FORTPEAT - JINX - 7
"Kau tinggal disini?" sontak sebuah suara berat mengagetkan Peat dari keterkejutannya. Joss dengan senyum gigi kelincinya terlihat sudah berdiri dihadapan Peat, membuat Peat reflek melangkah mundur namun tertahan ketika tangan Fort melingkar dibahunya.
"Kau tak apa?" Peat mengalihkan pandangannya kearah Fort yang tampak khawatir. Namun bibirnya belum bisa bergerak, seakan kelu karena baru bangun dari keterkejutannya.
"Peat, kau tak apa?" kali ini Joss yang bertanya, membuat Peat kembali melemparkan pandangannya kearah Joss yang juga terlihat khawatir.
Peat berusaha menyadarkan dirinya, mengatur jantungnya hingga kembali normal. Matanya berkedip lebih cepat dengan menjilat bibirnya yang mengering.
"Y-ya, aku baik." Peat berusaha tampak senormal mungkin. Ia menjawab dengan nada santai dengan wajah yang dihiasi senyum tipis.
"Syukurlah, kau tinggal disini?" Peat mengangguk tipis, menjawab kembali pertanyaan Joss.
"Kalau begitu aku pamit, ada yang harusku kerjakan" tangan Peat bergerak melepaskan tangan Fort dibahunya dan berjalan mundur memasuki kamar kondominiumnya.
Rasanya tubuhnya kehabisan tenaga yang banyak. Persendian lututnya terasa goyah dan lemas. Ia tak akan sanggup berdiri terlalu lama disana. Peat pun mengacuhkan Fort yang kini ikut masuk kedalam kamar kondominiumnya. Dipikirannya, ia hanya harus menghindari Joss untuk saat ini.
-----
Cukup lama aku berdiam diri di balkon kamar kondominiumku. Setelah tanpa sengaja berpapasan dengan Joss, suasana hatiku menjadi sangat kacau. Tak kusangka aku bertemu dia lagi setelah sekian lama.
Aku menatap hamparan gedung yang dipenuhi lampu malam dari balkon kondominiumku. Pemandangan yang kusukai setiap malam ketika pikiranku tiba tiba menjadi kalut. Lama kelamaan pandanganku mulai kabur, berubah menjadi tayangan masa lalu yang berusaha aku lupakan namun tak pernah bisa. Masa lalu yang terus menghantuiku hingga hari ini.
Bayangan saat tiga tahun lalu, dimana aku pertama kali bertemu dengan Joss. Hari itu sahabatku, Mook memperkenalkanku pada kekasihnya. Matanya begitu cantik saat pertama kali bercerita jika ia sudah memiliki seorang kekasih dan berjanji akan memperkenalkannya padaku. Hari dimana Mook membawaku bertemu dengan kekasihnya pun tiba, kami bertiga bertemu disebuah restoran untuk pertama kalinya.
Aku melihat pria itu dengan baik. Dia tinggi, kulitnya kecoklatan dan matanya teduh. Dia mengingatkanku pada Fort. Aku melihatnya memperlakukan Mook dengan baik, matanya sangat tulus dan dia juga lembut. Aku bahagia saat melihat Mook yang tak berhenti tersenyum ketika bersama Joss, membuatku berpikir jika Joss memang sempurna untuk Mook. Mereka tampak saling mencintai.
Joss juga sangat ramah dan baik padaku hari itu. Tak ada wajah tak suka ketika melihat kekasihnya dekat dengan pria lain. Jika biasanya kekasih Mook akan menolak untuk berkenalan denganku, berbeda dengan Joss. Ia menyambutku dengan baik, membuatku menginterpretasikannya sebagai pria yang baik dan cocok untuk sahabatku. Tak ada kendala hari itu, semua berjalan baik dan lancar.
Namun setelah pertemuan itu perspektifku mengenai Joss berbanding terbalik. Ia tak cocok untuk Mook. Joss tak baik.
Dua hari setelah pertemuan, Joss menghubungiku dan meminta untuk bertemu. Ia berpesan untuk tidak memberitahu Mook mengenai pertemuan kami hari itu. Aku menyanggupi permintaan Joss, kupikir mereka akan merayakan sesuatu jadi Joss meminta bantuan dariku. Tapi ternyata salah, Joss malah mengatakan hal yang sebaliknya. Ia malah menyatakan perasaannya padaku dan menginginkanku sebagai kekasihnya. Hari itu aku marah dan membentak Joss, aku tak mau mengkhianati sahabatku.
