FORTPEAT - JINX - 5

Akhir pekan menjadi hari yang dinanti oleh kebanyakan mahasiswa. Ide tentang jalan jalan ataupun berbaring dua hari penuh di kondominium membuat mahasiswa bersemangat menyambut akhir pekan.

Tak jauh berbeda dengan Peat yang juga menyambut malam sabtunya dengan bahagia, saat ini ia tengah menunggu Davikah yang sedang bersiap diasramanya. Mereka akan kencan malam ini untuk merayakan sebulan pasca mereka menjalin hubungan. Peat sangat bersemangat. Ia sudah memesan sebuah tempat di restoran yang terkenal romantis di pusat kota dengan hadiah kecil yang ia persiapkan. Berlebihan memang, tapi ia sudah berjanji akan memperlakukan kekasihnya dengan baik.

Tak lama Davikah pun turun. Ia menggunakan dress hitam selutut yang membalut tubuh langsingnya. Tangan Peat terulur, meminta tangan Davikah agar berjalan bersama.

Senyum keduanya mengembang ketika tangan mereka bersentuhan. Mereka terlihat bagai pangeran dan putri kerajaan yang sedang kasmaran. Tangan Davikah kemudian berpindah menjadi diantara tubuh dan lengan Peat. Rambutnya yang menjuntai ia sampirkan ketelinga untuk melihat anak tangga yang ia turuni.

"Kau terlalu cantik hari ini. Seharusnya aku menyimpanmu dalam sakuku saja agar tak ada yang melihat" Davikah memukul pelan lengan Peat dengan malu malu. Mendapatkan pujian seperti itu membuatnya tersipu dan merona.

Peat kemudian membukakan pintu mobilnya dan mempersilahkan Davikah masuk. Setelah itu ia berlari kearah yang berlawanan menuju kemudi.

Tangan Peat pun mulai menghidupkan mesin mobilnya dan melaju menuju restoran yang sudah ia pesan.

-----

Tanganku mulai bergerak memotong daging steak yang berada dihadapanku. Memotong semuanya menjadi bagian kecil dan mengangkat piring tersebut.

"Ini" aku menukar piringku yang sudah berisi potongan daging dengan piring Davikah yang masih berisikan daging utuh.

"Terimakasih" Davikah melemparkan senyum manisnya dan turut membuatku tersenyum.

Sebulan ini menjadi waktu yang bahagia untukku. Memiliki seseorang untuk diperhatikan dan mendapatkan perhatian. Sosok Davikah saat ini sangat sempurna untukku. Kami saling mengisi satu sama lain tanpa banyak keluhan. Meskipun ada kalanya beberapa kendala terjadi, namun itu tak masalah.

"Sayang-" aku mengeluarkan sebuah paperbag kecil dari bawah meja dan memberikannya pada Davikah.

"Terimakasih sudah mau menghabiskan satu bulan ini bersamaku"

Davikah tersenyum sangat cantik, membuat pipiku ikut terasa panas melihatnya. Tangan kurusnya mulai membuka paperbag yang aku berikan. Aku menghadiahinya sebuah kalung dengan mutiara diujungnya. Aku kemudian berdiri dan berjalan memutar agar dapat berdiri dibelakang tubuhnya. Tanganku kemudian mengambil kalung yang berada ditangannya.

"Sini aku pakaikan" Aku tersenyum sambil memakaikan kalung pemberianku dilehernya. Ia kini tampak sempurna, hanya dengan kalung sederhana seperti ini saja dia terlihat seperti putri bangsawan.

"Terimakasih phi" aku mengangguk dan kembali duduk keposisi awalku.

"Kalung yang bagus"

Degg

Aku tersentak saat mendengar suara seseorang yang sangat aku kenali. Tubuhku membeku, tanganku tak lagi mampu bergerak untuk memotong daging steak dipiringku.

"Oh! Sawadhi phi Fort" ternyata benar. Tapi kenapa dia ada disini?

"Wadhi nong. Kau tak mau menyambut temanmu Peat?" aku kemudian mendengar suara gesekan kursi disamping telingaku. Fort sudah mengamankan posisinya diantara kami. Oh tuhan! Kepalaku menjadi sakit!

Perlahan aku mengangkat pandanganku hingga bertemu wajah menyebalkan itu. Aku menarik senyuman paksa dan mengangguk ringan. Aku yakin Fort tau jika aku kesal padanya.

