FORTPEAT - RARE SPECIES - 35
Ujung dari jemari jemari panjang itu merambat, menulusuri tubuh kaku yang berada didekapannya. Tubuhnya yang tersimpuh diatas lantai bergerak kedepan dan kebelakang. Pekikan pilu yang hampir satu jam lamanya membuat semua penghuni di asrama pelayan berkumpul dibagian luar ruangan.
Peat tak mau melepaskan James yang sudah Fort turunkan satu jam yang lalu. Tangan kecilnya membawa kepala sang sahabat untuk bersandar diatas bahunya. Seluruh lengannya melilit tubuh yang sudah tak bergerak itu kuat. Getaran tubuhnya karena menangis membuat mayat James ikut bergetar bersama.
Hilang sudah sahabatnya.
Hilang sudah satu satunya alasan dirinya bertahan dilingkungan istana.
Orang yang selama ini selalu menjadi tempat berkeluh kesahnya kini pergi untuk selamanya. James yang selalu mengerti dirinya dan berada disisinya kini pergi jauh kehadapan sang Pencipta.
Raungan kesedihan terus menggema dari kamar sederhana itu. Setiap mata yang semula memandang terkejut karena kehadiran seorang tahanan kini berganti dengan tatapan iba. Punggung ringkih itu terlihat sangat menyedihkan, membuat siapa saja ingin berlari mendekat dan merengkuh punggung malang itu.
Namun tak ada seorang pun yang berani mendekat. Pria dengan tubuh besar yang berada disampingnya membuat ruangan itu terpagar secara naluriah. Hingga para pelayan hanya mampu menyaksikan hal menyesakkan tersebut dari ambang pintu kamar.
Tak berselang lama tubuh Peat perlahan menjadi tenang. Sisa isakan dari tangisannya pun hanya terdengar sesekali. Mata sembab itu menatap lurus kearah tembok kamar mandi yang pintunya masih terbuka. Rengkuhannya pada tubuh James tak berkurang eratnya sedikitpun. Layaknya menimang bayi, Peat mengayunkan tubuh mereka ke kanan dan kekiri.
"Kau pasti lelah, bukan begitu James?" Peat mengeluarkan suaranya seolah tengah berbicara dengan James, bibirnya menyunggingkan senyum getir dengan pelupuk mata yang kembali menggenang.
"Kau pasti sangat kesakitan. Maafkan aku karena tak ada disisimu saat pertama kali kau terbaring sakit"
Dengan pelan Fort berjalan kearah pintu kamar James dan menatap para pelayan sedih, kepalanya sedikit membungkuk sebelum menutup pintu kamar itu rapat rapat.
"Kau ingat pertama kali kita bertemu? Aku membohongimu dengan alasan orang tuaku terserang kanker dan sedang dirawat dirumah sakit, kkk... Maaf, aku terpaksa berbohong karena aku sangat tak ingin tinggal disini." Lelehan air mata kembali mengalir dipipi putih itu, pandangan Peat mengabur karena terhalau tumpukan cairan bening dipelupuk matanya.
"Meskipun begitu kau tetap mengurusiku dengan sabar. Menuruti segala kemauanku dan mendengarkan keluh kesahku. Terimakasih James" Peat kembali merasakan tubuhnya bergetar, hingga ia mendekap lebih erat tubuh dingin dipelukannya. Dadanya terasa kembali ditekan hingga sesak saat memikirkan kenangannya bersama James.
"Saat dimalam aku menanyakan bagaimana kehidupanmu selama ini, aku merasakan sakit dari pancaran matamu. Meskipun saat itu kau tak menyebutkannya secara gamblang, tapi hal itu memberikanku alasan yang cukup kenapa aku harus menjadi seorang Omega Agung, James" Peat menjeda perkataannya, tenggorokannya terasa sangat panas karena ia tengah berusaha untuk tak terisak.
"Aku berjanji pada diriku sendiri untuk bertahan hingga akhir, hingga titik darah penghabisan. Aku juga berjanji untuk melindungimu dengan membawa perubahan baru bagi kaum omega. Tapi bagaimana ini James? Kurasa aku tak punya alasan lagi untuk bertahan disini-"
"Peat.." Monolog yang Peat ucapkan terputus saat suara berat mengeinterupsinya.
Dapat Peat rasakan sepasang tangan mengguncang lengannya, seolah meminta Peat untuk menatap pria besar yang kini sudah berlutut dihadapannya.
