Tangan yang sedikit mengkilap karena peluh itu mulai menyendok nasi dan menata lauk pauk dalam porsi kecil sebelum menaruhnya didepan Peat.
"Aku penasaran"
"Tentang?"
"Sejak kapan kau pandai memasak?"
"Kata kuncinya mana?"
Peat mendengus dengan kepala yang menggeleng lelah.
"Oke, jadi sejak kapan sayang?"
"Tahun lalu?"
"Argh! Fort! Jangan menggodaku! " Peat mencebikkan bibirnya kesal dengan menatap sinis kearah Fort. Tak tau dimana sebenarnya alpha itu, namun suaranya berasal dari sebelah kirinya.
Suara gelak tawa dari arah kiri membuat Peat menghirup napasnya dalam untuk meredam kesalnya. Oh god! Kenapa pria ini menjadi jahil akhir akhir ini?
"Baiklah baiklah. Sejak kapan ya? Beberapa bulan yang lalu? Dan itu karena kau" Fort mulai membawa tangan Peat keatas meja makan dan memberi tahu setiap posisi makanan didepannya.
Peat bilang Fort hanya perlu menjadi pengganti matanya saja, karena tangannya masih sehat dan bisa digunakan. Jadi Fort hanya perlu menunjukkan posisi makanan serta apa saja jenis makanan yang tersedia.
"Karenaku?"
"Uhm. Aku terlalu merindukanmu sayang. Aku ingat jika kau sering mengunjungi dapur selama tinggal dimansion, jadi aku cukup sering berkunjung kesana. Awalnya aku hanya ingin berdiri diatas jejakmu, mencoba mengisi rasa kosong dihatiku, namun niatku perlahan berubah, aku ingin pandai memasak karena aku yakin suatu saat akan kembali bertemu denganmu. Aku ingin memasakan banyak makanan untukmu"
Fort berdiri kembali dari posisinya dan mulai mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Setelah cukup, Fort kembali mendudukan dirinya disebelah Peat. Tangannya mulai diisi oleh sepasang alat makan dan siap menelan hidangan yang tersedia.
Puk
Tiba tiba sentuhan pelan yang ragu bersarang dipelipisnya, membuat Fort menoleh dan mendapati tangan Peat sedang mengawang diudara. Seperti tau apa yang diinginkan sang omega, Fort kemudian memajukan wajahnya kearah Peat agar omega itu mudah meraih wajahnya.
Grep
"Terimakasih sayang. Aku mencintaimu" Senyum lebar diwajah yang ia pegang membuat Peat ikut tersenyum. Mereka, rasanya seperti remaja yang sedang dimabuk cinta.
Cup
"Aku juga mencintaimu. Sangat"
-----
Daun daun berguguran. Angin bertiup pelan. Matahari tak begitu terik karena sering kali tertutup awan. Udara bersih dan suasana yang tak bising. Pedesaan memang hal paling ampuh untuk menyembuhkan diri dari hiruk pikuk perkotaan.
Ya, hanya orang dari kota yang tahu betapa menenangkannya tinggal didesa yang penghuninya tak sampai 10 kepala keluarga.
Berbeda dengan para penduduk asli yang hanya merasa biasa. Bangun pagi pagi sekali untuk memulai pekerjaan dan siangnya sudah kembali kerumah untuk mengisi perut kosong dengan beberapa kepal nasi panas dari panci penanak nasi.
Begitu seterusnya hingga akhirnya datang seseorang dengan kelimpahan hati dan harta, ia datang membawa sedikit perubahan pada desa yang entah kapan terakhir kali mendapat pembaruan.
Fort. Alpha itu benar benar seperti air pelepas dahaga disaat kehausan tanpa ia sadari. Banyak yang sudah ia bangun dan perbaiki, mulai dari swalayan, klinik, listrik, lampu jalan, sumber air, serta hal hal lainnya yang menunjang kehidupan.
Leader is leader.
Passionnya benar benar tercurah dengan baik disini.
Meskipun yang ia lakukan belum rampung semua, setidaknya mendengar rasa syukur yang disampaikan setiap penduduk desa membuat Peat tersenyum lebar. Turut bangga dengan kedermawanan sang kekasih.
