FORTPEAT - JINX - 4

Kuusap jariku diatas secarik foto yang sudah tampak kusam dan mulai menguning. Foto yang diambil sepuluh tahun lalu oleh ibu Peat saat pesta ulang tahun Peat dan dicetak masing masing untuk kami. Aku tak tau bagaimana dengan Peat, tapi aku menyimpan foto ini dengan baik.

Aku tak tau pasti kapan aku menyukainya. Aku mengenalnya pertama kali saat keluarganya pindah rumah tepat disebelah rumahku. Aku sangat ingat pertama kali melihatnya. Tubuhnya kecil dan kulitnya sangat putih, kepalanya menunduk dan sesekali mengintip melihat kedua orang tuaku. Pegangan terlihat sangat kuat dicelana ibunya. Dia terlihat seperti anak pemalu yang menggemaskan. Aku menyukainya di hari pertama kami bertemu, tapi sepertinya saat itu hanya sebatas teman. Tapi entahlah, bisa jadi aku memang sudah menyukainya seperti sekarang saat itu.

Aku paling menyukai matanya. Matanya sangat ekspresif dan cantik, seperti mata rusa. Warnanya coklat dan jernih. Aku pasti terpesona setiap melihat matanya, begitu indah.

Perlahan perasaanku bertumbuh begitu besar. Hingga kadang meluap tak tertahankan. Jadi beberapa tahun terakhir aku mencoba membatasi diriku untuk terlalu dekat dengannya. Aku tak ingin Peat merasa tidak nyaman berada didekatku. Aku pun mulai melakukan berbagai hubungan dengan orang lain sekedar untuk mengalihkan perhatianku. Dan itu berhasil.

Tapi saat pertama kali ia mencoba mendekati seorang perempuan tiga tahun yang lalu, hal itu membuatku sama sekali tidak nyaman. Aku membenci ide itu. Jadi sejak saat itu aku selalu memamerkan setiap kekasih yang aku miliki padanya. Aku ingin membuatnya cemburu, bahkan aku menceritakan hubungan seksku dengan orang lain padanya.

Tapi Peat pada dasarnya adalah orang yang tidak peka, jadi ia menghiraukan semua kata kataku dan malah mendorongku terus maju dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Hell, dia benar benar diluar jangkauanku.

Tapi hari itu adalah pertama kalinya ia mencoba mendekatkanku dengan orang lain. Dan entah kenapa aku benar benar tidak suka. Apa dia tak paham dengan semua perlakuanku? Perasaanku? Sangat sangat jelas jika aku menyukainya, bahkan aku lebih mementingkan dirinya dibandingkan kekasih ataupun keluargaku.

Pernah satu kali saat kami masih duduk dibangku sekolah menengah pertama, orang tua Peat pergi untuk mengurus bisnis mereka diluar negeri, jadi Peat harus tinggal sendiri untuk satu bulan kedepan. Hari itu aku memilih menemani Peat dirumah dan membatalkan tiket pesawat liburanku. Ayah dan ibuku tentu tak setuju dan bahkan mereka menawari Peat agar ikut bersama dalam liburan yang sudah disiapkan jauh hari. Tapi tentu saja aku menolak. Benar, aku yang menolak bukan Peat. Aku tak mau waktu berdua dengan Peat berlalu begitu saja jika kami pergi berlibur dengan keluargaku. Aku ingin menyimpan Peat untukku sendiri dan tak ingin berbagi. Jelas saja ibu dan adik perempuanku akan memonopoli Peat karena mereka terlalu memuja Peat. Bahkan saat Peat berkunjung kerumah kami aku tak bisa duduk disebelahnya barang sedetik pun karena ibu dan adikku pasti akan menempelinya.

Kini setelah aku menyatakan perasaanku, aku harus lebih intens lagi. Aku akan menunjukkan secara terang terangan jika aku mencintainya. Tak ada kelonggaran lagi bagi anak itu. Dia akan kugenggam erat dan tak akan kulepas.

