FORTPEAT - RARE SPECIES - 14
Hujan deras menyambut datangnya mobil sedan yang baru saja melewati perbatasan wilayah inti dan wilayah pendamping. Net buru buru menaikan kaca mobil agar tertutup dengan sempurna. Tak ingin mengambil resiko apapun karena dirinya dan James yang masih sebatas fated pair.
Rintikan hujan yang mulai menghujami badan mobil terdengar sangat merdu. Menciptakan suasana hening yang damai diantara mereka.
Mata tajam milik Net melirik sekilas kesamping, ia tahu jika James sangat menyukai hujan. Apalagi hujan deras dengan suara yang memekakan telinga. Katanya, suara hujan bisa mengalihkan pikiran beratnya untuk sementara.
Pria dengan garis rahang tajam itu tersenyum tipis ketika melihat bibir plump itu menarik kedua sudut bibirnya. Senyum James adalah indah yang tak akan pernah ia ragukan. Dan bahkan semakin hari terlihat semakin menawan.
Mata tajam itu kembali menatap jalan. Tak lucu jika mereka mati konyol hanya karena dirinya yang sibuk jatuh cinta pada fated pairnya.
Dibagian belakang mobil tampak seseorang yang masih setia merengkuh pria cantik didekapannya. Matanya tak lepas barang sedetik pun dari wajah yang berangsur memerah. Salah satu sudut bibir terangkat diiringi dengusan tipis, membuat senyuman tak percaya yang ia lontarkan untuk dirinya sendiri.
Apa sebenarnya yang ia lakukan disini?
Kenapa ia rela meninggalkan tumpukan pekerjaan pada asistennya dan memilih pergi bersama omega ini?
Fort mulai ragu pada dirinya sendiri. Ketika ia melihat punggung omega itu menghilang dari pandangannya pagi ini, membuat hatinya sangat gundah. Ia bahkan tak bisa berpikir lurus dan fokus dengan apa yang ia kerjakan.
'Cih, dasar bajingan munafik. Katakan saja jika kau mencintainya'
Mata besar itu kemudian menatap mata rusa yang terpejam itu kembali, mengacuhkan suara Judy yang mengoloknya dari dalam.
Bukan hal aneh memang jika ia mencintai pria secantik ini. Kulit halus, pipi memerah dengan bibir kemerahan. Hidung bangir dengan bias memerah diujungnya. Jemari yang lentik dan telapak tangan yang lembut. Rambut hitam dengan tekstur yang halus. Tubuh kecil dengan pinggang yang ramping. Ah, jangan lupakan mata rusa itu. Berbinar dengan iris cokelat terang, belum lagi jika mata itu memantulkan cahaya terang, Fort seperti melihat kristal berkilau dari dalam sana.
Calon istrinya benar benar ciptaan sempurna.
Tapi apa benar ia mencintai pria ini? Pria ini dingin dengan mulutnya yang tajam.
Ah, tidak. Fort tau alasannya sekarang. Pertama, ibunya memerintahkan Fort mengawasi omega ini, sekarang Peat dalam status tawanan dalam pengawasannya, tak boleh ada kejadian yang mengarah pada hancurnya wilayah. Kedua, sebagai manusia biasa Fort hanya merasa bersalah karena insiden pagi ini, ya, Fort tau ucapannya salah dan bahkan ia tak meminta maaf. Dan yang terakhir, jatah tidur bersamanya masih belum selesai, dan ia disini untuk memenuhi perjanjian mereka.
That's it! Hanya itu.
'Heh! Bajingan munafik!'
Fort tak menanggapi olokan Judy. Fort lebih memilih merapikan kembali selimut yang Peat kenakan dan membawanya hingga perbatasan bahu. Membuat tubuh Peat beringsut lebih dalam dan mengusakan kepalanya didada Fort.
Tanpa sadar bibir penuh itu menyunggingkan senyum tipis dan kembali mengeratkan pelukannya.