Tapi seharusnya Fort tak perlu repot. Ini tak seperti kewajibannya untuk membangun sebuah desa. Bahkan pulau ini berada cukup jauh dari wilayah Azea.
Satu kata yang alpha itu ucapkan sebagai pembelaan.
'Ini semua demi dirimu sayang'
Hidupnya benar benar seperti berada dalam sepatu putri kerajaan Disney bukan? Begitu diperhatikan, dimanja dan diurus sangat baik.
Namun sebahagianya Peat menerima perlakuan dari Fort, timbul sisi lain dari dirinya yang berubah gelisah.
Dirinya tak sempurna.
Ia buta.
Ia lumpuh.
Ia cacat
Ia tak bisa memberikan afeksi yang sama besarnya pada sang alpha.
Bahkan ketakutannya terasa semakin besar ketika akhir akhir ini kepalanya berdenyut hebat diiringi hentakan yang cukup kuat. Namun ia tak akan memberitahu Fort mengenai ini, karena jelas ia tak ingin membuat pria dengan kepala tiga itu khawatir dengan kondisinya. Belum lagi akhir akhir ini setiap sendi tulangnya juga merasakan ngilu yang tak kalah hebat. Sepertinya tubuhnya perlahan kehilangan fungsinya.
Setelah selesai menyapa para lansia yang tengah sibuk dengan ladang dan kebun mereka, kini sepasang kekasih itu melipir ketepi pantai. Kegiatan rutin yang selalu mereka lakukan, jamnya tak tentu, tergantung bagaimana sibuk atau tidaknya mereka hari itu.
Grep
Tangan besar itu mulai menggenggam tangan kecil yang berada diatas paha Peat. Menggantikan presensi dorongan yang Peat rasakan sepanjang jalan menjadi genggaman hangat yang menenangkan.
"Wangi pantai. Suka hm?" Suara rendah dari sang empu sukses menggetarkan hati si pendengar, membuat Peat mengulum senyum malu dan meresponnya dengan anggukan kecil.
"Aku sangat menyukai pantai sayang. Lebih tepatnya pantai ini." Peat menatap lurus kedepan, sisa memorinya mulai memproyeksi bentuk pantai yang terakhir kali ia lihat.
Meskipun tak mendapat respon verbal dari sang kekasih. Peat tau alpha itu tengah menatapnya lekat dengan tangannya yang dibawa menempel pada pipi sang alpha. Sesekali kecupan pun dilayangkan pada punggung tangannya.
"Disini sangat tenang sekaligus ramai."
"Tenang?"
"Eum, dulu pengunjungnya hanya aku. Para lansia sepertinya sudah tak menaruh minat apapun lagi disini. Mereka sudah sering?"
"Bagaimana dengan ramai?"
Senyum kecil Peat saat memorinya kembali terlintas membuat Fort juga ikut tersenyum. Belum lewat satu bulan ia berada disini, namun Fort menyadari jika Peat tersenyum lebih banyak disini dibandingkan saat ia berada diistana kerajaan, dan Fort menyukainya.
"Pejamkan matamu"
"Uhuh.." Iris aqua itu terpejam, mengikuti saran dari sang submisif.
"Lalu rasakan"
"Wow!"
"Menakjubkan bukan?"
"Sangat!"
Gosh! Fort tak tahu jika dirinya akan se-excited ini hanya dengan mendengar suara deburan ombak. Bahkan suara riak kecil setelah ombak pun terdengar berirama ditelinganya, menarik. Gesekan antar daun dari pohon tembakau juga terdengar merdu. Suara binatang kecil yang entah apa jenisnya juga ikut tercampur. Benar benar menakjubkan.
Peat terkekeh kecil saat mendengar suara takjub dari sang alpha. Entahlah, rasanya ada rasa bangga karena memperkenalkan sesuatu yang keren pada mantan calon Raja ini.
Ah- benar,
"Sayang, boleh aku bertanya sesuatu?"