Aku kembali menyimpan foto itu disebuah kotak kecil yang sudah berisikan setumpukan foto lainnya. Setiap foto yang berisikan Peat atau aku dengan Peat, pasti akan kucetak dan kusimpan. Tunggu, aku bukan seorang maniak seperti yang kalian pikir. Peat tahu aku menyimpan foto kami begitu banyak dan dia tak mempermasalahkannya. Aku hanya ingin momen kami diabadikan dengan baik. Aku berjanji, akan membukukan semua foto ini setelah berhasil mendapatkannya nanti.

-----

Sudah menjadi kebiasaan bagi Peat untuk pergi ke kampus pada jam kritis. Ya tentu saja ia masih menghindari Fort. Setelah semalam mereka saling beragumen, Peat tetap pada pendiriannya. Ia akan menghalangi semua kemungkinan antara dirinya dan Fort, apapun yang terjadi.

Setelah ia menatap dirinya untuk terakhir kali dicermin besar yang berada dilorong rak sepatu, Peat akhirnya melangkah keluar dari kamar kondominiumnya.

Oh shit!

Blam

Peat kembali menutup kuat pintu kamar kondominiumnya dari dalam ketika matanya tak sengaja melihat Fort berdiri didepan kamarnya. Matanya masih membola besar karena tak mengira Fort akan berada disana.

"Kau tak akan masuk kelas?" Fort sedikit berteriak agar suaranya didengar oleh Peat dari dalam. Senyum lebar tak luntur dari wajahnya, paginya sangat menyenangkan karena dimulai dengan melihat wajah menggemaskan Peat.

"Pergilah!" Peat juga berteriak namun sedikit lebih tinggi agar Fort tau ia tak suka Fort ada disini

"Aku tak akan pergi jika kau tak pergi"

"Acan Mei akan masuk pagi ini"

"Aku tidak peduli!"

Tsk! Dasar keras kepala! Peat memutar otaknya lebih keras. Ia harus mencari cara agar Fort pergi dari sini. Lima belas menit lagi dosen akan masuk dan Peat tak mau terlambat. Peat juga harus memikirkan Fort karena dia sudah dapat peringatan dari Acan Mei mengenai absensinya. Bagaimana ini?

Jari jari Peat yang terangkat didepan dadanya terlihat saling bergesekan tak beraturan. Ia selalu seperti ini jika sedang berpikir keras atau gugup.

"Baiklah, aku akan pergi! Sampai jumpa dikelas Peat" Peat segera mendekatkan telinganya ke daun pintu saat mendengar kalimat Fort. Peat mendengar langkah kaki yang semakin memelan layakmya orang berjalan menjauh.

"Apa dia benar benar pergi?" Peat bergumam pada dirinya sendiri. Ini bukan tipuan bukan?

Kriett

Peat dengan sangat pelan membuka pintu kamar kondominiumnya. Kepalanya ia sembulkan keluar dan melihat segala sisi lorong kondominium.

Kosong

Peat tersenyum lega dan buru buru keluar. Ia menutup pintunya dan kemudian berjalan menuju lift kondominium.

"Kau sudah keluar?" Fort tersenyum dengan mengedipkan matanya kearah Peat yang terkejut. Peat hampir saja jatuh jika saja kuda kuda kakinya tidak kuat.

Baru saja ia ingin berbelok diujung lorong menuju lift, suara Fort mengagetkannya. Ternyata ia berdiri dibalik tembok belokan lorong untuk bersembunyi. Apa yang Peat harapkan? Fort yang mudah menyerah? Sepertinya ia terlalu bodoh karena percaya dengan trik Fort.

"Tunggu apa lagi? Ayo berangkat" Fort akhirnya menarik tangan Peat yang masih mematung disebelahnya. Tapi Peat yang terlebih dulu sadar langsung menepis tangan Fort.

"Kau jijik ya? " lirih Fort pelan, kepalanya tertunduk sedih.

Seketika Peat merasa bersalah, ia sungguh tak bermaksud seperti itu. Ia tak pernah jijik sama sekali dengan Fort. Ia hanya.. hanya.. Arghh!! Peat tak tahu!

"Ck! Baiklah"

Grep

Peat dengan terpaksa mengaitkan tangannya ke lengan Fort dan menariknya pergi menuju lift. Wajahnya tampak kesal dengan bibir yang ia cebikkan maju. See? Peat itu tidak jijik!