"Apa phi juga ada makan malam disini?" aku melirik Davikah yang kini mulai fokus menanyai Fort.

Hah... Selalu seperti ini, setiap kekasihku jika sudah berada dalam radius yang dekat dengan Fort, mereka akan teralihkan. Meski aku tau mereka tak memiliki hubungan apapun, tetap saja ini menjengkelkan. Lebih baik aku makan, suasana hatiku tidak bagus untuk menyelesaikan perayaan hari ini.

"Ya, aku akan bertemu dengan seorang teman disini malam ini. Hei, jangan makan terburu buru. Kau bisa tersedak" tiba tiba saja sebuah tisu berada diujung bibirku, membuat mataku reflek menatap Fort yang tampak serius menyeka bibirku.

Suasana menjadi hening, baik setelah Fort menjauhkan tisu itu dariku. Sama halnya dengan diriku yang terkejut, wajah Davikah kini juga terlihat terkejut dan bingung.

"Baiklah, kalau begitu selamat menikmati makanan kalian, aku harus menunggu temanku dimeja lain" Fort kemudian pergi meninggalkan suasana canggung antara aku dan Davikah. Sial! Apa yang harus kukatakan sekarang?!

-----

Peat menatap pemandangan malam kota dari jendela besar yang berada disampingnya. Sudah lima menit lamanya ia menunggu Davikah yang izin mengangkat telpon dari temannya. Kerlap kerlip lampu diseluruh bangunan membuat kota menjadi sangat cantik ketika malam hari. Membuat Peat tersenyum tanpa sadar karena mengagumi keindahan kota Bangkok.

Tok Tok

"Phi" Peat tersadar dari lamunannya ketika Davikah mengetuk meja mereka. Peat buru buru berdiri dan bersiap pulang karena Davikah sudah kembali.

"Phi"

"Ya?" Peat menatap Davikah yang memperlihatkan ekspresi bingung. Apa yang dipikirkan kekasihnya ini sekarang?

"Em.. Itu.. Temanku mengajak pergi kesuatu tempat malam ini" Davikah mengetuk kedua ujung telunjuknya sambil menatap Peat ragu.

"Jadi?"

"Jadi.. Eum, dia sudah diluar menjemputku. Bolehkah aku pergi?" Davikah kini menatap Peat penuh harap, tangannya ia tangkupkan didepan dada untuk memohon.

"Tentu. Ayo phi antar-"

"Tidak! Tidak usah phi, biar aku saja, tak perlu repot. Haha" Peat menautkan alisnya bingung, ada apa dengan Davikah? Kenapa ia menolak Peat begitu keras?

"Terimakasih phi. Aku pergi"

Cup

Setelah mengecup pipi Peat sekilas, Davikah berjalan keluar restoran sambil melambaikan tangan kearah Peat. Peat sedikit ragu namun tetap membalas lambaian tangan Davikah.

Setelah Davikah hilang dibalik pintu, Peat bergegas menuju jendela besar yang memperlihatkan gerbang masuk restoran. Peat memesan tempat dilantai 2 jadi ia masih bisa mengintip dengam siapa Davikah pergi. Mata Peat melihat sahabat Davikah yang sering disebutkan oleh kekasihnya kini menunggu diluar mobilnya. Ia pun melihat Davikah yang berlari menghampiri sahabatnya. Peat bernapas lega, Davikah ternyata tidak melakukan suatu hal yang terlintas di pikiran buruknya. Mungkin Davikah hanya tak enak saja padanya.

Peat kemudian berjalan menuju kasir restoran dan membayar sisa bill yang ia peroleh. Peat menatap layar ponselnya yang kini menunjukkan pukul sembilan malam. Senyumnya terangkat mengingat ia akan istirahat dua hari penuh dikamarnya. Ia tak memiliki jadwal apapun, bahkan Davikah akan pergi menginap di kondominium temannya selama dua hari karena tugasnya. Jurusan arsitektur memang tak membiarkan mahasiswanya tenang.

Grep

Tubuh Peat tertarik kembali menuju dalam restoran. Peat memutar tubuhnya dan mendapati Fort yang menarik tangannya.

Tubuh Peat didudukan disebuah kursi dengan meja yang sudah dipenuhi oleh makanan. Asapnya mengepul dan aromanya sangat lezat. Wine merah pun sudah tersaji didalam gelas berleher tinggi. Peat yang masih terkejut dengan semua gerakan yang tiba tiba tak dapat berucap apa apa.