Hari demi hari, bulan demi bulan pun berlalu. Joss terus mendekatiku bahkan saat ada Mook disampingnya. Ia masih mencoba mengirimkan sinyal padaku, hingga membuatku geram dan emosi.
Suatu hari Joss kembali mengajakku bertemu, awalnya aku berniat untuk menolak karena tak ingin ada salah paham. Tapi akhirnya aku menyetujui ajakannya dengan niat ingin menolak dan mengakhiri perasaannya padaku. Hari itu Joss mengajakku bertemu disalah satu restoran hotel terkenal. Aku lalu bertemu dengannya dan membicarakan semua isi kepalaku. Aku menolaknya dan mengatakan padanya untuk jangan pernah menghubungiku lagi. Terakhir aku mengatakan padanya untuk memutuskan Mook, aku tak ingin sahabatku dimiliki oleh seseorang seperti Joss.
Tapi hari itu menjadi kesalahan terbesarku. Aku tak mengetahui jika Mook juga berada disana disaat aku mengucapkan kalimat terakhirku. Ia salah paham, mengira jika diriku meminta Joss untuk putus dengannya karena aku menyukai Joss.
Aku terus menjelaskan semua alasanku pada Mook hari itu, tapi tak ada pengertian hari itu. Mook kalap dan menuduhku sebagai perebut kekasihnya, ia menuduhku menggoda Joss. Hari itu aku semakin membenci Joss saat ia meminta putus dari Mook dengan alasan mencintaiku. Membuat semua imajinasi liar dikepala Mook seakan menjadi benar.
Mook menatapku dengan tatapan sangat kecewa, mata cantiknya mengeluarkan air mata tanpa henti, ia bahkan memohon dan berlutut padaku untuk mengembalikan Joss padanya. Aku merengkuh tubuhnya dan ikut menangis bersama, aku terus menjelaskan jika aku tak memiliki hubungan apa apa dengan Joss. Tapi Mook tetap saja memohon padaku untuk mengembalikan Joss.
Mook kemudian mendorongku, menyumpahi dan mengutukku. Membuatku menjadi tontonan bagi seluruh tamu restoran, ia bahkan mengatakanku sebagai pelacur karena telah tidur dengan Joss. Mook meraung dan berteriak. Aku paham jika hari itu seperti neraka untuknya, aku terus berusaha menjelaskan semuanya tetapi Mook tetap tak mendengarkanku.
Mook lalu berlari keluar dari restoran hotel. Ia berlari sekuat tenaga menuju jalan raya yang dipenuhi oleh kendaraan yang melintas. Aku mengejarnya. Aku berlari semampuku untuk mengambil tangannya. Tapi tanganku ditepis sesaat setelah berhasil menggenggam tangannya. Matanya menatapku penuh sakit, tatapannya mencabik hatiku hingga tempat paling dalam. Aku terus meminta maaf dan memohon. Melarangnya untuk mengikuti pikiran negatif yang berada dikepalanya. Tapi ia mengacuhkanku. Ia berlari menuju jalan raya saat sebuah mobil melaju kencang. Membuat tubuhnya terpental kemudian tergeletak bersimbah darah. Aku melihat semua kejadian itu dengan mata kepalaku sendiri. Aku melihat bagaimana Mook meregang nyawa dengan tatapan kesakitan dan lelehan air mata. Aku masih melihat matanya yang menatapku marah. Bahkan hingga napas terakhirnya ia masih melayangkan amarahnya padaku.
Kejadian itu membuatku trauma, aku sangat takut melihat darah dalam jumlah banyak. Membuatku kembali mengingat tubuh Mook yang terbalut darah dengan kubangan darah dibawah tubuhnya. Dan membuatku kembali mengingat tatapan kebencian terakhir yang juga dilayangkan Mook padaku.