"Iam all ears babe"
"Maaf jika ini tak membuatmu nyaman nantinya, tak perlu dijawab jika rasanya tak begitu penting. Kau benar tak akan kembali mengambil alih tahtamu?"
Tak tahu apakah ia bisa sedikit lega karena omega didepannya tak bisa melihat, namun Fort benar benar tak bisa menyembunyikan rasa tidak sukanya saat mendengar pertanyaan Peat.
Apakah ia terlihat terlalu obsesi pada tahta selama ini? Jika usahanya tak diapresiasi dengan semestinya, setidaknya ia ingin Peat hanya diam dan menerimanya. Well, disini ia tetaplah seorang manusia. Hatinya tak seputih dan sesuci malaikat ataupun dewa. Ia bisa kesal, marah bahkan muak.
Rasanya ia seperti ditolak, rasanya seperti dirinya tak seharusnya berada disini, ia tak seharusnya mencari sang omega. Seburuk apa sebenarnya dirinya dimata Peat?
Entah dirinya yang saat ini terlalu sensitif, namun rasanya Peat seperti mengatakan jika usahanya kesini hanyalah sia sia.
"Hei, kau marah? Maaf, aku tak bermaksud untuk mengusirmu. Hanya saja aku tiba tiba berpikir mengenai hal itu." Kini Peat balik menggenggam tangan Fort dengan kedua tangannya, sedikit memiringkan tubuhnya untuk menghadap sang alpha. Rautnya menggambarkan jika dirinya merasa bersalah dengan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan.
"Kenapa?"
"Tidak ada alasan, hanya terlintas begitu saja. Maaf"
"Baiklah, begini saja. Jika kau menginginkanku kembali maka aku akan kembali. Dan jika kau menginginkanku tetap disini, maka aku akan disini. Aku akan menuruti semua kemauanmu sayang, karena aku tak ingin kau tak merasa nyaman, bahkan jika kau menyuruhku menenggelamkan diri disini sekarang juga akan aku lakukan" Kini kedua pasang tangan itu saling tumpang tindih diatas paha Peat. Mata dengan iris aqua itu menatap lekat paras cantik didepannya sambil menunggu jawaban. Hatinya tak enak, semoga Peat mengerti jika ia benar benar tak suka dengan pertanyaan Peat. Dan semoga Peat mengerti jika perasaannya sudah terlalu dalam sekarang.
Cukup lama jeda diam mengambil alih waktu. Kepala Peat berkecamuk. Memikirkan kecacatannya yang hanya akan mengganggu kenyaman keseharian Fort. Memikirkan dirinya yang tak mampu membalas afeksi sebesar yang Fort berikan. Memikirkan betapa egoisnya dirinya pada Boss dan Noeul karena melimpahkan beban seberat itu pada mereka. Memikirkan betapa egoisnya dirinya pada rakyat Azea jika menahan Fort disisinya.
Hei! Dirinya dulu bahkan merencanakan banyak demi kemakmuran Azea. Melakukan serangkaian pelatihan demi menjadi pantas dan menjadi kebanggaan rakyat Azea. Melakukan berbagai rencana dan investigasi demi keselamatan rakyat Azea.
Rasanya dirinya tak sepadan dengan bayaran sebesar itu.
Tapi-
Bolehkah sekali ini saja dirinya menjadi egois?
Menyimpan alpha ini hanya untuknya sendiri?
Setidaknya sampai dirinya pergi dari dunia ini nantinya.
"Sekali saja, aku ingin egois. Bolehkah?"
"Sure, tentu"
-----
Seperti malam malam lainnya, kedua insan dalam kesenjangan perbedaan tubuh itu terlihat menghangatkan diri satu sama lain. Si besar menampung kepala sikecil diatas dadanya yang tak tertutupi apapun. Tangannya berputar mengelilingi bahu sang submisif dan sesekali memberikan tepukan kecil dibahu sempit tersebut.
Raut keduanya terlihat penuh nyaman. Hangat dari tubuh masing masing seolah membalut mereka, hingga rasanya tak perlu lagi protes atau berbicara. Menempel dan semuanya terpenuhi, baik raga maupun jiwa.