"Temani aku" Fort mengusap kepala Peat lembut dan berjalan kekursi lain.

Peat menatap Fort bingung. Ia masih mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Bukankah kau bilang kau bersama temanmu?" Peat masih tak mengerti, ia sudah mencoba berpikir tetapi ia masih bingung.

"Ya, seharusnya begitu. Tapi dia bilang tak bisa kesini. Bahkan makanan yang ku pesankan sudah dingin"

Dingin? Peat menatap makanan dihadapannya yang masih berasap. Jadi, siapa yang bodoh disini?

"Jadi kau menunggunya?"

"Tidak, aku menunggumu"

"Menungguku?" Peat menunjuk dirinya ragu. Kenapa Fort menunggunya? Ia tak ingat membuat janji dengan Fort setelah kencannya dengan Davikah.

"Sudahlah, jangan dipikirkan. Ayo makan" Fort mulai mengangkat sendok dan pisau miliknya. Tangannya dengan lihai mengiris potongan daging yang berada diatas piring.

"Aku sudah makan Fort, dan aku tak bisa menemanimu" Peat ingin pulang. Dia ingin menghabiskan waktunya sekarang dengan komik yang sudah ia beli kemarin. Ia sudah membeli seluruh series komik itu, dan tak mungkin ia tak membacanya.

Peat berdiri dari posisinya dan melangkah pergi, begitu ia melewati Fort lagi lagi tangannya dicekal.

"Fort, aku ingin pulang" rengek Peat sambil melepaskan pegangan tangan Fort dari tangannya.

"Temani aku, aku sendirian-" Fort menatap Peat dengan tatapan memohon.

"-Please.." Peat menghela napas panjang. Peat menatap Fort malas. Apalagi trik yang akan digunakan Fort kali ini? Dia benar benar gigih.

"Aku harus pulang. Kau bisa telpon temanmu yang lain" Peat menghentakkan tangan Fort dan kembali melanjutkan langkahnya.

Drap

Drap

Peat memutar tubuhnya saat mendengar derap langkah dibelakangnya, dan ia mendapati Fort yang tersenyum lebar kearahnya. Hah.. Benar benar keras kepala.

"Apa?"

Fort tak menjawab, ia hanya tersenyum lebar yang menurut Peat tampak bodoh sekarang.

"Kau tak akan makan? Kau mau membuang buang makanan?" Peat memutar bola matanya malas saat Fort masih tak menjawab pertanyaannya. Peat benar benar tidak suka melihat makanan terbuang! Setidaknya kalian harus ingat para pengemis dipinggir jalan yang harus menahan lapar setiap hari.

Peat kini menarik tangan Fort dan mendudukannya diatas kursi tadi. Wajah Peat tampak kesal, tapi akhirnya ia setuju menemani Fort makan dan ikut duduk dikursinya.

Fort kemudian mengangkat kursinya yang sebelumnya berhadapan menjadi bersebelahan. Peat lagi lagi memutar bola matanya malas, dia sudah lelah dan tak mau berdebat. Membiarkan Fort melakukan yang diinginkannya jauh lebih baik dibanding harus berdebat.

-----

Sebuah motor besar dengan warna merah terlihat mengikuti mobilku dari restoran. Motor 500 cc yang biasanya melaju sangat cepat kini berjalan lambat dibelakang mobilku. Aku menatap kembali jalan raya yang terkembang didepanku. Jalan mulai tampak sepi karena sekarang sudah hampir tengah malam. Salahkan Fort yang terlalu cerewet sepanjang makan dan merengek ingin menyuapiku, sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghabiskan makanan yang ia pesan.

Aku menumpukan kepalaku pada tangan yang sudah bersender di tepian jendela. Aku memang sempat bingung diawal, namun akhirnya aku tahu dia kesana bukan menunggu temannya, tapi dia menungguku. Mungkin aku terlihat dingin dan tidak peka, namun aku paham jika ia masih mencoba mendekatiku. Ku akui dia cukup gigih dan konsisten, dia pun tak memaksakan kehendaknya, tapi dia tau apa yang kusukai dan tidak, hingga pada akhirnya akulah yang menuruti keinginannya.