Setelah kejadian itu aku berusaha menjaga pertemananku. Aku tak mau menjalin hubungan baik dengan siapapun kecuali Fort. Aku tak ingin kejadian yang sama kembali terulang. Setelah kejadian itu pun Joss menghilang, ia tak lagi menghubungiku, wajahnya pun tak kulihat lagi muncul dimanapun. Membuat diriku bersyukur karena tak perlu berurusan lagi dengan bajingan sepertinya.
Kejadian ini juga yang membuatku memiliki jinx. Sepertinya detik terakhir Mook menutup mata ia mengutukku hingga bernasib sial seperti ini. Jinxku sesungguhnya adalah tak boleh memiliki seorang kekasih, jika aku melakukannya maka hubungan itu tak akan lewat dari dua bulan.
Aku menyadarinya ketika aku memulai hubungan setelah beberapa bulan dari kejadian itu. Setiap hubungan selalu kandas sebelum mencapai umur 2 bulan. Kadang perasaan takut terus muncul, membuatku sering ragu untuk mendekati seseorang. Tapi aku tak bisa mengabaikannya begitu saja, aku harus menghadapi ini dan mencoba melewati jinx itu. Aku percaya jika hubunganku berumur lebih dari dua bulan saja, aku akan bebas. Aku akan tenang menjalin hubungan dengan kekasihku. Aku sangat berharap hubunganku dan Davikah kali ini akan bisa melewati dua bulan. Aku sangat ingin lepas dari jinx ini.
"Hei, kau tak apa? Kenapa murung?" sebuah suara mengejutkanku dari lamunanku. Kemudian aku merasakan sebuah telapak tangan dipipiku dan membawa kepalaku berputar kearahnya. Aku menatap mata Fort yang khawatir dengan lekat.
Ya tuhan, kenapa dia harus mengkhawatirkanku seperti ini? Aku tak mau melewati batas temanku. Aku tak ingin kejadian yang sama menimpa Noeul.
Setelah beberapa tahun aku mulai membuka diri untuk berteman, akhirnya aku mendapatkan Noeul. Satu satunya orang yang mampu menarikku untuk membuka diri kembali. Aku menyayanginya. Perasaanku sama persis ketika aku bersama Mook. Aku tak mau kehilangan siapapun kali ini.
"Tak apa, aku baik" aku menjauhkan tangan Fort dari pipiku lalu kembali menatap hamparan kota seperti sebelumnya.
"Fort, apa yang kau suka dariku?" mataku kini menatap lurus langit gelap. Menikmati langit kosong yang kali ini tak ditemani oleh bintang dan bulan.
"Hm, aku tak menyukaimu-" aku beralih menatap Fort yang kini menatap kearah langit gelap. Aku tau kalimatnya belum selesai, sangat jelas karena aku melihat senyum lebarnya saat ini.
"-aku mencintaimu Peat" Fort beralih menatapku. Membuat tatapan kami saling terkunci dan terdiam dalam waktu yang cukup lama.
"Apa alasannya?" aku kembali bertanya, aku ingin tahu perasaan Fort yang sesungguhnya.
"Tidak ada. Aku hanya mencintaimu Peat"
"Jika malam ini aku mengizinkanmu menyentuhku apakah kau akan pergi?"
"Apa maksudmu?" dahi Fort berkerut, wajah berangnya menunjukkan ia paham maksudku tapi ia ingin memastikan kembali ucapanku.
"Aku tahu kau hanya penasaran padaku Fort. Kau tak memiliki alasan karena kau hanya penasaran padaku. Apa jika kita melakukannya sekarang kau akan berhenti?" aku menatap mata Fort yang sekarang terlihat semakin marah, alisnya menukik tajam dan bibirnya terkatup rapat. Aku tak tahu apa yang kulakukan kali ini benar atau tidak, tapi ini satu satunya cara agar Fort kembali pada dirinya yang dulu.
"Aku tak mendekatimu untuk seks, Peat. Kau camkan itu" untuk pertama kalinya aku melihat raut wajah ini dari Fort. Raut wajah yang serius dan dibalut dengan rasa kecewa, bahkan wajah marah yang sebelumnya ia pasang berubah drastis menjadi raut kecewa. Hatiku berdenyut sakit saat menatap matanya yang terlihat terluka. Apa perkataanku terlalu jahat barusan?
Fort melangkah dengan cepat menuju pintu keluar dan meninggalkanku diatas balkon kamar kondominiumku. Aku menatap punggung tegapnya yang hampir menghilang dibalik pintu.