Tuk
Keduanya tersentak begitu merasakan tendangan kecil dari dalam perut Peat. Tangan lain Fort yang bertengger diatas perut Peat sedari tadi untuk memberikan elusan pelan, sedikit terlambung karena terkejut.
"Wow! Apa itu?!"
Tak yakin dengan apa yang ia rasakan dan lihat. Sebuah jejak kaki kecil tercetak dengan jelas pada perut Peat, hingga membuat mata besarnya semakin membulat lebih besar dari seharusnya. Bahkan jantungnya berdebar kencang seperti saat pertama kali mendengar detak jantung bayi bayi didalam perut Peat.
"Kau lihat?"
"Ya! Ada kaki kecil tadi disana!"
"Benarkah? Berapa kaki?"
"Sshhh.. Aku tak yakin berapa, tapi satu kaki sangat jelas. Apa itu mereka?"
Sang omega mengangguk semangat, hatinya dijalari rasa hangat yang tak bisa dibayangkan. Dengan tendangan sekuat itu, artinya anaknya sangat sehat bukan?
Selama ini hanya dirinya yang merasakan pergerakan para bayi tersebut. Dokter juga menyebutkan jika kandungannya tak sekuat kandungan omega lain karena kondisi tubuh yang Peat alami. Hingga sejak usia kandungan 18 minggu, Peat tak merasakan pergerakan yang begitu berarti. Namun Peat selalu bersyukur, karena setiap kali melakukan check up, bayinya tak memiliki kendala berarti yang dapat mengancam nyawa.
Namun kali ini rasanya beda. Tak hanya dirinya yang merasakan, tapi juga Fort. Bahkan tendangan itu cukup kuat hingga menghasilkan cetakan.
Cup
"Aku mencintaimu sayang. Terimakasih" Kecupan dipelipis Peat membuat sang empu tersenyum lebar diiringi genangan air dipelupuk mata. Ia terharu dengan situasi yang ada.
Pria besar itu kemudian perlahan menurunkan tubuh sang omega hingga kini kepala Peat beralaskan langsung dengan bantal. Buru buru Fort sedikit menggeser tubuhnya kebawah dan segera menghadap kearah perut Peat yang hanya tertutupi satu lapis baju tidur.
"Hei sayang, boleh aku angkat sedikit bajumu? Aku ingin menyapa tiga beruang ini" Tangan Fort mengetuk kecil pusar Peat dengan mata yang melirik wajah sang omega, menanti persetujuan dari sang pengandung.
Dengusan kecil serta senyum merekah terlihat ketika Fort mendapatkan anggukan dari Peat. Membuat tangannya segera mengangkat baju tidur yang Peat gunakan hingga sebatas diafragma.
Gunungan besar perut pun tersaji didepan mata Fort. Matanya memperhatikan dengan seksama perut tersebut dengan tangan yang bergerak memutar mengitarinya.
"Oh!"
Sesekali Fort tersentak ketika mendapati perut Peat yang bergoyang goyang kecil. Perut dengan kulit yang tampak memiliki stretch mark dibagian mendekati kemaluan itu terlihat tak pernah diam. Mereka bergerak cukup aktif walaupun samar.
"Hai beruang jagoan! Terimakasih sudah menyapaku dan papamu hari ini."
Oh rasanya Peat ingin memohon sekarang juga agar bisa melihat situasi yang terjadi didepan perutnya. Nada suara bangga yang Fort gunakan didepan buah hati mereka, membuat Peat membayangkan betapa sumringahnya wajah sang alpha.
Betapa indahnya gambar tersebut, seharusnya matanya menunggu momen ini terjadi sebelum benar benar kehilangan fungsinya.
"Hei ayah, terimakasih juga sudah menyapa kami" Fort melirik kearah Peat yang kini mengeluarkan suara anak kecil, berpura pura menjadi anak mereka sebagai respon dari pernyataannya. Kekehan ringan pun keluar dari mulut Fort karena tingkah menggemaskan yang Peat lakukan.
"Tentu. Jadilah anak baik yang tidak menyusahkan papa, oke?"
