FORTPEAT - JINX - 31
Riuh lalu lalang mobil mewah memenuhi jalan yang disediakan pihak hotel. Berbagai jenis kendaraan dengan harga fantastis mulai berjejer rapi di parkiran hotel megah yang tampak ditutup demi keberlangsungan sebuah acara.
Dari lobi tampak dekorasi apik yang didominasi warna merah dan merah muda. Begitu dengan para staff hotel yang sudah disulap menjadi penyambut tamu demi keperluan acara.
Sepanjang jalan dari lobi menuju ballroom utama disediakan berbagai dekorasi cantik dan booth foto untuk para tamu demi keperluan engagement. Tak henti sampai disitu, bahkan beberapa makanan pembuka tersaji disisi lorong sebagai teman menunggu sebelum acara dilaksanakan.
Ballroom megah dari hotel bintang lima. Setiap sudut tak lepas dari kemewahan, dengan warna senada yakni merah dan merah muda, ballroom itu disulap menjadi tempat yang penuh sakral. Dimana sebuah acara pertunangan antara dua perusahaan besar akan dilangsungkan dalam kurun waktu satu jam.
Decak kagum setiap bibir undangan tak henti henti terdengar. Bagaimana sempurnanya segala persiapan yang sangat patut diacungi jempol. Acara keluarga konglomerat memang tak pernah main main.
Disalah satu ruangan yang tampak sunyi duduk seorang wanita dengan gaun merah muda, bahu halusnya terekspos baik karena gaun off-shoulder yang dikenakan. Riasan tebal namun terkesan tipis sangat cantik diwajah manisnya. Rambut yang ditata sedemikian rupa dengan hiasan keemasan menggantung dirambutnya. Pearwah benar benar tampak sempurna untuk acara pertunangannya hari ini.
Senyum merekah dari bibir yang dipolesi lipstik nude dengan sentuhan lipgloss terlihat sangat anggun. Namun senyuman itu luntur seketika saat melihat pria yang berada disebelahnya memasang wajah datar. Fort yang duduk menghadap cermin dengan wajah yang masih dirias tak terlihat menyemburkan hawa bahagia sama sekali.
Apa benar ia akan menikah dengan pria ini?
Apa benar ia akan berperan sebagai istri dari pria ini?
Wajah itu sama sekali tak menunjukkan minat.
Pearwah menatap dirinya kembali kedalam cermin. Melihat dirinya secara menyeluruh dan teliti.
Apa ia tak cantik?
Apa ia tak menarik?
Apa kekurangannya?
Tidakkah perilakunya baik?
Tangannya buru buru mengambil selembar tisu yang terletak diujung meja rias. Memposisikannya dibawah mata dengan cepat sebelum lelehan air matanya merusak riasannya hari ini.
Ia tak bisa menangis saat ini. Tampil prima adalah salah satu kewajiban yang harus ia lakukan hari ini. Sebisa mungkin ia akan menahan apapun bentuk sakit yang bisa datang kapan saja.
Sekali lagi Pearwah menatap pantulannya didalam cermin. Memaksakan senyum terbaiknya seolah hari ini benar benar hari bahagianya.
-----
Dari kejauhan tampak dua orang pria yang berjalan kearah lobi hotel. Mata mereka tampak berkeliling kagum menatap setiap dekorasi indah yang disajikan. Kedua pria itu melangkah lebih jauh, masuk kedalam ballroom yang merupakan tempat acara utama dilangsungkan.
Tangan besar milik pria dengan rambut kuncir khas miliknya tampak menyelip diantara jemari kurus milik pria disampingnya. Menggenggamnya erat dan kemudian mengambil posisi disalah satu meja bundar yang sudah terpasang nama mereka.
"Hah.. " Hembusan napas berat terdengar dari bilah bibir Noeul. Matanya menatap sendu kearah dua kursi kosong yang berada tepat didepannya.
Ya, setiap meja diisikan oleh empat kursi dengan posisi saling berhadapan. Disetiap kursi telah ditandai dengan nama tamu undangan untuk mengantisipasi ketidaknyamanan.
Sama halnya dengan meja yang ditempati Boss dan Noeul. Meja ini pun berisi empat kursi. Namun kini dua kursi didepannya tak akan pernah terisi.