Senyum lebar kembali terlihat diwajah Fort ketika melihat pegangan Peat dilengannya. Ia sangat tahu Peat bukan orang yang seperti itu. Ya, hanya saja.. ya.. seperti itulah. Hahaha.

-----

Akhirnya Fort dan Peat berada dibasement parkiran kondominium mereka. Tanpa basa basi Peat segera menuju mobilnya, ia sepertinya kesal karena tahu jika Fort hanya memainkan trik untuknya. Peat dengan jelas melihat tawa lebar Fort dari sudut matanya saat ingin masuk lift tadi. Dia sudah dibodohi ternyata!

Peat lalu masuk kedalam mobil dan memasang sabuk pengamannya. Baru saja ia akan menghidupkan mesin mobilnya, tapi ia merasakan mobilnya sedikit bergoyang.

"Turun!" tegas Peat saat merasa Fort sudah duduk dibangku penumpangnya. Peat mulai merasa emosinya sudah berada diubun ubun saat ini. Peat kemudian memejamkan matanya untuk menetralisir amarah yang bergejolak didadanya.

"Tidak" Fort memasang sabuk pengamannya dan menempelkan punggungnya pada sandaran kursi.

"Cepat turun!"

"Tidak"

"Turun!"

"..."

Peat meremas erat pinggir kemudinya. Hidung bangirnya tampak berkerut menahan emosi yang sebentar lagi akan meledak.

"Berangkat Peat. Kau tak mau terlambat masuk kelas bukan? Bangunkan aku jika sudah sampai" Fort kemudian menyamankan posisinya dan memejamkan matanya. Bibirnya menyunggingkan senyum ketika merasakan aura kemarahan Peat disampingnya. Fort tau sekarang Peat sedang menatapnya dengan tatapan mematikan. Tapi Fort tak akan menyerah, ia akan terus menempeli Peat mulai sekarang.

Tinnnnn

Tinnnnn

Tinnnnn

Peat menekan klakson mobilnya sangat kuat hingga bunyi nyaring dan panjang terdengar kesetiap sudut parkiran. Emosinya begitu tinggi namun ia hanya bisa meluapkannya pada klakson mobil miliknya.

Peat sekali lagi melirik Fort dengan tatapan tajamnya. Anak ini benar benar! Bahkan dadanya sudah naik turun seperti tertidur pulas.

Peat akhirnya menyerah, ia mulai mengemudikan mobilnya menuju kampus. Ia tak bisa terus menghabiskan waktu untuk berdebat dengan Fort, mereka sudah sangat terlambat dan Peat terpaksa mengendarai mobilnya dengan kencang.

-----

Saat tiba didepan kelas, Peat tak melihat dosen yang harusnya mengajar hari ini. Peat lalu masuk kedalam kelas yang diikuti oleh Fort dibelakangnya. Peat bergegas mengambil bangku yang bersebelahan dengan Noeul dan terletak paling ujung, sehingga tak ada celah untuk Fort duduk disampingnya.

Fort lalu mengambil posisi disebelah Noeul yang kebetulan juga kosong. Noeul yang melihat Fort duduk disebelahnya menjadi sedikit gugup. Tubuhnya tampak tegang dan bibirnya mulai terasa kering, berkali kali lidahnya terjulur untuk membasahi bibirnya sendiri.

"H-hai Fort. Selamat pagi" sapa Noeul sedikit gugup. Tubuhnya yang tegang berputar menghadap kearah Fort dengan senyuman tipis. Jarinya yang berada dibawah meja, ia mainkan secara acak karena gugup melihat orang yang ia suka duduk disampingnya.

"Hai Noeul. Apa kabar? " Fort membalas sapaan Noeul dan juga disertai sebuah senyuman, membuat hati Noeul semakin menggila dan tak sadar tangannya meremas paha Peat yang berada disebelahnya.

"Aw! Sakit!" keluh Peat dengan berbisik pelan ditelinga Noeul. Peat memukul tangan Noeul agar segera menjauh dari pahanya.