Omega itu mendongak. Menatap pilu kearah sang alpha yang juga memandangnya dengan mata berkaca kaca. Satu per satu isakan meluncur dari bibir tipis yang sudah bergetar itu. Dadanya kembali merasa dicengkeram dan diremas kuat saat menatap iris aqua yang kini sudah menangis bersamanya.
"Fort, bagaimana ini? Aku- hiks.. Aku sudah kehilangan alasanku untuk berada disini.. Aku rasanya tak ingin lagi berjuang.." Jemari yang berada dipunggung James untuk menahan bobot tubuh itu mengepal erat, mencengkeram baju piyama yang James kenakan dengan kuat.
"Ada aku disini Peat"
Raungan kesedihan kembali terdengar, lebih memilukan dari sebelumnya, bahkan tubuh Peat membungkuk sangat dalam dengan pelukannya yang masih berisikan tubuh kaku James. Rasanya ingin Fort ikut memeluk tubuh ringkih ini, rasanya ingin menenangkannya dan mengatakan jika semua akan baik baik saja.
Namun Fort tau jika saat ini Peat memerlukan ruang untuk menangis, hingga Fort hanya bisa menatap sang omega dan membiarkannya bersedih atas kematian orang yang ia cintai.
"Kenapa takdir begitu kejam? Kenapa?! Kenapa! Apa salah kami?! Hiks... Apa salah kami.. Kami bahkan tak meminta untuk dipilihkan seorang pasangan, kami bahkan tak meminta untuk dijadikan seorang omega. Lalu kenapa kami diperlakukan seburuk ini?! Hiks.. Bahkan semua rasa sakit hanya dilimpahkan pada kami, dan ironinya penyebab dari rasa sakit itu hanya duduk manis tanpa tergores sedikitpun. Menyedihkan" Peat meraung sejadi jadinya, meluapkan rasa frustasi yang memenuhi kepalanya. Jika saja para alpha tak egois dengan mendahulukan kepentingannya, Peat yakin tak akan ada yang perlu berkorban nyawa disini.
Sekali lagi Peat tatap wajah terpejam James yang berada direngkuhannya. Menatapnya lamat lamat seolah olah merekam setiap sudut wajah dari sang sahabat. Perlahan wajahnya bergerak mendekat kearah wajah James, mendaratkan sebuah kecupan dalam didahi sang sahabat.
Dengan berat hati Peat mulai membaringkan tubuh James diatas lantai kamarnya. Sangat hati hati seolah olah tubuh James adalah barang rapuh.
Menarik napasnya dalam, Peat akhirnya kembali berhasil mengendalikan tangisannya. Tangannya terangkat mengusap pipi tirus James yang sudah memucat. Saat air mata kembali menggenang, dengan cepat ia usap matanya agar tidak mengaburkan pandangannya.
"Kau sudah bekerja keras James. Terimkasih sudah bertahan. Sampai jumpa lain kali"
Cup
Peat kembali mengecup dahi yang tersingkap itu lama. Matanya yang terpejam menitikan air mata yang mulai membasahi dahi James. Setelah melepaskan kecupannya, perlahan Peat mulai berdiri. Walaupun sedikit goyang, Peat akhirnya mampu tegak dengan kedua kakinya. Mengikuti Peat, Fort juga menegakkan tubuhnya. Hingga akhirnya mata keduanya saling bertatapan dan mengunci
"Fort, reject aku"
-----
Dering ponsel berbunyi nyaring memenuhi kamar gelap yang cukup luas. Pria tua yang tampak tak mengenakan atasan itu terlihat terusik karena bunyi yang memekakan, hingga memaksanya untuk terbangun dan meraih ponselnya yang berada diatas meja lampu kamar. Dengan mata setengah tertutup, Perdana Menteri Jom mengangkat panggilan tersebut dan menaruh ponselnya kesamping telinga.
"Maaf mengganggu Tuan. Tapi saat ini penjara kacau, Khun Peat berhasil kabur dan menghilang dari selnya"
"Apa?! Sial!"
Pria tua itu seketika terduduk dari posisi tidurnya. Tangannya tampak melemparkan ponselnya kearah tembok hingga barang tersebut hancur. Bahunya naik turun emosi, matanya menatap nyalang kearah depan dengan bibir yang mendesis.