"Tersenyumlah sayang. Ini sudah keputusan mereka. Bagaimana perasaan Fort nanti saat melihat wajahmu seperti ini, hm? Kalian teman bukan?" Boss yang duduk disebelah Noeul mengusap surai kekasihnya lembut. Memberi pengertian pada pria kecilnya agar sedikit lebih ceria.
Noeul mengangguk disertai gumaman. Ia tahu seharusnya tak seperti ini disaat hari bahagia Fort. Namun mengetahui fakta bahwa Peat kembali ke Korea Selatan pagi ini bersama Joss membuktikan jika ini benar benar akhir dari hubungan keduanya. Seminggu yang lalu Peat mengatakan akan pergi kepesta pertunangan Fort dan Pearwah bersama Joss, bahkan Peat tampak antusias dengan ucapan yang ia lontarkan saat itu, mereka juga saling melempar ide untuk mengenakan dresscode serupa hari ini. Namun kabar kepergian Peat ke Korea Selatan pagi ini membuat Noeul cukup terkejut, membuat otaknya bertanya tanya apa yang terjadi sehingga Peat mempercepat penerbangannya yang seharusnya dilakukan besok.
Noeul tak berani menanyakannya pada Peat. Pagi tadi disaat Peat mengabarkan kepergiannya ketika ia berada dijalan menuju Nonthaburi, Noeul hanya bisa berkata iya dan mengucapkan hati hati dijalan. Namun ketika ia menceritakan hal tersebut pada Boss, jawaban pasti ia dapatkan. Fort dan Peat benar benar mengakhiri hubungan mereka.
Tak lama suara MC acara mulai menarik perhatian para tamu undangan. Begitu juga dengan Noeul yang mengangkat kepalanya kearah panggung dan mengamati acara dalam diam.
Tangan Boss yang berpindah menggenggam tangan kirinya kini mulai memainkan tangan tersebut, mencoba membuat pria kecilnya agar tak larut dalam kemurungan.
Acara puncak yang dinantikan pun datang. Kedua bintang utama pun dipersilahkan menaiki panggung. Tampak Fort dengan gagahnya menopang tangan kiri Pearwah dengan tangan kanannya, membantu wanita cantik bergaun merah muda itu untuk naik keatas panggung.
Keduanya pun berjalan beriringan sesaat setelah mencapai panggung, memutar tubuhnya sedikit ketika posisi mereka tepat berada ditengah.
Alunan melodi klasik yang terputar semenjak masuknya bintang utama pun mulai berhenti, digantikan riuh tepuk tangan tamu undangan. Semuanya bersorak, menyerukan nama masing masing bintang utama untuk segera bertukar cincin.
MC yang bertugas pun kembali mengambil alih acara. Menyapa kedua bintang utama dengan dibumbui sedikit godaan disana sini.
"Baiklah, mari kita dengarkan bagaimana gugupnya bintang utama pria kita hari ini. Singkat saja, karena saya tahu bagaimana panasnya pasangan baru" Sang MC mengedipkan sebelah matanya menggoda, memberikan mic kepada Fort dan disambut baik oleh Fort.
"Ya, terimakasih sebelumnya kepada para tamu undangan yang menyempatkan untuk hadir hari ini. Bagaimanapun mengumpulkan segudang orang sibuk tentu tak mudah dan saya menghargai itu. Untuk pasangan saya-" Fort mengambil jeda untuk menoleh kearah Pearwah. Mata besar itu menatap wanita cantik itu sedikit lama, air wajahnya tak terbaca, membuat Pearwah menaikan sebelah alis matanya seolah bertanya ada apa.
"Ya, untuk pasangan saya, saya ucapkan terimakasih. Terimakasih sudah memilih saya dan memahami saya selama ini. Terimakasih" Fort kembali memberikan mic yang berada ditangannya. Wajah tampan dengan riasan tipis itu kembali sedikit terlihat murung.
Tak dipungkiri jika hatinya masih belum menerima kondisinya saat ini. Hatinya masih sangat terikat dengan pria kecil itu, namun hari ini ia akan bertunangan dengan orang lain.