"Ekhem, baik Fort. Kau sendiri bagaimana?" tangan Noeul kini beralih mencari tangan Peat untuk ia genggam. Sungguh! Sungguh ia sangat gugup sekarang. Fort sekarang tertawa lebar kearahnya sambil menggelengkan kepalanya ringan. Fort terlihat sangat mempesona sekarang.

Peat hanya menghela napas panjang. Matanya menatap lelah kearah tangannya yang sudah digenggam dengan erat oleh Noeul. Temannya ini menjadi gila ketika bertemu pujaan hatinya.

"Aku baik. Noeul, boleh aku meminta sesuatu?" Fort menaikan sebelah alisnya. Fort benar benar tau jika ia tampan dan paham bagaimana memanfaatkannya. Lihat saja Noeul yang langsung mengangguk cepat sesaat setelah mendengar pertanyaan dari Fort.

"Bisakah kita bertukar posisi? Aku rasa aku harus duduk disamping Peat karena aku suka bertanya padanya"

"Bisa!" Noeul segera berdiri dari posisinya namun langsung kembali terduduk ketika tangan Peat menghentak tubuhnya agar kembali terduduk.

Sial! Noeul tidak hanya gila ternyata, tapi juga menjadi bodoh rupanya!

"Kau disini saja Noeul" Peat menatap Noeul dengan pandangan memohon, matanya menjadi sayu dengan bibir yang sedikit melengkung kebawah.

"Tapi-"

"Kumohon" Peat mengeluarkan suara kecilnya untuk mengambil simpati Noeul. Tangannya masih memegangi tangan Noeul dengan erat.

Noeul terdiam melihat wajah Peat yang terlihat seperti anak kucing yang meminta makan. Membuatnya ingat dengan Waren, kucing putihnya yang berada dirumah. Ia menjadi kasihan pada Peat.

"Noeul..." suara rendah milik Fort sukses membuat Noeul memalingkan wajahnya dari Peat dan beralih menatap Fort.

"Ah iya, sebentar" Noeul tersenyum kearah Fort sambil melepaskan pegangan erat milik Peat dilengannya. Hilang sudah rasa ibanya pada Peat, Noeul hanya tau ia harus memenuhi permintaan Fort sekarang.

Fort tersenyum dan juga ikut berdiri. Mereka berdua mengabaikan tatapan tak percaya Peat dan segera bertukar posisi.

"Terimakasih Noeul" Fort mengedipkan sebelah matanya pada Noeul dan membuat Noeul tersipu malu. Noeul membuang wajahnya kesamping dan mulai mengipasi wajahnya. Ia yakin wajahnya sudah semerah tomat sekarang.

"Lain kali kau tak boleh bermanja seperti itu dengan orang lain" Fort berbisik ditelinga Peat dan mengecupnya singkat. Membuat telinga sang empu seketika memerah dan segera ia tutupi dengan tangannya.

Peat langsung menjauhkan tubuhnya dari Fort dan mendelik tak suka. Matanya menatap Fort kesal. Bibirnya terlihat berkedut seperti ingin menyumpahi Fort jika saja Acan Mei tak masuk saat itu juga.

-----

Peat menghela napas panjang. Seharian ini ia terus ditempeli oleh Fort. Fort sama sekali tak membiarkannya bernapas lega satu detik pun. Bahkan selama mata pelajaran berlangsung, Fort menatapnya tanpa memalingkan wajahnya sedikitpun.

Untung saja, Up muncul dan menarik Fort paksa. Peat harus berterimakasih pada kekasih Fort yang satu itu nanti.

Sekarang ia sedang berada dimobilnya. Ia ingin menjemput Davikah yang berada di asrama untuk diantarkan ke kelasnya siang ini.

Sesaat sampai di asrama, pintu mobil Peat langsung terbuka dan dimasuki oleh Davikah. Peat menatap kekasihnya itu dengan iba. Mata Davikah tampak sayu dengan lingkaran hitam disekelilingnya.

"Kau baik baik saja sayang?" Peat mengelus surai hitam milik Davikah dengan sayang. Sepertinya tugas kemarin selesai lebih lama, jadi kekasihnya tidak tidur semalaman.

"Aku lelah phi. Mataku berat, aku ingin tidur" Davikah mencebikkan bibirnya sedih sambil menatap kearah Peat.