Tiba tiba sebuah tangan dengan jemari panjang tampak mengelus bahu pria tua itu, suara manja pun turut terdengar seolah berusaha menenangkan. Namun bukannya tenang, Jom menemukan apa yang dilakukan pelacur disebelahnya sangat mengganggu. Diambilnya tangan wanita yang berada dibahunya dan segera ia tarik dengan kuat, tubuhnya kemudian ia balikkan hingga wanita pelacur itu terbaring diatas kasur.
Grep
"Mati kau, sialan!" Tangan besar Jom kemudian mencekik leher jenjang itu, melampiaskan amarahnya yang sudah memuncak karena kehilangan mangsanya.
-----
"Tidak. Sampai kapanpun aku tak akan melepaskanmu dari tanganku Peat! Sampai kapanpun! " Dengan sorot mata terluka Fort menolak permintaan Peat.
Tak mungkin.
Sangat tak mungkin baginya untuk melepaskan Peat. Bahkan tak pernah terlintas dibenaknya untuk melakukan reject pada omega didepannya. Peat adalah separuh nyawanya, bagaimana mungkin ia bisa hidup tanpa omega didepannya
"Aku lelah Fort. Aku lelah.. Bahkan bernapas saja rasanya tak sanggup. Kumohon, reject aku.." Mata rusa itu menatap sang alpha putus asa. Ia sudah tak kuat jika harus terus berdiri disamping Fort, apalagi ketika James sudah tak ada lagi disampingnya.
"Tidak Peat. Aku tak bisa dan tak mau. Jangan begini, kumohon. Tak bisakah kita kembali berbaikan, hm? Aku tau aku sudah banyak menyakitimu, dan aku tau kau sangat tersiksa selama hidup bersamaku. Tapi kumohon jangan tinggalkan aku Peat, kumohon. Aku- aku bersalah, aku adalah pendosa, maafkan aku Peat. Maafkan aku.. Aku berjanji-"
"Fort"
Suara Fort yang panik seketika terputus saat Peat melirihkan namanya. Pupil Fort yang bergetar pun menjadi fokus menatap iris kecokelatan didepannya. Pegangan erat pada bahu Peat sedikit mengendur namun tak lepas.
"Kau mencintaiku?"
"Um!" Dengan tegas Fort menganggukkan kepalanya cepat, bibirnya yang terkatup rapat sedikit bergetar. Hatinya hancur mendengar Peat yang ingin berpisah darinya.
"Begitu juga aku" Bibir tipis itu tersenyum miris, lelehan air mata kembali turun dan mengisi celah bibir Peat yang terkatup.
"Lalu tunggu apalagi? Kembalilah padaku Peat dan jangan meminta hal aneh seperti ini. Kau membuatku takut" Senyum kaku yang Fort tunjukkan membuatnya terlihat benar benar ketakutan dengan ide reject yang Peat lontarkan
Namun sesaat kemudian raut wajah Fort berubah ketika melihat gelengan lemah dari sang submisif. Dahinya berkerut dengan mata yang berkaca kaca, bibir penuhnya mencebik sedih, hingga tangannya pun jatuh menjuntai lemah disisi tubuhnya.
Perlahan Peat menarik lengan panjang hoodie yang menutupi pergelangan tangannya, hingga membuat pergelangan tangan yang membengkak dan mulai membusuk itu terlihat.
Fort terkesiap. Terkejut bukan main dengan apa yang ia lihat. Pergelangan tangan putih itu terlihat sangat bengkak dengan bagian atasnya yang sudah menghitam dan mengeluarkan nanah. Ia sama sekali tak menyadari hal ini, bahkan ia tak curiga sama sekali saat melihat Peat yang terus menurunkan lengan pakaiannya semenjak mereka bertemu pertama kali.
Fort perlahan mendekat dan mulai menopang kedua tangan Peat dengan kedua tangan miliknya. Ekspresi keterkejutan tak luntur sama sekali dari wajahnya.
Apa yang sudah diterima omeganya selama hidup dipenjara?
Apa yang sudah mereka lakukan pada omeganya?
Bukankah mereka ingin menyembuhkan Peat?
Lalu kenapa omeganya malah memperoleh luka yang bahkan Fort sendiri bergidik ngeri melihatnya.