Sejak pagi tadi ia berusaha mensugesti dirinya jika ini memang takdirnya dan ia kan menghormati dan menghargai Pearwah sebagai calon istrinya. Dan beginilah hasilnya, wajahnya yang seharusnya menebar rasa bahagia kini tampak aneh karena hanya raut datar yang ia keluarkan. Fort benar benar merasa bersalah pada Pearwah.
"Hai nong Fort. Tersenyumlah! Kau terlihat terlalu gugup. Saya tahu jika wanita disamping anda terlalu mempesona saat ini. Tapi kasihani para fotografer didepan sana, mereka akan sulit memilih foto bagus untuk dicetak nantinya. Kkk... Ah, baiklah. Sebaiknya kita juga menanyakan pendapat dari bintang utama lainnya hari ini, wanita cantik yang juga tak kalah gugup, kkk.. Silahkan nong"
Pearwah dengan senyum manisnya memgambil mic yang disodorkan dihadapannya. Mata cantiknya kemudian menatap sekeliling, melihat satu persatu tamu undangan yang tampak ramai menghadiri acara mereka.
"Baiklah. Sama seperti sebelumnya, saya juga mengucapkan terimakasih yang mendalam kepada para tamu undangan yang bersedia menyediakan waktu disela kesibukan. Begitu juga dengan pasangan saya, saya juga mengucapkan terimakasih. Terimakasih karena pada akhirnya sayalah yang dipilih. Tentu saja hal ini membawa kebahagiaan untuk saya, memiliki calon pendamping yang sempurna adalah impian banyak orang. Membangun rumah tangga dengan calon pendamping yang sempurna juga merupakan impian banyak orang, termasuk saya-" Pearwah menggigit bibir bawahnya. Tangannya yang tak memegang mic tampak meremas sisi gaun merah mudanya. Matanya bergerak acak, terlihat khawatir dan sedikit takut.
"Eum.. Saya- tidak, aku ingin membatalkan pertunangan hari ini"
Greb
Srett
Fort yang terkejut reflek merampas mic yang berada ditangan Pearwah dan menarik pergelangan tangan Pearwah untuk menghadapnya. Mata besar itu tampak tertekuk bingung dengan pernyataan yang dilontarkan Pearwah.
Ballroom yang diisi banyak tamu pun mulai gaduh. Bisikan demi bisikan tak percaya datang dari bilah bibir masing masing tamu. Begitu juga dengan pihak keluarga yang berada dimeja tepat didepan panggung. Semua orang terkejut tanpa terkecuali.
Pearwah menutup kepala mic yang digenggam tangan Fort. Mendekatkan wajah mereka dan menatap dalam manik besar yang berada didepannya.
"Aku- tak bisa menikahi seseorang yang masih memikirkan orang lain. Aku manusia dan aku memiliki perasaan-" Dengan suara pelan dan penuh penekanan Pearwah berkata didepan wajah Fort. Mata cantik itu menatap Fort penuh luka.
"-Dan untuk itu aku memilih melepaskanmu"
Srett
Pearwah kembali merebut mic yang berada ditangan Fort. Memegangnya erat dengan kedua tangannya dan kembali berdiri menatap para tamu undangan.
"Sebelumnya saya memohon maaf yang sebesar besarnya kepada kedua pihak keluarga atas keputusan mendadak yang saya ucapkan. Kemudian saya memohon maaf kepada para tamu undangan yang kehilangan waktunya atas kejadian ini. Saya- Pearwah, meminta pertunangan ini dibatalkan. Terimakasih"
Pearwah membungkukkan tubuhnya sembilan puluh derajat. Menegakan tubuhnya dan mengembalikan mic yang berada ditangannya. Tubuh ramping itu berbalik dan mulai berjalan hendak meninggalkan panggung.
Greb
Sebuah tangan tampak menghentikan langkah dari Pearwah. Tangan besar itu menggenggam pergelangan tangan Pearwah disaat tubuh Pearwah berjalan melewatinya. Kepala Fort yang tertunduk sedikit terangkat dan menoleh kesamping, membuat kedua wajah itu saling bertemu dan bertatapan.
"Maaf dan terimakasih"
-----
Tiga bulan kemudian
Seseorang dengan tampilan kacau terlihat menatap layar komputer didepannya dengan frustasi. Rambut yang diikat diatas kepala membentuk buah apel dengan kacamata yang tersampir dihidung bangirnya melengkapi penampilan kacaunya siang ini. Mata lelahnya yang tampak berkantung dan dikelilingi lingkaran hitam membuatnya sedikit terlihat mengerikan.