-----
Pria besar dengan tubuh tegap itu mulai membaringkan tubuh kecil dari omega digendongannya keatas ranjang berukuran king size, setelah sebelumnya menghiraukan rengekan sahabatnya yang mengadu karena James tak mau satu kamar dengannya.
Telapak tangan besar itu kembali meraba ceruk leher dan dahi Peat. Menyunggingkan senyum kecil ketika panas dari tubuh omega ini sudah hilang sepenuhnya. Tentu saja dengan feromonnya sebagai terapi pertama.
"Eungh.." Lenguhan dalam tidur Peat membuat Fort yang sebelumnya berniat ingin membereskan barang milik mereka, bergegas menuju tempat tidur dari kamar hotel.
"Ya, kenapa? Kau butuh sesuatu?" Fort mengusap kepala Peat ketika melihat mata rusa itu mulai terbuka perlahan.
"Eung? Kau- siapa?" Dahi Peat berkerut ketika melihat pemandangan asing dimatanya.
"Kau tak mengenalku?" Dahi Fort tak kalah berkerut. Kenapa Peat tak mengenalinya?
"Ugh.. Sepertinya aku harus tidur kembali. Kenapa aku behalusinasi Fort disini"
Srett
Peat kembali menarik selimutnya hingga hanya menampakkan kepalanya saja, ia kemudian memutar tubuhnya untuk berbaring dalam posisi menyamping.
"Pfftt" Fort menahan bibirnya dengan kepalan tangan, menghalau suara tawanya agar tak pecah karena kelucuan omega didepannya. Fort tak mengira jika Peat tengah mengigau saat ini.
Dengan sisa tawanya, Fort kembali menuruni kasur dan mulai membereskan koper mereka yang sudah ia buka sebelumnya.
-----
Brakk
Hempasan dokumen diatas lantai marmer itu membuat pria dengan pakaian formal itu terkejut. Buru buru ia mengemasi dokumen yang sudah berantakan itu untuk dibawa kembali kedalam dekapannya. Tak ingin tuannya semakin marah karena ruangannya menjadi kacau dan kotor.
"Kau pikir aku percaya dengan informasi yang kau berikan hah? Dari namanya saja sudah mencurigakan! Peat Wasuthorn. Siapa yang memiliki nama dengan dua kosa kata seperti itu! Dan apa? Anak dari tengkulak beras? Kau pikir anak tengkulak beras akan mampu bersekolah disekolah mahal seperti itu?! Belum lagi alamat rumah yang kau berikan palsu, itu sama sekali tak ada diwilayah Azea! Ajaklah otakmu untuk berpikir bodoh! Sia sia aku menyuruhmu mengumpulkan informasi ini hampir sebulan. Aku tak mau tau, kau harus mengumpulkannya kembali dan akan kuterima sebelum dua minggu dari sekarang"
Perdana Menteri Jom menghempaskan tubuhnya pada kursi putar miliknya sambil memijit pelipisnya yang mulai sakit. Tangannya bergerak seolah menyuruh bawahannya untuk keluar.
"Ah, kau panggilkan Nat kemari" Bawahan tersebut mengangguk dan kemudian berlalu keluar ruangan untuk mencari orang yang diperintahkan tuannya.
-----
Tap
Tap
Tap
Buk
Langkah pendek itu tiba tiba berhenti diiringi dengan tubuh besar dibelakangnya yang tanpa sengaja menabrak tubuh Peat hingga ia sedikit terhuyung kedepan.
Peat kemudian memutar tubuhnya dan menatap tajam kearah Fort yang menatapnya bingung saat ini. Satu alis Fort terangkat seolah bertanya kenapa.
"Kau tak bisakah memakai softlens atau sebagainya? Kau mengundang banyak perhatian dengan mata birumu itu!" Keluh Peat dengan gigi yang terkatup rapat, tak ingin suaranya lebih keras.