"Apa kau lihat? Bahkan lukaku tak diobati sama sekali, yang mereka tahu hanyalah mengambil darahku yang bahkan aku sendiri tak tahu jika jarum tersebut layak pakai atau tidak." Peat menjauhkan tangannya dari tangan Fort dan mengusap kasar air matanya yang kembali meleleh tanpa seizinnya, ia menatap pergelangan tangannya sekali lagi sebelum menurunkan kembali lengan pakaiannya untuk menutupinya.
"Ini bukan yang pertama Fort, dan kau sangat tau itu. Aku mendapatkan hal hal seperti ini saat memilih bersamamu. Apa kau tau betapa besarnya rasa sakit yang kurasakan? Sangat, sangat sakit hingga rasanya setiap hari aku ingin mati. Tak hanya itu, bahkan mate ku sendiri pun ikut menyiksaku hingga menorehkan luka pada fisik dan mentalku. Dan aku mendapatkan itu semua saat aku memilih bersamamu Fort. Semua." Pandangan yang sarat akan luka itu membuat Fort bungkam. Tak ada satupun kalimat bantahan yang bisa ia lontarkan atas pernyataan Peat.
Semua itu benar.
Semuanya.
Untuk sesaat rasanya ia ingin berteriak jika ia mampu melindungi Peat, ia mampu menjadi tameng pelindung omeganya dari serangan apapun yang akan menyakitinya. Fort ingin berteriak jika ia mampu menjadi garda terdepan untuk melindungi Peat.
Namun seketika kenyataan menampar dirinya. Omeganya terluka sangat banyak selama hidup bersamanya. Bahkan ketika Peat hidup tepat dibawah hidungnya saja Peat masih mendapatkan banyak luka.
Lalu apa yang membuatnya untuk sesaat percaya diri bisa melindungi Peat? Bahkan ketika dirinya adalah seseorang yang memegang jabatan tinggi dan pemimpin dari pasukan terkuat dimuka bumi pun ia tak dapat melindungi matenya sendiri.
'Jangan katakan jika kau akan melakukannya Fort. Aku benar benar tak akan memaafkanmu dan membencimu seumur hidupku'
Fort meraung, suara berat itu menggema kuat didalam ruangan sederhana itu.
Ia linglung, ia bingung.
Ancaman Judy sama sekali tak membantunya untuk berpikir.
Tak ada sedikitpun keinginannya untuk mereject Peat. Bahkan ia lebih rela memberikan nyawanya pada Peat jika bisa. Namun ia juga tak ingin melihat sang omega semakin sengsara, satu satunya cara untuk mengakhirinya hanyalah memutus hubungan mereka sehingga Peat bisa bebas seperti sedia kala.
"Fort, jika kau benar benar mencintaiku, rejectlah aku. Namun jika kau menginginkanku tersiksa seperti ini, maka jangan lakukan"
"Tapi kau akan kesakitan Peat. Bahkan kau bisa mati"
Bibir tipis itu tersenyum kecil, Peat membuang wajahnya kearah lain diikuti dengusan kecil yang terdengar. Namun dalam hitungan detik wajah cantik itu seketika berubah murung, matanya memandang lurus kearah figura yang berisikan wajah James yang tengah tersenyum.
"Sama saja. Setidaknya aku tak harus mati di tangan kakek tua itu" Dengan tangan terkepal, Peat melontarkan kata lirih yang tak terdengar jelas oleh Fort.
"Aku tak bisa melakukannya Peat. Tak bisa. Bagaimana jika kau pergi dan menghilang dariku nanti? Bagaimana jika aku merindukanmu dan tak menemukanmu didekatku? Aku bisa gila jika tak bisa menjangkaumu Peat. Tak bisakah kau tetap bersamaku?" Fort mengambil kedua tangan Peat untuk digenggam, kepalanya ia liukan agar dapat menatap iris kecokelatan sang omega. Mencoba memohon dan berdoa semoga Peat mau merubah keinginannya.
Lama keduanya berdiam pada posisi tersebut. Peat melihat bagaimana bayangannya terpatri dengan baik pada iris aqua itu, sorotan tulus dan memohon dapat Peat rasakan untuk dirinya. Begitu juga sebaliknya, Fort benar benar melihat dirinya dengan jernih diiris kecokelatan tersebut, namun sorot terluka dan hancurlah yang ia dapati dari sana.
"Hah... Apa kau benar benar ingin lepas dariku Peat? Kau yakin?"
