FORTPEAT - RARE SPECIES - 34🔞
ATTENTION!!! Memiliki beberapa adegan yang mengganggu, diharapkan kebijakan pembaca.
Mata yang terbelalak itu memandang sekelilingnya terkejut, banyaknya manusia yang tergeletak tak sadarkan diri disepanjang jalan keluar dari penjara membuat Peat tak berhenti berdecak.
Apa yang Fort lakukan pada orang orang ini?
Apa yang terjadi?
Dan kenapa feromon milik Fort tercium sangat pekat disini?
"Kau bilang James semakin parah, bagaimana kondisinya sebenarnya?" Mengenyampingkan keterkejutannya, Peat lebih ingin tahu mengenai kondisi James. Ia cukup was was dengan kabar yang akan Fort katakan selanjutnya.
"Nanti kuceritakan. Jika tak cepat, kita akan ketahuan" Sahut Fort dengan terus memimpin langkah, tangannya yang menggenggam tangan Peat terlihat semakin mengerat karena langkah Peat yang cukup pelan, ia takut Peat akan lepas begitu saja darinya.
"Hei Putera Mahkota, apa kau tak tau ini tindak kriminal?"
Tiba tiba saja Fort menghentikan langkahnya dan membalik tubuh besarnya, membuat Peat yang awalnya berjalan lebih cepat karena tarikan Fort tak sempat berhenti tepat waktu dan akhirnya menabrak dada alpha tersebut dengan wajahnya.
"Ck, kabari jika kau ingin berhenti. Kau menarikku untuk berjalan cepat dan sekarang berhenti tiba tiba. Menyebalkan" Dengan mata yang menatap tajam wajah yang jauh lebih tinggi darinya, Peat mengusap hidungnya yang terasa sakit saat ini.
Mata besar itu menatap Peat lekat. Ia tak habis pikir kenapa omega ini malah memprotes dirinya sat ia berbuat kriminal seperti ini demi dirinya. Jika saja ini dirinya yang dulu, Fort sudah pasti akan mendebat pria didepannya dan memilih meninggalkan Peat dengan segala kekacauan. Namun setelah melihat wajah yang ia rindukan didepannya membuat niat itu sirna seketika, hanya rasa getir karena rasa bersalah yang Fort rasakan.
Lihatlah wajah cantik omeganya. Sangat tirus hingga tulang pipi dan rahangnya terlihat semakin jelas. Kulitnya juga terlihat memerah, sepertinya kulitnya mengalami masalah selama hidup didalam sel. Rambutnya juga sudah memanjang melewati telinga.
Mata besar itu beralih menatap tangan Peat yang ia genggam, begitu kurus dan kecil, benar benar hanya tulang yang dibalut dengan kulit. Pakaian seragam oranye lengan panjang yang ia kenakan pun terlihat kebesaran, hingga separuh dari kulit bahunya terekspos. Fort bahkan melihat cekungan terlalu dalam pada tulang selangka pada bahunya.
"Kita akan berdiam disini dengan wajah kasihanmu atau apa? Jika tidak ada rencana aku akan pergi sendirian keluar" Jangan pikir Peat akan membuang sia sia kesempatan ini. Akhirnya ia melihat secercah harapan agar ia tak perlu mati ditangan tua bangka biadab, Jom. Apalagi ia juga mendengar kondisi James yang memburuk, ia harus segera cepat cepat menengok pria cantik itu karena jujur saja hatinya tak tenang dengan berita tersebut.
Karena tak kunjung ada jawaban dari pria besar dihadapannya, Peat segera melangkah melewati tubuh besar didepannya dan mulai beranjak menuju pintu keluar. Baru saja tangannya menjangkau pegangan besi tua berwarna hijau didepannya, Peat merasakan sebuah tangan lain menimpa tangannya.