"Hei, kau pikir mereka akan mengacuhkan pria tampan sepertiku setelah mengubah warna mata? Ayolah Peat, akui saja aku ini memang menarik. Dan lagi, kau pikir mereka tidak tau siapa calon Raja mereka selanjutnya?" Fort menggeleng lemah sambil memutar pundak Peat untuk kembali melihat kedepan.
"Dan-"
Plakk
"-Tak usah merangkulku. Apa yang mereka katakan jika melihatmu bersamaku." Peat menatap sinis Fort setelah memukul tangan pria itu yang baru saja bertengger dipundaknya. Peat tak suka perhatian berlebihan dari banyak orang.
"Tsk, kau pikir hanya aku saja yang menarik perhatian orang disini? Kau pun sama! Ingat, Kau sudah diberitakan dibanyak media Peat. Apa yang harus ditutupi?" Fort memutar bola matanya malas mendengar keluhan Peat. Apa omega ini mulai pikun?
"Psstt.. Satu lagi. Ini umum, kita harus terlihat mesra bukan?" Fort berbisik sebelum mengedipkan satu matanya pada Peat. Tangannya menjadi lebih berani dengan melilitkannya pada pinggang ramping yang hanya tertutupi kemeja putih tipis itu.
Peat mendengus. Kali ini ia kalah. Tak ada alasan lagi untuk mengelak. Peat benar benar baru ingat jika ia sudah pernah tampil diberbagai macam media. Dan tentu saja hal itu sampai pada wilayah pendamping.
Dan sekarang bagaimana nasibnya? Ia bukan ingin berlibur kesini. Peat ingin menemui Khun Tan untuk meminta bantuan. Dan sekarang ia dikenali semua orang bahkan ditempeli makhluk raksasa hitam ini.
Untung saja ia dapat dengan cepat meminta pertemuan dengam koleganya di perusahaan. Jadi tak banyak hal yang harus ia tangani untuk hari ini.
Tapi bagaimana dengan besok? Peat harus menemui Khun Tan bagaimanapun juga. Satu satunya orang yang masih bisa ia andalkan saat ini hanyalah Khun Tan. Dan sangat jelas ia tak ingin melewatkan rencana itu.
Mata rusa itu melirik sebentar kearah Fort yang berada disebelah kanannya. Otaknya kembali bekerja, Kenapa pria ini disini? Bukankah Fort sendiri yang melarang Peat untuk pergi ke wilayah ini?
Tapi Peat malas untuk bertanya. Berbicara dengan Fort selalu membutuhkan usaha lebih. Kondisi tubuh dan suasana hatinya sedang tidak baik, jadi Peat enggan untuk memulai perdebatan. Tapi ia sangat penasaran! Ugh!
"Kau pasti ingin menanyakan kenapa aku disini?" Tanpa menoleh Fort melontarkan pernyataan yang membuat Peat kaget. Kenapa pria ini bisa tahu jalan pikiran Peat? Apa alpha calon Raja diberikan kelebihan seperti itu?
"Aku hanya ingin memenuhi perjanjian kita. Kau ingat? Jatah tidur kita masih tersisa satu malam lagi"
"Eh? Hanya itu?" Peat menyipitkan matanya tak percaya. Kenapa rasanya tidak benar?
Fort mengangguk ringan, ia tahu jawabannya konyol dan ia hanya ingin Peat tak banyak bertanya tentang kehadirannya.
"Terserah" Peat memutar bola matanya malas. Tak ingin melanjutkan perdebatan tak berguna dengan raksasa hitam disampingnya.
Drrtt
Ponsel Peat yang berada disaku celananya bergetar. Membuat pria yang berbalut celana denim longgar dengan kemeja putih tipis itu merogoh saku celananya dan membaca pesan yang ada disana.
Ah. Peat, kupikir kami akan terjebak macet selama satu jam. Kau tau, lalu lintas sepulang kerja memang selalu menjadi permasalahan. Apa tak apa jika kau menunggu?