Peat menarik Davikah kepelukannya dan mengecup sekilas pipinya. Ujung hidung mereka kemudian saling bergesekan hingga keduanya saling tersenyum lebar.

"Huh.. Terimakasih phi. Ini akan membantuku sampai mata kuliah terakhir hari ini" Davikah balas mengecup pipi Peat dan kembali duduk diposisinya.

"Jaga kesehatanmu oke? Aku tak mau melihat orang cantik terbaring diatas kasur nanti, kkk.. " Peat terkekeh dan kemudian menyalakan mesin mobilnya setelah melihat wajah Davikah yang memerah. Kekasihnya benar benar cantik asal kalian tau.

-----

Setelah mengantar Davikah ke kelasnya, Peat memilih berdiam diri di perpustakaan. Ia memiliki beberapa tugas dan laporan yang harus ia siapkan. Sekarang masih pukul dua siang dan sebenarnya ia sangat lapar. Tapi ia tahu pasti Fort akan pergi mencarinya diseluruh kafe atau kantin yang biasanya Peat datangi. Jadi Peat memilih menunda makan sekitar satu jam lagi agar tak bertemu dengan Fort.

Peat berjalan diantara rak rak buku yang tersusun rapi. Matanya melihat setiap punggung buku yang terpajang dan memilih judul yang sesuai dengan tugas dan laporannya. Kali ini ia memiliki tugas mengenai Kimia Organik, jadi ia akan mencari referensi yang sesuai dengan konsen itu.

Setelah memilih beberapa referensi yang dirasa cukup, Peat memilih menduduki kursi paling pojok di perpustakaan. Kursi tersebut tampak sedikit gelap dan dingin, kursi itupun hampir tertutupi oleh susunan rak yang berjejer rapi. Peat tak mau kemungkinan Fort untuk menemukannya terjadi. Ia hanya ingin menjalani harinya dengan damai.

Peat mulai mengeluarkan laptopnya dan menyalakannya. Tak butuh waktu lama sampai ia mendapatkan halaman microsoft word kosong yang siap ia isi. Tangannya bergantian menyentuh antara keyboard dan buku.

Tsstt

Peat merasakan sebuah gelas plastik dengan sensasi dingin menjalari pipinya. Reflek ia menolehkan kepalanya keatas dan mendapati senyum lebar Fort disana.

"Ssstt, jangan protes, ini perpustakaan" Fort meletakkan telunjuknya diatas bibir Peat saat melihat bibir Peat yang mulai bergerak untuk mengutuk dirinya.

Peat mendengus kesal dan menatap Fort dengan tajam. Pandangan Peat tak lepas hingga Fort duduk disampingnya dan menyodorkan sepaket makanan dan minuman dihadapannya.

"Suara perutmu terdengar hingga pintu perpustakaan." Fort mulai membuka kotak makanan yang ia bawa dan menyendok irisan daging dari dalam sana. Tangannya terangkat dan bergerak menuju mulut Peat.

"Makan ini dan setelah itu kau bisa mengomeliku. Aa.. "

Hap

Peat memakan irisan daging yang berada didepannya. Ia mengunyah daging tersebut pelan dan masih menatap tajam kearah Fort.

"Bagaimana kau bisa tau aku ada disini?" selidik Peat saat selesai menelan makanannya. Suaranya ia buat serendah mungkin agar menunjukkan jika ia marah.

"Just a feeling" Fort mengendikkan bahunya acuh dan ikut memakan irisan daging dari sendok yang sama dengan Peat. Fort melambaikan sendok itu ke udara dan mengecupnya singkat. Bibirnya kemudian bergerak tanpa suara kearah Peat seakan mengatakan 'Indirect Kiss' dan tersenyum lebar.

Plakk

Peat memukul kepala Fort dengan kuat hingga bunyi tamparan itu memenuhi ruang perpustakaan. Emosinya meluap begitu saja melihat kelakuan gila Fort.

"Aw! Sshhh" Fort memegangi kepalanya yang dipukul keras oleh Peat. Matanya terpicing dan bibirnya meringis kesakitan. Namun ringisan Fort tak kunjung berhenti, tangannya sudah meremas rambutnya karena kesakitan.