"Ayo keluar bersama"
-----
Mobil sedan tua dengan warna abu abu itu terlihat membelah jalan yang cukup sepi. Jalan yang dipilih pengemudi cukup kecil dan hanya mampu dilewati oleh satu mobil dan satu motor. Sisi jalan dipenuhi ilalang tinggi hingga pohon pohon tinggi yang menjulang.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam dan jalan pintas yang diambil tentu saja sudah sangat lengang. Dua pria yang duduk dibagian depan dengan segala pakaian gelapnya tampak duduk diam tanpa sepatah katapun.
Hening lama menguasai. Pria yang duduk dikursi penumpang terlihat mengamati pemandangan kearah luar jendela. Tatapannya kosong, pikirannya melayang namun raganya berada didalam mobil sedan tersebut.
Pikiran Peat berkecamuk. Semuanya bercampur jadi satu. Disatu sisi ia sangat memcemaskan kondisi James, satu satunya orang yang ingin ia lindungi. Disisi lain ia senang karena jalannya untuk menjauh dari Perdana Menteri terbuka lebar. Dan juga hatinya yang kini menjadi tak karuan karena melihat sang alpha hadir dalam pandangannya.
Ya, sang alpha
Pria dengan postur besar disampingnya masih berstatus alphanya, matenya. Hingga tak dipungkiri betapa membuncahnya rasa bahagia saat pertama kali ia melihat wajah tegas itu. Namun disaat yang bersamaan hatinya teriris sangat dalam, hingga tubuhnya terasa sangat ngilu hingga kebagian dalam.
Peat sendiri tak tau bagaimana sebutannya. Apakah trauma?
Yang jelas sepanjang perjalanan saat mereka saling menggenggam tangan, tubuh Peat bergetar ketakutan. Ekspresi marah yang Fort keluarkan sore itu masih terpatri jelas diotaknya. Darah yang memenuhi celananya masih berbayang dicelana hitam yang kini ia kenakan. Bau amis pekat terus menyeruak hingga kepalanya menjadi cukup pusing.
Padahal sebelumnya ia sudah tersiksa lebih sakit dari tamparan yang Fort berikan. Tubuhnya luka dimana mana bahkan serangan mendadak dikepalanya jauh terasa lebih sakit. Namun rasa panas tangan Fort dipipinya terlalu kuat membekas hingga ia sulit melupakannya.
Dan juga saat wajah sang alpha berpaling ketika ia mencari pertolongan malam itu. Disaat dirinya paling membutuhkan seseorang disampingnya, memeluknya dan menenangkannya, namun sang alpha malah memilih untuk membuang wajahnya dan tak mempedulikannya. Rasa kecewa itu kembali menelusup dihatinya, saat ini dadanya seperti ditekan sangat kuat disatu titik hingga terasa sangat sakit.
Imbasnya kini Peat tak tahu harus bagaimana. Pria disampingnya membuat semua pilihan menjadi abu abu. Rasa cinta yang begitu besar ia miliki bercampur dengan rasa takut dan kecewa yang mendominasi.
Dilain sisi, pria yang berada dibelakang kemudi terlihat sesekali melirik pria disampingnya yang menutupi kepalanya dengan tudung hoodie, hingga Fort hanya bisa melihat sebagian kecil hidung dan bibir dari omeganya.
Fort tak mengira jika ia akan segugup ini setelah bertemu Peat kembali. Jantungnya berdegup sangat cepat hingga rasanya akan melompat dari dadanya. Perasaan yang campur aduk membuat keringat dingin membasahinya tubuhnya.
Mengesankan.
Omega ini hanya duduk melamun, namun tubuhnya bereaksi sehebat ini. Sepertinya rasa bersalah dan rindunya terlalu terpupuk tinggi hingga ia tak kuat melawan perasaannya sendiri.
Ckittt
Tiba tiba saja mobil sedan abu tersebut berhenti mendadak. Peat yang sebelumnya asik dengan pikirannya mendadak harus memegang pegangan diatas jendela dan menatap terkejut kearah depan. Jantungnya berdegup sangat cepat karena rasa takut menyergapnya tiba tiba. Napasnya juga tertahan, mulutnya terbuka cukup lebar karena terkejut. Perlahan kepalanya menoleh dan menatap Fort dengan raut yang ia pertahankan.
