FORTPEAT - RARE SPECIES - 25
"Apa yang terjadi? Apa James sudah diperiksa? Apa dia sakit parah?" Pertanyaan bertubi tubi Peat lontarkan ketika mendengar James sudah sakit selama dua hari. Rautnya berubah khawatir dengan tangannya yang tanpa sadar mengerat ketika masih memegang tangan Fort.
Fort semakin merapatkan tubuh mereka dengan tangannya yang menepuk pelan bahu sang omega. Mencoba menenangkan sang omega dari kekhawatirannya.
"Maaf Khun, tapi James menolak untuk diperiksa karena penyebabnya bukanlah penyakit pada umumnya" Nat menunduk menatap tangannya yang memegang pergelangan tangan lainnya. Jelas ia tau betul penyebab penyakit yang dialami James.
"Apa maksudmu?" Kali ini Fort bertanya lebih dulu, dirinya menjadi cukup penasaran dengan apa yang James alami.
"Fated pairnya-"
"Net? Ada apa dengan bocah itu?" Tak sabar, Fort memotong perkataan Nat dan segera tersadar setelah Peat kembali menggenggam erat tangannya, mengisyarat agar Fort kembali tenang.
"Khun Net- menikah"
-----
Drap
Drap
Derap langkah yang terburu buru terdengar dari langkah tiga orang yang menyusuri jalan setapak diwilayah istana. Satu pria cantik dengan mata rusa tampak memimpin jalan dengan mata yang lurus menatap kedepan. Diiringi dengan pria besar yang menatap cemas pada pria didepannya, tangannya berayun ingin menggapai tanga pria cantik tersebut namun selalu ia urungkan ketika perasaannya mengatakan untuk membiarkannya. Dibagian paling belakang, pria dengan tubuh kecil dan mata belo terlihat menyesuaikan langkah kecilnya dengan majikan didepannya.
Peat yang berada dipaling depan pun akhirnya menginjakkan kaki diatas teras gedung asrama pelayan. Menghiraukan dua orang yang ikut berjalan dibelakangnya dan terus menapaki tangga menuju lantai dua, lantai yang hanya berisikan kamar pribadi dari para asiten pribadi anggota keluarga kerajaan.
Grep
Baru saja tangan putih itu menggenggam gagang pintu dari salah satu kamar, Peat segera membalikkan tubuhnya untuk menghadap dua orang yang juga ikut berhenti dibelakang tubuhnya. Matanya bergerak menatap Fort dan kemudian Nat secara bergantian.
Sial!
Apa yang harus ia lakukan? Meninggalkan Fort dengan Nat berdua didepan kamar James? Peat- tak siap.
Tapi mengizinkan Fort masuk sama saja dengan menghina James. Peat yakin kondisi James jauh dari kata baik baik saja. James tengah mengalami reject secara tak langsung, Peat yakin James sangat hancur dan kesakitan saat ini.
Dan juga Peat tak bisa membawa Nat bersamanya kedalam, Net adalah kakak dari Nat. Peat tak mau keadaan James semakin memburuk hanya karena melihat Nat.
"Hei sayang, kenapa? Apa ada masalah?" Tangan besar Fort membelai pipi putih itu lembut, mencoba menyadarkan Peat dari lamunannya.
Seketika Peat menggelengkan kepalanya untuk mengembalikan kesadarannya. Matanya menatap Fort yang menatap lekat kearahnya saat ini.
"Aku akan masuk sendirian, bolehkah?"
Fort terdiam, ia menatap Peat cukup lama. Kenapa? Apa ia tak boleh melihat keadaan James? Fort merasa seperti Peat tak mempedulikan perasaannya. Ia mengikuti pria ini sepanjang pagi dan ikut mengkhawatirkan James, namun sesampainya disini Peat tidak memperbolehkannya masuk.
"Yang Mulia- akan aku jelaskan nanti alasanku, maafkan aku."
"Eum, baiklah. Jangan temui Net sendirian, aku akan menemanimu setelah pelatihanmu nanti. Kalau begitu aku pergi, jaga dirimu baik baik."