"Aku hanya memperjuangkan cintaku Peat"
Blam
Punggung tegap itu menghilang sepenuhnya dibalik pintu setelah mengucapkan kalimat tersebut.
Tes
Setetes air mata jatuh dipipiku. Entah kenapa aku merasa sangat sedih, hatiku bergetar sakit hingga aku meremas baju yang menyelimuti dadaku. Seharusnya aku tak usah menjalin hubungan apapun dengan siapapun, ini hanya membuatku lelah.
-----
Mata Peat terus bergantian melihat pintu kelas dan ponselnya. Fokusnya terbelah dua antara Davikah dan Fort. Tangannya terus mengetikkan balasan pada pesan Davikah diponselnya. Tapi ia juga memikirkan Fort yang tiga hari ini tak masuk kelas.
Semenjak kejadian malam itu, Peat tak lagi melihat Fort dimanapun. Awalnya Peat pikir Fort tak sengaja masuk kelas karena ketiduran atau pergi bersama teman temannya yang lain. Jadi Peat tak menghiraukannya. Tapi kemarin Fort lagi lagi tidak masuk hingga Peat berinisiatif untuk mengetuk kamar kondominium milik Fort, namun tak ada sahutan dari dalam. Peat kemudian berlari menuju belakang gedung kondominium dan melihat jendela kamar Fort yang tak menyala. Fort tak ada dikamarnya. Pagi ini bahkan setelah mata kuliah pertama dimulai, Fort tetap tak terlihat.
Peat kembali melirik kotak pesan yang kembali berisi pesan dari Davikah. Peat sekilas tersenyum lebar melihat isi pesan Davikah yang mengajaknya bertemu hari ini dikafe biasa tempat mereka berkencan. Peat kemudian menyimpan ponselnya setelah menyetujui ajakan Davikah dan memilih menyimak mata kuliah pagi ini.
-----
Langkah terburu buru menapaki jalan setapak yang menuju sebuah kafe ditengah kampus. Tangannya berkali kali terangkat untuk melirik arlojinya, ia terlambat hampir setengah jam dari jam pertemuannya.
Bruk
"Oih!"
Matanya yang sibuk melihat arloji membuatnya tak melihat kondisi jalanan didepannya. Badannya tanpa sengaja menabrak tubuh seseorang dan membuat tubuhnya oleng. Untung saja tangan orang itu sigap menarik tangannya hingga ia tak sempat jatuh kebelakang.
"Maafkan aku. Ter-" Peat terhenyak saat mendapati Joss didepannya. Peat kemudian buru buru melepaskan tangan Joss yang masih memegang tangannya.
"Kau tak apa?" Joss melepaskan tangannya dan menatap Peat khawatir. Tak terelekan jika ia sekarang tersenyum karena melihat Peat di hari pertama kuliahnya, namun segera ia ubah menjadi raut khawatir agar Peat tak tersinggung.
"Aku tak apa, terimakasih. Aku pamit" Peat segera beranjak dari posisinya menuju kafe langganannya dengan Davikah. Ia tak ingin berlama lama dengan Joss.
Peat akhirnya memasuki kafe dan menuju sebuah kursi kosong. Peat tak melihat Davikah dimanapun dan kursi yang biasa mereka tempati pun masih kosong. Jadi Peat berpikir Davikah belum sampai.
Peat menunggu beberapa menit. Sudah hampir 50 menit dari jam yang ditentukan dan Davikah belum muncul.
Peat berinisiatif menelpon Davikah untuk memastikan dimana kekasihnya saat ini. Dering pertama dan kedua masih terdengar hingga dering terakhir pun tak juga ada sautan disebrang sana. Peat kembali mencoba menelpon Davikah dan untungnya diangkat sebelum dering ketiga berbunyi.
"Sayang, kau dimana hm?" nada lembut Peat mulai terekam, ia tak mau membuat Davikah merasa tertekan bersama dirinya.
"Phi, aku sudah menunggumu disana sesuai jam yang kita sepakati. Tapi aku melihatmu malah berduaan dengan orang lain" dahi Peat berkerut tak mengerti, apa maksudnya?