"Wah.. Kau- ingin membunuhku?" Seketika Peat menghembuskan napas panjangnya dengan raut yang menatap Fort tak percaya.
Apa pria ini menyelematkannya untuk membunuhnya?
Eh?
Kenapa- Fort menangis?
"Kau- menangis? Bukankah aku yang seharusnya menangis?" Peat menjadi bingung, dengan dahi berkerut ia menatap Fort penuh tanya
Grep
Tubuh besar itu seketika menghambur kearah tubuh Peat. Mendekapnya sangat erat bahkan tangannya bergerak melawan seatbelt yang masih terpasang pada tubuh Peat. Hujan kecupan dibahu kanan Peat pun tak terelakan. Isakan kecil pun terdengar sayup. Membuat sang omega terenyuh dan membalas pelukan besar dari sang alpha.
Lama keduanya berdiam dalam posisi seperti itu. Tepukan kecil dipunggung Fort pun membuat sang empu lambat laun menjadi tenang. Gumaman kecil yang Peat keluarkan untuk menenangkan sang alpha berhasil membuat tubuh itu tak bergetar.
"Aku sangat merindukanmu sayang"
Ah, suara berat ini...
Judy
Tak lama lilitan tangan ditubuh Peat melonggar. Judy menjauhkan kepalanya dan menatap lekat omega yang ia rindukan, hingga iris aqua itu hanya terisi oleh bayangan Peat.
Tangan Peat perlahan terangkat mengusap jejak air mata dipipi Judy diiringi sebuah senyuman manis. Namun seketika Peat kembali menarik tangannya dengan cepat saat wajah didepannya tiba tiba berubah menjadi bengis dan dingin, senyumnya pun luntur dan rasa takut kembali menyergap.
"Sayang, kau tak apa?" Suara familiar Judy seakan menarik dirinya dari sadar. Wajah dingin dan bengis itu seketika sirna dan berganti khawatir.
Dahi Peat berkerut, matanya bergerak kekiri dan kekanan dengan cepat menelusuri wajah didepannya. Dan mata rusa itu hanya mendapatkan satu raut khawatir dari sang alpha.
Sebenarnya setakut apa dirinya saat ini? Sedalam apa ia terluka? Hingga ia berhalusinasi mengenai raut yang tak ia sukai.
"Maaf Judy, bisakah kau sedikit menjauh?"
Judy menangkap raut tak nyaman dari omeganya, membuatnya terpaksa memberi ruang besar diantara mereka. Tangannya yang ia harapkan menggenggam tangan kecil itu harus ia kubur dalam dalam, Judy tak ingin Peat tak nyaman bersamanya.
"Maaf" Suara lirih dari alpha didepannya membuat kepala Peat menunduk. Rasa bersalah ia rasakan, seharusnya ia tak bersikap demikian pada Judy. Namun ia tak bisa mengelak dari rasa kacaunya karena Judy dan Fort berada dalam satu tubuh yang sama.
Mata dengan iris aqua itu menatap Peat lama, tiap jengkal wajah dan tubuh itu ia amati dan ia rekam dengan baik. Sejak indera penciumannya menangkap aroma jasmine yang ia rindukan, Judy tak hentinya mengerang meminta Fort untuk berganti ruh setelah berminggu minggu lamanya ia bersembunyi. Namun Fort tak bergeming, ia menahan Judy untuk tak mengambil alih tubuhnya. Katakanlah jika Fort egois, ia tak peduli. Ia tak ingin melewatkan momen pertama saat bertemu Peat setelah sekian lama.
"Aku akan memanggilkan Nick untuk menemanimu, aku pamit"
Anggukan kecil yang penuh keterpaksaan terlihat dari Judy. Ada rasa tak rela ketika Peat harus pergi dari hadapannya. Meskipun rasa cintanya sama besar untuk keduanya, namun melihat Peat menjauhinya rasanya sangat tak enak.