Cup
Pria tan itu mengecup pelipis Peat diiringi usapan kecil disisi kepalanya, kemudian ia melangkah menjauh menuruni tangga setelah mendapatkan anggukan kecil dari sang omega.
Pria bermata rusa itu tersenyum lega ketika melihat Fort mengerti dan memilih untuk pergi tanpa menunggunya. Ini lebih baik dibanding harus meninggalkan Fort dan Nat berdua diluar kamar.
"Nat, aku ingin masuk sendirian" Kini Peat beralih menatap Nat. Wajah datar Peat membuat Nat sedikit bergidik ngeri, pertama kalinya ia melihat raut wajah Peat yang seperti ini.
"Baik Khun" Nat menundukkan kepalanya memberi hormat dan bergegas berdiri membelakangi tembok disamping pintu kamar James. Pria kecil itu berdiri tegap dengan mata yang memandang lurus ke arah chandelier yang menggantung dan sedikit berayun.
"Maaf jika aku terdengar memerintah atau berkuasa, tapi aku tak memerlukanmu Nat. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Kau tak perlu khawatir, silahkan kembali mengawasi ruang perawatan seperti yang biasa Noeul tugaskan"
Tap
Tap
Cklek
BLAM
Pintu tertutup tepat setelah Peat masuk kedalam kamar James. Meninggalkan Nat dengan hati yang bergemuruh menahan sakit. Tangannya mengepal untuk mengalihkan rasa sesak yang mendesaknya untuk menangis
Bodohnya ia yang menganggap Peat akan berpura pura lengah dan acuh padanya. Malam itu mata mereka bertemu, dan tentu saja wajar jika ia menerima perlakuan seperti ini. Ia mengerti jika Peat tak sudi lagi melihat wajahnya, dan seharusnya ia sudah mempersiapkan diri dari lama agar hatinya tak sesakit ini.
"Ah benar, Fort!"
-----
Pria cantik dengan kulit putih itu dengan sigap menahan mulutnya dengan punggung tangannya. Mata rusa itu menangkap gambaran seorang pria yang tengah terbaring dengan posisi tubuh menghadap tembok kosong.
Tetes demi tetes air mata mengalir dipipinya, sekuat tenaga Peat menahan isakannya agar tak keluar, tak mau mengusik tidur dari pria diatas ranjang.
Bahu yang biasanya berjalan tegap itu tampak rapuh. Punggungnya terlihat bongkok dan menyedihkan.
Dengan pelan Peat berjalan mendekati ranjang James. Duduk dipinggirnya dengan tangan yang mengusap surai yang tak lagi mengeluarkan kilaunya.
"Hai James"
Tubuh kurus itu dengan lambat berbalik, memutar arah tubuhnya kearah sumber suara yang memanggil namanya. Matanya mengerjap beberapa kali untuk memperjelas penglihatannya.
"Khun.." Suara lemah yang keluar dari bibir James membuat hati Peat semakin tersayat. Pipi yang biasanya memiliki timbunan lemak dan merona kini pucat dan menirus. Bibir kissable yang biasanya kemerahan itu pun memucat dengan permukaannya yang pecah pecah, bahkan sudut bibir James pun sudah berdarah.
Grep
Peat menghamburkan dirinya memeluk pria didepannya. Tak lagi kuasa menahan isakannya, suara Peat yang meraung kini terdengar memenuhi ruangan. Air matanya jatuh berpacu membasahi bantal yang James gunakan. Tubuhnya bergetar seiring dengan cepatnya air mata yang ia keluarkan.
Tak lama usapan pelan bersarang dipunggung Peat. Dengan senyum yang dipaksakan, James berusaha menenangkan tuannya. Mata indah yang selalu berbinar itu kini turut mengeluarkan air mata. Rasa sesak didadanya bahkan sudah tak bisa lagi memaksa bibirnya untuk terisak. Tubuh dan pikirannya sudah lelah, ia tak punya tenaga lagi untuk meraung bersama Peat sekarang.