Peat menatap ponselnya nanar. Apa ia harus menghabiskan waktu satu jam kedepan dengan pria raksasa disampingnya ini?
Niatnya untuk menghindari berduaan dengan pria besar ini setelah terbangun pukul 4 sore gagal sudah. Dan naasnya lagi sekarang ia harus menghabiskan waktu selama satu jam di kafe pertemuan yang sudah berada tepat didepan mata mereka.
Sial!
-----
Seorang pria dengan jaket denimnya tampak berbaring didepan pintu sebuah kamar hotel. Pria tan itu mengembangkan seluruh anggota geraknya hingga lorong hotel terisi separuh.
Sudah hampir 5 jam ia menunggu James membukakan pintu kamar, tapi tak ada satupun tanda tanda pria cantiknya akan keluar. Dan kini ia memilih menunjukan protes dengan berbaring layaknya orang demo.
Net melirik ponselnya yang masih menyala disamping kepalanya. Bibir itu tersenyum tipis karena James masih enggan mematikan sambungan panggilannya.
"Aku masih disini James. Aku tidur hanya beralaskan lantai dingin tanpa alas hangat sama sekali. Bahkan lantainya kotor. Sepertinya aku akan terkena flu malam ini" Ucap Net dengan penuh dramatisir. Tak tinggal, bersin palsu pun Net keluarkan diakhir untuk membuat James sepenuhnya percaya.
Satu menit pun berlalu, setengah jam pun berlalu dan satu jam pun berlalu. Pintu kamar itu masih tak bergeming sama sekali. Net melirik kembali ponselnya, daya baterai ponselnya menipis. 10 persen lagi untuk 30 menit kedepan.
Ya Tuhan! Bagaimana jika James masih tak membukakan pintu untuknya? Dimana ia akan tidur malam ini?
Tsk! Omega ini benar benar tak menurunkan pengawasannya. Net hanya ingin melepas rindu dengannya. Bahkan pertemuan terakhir mereka saja Net tak ingat kapan. Untung saja ia mendengar Fort akan ikut dalam perjalanan calon Omega Agung dan James saat mereka tersambung diponsel pagi ini. Jadilah ia memohon pada Fort dengan berbagai macam imbalan dibelakangnya. Cih, temannya itu. Berikan saja beberapa submisif dan ia akan mengabulkan permintaanmu.
"James.. Aku-"
Cklek
Baru saja Net ingin mengadu melalui panggilan telpon, suara pintu yang dibuka akhirnya terdengar. Pria tan itu akhirnya tersenyum lebar saat melihat pria cantik yang sedari tadi ia tunggu hadir didepan matanya.
"Masuk"
"James!"
-----
Peat mendengus ketika secara terpaksa ia menyendok setumpuk crepes untuk disuapi pada pria besar disampingnya. Senyum yang terlihat sangat dipaksakan ia arahkan pada Fort yang sudah melahap habis setumpuk crepes pada sendok yang Peat pegang.
"Terimakasih calon istriku" Fort mengusap surai hitam Peat dengan lembut. Bibirnya tersenyum dan dilanjutkan dengan mengunyah crepes yang berada didalam mulutnya.
Peat mengangguk dengan senyum paksanya. Tangannya kini mengambil gelas kopi yang ia pesan lalu memutar tubuhnya menghadap depan. Baru saja ia akan menyeruput es kopi karamel yang ia miliki, puluhan pasang mata menatapnya aneh.
Apa ada yang salah dengannya?
"Psstt.. Sepertinya mereka melihat senyum palsumu Peat. Kau harus berakting lebih baik lagi" Peat menatap sinis kearah Fort sesaat sebelum memejamkan matanya dan menghembuskan napas berat. Bahkan untuk bersantai saja dia tak bisa! Ugh! Menyebalkan.
Buk
Peat merebahkan tubuhnya kearah Fort. Menaruh kepalanya untuk beralaskan pundak Fort. Tangannya yang masih memegangi gelas kopi terangkat hingga sedotannya sampai didepan bibir Fort.