"Hai Judy, lama tak jumpa"
"Hai sayang, aku merindukanmu-
-bolehkah, aku memelukmu?"
-----
Kedua tangan kecil itu tampak menggenggam erat bagian depan hoodie hitam yang ia kenakan. Peat mencoba mengatur napasnya yang memburu ketika melihat gerbang istana didepannya. Rasa takut kini sangat mendominasi. Ia kembali mengingat kejadian disaat ia ditangkap malam itu, bayangan lemparan telur dan tomat busuk secara ajaib kembali terulang didepan matanya.
Tak hanya itu, blitz kamera serta ramainya manusia juga tereka kembali. Tatapan benci dan marah yang dilayangkan semua orang padanya pun juga terlihat. Belum lagi kalimat yang saling tumpang tindih yang bahkan tak Peat mengerti hingga saat ini pun terdengar.
Sekuat tenaga Peat mencengkeram hoodienya, begitu juga dengan mata yang ia pejamkan sangat erat. Peat hanya ingin segera beranjak dari gerbang dan menghentikan bayangan mengenai kejadian hari itu.
Puk
"Peat" Panggilan serta goncangan ditubuhnya membuat Peat tersadar. Mata rusa itu seketika terbuka diiringi dengan bahu yang naik turun meraup oksigen.
Dengan sigap Fort menurunkan kaca jendela mobil, memberi akses udara bersih untuk masuk kedalam mobil. Wajah Peat tak terlihat baik, keringat sebesar biji jagung memenuhi pelipisnya.
Rasa iba melihat sang omega tengah kesulitan membuat hasrat untuk menenangkannya timbul, namun Fort cukup tahu diri jika Peat saat ini menolak kehadirannya. Bahkan ketika Judy yang datang pun tak membuat perubahan besar.
Omega ini takut padanya.
Detik demi detik pun terlewati. Malam semakin larut dan suhu beranjak turun. Pukul satu malam dan mereka masih berada didepan asrama pelayan. Fort hanya duduk dibelakang kemudinya dengan mata yang terus mengawasi Peat. Raut khawatir tak lepas dari wajah tampan pria itu, namun beruntungnya lambat laun ia melihat Peat menjadi lebih tenang, hingga ia pun akhirnya lega ketika melihat sang omega sudah mampu menegakkan kepalanya.
"Ayo masuk Yang Mulia"
-----
Entah sudah berapa kali ia menghembuskan napas kasar hari ini. Dan lagi lagi ia melakukannya ketika kakinya sudah berpijak didepan pintu kamar dari temannya, James. Ya, seorang teman dan satu satunya orang yang ingin ia lindungi.
Perlahan tangannya mulai meraih gagang pintu didepannya. Namun tiba tiba tangan yang lebih besar menimpa tangannya yang sudah berada diatas gagang pintu. Pinggangnya pun dililit oleh lengan berotot dari arah belakang.
"Bisakah kita berbicara sebentar? Kumohon" Suara yang terdengar lirih dan putus asa itupun mengalun ditelinga Peat. Kepala Fort pun menunduk dan kemudian bersandar pada bagian belakang kepalanya. Hingga membuat tubuh kecil itu tenggelam oleh tubuh besar dibelakangnya.
Peat kembali merasakan jantungnya berdegup kencang. Wajahnya memerah hingga ketelinga. Hangat yang sudah lama tak ia rasakan kembali menyelimutinya. Aroma cedar yang lembut juga membuat tubuhnya menjadi nyaman dan ringan.
Namun tak ingin sang alpha mengetahui dirinya merasa nyaman. Peat beralih memusatkan cengkeramannya pada gagang pintu, hingga tubuhnya berubah menjadi tegang dan tak nyaman.
Dengungan yang Peat lontarkan sebagai jawaban atas permintaan Fort, membuatnya semakin menundukkan kepala. Perkataan James beberapa jam lalu mengenai Peat kembali berputar diotaknya. Semua keberengsekan yang ia lakukan terhadap Peat membuat hatinya hancur dirundung rasa bersalah.