"Huks... Maafkan aku" Peat menarik dirinya dari pelukan mereka, menyeka kasar wajahnya yang dipenuhi air mata dan kemudian menekan kuat kedua matanya. Menghalau air mata dan perasaannya yang siap memicu tangisannya kembali.
"Apa kabar Khun? Bagaimana liburmu? Aku harap menyenangkan" Tangan kurus James ikut menyeka jejak air mata Peat setelah pria itu melepaskan tangannya dari wajahnya, bibir pucat itu tersenyum seolah semuanya baik baik saja.
Menghiraukan pertanyaan James, Peat memilih mengusap wajah didepannya. Dingin. Tangannya kemudian beralih meraba dahi dan leher sang asisten. Hangat. Perbedaan suhu yang mencolok ditempat yang berdekatan membuat hati Peat mencelos sakit. Mata sembab itu kembali digenangi air mata, namun segera dihalau karena Peat tak ingin menangis lagi didepan James.
"Kau sudah minum obat hm? Kau panas tinggi James" Tutur Peat pelan, matanya kini menatap mata lelah James. Bibirnya berusaha mengeluarkan senyum meskipun getaran dibibirnya tak dapat ia sembunyikan. Jauh dalam dirinya ia masih ingin menangisi kondisi James.
"Belum Khun" James menurunkan tangannya dan memasukkannya kedalam selimut tipis yang ia kenakan. Tubuhnya kembali menggigil.
"Kenapa hm?"
"Aku hanya baru bangun"
"Maafkan aku mengganggu waktu istirahatmu James" Tangan Peat membelai pipi tirus itu, mengusapnya sangat pelan seolah James adalah barang rapuh yang bisa remuk kapan saja.
"Tidak Khun, terimakasih sudah mengunjungiku" James memejamkan matanya dengan senyum tipis dibibirnya, ia menyukai sensasi lembut yang Peat berikan dipipinya. Sudah lama rasanya ia tak mendapatkan perhatian seperti ini. Rasanya seperti ibunya kembali hidup untuknya.
"Aku ambilkan makanan dan obatmu. Sebentar"
"Hum.."
-----
Drap
Drap
"Anu..."
Merasa seperti seseorang mengajaknya berbicara, Fort segera membalikan tubuhnya dan mendapati Nat kini berdiri dibelakangnya.
"Kenapa?"
"Maaf Yang Mulia. Saya lupa berpamitan dengan anda. Semoga hari anda menyenangkan" Nat menangkup tangannya didepan perut dan mulai membungkuk memberi salam hormat.
Dahi Fort berkerut bingung, matanya menatap Nat aneh. Kenapa pria ini tiba tiba bersikap seperti ini padanya? Namun pikiran tersebut segera Fort tepis karena teringat jika Saifah pasti sudah menunggunya dipelataran istana. Ia harus bergegas karena pagi ini ia akan pergi mengunjungi kamp militer.
"Ah baik, semoga harimu menyenangkan juga Nat" Fort kembali membalikkan tubuhnya dan berniat kembali melanjutkan perjalanannya.
"Y-Yang Mulia"
Fort kembali membalikkan tubuhnya dengan raut tak senang. Ia sudah terlambat hampir satu jam lamanya karena harus mengikuti Peat sepanjang pagi dan sekarang pria didepannya ini juga memperlambat pekerjaannya.
"Anu- maaf jika saya lancang, tapi-" Dengan cepat Nat melangkah mendekat dan segera meraih dasi Fort yang sedikit miring. Tangannya mulai bergerak memperbaiki dasi tersebut dengan kepala tertunduk.
Tanpa sadar Fort sedikit tersentak hingga tubuhnya mundur satu langkah. Matanya bergerak sejalan dengan pergerakan Nat yang tiba tiba.
"Sudah Yang Mulia" Nat segera melangkah mundur setelah selesai memperbaiki dasi sang Putera Mahkota, tubuhnya turut kembali memberikan salam hormat pada pria besar didepannya itu.
"Lain kali jangan seperti ini. Aku tak menyukainya" Nada dingin dari sang Putera Mahkota selesai bersamaan dengan perginya ia menuju pelataran istana.