"Aku langsung kesini setelah jam pertamaku selesai sayang, aku tak sempat bertemu siapa siapa" Peat berusaha menjelaskan sebaik mungkin pada Davikah, meskipun ia tak tau apa yang dimaksud Davikah tapi Peat lebih memilih menjelaskan kondisinya pada Davikah.
"Jangan berbohong phi, aku melihatmu berpegangan tangan dengan seorang pria tadi. Kau jahat" Peat mendesis pelan, ia teringat kejadian saat ia tak sengaja menabrak Joss tadi, pasti Davikah melihatnya dan salah paham.
"Itu bukan seperti-"
"Sudahlah phi, kau egois. Kau hanya mementingkan dirimu"
"Sayang, itu bukan seperti yang kau lihat, kami hanya tak sengaja berpapasan" seketika kepala Peat berdenyut sakit, kenapa permasalahan muncul tiba tiba seperti ini? Harusnya hari ini mereka bertemu untuk saling melepas rindu, bukan bertengkar seperti ini. Peat memijat pelipisnya yang semakin berdenyut sakit saat tak mendengar rengekan disebrang sana, namun ia hanya mendengar dengusan. Davikah sepertinya tak mempercayainya.
"Kau dimana sayang? Ayo bertemu, akan aku jelaskan secara baik baik padamu" Peat mengatur suaranya agar masih terdengar lembut.
"Sudahlah phi, lebih baik kita akhiri-"
"Tidak. Jangan ucapkan apapun, mari bertemu sayang" tubuh Peat yang awalnya terkulai lemas dikursinya menjadi tegap sempurna ketika mendengar kata yang sama sekali tak ingin ia dengar.
"Kuharap kau akan mendapatkan orang lain yang jauh lebih baik dari-"
"Sayang. Sayang"
"Jangan mengkhianati kekasihmu lagi setelah ini phi"
"Davikah, stop. Dengar-"
"Terimakasih sudah mau menjadi kekasihku. Maafkan aku jika tak sesuai dengan seleramu"
"Davikah!" Peat berteriak untuk pertama kalinya. Kepalanya seperti diremuk oleh sebuah tangan besar saat ini. Kenapa semuanya berubah menjadi seperti ini? Jinx sialan!
"Selamat tinggal phi, aku mencintaimu"
"Davikah, Davikah. Davikah! Arggghh" Peat meraung dan menendang kaki meja yang berada didekatnya. Ia menghempaskan ponselnya kesembarang arah dan menarik rambutnya frustasi.
Sial!
Sial!
Peat harusnya bisa memperhitungkan jika ini akan terjadi lagi. Peat harusnya sudah menyiapkan tameng untuk melindungi hubungannya. Tapi ia sama sekali tak mengira ini akan berakhir lebih cepat dari biasanya. Peat pikir ia masih memiliki cukup waktu untuk bersiap diri. Tapi ia salah, kejadian tak terduga membuat semuanya berantakan.
Ia tak bisa begini, ia harus bergerak. Ia harus menemukan Davikah dan memperbaiki kembali hubungan mereka.
Peat beranjak dari posisinya dan memungut ponselnya yang berada dilantai, tampak bagian layar ponselnya yang sudah retak. Ia bergegas keluar dari kafe untuk mencari Davikah. Ia harus menyelamatkan hubungannya.
-----
Jarum jam kini sudah menunjukkan pukul 12 malam. Seorang pria dengan kemeja putih dan tinggi rata rata terlihat mendorong pintu masuk lobi kondominium. Kemejanya sudah basah beserta rambut dan bagian lain ditubuhnya. Ia terlihat basah kuyup karena hujan yang mengguyur kota Bangkok sangat deras sejak petang.
Tubuhnya terlihat bungkuk dan tidak bersemangat. Langkah kakinya terseok tak bergairah. Kaki yang terbungkus celana kain yang sudah menempel dikakinya terus berjalan mendaki tangga menuju kamarnya. Tak seperti biasanya, ia kini memilih rute terpanjang untuk mencapai kamar kondominiumnya.