"Fort.. Fort.. Hei" Peat mulai khawatir dan ikut memegangi kepala Fort yang ia pukul. Tangannya mengusap kepala Fort pelan dengan niat mengurangi rasa sakitnya.

"Fort, kau tak apa? Hei.. "Peat semakin panik. Fort masih saja memegangi kepalanya dan meringis kesakitan. Tak lama kemudian kepala Fort jatuh kesamping tepat ke tubuh Peat dan ringisannya seketika berhenti. Membuat kepalanya tersandar dibahu Peat dengan mata yang terpejam.

"Fort. Fort. Fort!!" Peat terus menepuk nepuk pipi Fort agar dia kembali sadar. Peat sangat panik. Ia tak tau pukulannya sekeras itu hingga Fort kesakitan dan pingsan. Peat merasa matanya mulai panas dan siap untuk menangis.

"Kau mengkhawatirkanku ya?" tiba tiba suara rendah Fort mengalun ditelinga Peat. Fort berbicara dengan bibir yang melengkung senyum, namun masih mempertahankan posisinya.

Pete terkesiap. Melihat bagaimana liciknya pria ini membodohinya hingga membuatnya sepanik ini dan hampir saja menangis.

"Arrrgghhh" Peat mengerang sambil menarik rambut Fort sekuatnya hingga kepala Fort menengadah keatas. Peat mengatupkan bibirnya rapat rapat dan giginya bergemelatuk meluapkan emosinya. Fort benar benar menguji kesabarannya!

Fort meringis kesakitan sambil memegangi tangan Peat yang masih menarik rambutnya. Ringisan dan kalimat ampun terus terlontar dari bibir Fort. Ia harusnya tak menggoda Peat seperti ini. Ia menyesal.

Peat akhirnya melepas tangannya setelah beberapa menit. Peat mencoba mengatur emosinya dengan memejamkan matanya dan menetralkan napasnya. Ia harus tenang kembali. Untung saja mereka berada dipojok perpustakaan, jadi tak mengganggu mahasiswa lain yang juga berada diperpustakaan.

Fort juga akhirnya mengucap syukur pada Tuhan ketika tangan Peat lepas dari rambutnya. Sesekali bibirnya meringis dan tangannya terangkat merapikan rambutnya yang acak acakan. Bermodalkan layar ponsel yang ia bawa, jarinya mulai menyusun rambutnya seperti sedia kala.

"Hah.. Fort. Lihat aku" setelah emosinya stabil, Peat mengeluarkan suaranya dan menatap Fort yang masih sibuk dengan rambut dan ponselnya.

Dengan sigap Fort memutar badannya dan menghadap kearah Peat. Fort tersenyum meskipun ia tau apa yang akan dikatakan oleh Peat.

Peat mengambil kedua tangan Fort dan menggenggamnya. Ia ingin Fort mengerti maksud dari perkataannya setelah ini.

"Fort. Aku pernah berpikir jika suatu saat kau akan begini. Kau akan berkata jika kau mencintaiku. Tapi itu semua hanyalah nafsu sesaat. Kau tak mencintaiku Fort. Percayalah. Tanyakan lagi pada hati kecilmu" Peat menatap mata Fort dalam. Senyum Fort yang lebar perlahan menyusut hingga tersisa wajahnya yang datar. Fort menghembuskan napasnya pelan dan mulai mencoba tersenyum lagi.

"Peat, jangan menghakimi perasaanku. Aku tau pasti apa yang kurasakan" Fort membalas Peat dengan tenang. Fort paham jika Peat hanya mencoba mencari jalan keluar dengan kejadian yang tiba tiba seperti ini. Jadi memang seharusnya dia yang berusaha lebih untuk itu.

"Peat, aku mencintaimu dan aku tulus. Kau bisa merasakannya sendiri jika kau mau. Aku tau kau sangat memahami diriku" sambung Fort. Ibu jarinya yang berada dipunggung tangan Peat bergerak mengusap pelan punggung tangan itu, seakan menyalurkan rasa sayang yang begitu dalam ia rasakan.

"Fort, karena aku memahami dirimu makanya aku tahu. Percayalah, itu bukan cinta Fort" Peat masih berusaha membujuk Fort. Peat masih teguh dengan pendiriannya jika Fort tak serius dengan perasaannya.