Kepala dari pria kecil itu kemudian terangkat, ia melihat bagaimana pria besar itu melonggarkan kembali dasi yang ia perbaiki dan secepat angin membuangnya ke tanah.
"Hah... Tak apa Nat, kau bisa mencobanya lain kali"
-----
Panas terik matahari menyongsong sangat kuat. Tembok tinggi yang disusun dari semen dan batu menjulang tinggi menutupi daerah luas yang diisi oleh bangunan dan tenda tenda barak besar.
Terlihat sepuluh orang dalam rombongan berdiri didepan gerbang dengan tubuh tegap yang berbaris rapi. Satu diantaranya tampak berjalan sendirian kedepan dan kemudian berlutut dengan satu kaki sebelum memberi penghormatan pada Putera Mahkota yang baru saja turun dari mobilnya.
"Selamat datang Yang Mulia, suatu kehormatan bagi kami atas kedatangan anda" Serempak dengan suara penyanjungan yang dilontarkan sang atasan, para bawahan yang masih berbaris dibelakang ikut memberikan salam penghormatan yang sama persis seperti yang dilakukan sang atasan.
Fort mengangguk ringan dan menepuk pundak sang Jenderal untuk menyuruhnya kembali berdiri.
Sesaat kemudian Jenderal tersebut berdiri dan diikuti oleh bawahannya. Dengan senyum lebar Fort meraih tangan kasar tersebut dan menjabatnya erat.
"Bagaimana? Apa semua baik?"
"Terimakasih Yang Mulia, semuanya berkat anda" Sang Jenderal membalas jabatan tangan tersebut tak kalah erat, dengan sedikit gestur tangan untuk mempersilahkan masuk, Fort melepaskan jabatan tangan mereka dan mulai melangkah maju masuk kedalam kamp militer.
Putera Mahkota berjalan didampingi oleh sang Jenderal disisinya, diiringi dengan Saifah yang berada dibelakang mereka dan sembilan bawahan yang berjaga dibagian belakang.
Obrolan seriuspun dimulai, mereka berdiskusi mengenai jalannya pelatihan, tujuan kedatangan dan tugas tugas yang diemban. Tentu saja tak luput masalah mengenai human trafficking yang akhir akhir ini Fort selidiki. Masalah utama yang kini ia percayakan pada pasukan militer.
Setelah memperoleh informasi lanjutan dari Max minggu lalu mengenai jalur distribusi dan tempat biasa dilakukannya pelelangan, Fort mulai menaruh beberapa anggota militer ditempat yang dicurigai. Hal ini ia lakukan untuk mempersempit celah bagi para penjahat itu untuk melakukan aksinya.
Selama perjalanan menuju barak utama, setiap prajurit militer memberhentikan latihan mereka dan membungkuk hormat menyapa pemegang kekuasaan tertinggi militer yang tak lain adalah Putera Mahkota.
Seluruh prajurit berdecak kagum melihat bagaimana gagah dan penuh wibawanya si petinggi militer. Title alpha terbaik dari yang terbaik bukanlah sekedar omong kosong belaka. Tubuh yang tinggi bahkan paling tinggi diantara seluruh alpha yang berada dikemiliteran. Semua masa otot terbentuk baik, bahu bidang tegap, dada yang membusung dan pinggang yang ramping.
Tak hanya tubuh yang bagus, bahkan rupa dari sang Putera Mahkota pun tak main main. Mata besar beriris aqua dengan alis tebal yang memberi kesan tegas diwajahnya, hidung tinggi bangir serta bibir penuh membuat wajah tersebut semakin berkali lipat rupawan. Meskipun pipi sang Putera Mahkota bisa dibilang cukup berisi, garis rahang tajamnya membuat struktur wajahnya terlihat semakin sempurna.
Gerombolan Putera Mahkota itupun akhirnya memasuki barak utama. Semuanya duduk dengan bagian kepala diduduki oleh Putera Mahkota. Beberapa bawahan yang sebelumnya mengikuti tampak menyediakan beberapa hidangan pantas diatas meja.