Seharian ini ia mencari kekasihnya yang seenaknya memutuskan dirinya melalui panggilan telpon. Ia melewati dua mata kuliah hanya untuk berkeliling sudut kampus untuk mencari kekasihnya dan tak menemukan apapun. Peat bahkan pergi ke asrama Davikah tapi juga tak mendapati kekasihnya disana. Ia menunggu Davikah hingga larut didepan asrama, tapi hasilnya nihil. Saat menunggu, Peat mendapat kabar dari teman Davikah yang menghampirinya didalam mobil, teman kekasihnya itu berpesan agar Peat pulang dan jangan menemui Davikah lagi. Peat awalnya bersikeras untuk tetap menunggu Davikah sampai mereka bertemu, tapi temannya tak beranjak sedikitpun dan terus memaksanya pergi. Temannya berkata jika Peat tak pergi, maka temannya tak diizinkan memasuki asrama.
Peat akhirnya mengalah, ia pergi dari asrama tersebut. Namun sayangnya mobilnya kembali bermasalah ditengah jalan. Membuat Peat terpaksa harus turun dan memilih berjalan menuju kondominiumnya, hingga menerobos hujan deras yang masih setia mengguyur kota Bangkok.
Langkah Peat semakin berat setiap tapaknya menjajali anak tangga satu demi satu. Tubuhnya bergetar menahan dingin dan tangis dari dalam tubuhnya. Tapi Peat tahan. Ia tak ingin menangis.
"Ha, Hahaha" tawa miris keluar begitu saja dari mulutnya ketika ia tak sengaja melihat kondisinya dari kaca biru yang terpasang didinding kondominium. Ia melihat dirinya yang kacau dan penyebabnya lagi lagi adalah seorang wanita. Dan alasan kali ini sangat lucu, tak masuk akal. Davikah menuduhnya berselingkuh? Hah! Alasannya terlalu lucu bagi Peat. Membuat ia kini tak lagi menahan tawanya, tawanya menggelegar disepanjang lorong tangga. Tak mempedulikan jika tetangganya akan terusik dengam kerasnya suara yang ia keluarkan.
Peat terus tertawa sambil menapaki tangga. Air mata sudah mengalir di ekor mata rusanya, tapi tak satupun isakan terdengar. Tangannya sudah terangkat berkali kali untuk menghapus air matanya yang mengalir begitu cepat, tapi tawa kerasnya masih terus terdengar disepanjang jalannya.
Tawa Peat seketika berhenti ketika ia sudah mencapai ujung lorong lantai 4. Ia melihat Fort kini tengah memasukkan password untuk membuka pintu kondominiumnya.
Peat berlari menuju Fort, perasaan khawatir akan temannya tiba tiba keluar menggantikan perasaan sedih dihatinya.
"Fort" Peat memegang lengan baju milik Fort. Membuat Fort menoleh dan menatapnya dingin.
"Tsk" Fort menghentakkan lengannya hingga pegangan Peat lepas. Mata Fort yang biasa menatapnya lembut dan jenaka kini berganti dingin. Membuat hati Peat serasa dihantam batu tumpul dengan keras.
Fort kemudian mendorong pintu kamarnya dan meninggalkan Peat yang termenung didepan kamarnya.
"Hiks.." isakan dari bibir Peat akhirnya lolos juga. Bibirnya bergetar dan hidungnya memerah. Peat tak dapat lagi menanggung bebannya sendiri. Dadanya serasa dicabik dan jantungnya dicabut paksa, membuat seluruh bagian tubuhnya terasa ngilu dan sakit. Bahkan rasa ngilu mencapai ujung jarinya, tak satupun kejadian baik terjadi hari ini.
Peat tak tau mana yang membuatnya lebih sakit, apakah ia yang diputuskan oleh kekasihnya atau ia diacuhkan oleh sahabatnya.
Setitik harapan bersemayam dihatinya ketika melihat Fort, ia berharap Fort dapat menemaninya malam ini seperti biasanya. Tapi harapannya ditepis dengan kasar, bahkan tak sedikitpun rasa simpati yang terlihat dari Fort saat melihat Peat dalam kondisi yang sangat kacau.
Peat merasa dirinya dicampakan, ditinggalkan dan dibuang. Ia berusaha selangkah demi selangkah mencapai pintu kamarnya. Ia hanya ingin pulang, ia hanya ingin sampai diatas lantai persembunyiannya. Tubuhnya sudah tak kuat.
Peat hanya ingin pulang.
TBC
Komentar
Posting Komentar