Aku menatap kaca spion yang masih berisikan dirinya yang membawa motornya dengan lambat. Tanpa sadar aku tersenyum, jika dipikir pikir dia terlihat menggelikan sekarang. Mengantarku pulang dan mengawasiku dari belakang.

Suatu pertanyaan tiba tiba terlintas dibenakku. Kenapa Fort menyukaiku? Aku menatap kaca spion namun kali ini berfokus pada wajahku. Aku menatap wajahku cukup lama. Aku tidak cantik, tidak tampan dan tidak juga menggemaskan. Aku tampak seperti pria pada umumnya tanpa kelebihan apapun. Aku cerewet dan suka memarahinya. Bahkan sekarang aku melihat wajahku berubah menjadi aneh. Mataku besar, hidungku tidak terlalu mancung dan bibirku tipis. Apa yang bisa dia sukai dari diriku?

Tok Tok

Aku menoleh dan melihat Fort yang mengetuk jendela mobilku. Aku menggerakan mulutku seolah bertanya 'apa?' padanya. Tangannya kemudian mengibas kebawah seperti menyuruhku untuk menurunkan kaca jendela mobil.

Sreett

"Apa?" aku berteriak, kendaraan kami masih melaju dan tentu saja cukup berisik.

"Jangan melamun. Hati hati!"

Aku terdiam. Tubuhku seperti disihir menjadi sebuah batu. Kenapa dia berbicara seperti itu? Apa dia memperhatikanku? Dari jarak sejauh itu dia memperhatikanku?

Tanpa sadar aku melewati lampu merah dan hampir menabrak mobil lain jika saja Fort tidak mukul jendela mobilku berkali kali. Aku segera menghentikan mobilku secara mendadak. Napasku tercekat, aku merasakan detak jantungku juga ikut berhenti. Peganganku pada kemudi mengerat, kurasakan seluruh tubuhku bergetar dan tanganku mendingin

Bugh

Bugh

Aku menolehkan kepalaku sangat lambat. Tubuhku masih bergetar dan aku belum mampu bernapas dengan baik. Aku melihat Fort yang memukul pintuku dengan kencang. Aku menatap wajahnya yang khawatir, mulutnya bergerak tapi aku tak mendengarkan apapun. Aku semakin panik. Tangan gemetarku mencoba meraih tombol untuk membuka pintu, namun tak bisa. Aku menatap jariku yang terus meraba pinggiran tombol. Ada apa denganku? Hiks.. Ayo terbuka.. Kumohon..

Plop

Cklek

Hap

Aku merasakan tubuh Fort yang langsung memelukku setelah ia membuka pintu mobil dengan kasar. Ia merengkuh tubuhku dan mengusap apa yang bisa ia jangkau untuk menenangkanku.

"Aku disini Peat, aku disini" suara rendahnya mencoba menenangkanku. Kurasakan ia berkali kali mengecup puncak kepalaku dan membuatku berangsur angsur tenang. Setelah beberapa menit, akhirnya napasku kembali normal dan tubuhku berhenti bergetar.

"Kau bisa berpindah kesisi lain? Biar aku yang membawa mobil" Fort menangkup wajahku dan mengusap pipiku dengan ibu jarinya. Matanya terlihat sangat khawatir. Aku kemudian mengangguk dan mulai beringsut menuju kursi penumpang. Aku merasa aku tak sanggup membawa mobil sekarang.

"Tunggu sebentar" Fort kembali berlari ketengah jalan raya dan mengangkat motornya yang terbaring ditengah jalan. Ia mendorong mobil tersebut dan menaruhnya disalah satu pinggiran jalan yang tampak seperti tempat parkir.

Fort kembali berlari menuju mobilku dan masuk kedalam. Ia menatapku sesaat dan mengusak rambutku pelan sambil tersenyum. Fort kemudian menyalakan mesin mobil dan melaju menuju kondominium kami.

-----

"Terimakasih Fort dan... maafkan aku" Peat menundukkan kepalanya dalam. Ia hanya bisa menatap kukunya yang ia gesekkan karena merasa bersalah. Gara gara ia melamun, semua ini terjadi. Fort terpaksa meninggalkan motornya ditempat asing dan memilih mengemudikan mobil.

"Peat"

"Um.."

"Peat, tatap aku" Peat merasa malu jika harus melihat wajah Fort sekarang. Peat tak mau.