"Oke ayah! Aku mencintaimu"
"Kkk... Aku juga mencintaimu para beruang jagoan!"
Cup
Fort mengecup perut besar itu sebelum menutupnya kembali dengan baju Peat. Kini tangannya beralih mengambil selimut yang terlipat diujung kaki Peat dan menggelarnya untuk menutupi tubuh sang omega hingga sebatas leher.
"Kau pasti kelelahan, dengan perut sebesar itu" Fort kembali merebahkan dirinya disamping tubuh Peat dan ikut menarik selimut sebatas dadanya, tangannya kembali bergerilya memeluk tubuh sang omega.
"Tidak juga. Mereka anak yang manis, perutku tak pernah sakit selama mereka didalam sana"
Bohong? Tidak juga, memang ada kalanya perut dan tubuhnya merasakan sakit. Perutnya kadang meregang secara tiba tiba dan organnya terdesak. Hingga kadang rasa sesak timbul begitu saja didadanya. Tapi rasa sakit itu selalu kalah dengan gerakan kecil yang Peat rasakan setiap detik. Menakjubkan bukan?
"Hah.. Jika aku bisa, aku pasti akan menggantikanmu. Maafkan aku sayang karena tak berada disampingmu dibulan bulan sebelumnya" Fort mengecup dahi Peat lama, mencoba menyampaikan perasaan menyesal yang akhir akhir ini memenuhi kepalanya.
Ia tak bersama dengan Peat selama tumbuh kembang janin di perutnya. Menyedihkan.
Tak lagi hanya memeluk, tangan Fort mulai bergerak kecil seolah memijit punggung sang submisif. Tidak kuat, ia memijitnya ringan karena takut akan menyakiti para bayi didalam perut Peat. Setidaknya ia ingin menyingkirkan rasa pegal ditubuh omeganya ini.
Sore tadi ia berseluncur di kolom pencarian internet. Mencari tips bagaimana caranya menyenangkan seseorang yang tengah hamil. Banyak poin yang Fort temukan, salah satunya memijit kaki karena beban tubuh yang semakin berat. Namun mengingat jika kaki Peat mengalami masalah, Fort memutar otaknya agar tips pijatan ini dapat terealisasikan, hingga akhirnya ia memilih untuk memijati punggung dari sang omega.
"Sayang"
"Eum?"
"Aku ingin bertemu dengan Judy"
-----
Jam menunjukkan pukul 4 dini hari dan iris aqua itu masih terjaga sepanjang malam. Rasa panas dibola matanya ia tahan sebisa mungkin karena kemauan kuatnya yang ingin melihat sang omega lebih lama.
Judy sangat merindukan sosok dihadapannya.
Pertama kali setelah berbulan bulan ia kembali menyentuh pria didepannya. Rasa terkejut bercampur haru tak bisa terelakan hingga dimenit pertama ia hanya mematung tanpa suara. Menit berikutnya telinganya berubah tuli dan hanya ada gerakan impulsif.
Ia mencumbu bibir tipis kemerahan itu hampir sepuluh menit lamanya.
Lebih mungkin.
Ia mencurahkan segala keresahan dan kerinduannya secara bersamaan. Memberi tahu sang omega jika ia segitu beratnya merindu, segitu beratnya hancur.
Dimenit berikutnya Judy menghujami wajah itu dengan ribuan kecupan, kemudian pelukan dan usapan hangat dipunggung sempit sang omega.
Hingga ia menyadari jika ada penghalang diantara mereka. Perut Peat membesar, omega itu hamil.
Kembali, Judy mematung diposisinya. Meskipun secara fisik bayi didalam sana bukan hak miliknya, namun perasaannya yang nanti akan turut berperan sebagai seorang ayah mendadak menjadi biru. Ia bahagia, terharu, dan sedih disaat yang bersamaan. Hingga bibirnya terprogram untuk melontarkan maaf berkali kali dalam tangisan panjang.
Seharusnya ia berada bersama omega ini sepanjang kehamilan.
Malang sekali menjadi omeganya.