"Mengenai human trafficking yang Yang Mulia katakan minggu lalu. Lima hari yang lalu pihak kepolisian datang dan menyerahkan setumpuk dokumen mengenai laporan kehilangan orang. Mereka mengatakan jika laporan tersebut sudah masuk dan diproses kurang lebih seminggu lamanya, namun mereka menemui jalan buntu dan meminta kita untuk melanjutkannya"
Fort mengangguk paham. Permasalahan ini mulai semakin pelik dan runyam. Sebelumnya tak ada laporan kehilangan karena pada dasarnya mereka menculik para omega dan female beta dari panti asuhan atau jalanan. Sehingga data dari orang orang tersebut dapat dengan mudah dimanipulasi. Belum lagi pihak panti asuhan umumnya bekerjasama karena jumlah uang yang ditawarkan kemungkinan sangat besar.
"Kapan laporan tersebut masuk ke kepolisian?"
"Sehari setelah pesta pernikahan Pangeran Noeul, Yang Mulia"
-----
'Nick, bantu aku'
'Bersama'
Disisi danau yang terbentang luas, seekor serigala dengan bulu putih tampak berdiri disisi seseorang yang tengah bersila duduk diatas kayu lapuk besar yang sudah rebah. Keduanya tampak memejamkan mata sebelum membukanya lebar lebar dan menatap fokus ketengah danau.
Perlahan airpun beriak, sedikit demi sedikit berangsur membentuk gelombang yang lebih tinggi. Tak lama gelombang air pun bergerak memutar, membuat pusaran besar hingga bagian tengahnya menciptakan lorong gelap yang mulai memancarkan cahaya putih.
Senyum merekah terlihat dari Peat maupun Nick. Akhirnya mereka berhasil dipercobaan keempat mereka hari ini. Namun pekerjaan mereka tak sampai disitu. Mereka juga harus membuat portal tersebut menjadi seterang mungkin seperti instruksi yang Luna ucapkan.
Keduanya kembali melanjutkan untuk memfokuskan diri pada portal yang sudah mereka buat. Keringat bahkan sudah bercucuran, namun hal itu tak menyurutkan semangat keduanya untuk menyelesaikan pelatihan mereka hari ini.
Cahaya putih dari portal tersebut makin lama semakin bersinar terang. Membuat mata mereka sedikit perih karena cahaya yang bersinar terlalu kuat. Lambat laun cahaya tersebut mulai meredup menyesuaikan, bersamaan dengan bayang postur ramping seseorang yang keluar dari dalam sana.
Deggg
"Luna?"
-----
Mata senja yang mulai dipenuhi keriput itu tampak menatap lurus tembok didepannya. Jemari dengan kulit yang tak lagi kencang itupun mengetuk ngetuk kaca meja kerja miliknya. Tangannya yang lain tampak menopang sebuah benda persegi panjang disamping telinganya.
Pip
"Sore Tuan"
"Bagaimana perkembangan dokumen yang kuminta?" Tak suka berbasa basi, Perdana Menteri Jom lebih memilih menanyakan pertanyaannya secara to the point.
"Kedua dokumen telah selesai 50 persen Tuan, hanya perlu mengolah hasilnya sedikit lagi sebelum semuanya rampung"
"Begini saja, kalian selesaikan dokumen palsu terlebih dahulu. Aku ingin publikasi tersebut selesai dalam 3 hari karena aku membutuhkannya dalam waktu cepat. Aku tak bisa lagi membiarkan anak itu bersenang senang walaupun hanya beberapa hari."
"Baik Tuan"
Pip
Sambungan telepon tersebut berakhir. Senyum lebar pun terukir dibibir Perdana Menteri Jom ketika bayangan kemenangannya semakin dekat didepan mata.
Akhirnya dalam hitungan hari ia akan menggenggam senjata manusia yang melegenda tersebut. Senjata manusia yang sempat ada seratus tahun yang lalu, namun dengan bodohnya para pendahulunya malah menyingkirkan sang rare species tanpa memanfaatkannya. Mereka menganggap omega tersebut melakukan sihir jahat pada darahnya sendiri dan kemudian membunuhnya.