"Hah.. Aku baik baik saja, tak perlu merasa bersalah. Kau sendiri bagaimana? Baik?" Peat menganggukan kepalanya, ia sama sekali belum berani mengangkat wajahnya.

"Baiklah, ayo turun. Kita tidak bisa tidur disini" Fort membuka pintu mobil dan turun dari sana, ia
kemudian berlari memutari mobil hingga sampai disebelah pintu penumpang. Tangannya membuka pintu itu perlahan dan menunggu Peat untuk turun.

"Ayo" Fort menjulurkan tangannya ketika Peat masih bergeming diposisinya.

Darah!

Mata Peat terbelalak melihat tangan Fort yang penuh luka dan darah. Dengan cepat tangannya menarik pergelangan tangan Fort yang tidak luka dan membolak balik tangan tersebut. Semuanya penuh luka goresan. Peat lalu menyingsingkan lengan baju milik Fort, mata Peat kemudian menelusuri lengan Fort dan menemukan hal yang sama.

Tuk

Peat meringis ketika kepalanya membentur pinggiran pintu mobil ketika ia dengan tergesa gesa keluar untuk melihat keadaan Fort.

"Hati hati Peat. Kenapa kau ceroboh sekali hari ini hm?"

"Itu tidak penting, sekarang ayo kita ke kamar. Lihatlah lukamu!" Peat memutar tubuh Fort agar berbalik menuju lift, namun ia melihat sesuatu yang membuat dirinya semakin dirundung rasa bersalah. Baju bagian belakang Fort yang berwarna gading sudah dipenuhi darah. Napas Peat memberat, dadanya terada ditekan. Apa yang sudah ia perbuat kali ini?

-----

Peat membawa air hangat yang sudah diberikan cairan antiseptik dalam baskom aluminium dari arah dapur kamar kondominium Fort. Ia kemudian duduk diatas sofa yang sudah berisikan Fort yang sibuk memainkan ponselnya. Dengan hati hati ia menaruh baskom tersebut diatas meja.

"Simpan dulu, mainkan setelah selesai aku obati" Fort menuruti permintaan Peat. Ia menaruh ponselnya diatas meja dan kembali menatap Peat.

Peat memasukkan handuk bersih kedalam baskom tersebut dan mulai membersihkan luka Fort. Peat sangat berhati hati, ia tak mau melukai Fort lagi.

Matanya meneliti satu persatu luka Fort yang sekarang kembali basah. Melihat apakah masih ada pasir atau kerikil halus yang menumpuk didalam lula tersebut. Peat menaruh handuk yang ia pegang kepinggiran baskom dan menyingsingkan lengan baju Fort yang sedikit robek dan kotor.

Peat tediam sejenak. Melihat baju Fort yang masih kotor sama saja dengan nihil jika ia membersihkannya.

Jemari Peat mulai membuka kancing baju milik Fort. Membuat wajahnha tanpa sadar memerah hingga leher dan telinga.

"Kkk.. sepertingnya aku harus memberimu cermin Peat" kekehan Fort yang bergema ia acuhkan. Peat tau wajahnya memanas. Tak biasanya ia begini. Ia sudah sering melihat Fort bertelanjang dada dan biasanya reaksinya normal, ia tak pernah bersemu seperti ini. Tapi ada apa dengannya sekarang? Bahkan baju Fort saja belum terbuka sepenuhnya, hanya semua kancingnya saja yang sudah terlepas.

"Berbalik" Peat menatap Fort tajam. Sebisa mungkin Peat menyembunyikan rasa malunya dari Fort. Mau ditaruh dimana wajahnya nanti?!

"Tsk" Peat berdelik ketika Fort tak bergerak. Peat buru buru dan Fort menunda pekerjaannya! Kenapa wajah Fort menyeringai seperti itu? Rasanya Peat ingin mencakar wajah jelek itu.

"Kau mau diobati atau tidak?!" Peat menggeram ketika Fort masih saja tetap mempertahankan posisinya.

"Dokter itu tidak boleh memarahi pasien. Coba katakan lebih lembut" Fort mendekatkan telinganya kewajah Peat, satu sudut bibirnya terangkat menampakkan seringaian kemenangan. Fort memanfaatkan rasa bersalah Peat sebaik mungkin, ini merupakan peluang besar baginya.