"Eum.." Peat mengangguk mantap, tak ada lagi asa baginya untuk bertahan disamping Fort. Meskipun ia mencintai pria didepannya, ia tak lagi sanggup hidup diantara para binatang buas yang selalu siap sedia menerkamnya. Ia lebih baik mati karena reject dibanding harus mati mengenaskan karena menjadi objek uji coba. Setidaknya ia akan mati dengan membawa harkat dan martabatnya sebagai seorang manusia.
"Fort. Aku tak akan pergi dan tak akan bisa kemana mana. Apa kau melihat kondisi James? Bahkan ia tak bisa beranjak dari kamar ini. Jika nanti kau merejectku, tempatkan aku disuatu rumah kecil yang hanya kau sendiri yang tahu. Dengan begitu kau tak akan kehilanganku"
"Berjanjilah kau tak akan menghilang dan pergi tanpa seijinku. Berjanjilah akan sembuh dari sakit yang kau rasakan jika aku melakukan reject. Berjanjilah untuk menerimaku saat aku memintamu kembali"
"Aku berjanji"
Bohong. Jelas Fort sangat tahu jika Peat mengucapkan janji bohong padanya. Tak ada sejarahnya seorang submisif akan selamat dari rasa sakit setelah reject. Meskipun tahu jika Peat hanya berbohong, Fort memilih untuk menyerah. Rasa bersalah karena tak mampu melindungi prianya membuat Fort menganggukan kepalanya. Setidaknya Peat berjanji akan berada dalam pengawasannya setelah proses reject. Dan jika pada akhirnya Peat benar benar meninggalkannya, ia bisa menyusul omega tersebut ke alam baka.
Fort memejamkan matanya erat, membiarkan bulir bulir air matanya mengalir deras dipipinya. Napasnya ia tarik kuat sebelum menghembuskannya berat. Genggaman tangannya mengerat, tubuhnya bergetar seiring dengan napas yang ia hembuskan.
"Baiklah." Mata besar itupun terbuka dan menatap lekat wajah didepannya.
"Saya Fort Thitipong Sengngay dengan ini menyatakan bahwa saya mereject Peat Wasuthorn Chaijinda sebagai mate"
Brukk
-----
Tirai mengepak kearah dalam, angin berhembus hingga membuat suhu kamar berukuran besar itu menurun hingga mencapai 10 derajat celcius. Ranjang dengan ukuran king size yang berada ditengah tengah ruangan tampak terisi dengan sepasang anak adam. Pria dengan tubuh yang lebih kecil tampak tertidur pulas, sedangkan pria lainnya berada dalam posisi menyamping dengan satu tangan yang menumpu kepala.
Mata besar itu menatap kearah kedua pergelangan tangan Peat yang sudah ia perban. Tangannya kemudian terangkat untuk menarik selimut yang berada sebatas pinggang Peat hingga menutupi sebatas leher, tak ingin sang omega merasa kedinginan karena dinginnya malam.
Pria besar itu mendesah. Tak percaya dengan dirinya sendiri yang kini sudah tak memiliki ikatan apapun dengan omega didepannya. Bahkan saat melewati cermin, dengan sengaja ia menatap bagian belakang bahu kanannya, tempat tanda pair miliknya berada, tanda matahari kecil itu tak lagi berwarna cokelat, namun berganti hitam pekat dengan garis hitam melintang diatasnya seperti coretan.
Hatinya kembali berdenyut sakit saat menyadari jika ia dan Peat tak lagi memiliki hubungan apapun. Ia tak lagi memiliki kuasa apapun terhadap omega yang terbaring dihadapannya. Ia kehilangan separuh nyawanya tepat didepan matanya.
Betapa bodohnya ia selama ini menyia-nyiakan Peat. Jika saja ia mampu memutar kembali waktu, Fort akan memperlakukan Peat dengan baik sejak awal. Tak berselingkuh dan berusaha membuat Peat nyaman hingga omega ini bergantung penuh padanya. Jika saja ia melakukan hal ini sejak awal, Peat pasti tak akan menyembunyikan apapun darinya.
Namun penyesalan hanya tinggal penyesalan. Tak ada yang akan berubah maupun diperbaiki. Saat ini Fort menerima ganjaran dari perbuatannya. Kehilangan orang yang ia cintai yang bahkan suatu saat akan benar benar pergi meninggalkannya.