"Kau mau, calon suami?" Peat tersenyum tipis dengan mata yang mengerjap lucu menatap Fort. Demi ketenangan dan reputasi kerajaan, ia akan berakting baik sekarang.
"Tentu, tapi akan lebih enak jika kita meminumnya berdua dari mulutmu, bagaimana?" Fort menaik turunkan alisnya, siapa tahu Peat mau karena ia sudah dalam mode sandiwaranya.
Bugh
"Jangan bercanda, kita ditempat umum sekarang. Hehe, ayo cobalah. Ini sangat enak" Peat menyikut perut Fort sebelum kembali mengarahkan sedotan pada bibir pria besar itu dengan senyum tipis dibibirnya. Tak bisakah Fort menyembunyikan otak mesumnya untuk beberapa saat? Menyebalkan.
Fort memegangi perutnya sesaat dan terkekeh geli. Menggoda Peat benar benar menyenangkan.
Bibir penuh itu kemudian menyeruput kopi yang ditawarkan oleh Peat dan tersenyum kemudian. Tangannya beralih merangkul pundak Peat dan mengusapnya dengan lembut.
Beberapa waktu dua calon pemilik tahta itu bertahan dalam posisi mereka. Kini mereka sudah mampu mengabaikan tatapan beragam dari bermacam manusia yang berlalu lalang didalam kafe.
Setelah satu jam lebih beberapa menit menunggu. Rekan kerja dari perusahaan pun mulai datang. Mereka bahkan tak lupa memberi salam hormat pada Putera Mahkota dan calon Omega Agung.
Dalam percakapan sore menjelang malam itu pun diisi dengan berbagai macam cerita dan tawa. Tak lupa dengan Peat yang turut menyerahkan surat pengunduran diri yang sudah lama ia buat. Setidaknya ia harus pamit secara baik baik pada rekan kerjanya sebelum benar benar menaiki tahta nanti.
-----
Puk
"Oh, First!" First tersenyum sebentar mendengar sahutan Peat dan mulai menurunkan resleting celananya untuk menuntaskan hasrat buang air kecil yang ia rasakan.
Peat pun segera menarik resleting celananya ketika urusannya selesai. Kakinya kemudian berjalan menuju wastafel dan mulai menyalakan keran.
Dibelakangnya First juga mulai menyelesaikan urusannya dan menyusul Peat untuk mencuci tangan. Keduanya hening untuk beberapa saat sebelum mereka saling bertatapan.
"Selamat Peat. Tak ada satupun dari kami yang tau jika kau adalah calon Omega Agung" First memulai percakapan diantara mereka. Tangannya mengambil tisu kering dan mulai mengeringkan tangan basahnya.
"Hah.. Bahkan aku saja tak mengira jika akan menjadi seorang Omega Agung. Apa menurutmu aku pantas?" Peat mendudukan tubuhnya dipinggiran wastafel dan mulai menatap langit langit kamar mandi.
Srett
"Rokok?" Tawar First dengan menyodorkan sekotak rokok miliknya kehadapan Peat. Tanpa basa basi Peat mengambil sebatang nikotin itu dan mulai menaruhnya dicelah bibir. Tangannya juga meraih korek yang ditawarkan oleh First padanya.
Kepulan asap kemudian keluar dari bibir First. Tubuhnya juga berputar dan kemudian duduk diatas wastafel seperti halnya yang Peat lakukan.
"Menurutku kau bisa menjadi apa saja selama kau menginginkannya. Dan menurutku kinerjamu juga baik, aku yakin kau akan terampil menjadi Omega Agung kelak" First mengetuk beberapa kali batang nikotin itu untuk menurunkan abu yang ada diujungnya.