Beruntung teknologi zaman sekarang mampu mengeidentifikasi darah tersebut dengan baik, omega itu memiliki darah penawar dan akan memanfaatkannya untuk kepentingannya sendiri.
Setelah senjata biologis yang ia buat rampung dalam beberapa bulan kedepan, ia akan menyebarkannya dan menciptakan suatu penyakit menular yang mematikan. Sehingga ia akan menjadi satu satunya harapan untuk menyembuhkan penyakit mengerikan tersebut.
Meskipun ia tak bisa menduduki tahta tertinggi di wilayah Azea karena posisi Raja adalah sepenuhnya perkara takdir, setidaknya ia bisa menjadikan anak omeganya menjadi calon Omega Agung. Ia akan membuat penawaran yang tak akan mungkin ditolak oleh Putera Mahkota dan membuatnya menikahi anaknya.
-----
Brukk
Setumpuk dokumen jatuh tepat diatas meja kayu. Pria dengan kulit eksotis itupun segera meraih tumpukan dokumen tersebut dan mulai membukanya.
"Saya tak percaya harus mengatakan ini pada anda Yang Mulia. Tetapi memang merekalah dalang dari semua masalah ini" Pria yang tampak mengenakan ripped jeans dan kemeja hitam itu mulai membakar batang nikotin ditangannya. Menyesapnya sambil menatap kearah Putera Mahkota yang serius dengan dokumen ditangannya.
"Cih, parasit seperti mereka memang tak akan pernah puas dengan apa yang mereka miliki saat ini" Dengan wajah bengis Fort membaca nama nama yang tercantum didalam dokumen yang ia pegang.
Net? Sial! Ia merasa seperti ditusuk dari belakang. Ia pikir pria itu berbeda dari ayahnya, ia pikir Net akan lebih rasional dibandingkan pria tua bangka itu. Namun tetap saja, darah jauh lebih kental dari pada air. Sebagus apapun sampul yang ia kenakan, bagian dalamnya akan tetap busuk seperti sumbernya.
Perdana Menteri Jom. Pria tua tamak itu sama sekali tak mengejutkan Fort. Bau busuk sudah lama tercium dari pria tua itu, namun Fort tak pernah mendapatkan bukti pasti mengenai kejahatan yang diperbuat olehnya.
Misalnya saja seperti pembangunan yang belakangan ini sering dilakukan. Estimasi yang seharusnya selesai dalam kurun waktu setahun menjadi mundur hingga dua atau dua setengah tahun. Bahkan beberapa proyek terlihat masih belum selesai hingga sekarang. Dan bagian terburuknya ialah semua proyek ini diajukan oleh Perdana Menteri Jom.
Bukannya tak pernah dilakukan audit terhadap proyek yang ia lakukan, namun hasilnya selalu nihil dan alasan utama yang digunakan selalu kekurangan sumber daya manusia. Sehingga tak ada bukti pasti yang mengarah pada kebusukan pria tua itu.
Fort rasanya seperti mendapatkan jackpot sekaligus pil pahit secara bersamaan. Ditangannya terdapat bukti untuk menghancurkan pria tua itu namun secara bersamaan ia harus menghancurkan sahabatnya sendiri. Menyedihkan.
Oh Fuck! Bahkan ia teringat kembali jika sahabat bajingannya itu bahkan sudah mereject fated pairnya sendiri. Apa yang bajingan itu pikirkan sebenarnya?
Fort sangat yakin jika Net begitu memuja James, bahkan Fort sangat tahu bagaimana frustasinya alpha itu saat menyudahi hubungan percintaannya dengan sang fated pair. Untuk pertama kalinya Fort melihat seorang alpha yang benar benar berada dibawah kaki omeganya. Net begitu mencintai James dan sangat tidak mungkin pria itu tega mengkhianati James.
Tunggu!
Bukankah ini tak masuk akal? Bagaimana mungkin seorang Net mampu menikahi orang lain dan mereject fated pair yang begitu ia cintai?