"Khun Fort Krab, silahkan membalikkan badan." ucap Peat dengan gigi yang terkatup rapat dan nada yang ia buat sesopan mungkin, kemudian ia akhiri dengan memberikan senyum lebar yang terpaksa. Jika saja Fort terluka bukan karenanya, pasti ia akan langsung pergi ke kamarnya.

"Narak.." Fort mencubit kedua pipi Peat dan menggoyangkannya gemas. Ia kemudian membalikan tubuhnya sambil tertawa lepas, wajah Peat yang kesal sangat menghiburnya.

Peat kemudian melepas baju yang digunakan Fort. Hati Peat mencelos ketika melihat luka goresan disepanjang tubuh Fort. Rasa bersalah kembali menyelimuti Peat. Andai saja ia tak melamun, ini tak akan terjadi.

Peat mengambil handuk yang sudah ia basahi dengan air antispetik. Ia mulai membersihkan luka Fort dengan telaten. Fort meringis ketika permukaan handuk yang sedikit kasar mengenai lukanya yang masih basah.

"Maafkan aku, Fort" Peat berjalan menjauh, membawa baskom tersebut menuju dapur setelah membersihkan luka dipunggung Fort. Kemudian Peat kembali dengan kotak p3k ditangannya dan duduk ditempatnya semula.

Kini tangannya juga dengan lihai membalut luka pada tubuh Fort. Mulai dari punggung, telapak tangan dan lengan. Peat kemudian mengusap plester terakhir yang ia tempelkan. Melihat tubuh Fort yang dipenuhi perban membuat pundaknya terasa semakin berat karena rasa bersalah.

"Maaf Fort" Peat beranjak dari posisinya dan pergi menuju dapur untuk meletakkan kotak p3k ketempatnya semula.

Peat berbalik menuju ruang tengah berniat untuk berpamitan pada Fort. Namum sebelum ia mencapai ruang tengah, Fort sudah berdiri diambang ruangan, tepat diantara ruang tengah dan dapur. Tangannya ia silangkan didepan dada dan menatap lurus kearah Peat.

"Kau merasa bersalah?" Peat kembali menundukkan kepalanya. Ia tak ingin menjawab pertanyaan Fort.

Srett

Hap

Tubuh Peat ditarik dan kemudian dipeluk oleh Fort. Membuat wajah Peat tenggelam didada Fort karena tubuhnya yang lebih pendek. Fort mengusap punggung Peat pelan dan menumpukan pipinya diatas kepala Peat.

"Jangan merasa bersalah, luka ini karena aku yang ceroboh. Ban motorku sudah licin dan seharusnya diganti. Ini bukan salahmu"

"Benarkah?" Peat mengangkat kepalanya dan menatap Fort lekat. Peat tak yakin kejadiannya seperti itu. Fort pasti jatuh karena sibuk menggedor pintu mobilnya hingga ia kehilangan pegangannya pada motor. Untung saja Fort tidak tertabrak atau terlindas oleh mobil tadi. Mata Peat berkaca kaca ketika mengingat kejadian kecelakaan yang menimpa mereka malam ini.

"Hey, jangan menangis. Benar Peat, besok aku akan mengganti ban motorku." Fort melepaskan pelukannya dan mengusap lelehan air mata yang menuruni pipi Peat.

"Lihat, aku baik baik saja bukan? Aku masih bernapas dan berbicara padamu sekarang." Fort kembali menarik Peat kedalam pelukannya.

"Hah.. Baiklah, kalau begitu aku pamit pulang" Peat melepaskan pelukan ditubuhnya dan berjalan menuju pintu keluar.

Grep

"Menginaplah disini" Fort menahan Peat dengan memegang pergelangan tangannya. Ia lalu berjalan hingga kini tubuhnya berhadapan dengan Peat.

"Menginaplah disini, please"

"Tak bisa Fort. Kau tidurlah sekarang dan jangan lupa minum antiinflamasi sebelum tidur" Peat melepaskan pegangan Fort sangat hati hati karena luka ditangannya, Peat lalu melemparkan senyuman tipis pada Fort.

"Selamat tidur Fort" Peat mengusak rambut Fort sebelum berjalan keluar dari kamar kondominium Fort, meninggalkan Fort yang terdiam dan bersemu setelah mendapatkan perlakuan manis dari Peat

TBC

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FORTPEAT - SURROGATE 2🔞

FORTPEAT - JINX - 16 🔞

FORTPEAT - RARE SPECIES - 5 🔞