"Terimakasih. Aku akan mencoba semampuku" Peat menyesap nikotin pertamanya setelah sebulan lebih lamanya tak bersentuhan dengan rokok. Ingat, kerajaan selalu mengutamakan kesehatan mereka, jadi hal hal seperti rokok tentu tak diizinkan disana. Peat ingat hari pertama saat ia sadar tak memiliki rokok disana, Peat hampir melahap semua makanan yang disajika diatas meja karena mulutnya yang terasa sangat aneh.
"Tapi apa kau menginginkannya Peat?"
Degg
Peat terdiam, pertanyaan First membuat kepalanya kembali bekerja. Itu benar. Apa Peat menginginkan tahta ini? Dengan tegas tentu Peat mengatakan tidak. Tapi dengan semua kejadian yang ia lihat, rasa peduli dan kasihannya beribu kali lipat meningkat. Membuatnya menginginkan tahta ini dan ingin mengubah beberapa hal. Ya, meskipun sampai sekarang Peat tak tahu bagaimana jalan untuk mengubahnya, tapi dengan tahta yang ia miliki nanti setidaknya dia lebih tinggi satu tapak dibanding kaumnya. Jelas ia mampu melindungi mereka dengan kuasanya.
"Ah, maksudku disamping kenyataan jika hal itu adalah takdir, apa kau menginginkan menjadi seorang Omega Agung?"
Peat menoleh kearah First yang tampak menggaruk tengkuknya. First takut jika ia salah bicara dan membuat Peat tidak nyaman. Hei! Ia tengah berbicara dengan calon Omega Agung sekarang, bukan dengan rekan kerjanya Peat. Wajar jika First sedikit merasa was was.
"Aku sendiri tak tahu First. Aku sama sekali tak menginginkan tahta untuk diriku sendiri, aku tak menginginkan kemewahan dan kelimpahan yang kerajaan miliki. Menurutku menjadi karyawan dari perusahaan sudah cukup untuk memenuhi segala kebutuhanku. Bahkan dulu aku sering berandai memiliki seorang istri cantik dan dua anak untuk meramaikan apartemenku. Tapi sekarang tak bisa lagi, takdirku berkata lain dan aku harus menjalaninya. Bahkan akulah yang akan menjadi istri dari seseorang. Bukankah itu lucu?"
Peat menyalakan keran wastafel kosong disebelahnya dan mulai membasahi ujung rokoknya yang masih menyala. Rokok yang hanya sekali ia sesap itu kini ia lempar kedalam bak sampah yang berada didekatnya.
Peat menuruni wastafel yang ia duduki dan berniat keluar dari kamar mandi. Namun tangan First menepuk bahunya beberapa kali dan membuat Peat menoleh kearahnya.
"Theme. Dia kacau setelah kau menghilang. Dan semakin gila ketika melihat namamu disurat kabar dan media lainnya Peat. Kau tau-"
"Ya First, aku tau. Sampaikan maafku padanya, aku tak bisa mengunjunginya ke apartemennya saat ini. Semua orang mengenaliku" Peat kemudian berlalu setelah melihat First mengangguk ringan. Tangannya kemudian meraih gagang pintu dan mulai menariknya kearah dalam.
"Sudah selesai?"
Degg
"Ya-Yang Mulia.." Peat sedikit tersentak ketika mendapati Fort tengah bersandar pada dinding disamping pintu kamar mandi.
"Se-sejak-"
"Sejak kau bertanya apakah kau pantas menjadi seorang Omega Agung" Fort kemudian berdiri tegap dari posisinya. Memutar tubuhnya menghadap Peat dengan tangan yang berada disaku celananya.
"Kau mendengar semua rupanya. Hm.. Aku-"
"Sudahlah. Lupakan. Sekarang sudah malam dan kita harus kembali ke hotel. Ayo" Tangan besar itu kemudian keluar dari saku celananya dan meraih tangan Peat.
Tak mengelak ataupun melawan. Peat memilih mengikuti Fort yang sepertinya dalam suasana hati yang kurang bagus.
TBC
Komentar
Posting Komentar