"Tunggu sebentar" Fort melepaskan salah satu pegangan tangannya ditangan Peat. Ia sebenarnya tak rela tapi ia harus membuktikan sesuatu untuk Peat.

Tangannya kemudiam mengambil ponselnya yang tergeletak diatas meja dan mulai menelpon seseorang.

"..."

"Hai Sanan, maafkan aku. Kita putus ya"

"Fort!" seru Peat terkejut mendengar ucapan Fort. Fort memutar ponselnya dan memperlihatkan layarnya yang sedang menelpon Sanan.

Pip

Fort kembali menggulirkan ponselnya dan kembali menelpon seseorang. Peat segera menahan tangan Fort yang sudah menempelkan ponselnya ketelinga. Peat menjauhkan ponsel itu dari telinga Fort dan melihat nama Up yang terpampang disana.

Peat benar benar kehabisan akal melihat tingkah Fort. Jarinya segera terangkat untuk mematikan panggilan itu namun ponsel itu menjauh. Fort mengangkat lengannya sedikit lebih tinggi dan menahan bahu Peat agar kembali duduk dalam posisi semula. Ia menatap Peat dan mengangguk. Seolah mengatakan 'Percayalah padaku'

Fort kembali mendekatkan ponselnya yang hampir saja dimatikan oleh Up karena tak ada sahutan dari sebrang lainnya.

"Hai Up. Maafkan aku. Kita putus ya"

Peat menyerah, ia memilih mengubur wajahnya didalam telapak tangannya yang bertumpu diatas meja. Ia benar benar tak menyangka Fort akan memutuskan kekasihnya hanya karena dirinya. Fort tak mungkin mencintai dirinya. Dan Peat juga tak ingin dicintai oleh Fort. Peat ingin semuanya kembali normal seperti sebelum Fort menyatakan cintanya.

Usapan lembut pun menghampiri surai Peat. Peat tau itu Fort dan tak ingin melihatnya. Peat merasa sekarang dia mulai kehilangan pegangannya. Fort yang ia kira hanya main main, hari ini memutuskan semua kekasihnya karena dirinya. Ia tak tahu lagi akan menyangkal perasaan Fort seperti apa. Perasaannya sekarang campur aduk tak karuan. Ia biasanya tau kemana tujuan hatinya. Tapi kali ini bingung. Sangat bingung.

"Peat, kau bisa mempercayaiku" Fort berucap sambil mendekatkan tubuhnya untuk duduk disebelah Peat. Peat akhirnya mengangkat kepalanya dan menatap kearah Fort, menyebabkan wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Terpaan napas hangat satu sama lain terasa membelai wajah masing masing. Membuat suasana mereka terlihat sangat intim.

Peat kemudian menatap lekat mata Fort. Matanya yang bingung terlihat berusaha mencari kesalahan dari sorot mata lainnya. Tapi tak ada. Ia tak menemukan kejanggalan apapun dari mata itu. Ia hanya menemukan rasa nyaman dari mata itu.

"Peat, izinkan aku mencintaimu" ucap Fort lembut. Tangannya masih mengusap surai Peat dengan pelan. Bibirnya juga menyunggingkan senyum yang sarat akan ketulusan.

Peat hanya diam. Ini tak boleh berlanjut, Peat tak boleh terlena. Ia harus kembali pada pendiriannya. Peat selalu mengulangi sebuah kalimat dalam kepalanya jika 'Fort hanyalah seorang playboy yang memiliki nafsu sesaat. Fort tak pernah serius dan ia bisa mendapatkan kekasih kapan saja. Peat menyukai perempuan dan sekarang ia memiliki Davikah disisinya'

Peat meyakinkan dirinya untuk teguh. Ini bukan hanya tentang dirinya saja. Tapi ini juga untuk kepentingan semua orang disekelilingnya. Peat tak ingin lagi ada yang terluka

TBC


Komentar

Postingan populer dari blog ini

FORTPEAT - SURROGATE 2🔞

FORTPEAT - JINX - 16 🔞

FORTPEAT - RARE SPECIES - 5 🔞