Tunggu, omeganya? Apa masih bisa ia melabeli pria didepannya sebagai omeganya? Ketika feromon jasmine yang selalu menjadi candunya tak lagi terkuar dari tubuh kecil ini.
Tidakkah ia terkesan egois?
Tapi ia tak bisa jika itu bukan Peat.
Sama sekali tak bisa.
Dan setelah cerita panjangnya malam itu bersama Peat, setelah ia menidurkan omega tersebut dalam rengkuhannya, Judy menyadari jika mata indah itu terlihat kosong, mata indah yang selalu ia tatap dengan rasa cinta itu tak membalas tatapnya sama sekali.
Bukan. Ini tak seperti mata itu tak memancarkan bahagia dan cinta. Hanya saja fakta mata itu tak membalas tatapnya membuat Judy dipukul dan ditampar keras.
Omeganya yang cantik buta karena dirinya.
Tak sampai disana, kaki panjang Peat pun terlihat tak bergerak banyak. Tungkai itu hanya sedikit berpindah jika Peat mengenyampingkan tubuh karena pinggulnya yang ikut bergerak. 90 persen kaki itu berada dalam posisi tetap.
Hancur.
Tubuhnua remuk hingga menjadi abu dan siap untuk ditiup.
Menyaksikan kehancuran omeganya dengan mata kepala sendiri menjadi peristiwa terburuk yang pernah ia alami. Lebih buruk dari mengurung diri didalam sana dan menahan segala hasrat keserigalaannya.
Tak bisakah ia saja yang buta?
Tak bisakah ia saja yang lumpuh?
Kasihan Peat.
Kasihan omeganya.
'Oi bajingan. Ceritakan semuanya dari awal hingga akhir dan jangan lewatkan satupun, atau nyawa kita berakhir.'
-----
Matahari menyongsong begitu terik. Hawa panas seketika mulai menjalar memasuki rumah rumah yang disinari. Termasuk satu satunya rumah batu yang berdiri kokoh tak jauh dari tepi pantai.
Sang dominan yang baru memejamkan matanya dua jam lalu, terlihat sedikit terusik dengan silaunya cahaya matahari yang mengintip malu malu dari balik tirai yang tersibak.
Kepalanya sedikit berdenyut karena tidur yang tak cukup. Dahi yang mengernyit dengan erangan malas pun menghiasi wajah paginya yang terlihat lelah.
Serigala itu menuntutnya menceritakan semua kejadian pada pukul 4 dini hari. Gila. Bagaimana cara merangkum kejadian selama hampir 8 bulan tanpa melewatkan sesuatu? Ugh, dan satu satunya jalan ialah dengan berdongeng ria selama hampir 5 jam, dan sekarang efek tak tidur hanya dirinya yang merasakan! Menyebalkan.
Fort melirik pria cantik disampingnya yang masih terpejam, matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 11 siang lewat beberapa menit. Ah, mereka harus sarapan. Para bayi tak bisa mencari makan bukan?
Srettt
"Sayang, bangun. Kita sarapan" Dengan lembut Fort mengusap pipi halus sang omega, kecupan singkat pun dilayangkan diatas bibir yang sedikit terbuka tersebut.
"Hei, tukang tidur. Apa tak mau sarapan hm?" Fort terkekeh mendapati Peat yang tak terlihat terusik sedikit pun. Apa jalan jalan kemarin terlalu melelahkan?
"Kau mau apa hm? Spageti? Roti? Sosis? Ah, atau kau mau Pad Thai? Ayo bangun dan akan kubuatkan segera" Fort menyisir rambut Peat kebelakang, kemudian tangan itu bergerak turun hingga sampai dikedua bahu Peat.
Omega ini sepertinya sangat kelelahan. Ia tak akan membawa Peat jalan jalan lagi seharian. Cukup satu atau dua jam saja.
Pria besar itu pun mulai mengangkat bahu sang omega. Satu satunya cara untuk membangunkan Peat dari tidur lelapnya adalah dengan mengguncang tubuh kecil ini.
Oh?!
Deggg
"Hei bangun Peat. Bangun. Peat, sayang. Hei, bangun. Arghh, sial!!"
TBC
Komentar
Posting Komentar