Perasaan bersalah seketika menyergap hatinya saat melihat telinga dan hidung Peat kembali mengeluarkan darah. Matanya kembali berair dengan bibir yang bergetar terkatup. Tangannya bergerak mengambil lembaram tisu yang ia sediakan tepat disebelah kepala Peat. Dengan telaten ia menghapus darah yang keluar sebelum membuangnya ketempat sampah yang hampir penuh karena tisu yang dipenuhi darah.
Grep
"Aku mencintaimu Peat, sangat. Maafkan aku" Lengan besar itu kemudian mengalung pada tubuh Peat, berbisik ditelinga sang omega dengan mata basah yang tertutup. Tubuhnya terasa sangat lelah, hingga akhirnya Fort tertidur dalam posisi memeluk sang omega.
-----
Sinar matahari menyongsong sangat terik. Cahaya kuatnya berpendar hingga menembus jendela kamar sang Putera Mahkota yang tak tertutup. Beberapa kali pancaran sinar tersebut mengenai mata besar yang masih tertutup rapat, hingga akhirnya hal tersebut membuat tidur sang Putera Mahkota terusik dan perlahan membuka matanya.
Erangan khas bangun tidur yang pertama kali mengisi heningnya kamar. Sebelah matanya yang terbuka lebih dulu menelaah sisi sampingnya, ingin melihat kondisi sang omega yang ia tinggal tidur semalam.
Degg
Tubuh besar itu sontak terbangun dengan posisi terduduk. Kedua matanya terbuka lebar lebar saat ia menyadari jika Peat tak lagi berada disebelahnya.
Bergegas kakinya turun dari atas ranjang. Fort mulai mengitari kamarnya untuk menemukan keberadaan sang omega. Kamar mandi. Ruang kerja. Kamar wardrobe. Ia menjelajahi seluruh ruangan namun tak menemukan omega itu dimanapun.
Fort menyisir rambutnya panik. Satu tangannya berkacak pinggang dengan kepalanya yang berusaha berpikir tentang kemungkinan kemana Peat akan pergi.
Namun konsentrasinya terputus ketika mendengar panggilan dari ponsel miliknya. Membuat sang Putera Mahkota bergegas mengambil ponsel tersebut dengan maksud untuk mematikan ponselnya.
Saat melihat banyaknya panggilan tak terjawab dari Saifah, dahi Fort berkerut heran. Tak biasanya Saifah menelponnya dengan jumlah banyak seperti ini. Biasanya pria ini akan berhenti pada panggilan ketiga dan menunggunya menelpon balik. Namun Fort memilih mengabaikan intusinya dan tetap berniat mematikan ponselnya.
Baru saja tangannya menyentuh tombol power, seketika niat untuk mematikan ponsel tersebut hilang, berganti dengan pikiran 'siapa tau Saifah ingin memberitahukan posisi Peat'.
Bukannya tak mungkin. Pelarian semalam dari penjara tentu saja bukan ulahnya seorang. Ia meminta bantuan Saifah mengendalikan cctv sedangkan dirinya turun langsung kelapangan dengan bersenjatakan feromon miliknya. Sebagai seorang calon Raja tentu saja ia diberi kelebihan lebih untuk membuat feromonnya memiliki fungsi lebih dari sekedar pengikat.
Fort pun menggeser ikon hijau dari ponselnya dan menenmpelkan benda persegi tersebut ketelinganya.
"Ya, ada apa Saifah?"
"Maaf Yang Mulia jika saya sudah mengganggu pagi anda. Saya ingin melaporkan jika pagi ini saya menerima email mencurigakan di email anda Yang Mulia. Ini berkaitan dengan peristiwa penculikan para omega dan beta female di malam itu. Sebaiknya anda segera membukanya karena ini berkaitan dengan nama baik Khun Peat"
Tanpa memberikan respon atas laporan Saifah, Fort segera mematikan sambungan teleponnya dan membuka email miliknya melalui ponsel. Tangannya mengetuk salah satu email dari alamat asing yang sepertinya sudah dibuka lebih dulu oleh Saifah.
"Tan?"
Dahi Fort berkerut saat membaca sebagian tulisan dari alamat email asing yang tampak seperti nama seseorang. Tangannya pun kembali mengetuk file file yang dikirim oleh email tersebut dan membacanya dengan seksama.
"Sial! Apa ini?! "
TBC
Komentar
Posting Komentar