"Yang Mulia"
Ttsss
Panggilan yang ditujukan padanya membuat Fort tersadar dari pikirannya dan menoleh pada sumber suara. Terlihat Max tengah menekan puntung rokoknya yang sudah habis setengah ketiang penyangga batu sebelum membuangnya sembarangan.
"Nat. Dia berbeda. Kuharap kau mengerti maksudku" Fort mendengus kecil mendengar ucapan Max, tangannya mulai menutup dokumen yang ia pegang dan menaruhnya diatas meja kayu tersebut.
"Apa yang kau harapkan Max? Dipukuli dan hampir mati seperti tiga tahun lalu? Kau yakin?"
"Itu ayahnya, bukan Nat. Dan itu semua karena aku-"
"Rouges? Kau yakin?"
Max tak menjawab. Bibirnya terkatup rapat seolah tak memiliki jawaban apapun atas pertanyaan Fort. Mata tajam itu hanya mampu menatap lekat meja kayu yang berisikan setumpuk dokumen didepannya.
"Rouges pack memang terasingkan dan dihindari. Bahkan tak jarang yang berharap pack kalian untuk musnah-" Max mengepalkan erat tangannya mendengar penuturan Putera Mahkota, mata tajamnya beralih menatap Putera Mahkota sinis. Ia tak suka packnya direndahkan.
"-tapi ini berbeda Max. Meskipun kau bukan rouges kau tetap akan dipukuli dan dijauhkan dari Nat. Bahkan lebih parah karena kaum biasa akan lebih mudah dijangkau olehnya. Kupikir kau tau apa yang terjadi dengan James"
Pria besar dengan kulit terang itu kembali mengendurkan kepalan tangannya. Putera Mahkota benar, apapun atau siapapun dirinya tetap akan berakhir naas jika terhubung dengan anggota keluarga Perdana Menteri.
James. Pemuda naif yang banyak mengalami masalah hanya karena menjadi fated pair dari anak sulung Perdana Menteri. Tak banyak yang tau mengenai alasan hancurnya keluarga James beberapa tahun yang lalu, bahkan pemuda cantik itu sendiri tak mengetahui kebenaran dibalik cerita orang tuanya. Ayahnya yang selalu dibujuk dan dihasut dengan puluhan omega hingga status yang naik hanya dalam kurun waktu singkat, membuat semua keuntungan yang diperoleh ayah James mengundang perpecahan didalam keluarganya, hingga terjadilah reject yang membuat ibunya meninggal. Ayahnya? Menghilang seperti asap setelah pergi meninggalkan keluarganya.
"Hei Max. Dari begitu banyak rouges, satu satunya yang kukenal hanyalah kau. Jadi dalam pandanganku kalian tidaklah seburuk yang dikatakan orang orang. Bahkan kau mau membantuku untuk melakukan hal seperti ini" Tangan besar milik Fort kembali meraih dokumen diatas meja kayu tersebut. Berdiri dari posisinya dan menatap lurus kearah pria besar yang kini masih termangu dikursinya.
"Sebentar lagi Max. Kuharap kau bisa menunggu" Fort kemudian berbalik dari posisinya dan melangkah meninggalkan Max diruangan tersebut, ruang bawah tanah yang biasanya selalu dijadikan tempat pertemuan tersembunyi oleh para rouges.
-----
Deru mobil sedan hitam mulai bersatu dengan suara riuh jalan raya. Pria dengan setelan yang sudah tak bisa dibilang rapi itu mulai bersandar pada sandaran kursi penumpang belakang dengan mata yang menatap kosong keluar jendela.
Begitu banyak permasalahan yang berkecamuk didalam otaknya. Meskipun titik terang sudah ia peroleh, namun kepalanya menjadi sangat berat karena terlalu banyak menampung informasi.
Ting!
Fort segera merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel miliknya yang baru saja berbunyi. Senyumnya merekah sempurna ketika melihat nama pengirim pesan dilayar ponselnya.
Tuk
Tuk
'Aku ingin ke club, mau pergi bersama?'
TBC
Komentar
Posting Komentar