"Maafkan aku" Kembali, suara berat yang biasanya terdengar lantang itu kini berubah lirih, membuat siapa saja yang mendengarnya pasti akan luluh dan tersentuh.
Namun berbeda dengan Peat. Bagaikan tembok runtuh, hati Peat rasanya jatuh hingga ke lubang paling dasar. Setelah dirinya berjuang menata hati selama diperjalanan, sang alpha dengan mudahnya melontarkan kata maaf yang ironinya terdengar sangat putus asa.
Jika saja ia tak mengendalikan dirinya, mungkin semua emosi yang ia rasakan saat pertama kali melihat Fort sudah ia luapkan. Bagaimana takutnya, kecewanya, marahnya dan hancurnya ia saat itu akan ia muntahkan tepat dihadapan pria ini. Namun pada akhirnya Peat menyadari, meskipun ia berbuat demikian tak akan ada yang berubah. Kejadian itu tetap akan sama dan terus membekas dihatinya, hingga ia lebih memilih menahan dan menata hatinya sejak awal.
"Maafkan aku Peat"
Memuakkan. Peat sangat muak pada dirinya sendiri yang dengan mudahnya tersentuh akan permintaan maaf Fort yang terdengar tulus. Bahkan Peat merasakan jika tubuh yang mendekapnya mulai bergetar.
Tak menyukai situasi yang ada, Peat segera menepis tangan Fort yang berada diatas perutnya. Tangannya yang tertutupi tangan Fort pun ia sentak agar lepas.
"Nanti. Aku ingin bertemu James" Ucapan itu Peat lontarkan dengan nada dingin, membuat Fort hanya bisa terpaku dengan tangan yang menjuntai disisi tubuhnya.
Ia tahu ia tak akan mendapatkan kata maaf dengan mudah. Sudah banyak rasa sakit yang ia timbulkan pada omega itu dan sudah seharusnya Peat bersikap demikian. Peat sudah terlalu baik padanya selama ini, membiarkan semua perlakuan buruknya tanpa memberikan perlawanan berarti. Bahkan Fort sendiri tak tahu apa yang akan ia lakukan jika mengetahui Peat bersetubuh dengan orang lain dibelakangnya.
Cih, ia adalah pria yang kekanak kanakan. Masih jelas dibenaknya saat ia mencemburui Peat yang hanya berbicara dengan adik Boss saat itu. Bahkan ia juga marah saat mereka bertemu dengan rekan kerja Peat diwilayah pendamping, saat itu ia tanpa sengaja mendengar keluhan Peat yang menginginkan seorang istri dan dua orang anak, Fort juga mendengar jika omeganya memiliki pengagum rahasia dari kantor yang sama, sikapnya yang pengecut dan tinggi hati membuatnya mencari cari alasan dibalik rasa tak senang yang ia rasakan saat itu, hingga akhirnya ia mencela pria cantik ini dengan alasan yang sama sekali tak masuk akal.
Cklek
"James!"
Buk
Seketika Fort tersadar dari lamunannya saat mendengar teriakan Peat. Fort melihat tubuh omega itu merosot jatuh kelantai dengan posisi bersimpuh dengan kepala yang menengadah melihat kedalam ruangan.
Mengikuti arah pandang Peat, Fort ikut mengangkat kepalanya untuk melihat kedalam ruangan.
Degg
"Oh Tuhan!"
Matanya dengan jelas melihat sebuah tali yang menggantung pada kunsen pintu menuju kamar mandi, dibagian ujungnya terikat sebuah leher dari tubuh kaku yang kini berayun kecil. Mata indah itu kini hanya tampak putihnya saja, saliva pun mengalir dari sudut bibirnya, lidahnya menjulur keluar dengan kepala yang menengadah miring kebelakang
James bunuh diri.
TBC
Komentar
Posting Komentar