Bibirnya meracau mengutuk pekerjaannya yang belum selesai selama berhari hari. Ia sudah mulai mengolah data hasil formulasi terbaru dari rancangan produk dari tiga hari yang lalu, namun kemarin tiba tiba saja semua formulasi dirombak oleh kepala bagian sehingga membuatnya kembali mematung menatap layar terang yang sudah menemaninya berhari hari.
"Sunbae, tidurlah. Kau sudah tak tidur berhari hari. Wajahmu terlihat mengerikan" Hyori yang berada diseberang meja Peat tampak memandang pria itu khawatir.
"Aku masih sanggup Hyori-a. Akan kuselesaikan ini hari ini sehingga kita bisa mulai dengan pengujian selanjutnya" Peat sama sekali tak melepaskan pandangannya dari layar komputer yang ia gunakan. Jarinya terus bergerak mengolah ribuan data yang berada dilayarnya.
"Kau mau kubuatkan kopi sunbae?" Tawar Jieun yang tampak berada diambang pintu keluar, seperti berniat pergi ke pantri kantor.
"Satu kopi instan, terimakasih"
"Latte?"
"Jika ada tentu lebih baik"
"Okey!"
Peat kembali fokus pada layar komputernya selepas kepergian Jieun keluar dari ruangan.
Hari semakin sore, matahari pun bergerak menuju pelabuhannya. Jingganya langit kini mulai menggantikan dan mendominasi suasana.
Satu persatu karyawan mulai meninggalkan ruangan semenjak jarum jam menunjukkan pukul lima sore. Beberapa bergegas untuk pulang lebih cepat karena harus kembali mengurus keluarga kecil mereka dirumah, beberapa juga memilih untuk menyelesaikan pekerjaan sebelum pulang.
Berbeda dengan Peat, ia malah memilih menetap hingga beberapa hari karena pekerjaannya yang menumpuk setinggi gunung. Duduk didepan layar komputer selama 20 jam nonstop dengan sisa 4 jam ia gunakan untuk tidur, mandi maupun makan.
Dan ini semua dikarenakan oleh Minho brengsek yang mengundurkan diri secara mendadak satu minggu yang lalu. Bocah ingusan itu marah karena Peat menolaknya mentah mentah.
Oh sial! Pria manja seperti Minho memang hanya bisa menjadi beban bagi rekan kerja. Bayangkan saja, mengundurkan diri hanya karena cintanya tak diterima apakah bisa disebut profesional? Sikapnya benar benar harus diperbaiki sebelum melamar kesana sini. Dan lihatlah hasil dari ketidak profesionalan bocah itu! Peat harus menanggung semuanya sendiri dan menyelesaikannya tepat sebelum besok pagi. Ugh! Bocah sialan!
Dengan bibir yang masih menggerutu Peat masih melanjutkan tugasnya. Tangannya bergerak tanpa henti diatas keyboard komputer perusahaannya.
Tak
"Assa!! Ahhh!!" Suara sorakan lega terdengar begitu nyaring sesaat Peat berhasil menyelesaikan tugas menggunungnya. Tangannya ia regangkan sangat lebar dengan tubuh yang ia bawa bersandar. Peat menjatuhkan kepalanya sedikit condong kebawah karena batasan atas sandaran kursi yang hanya menopang hingga bahunya. Matanya terpejam merasakan bagaimana enaknya seluruh otot dan tulangnya yang kaku bersandar dengan nyaman pada kursi kerja miliknya.
Sekitar lima belas menit lamanya Peat bertahan pada posisinya dan kemudian kembali duduk tegap. Melirik kearah jam digital yang terpajang disalah satu sudut meja kerjanya dan ternyata sudah menunjukkan pukul delapan malam.
"Hyori-a. Bangunkan aku setelah satu jam lalu aku akan mengantarkanmu pulang." Ujar Peat pada Hyori yang ternyata juga mengambil lembur hari ini. Setelah mendengar gumaman setuju dari Hyori yang tampaknya cukup sibuk, Peat berjalan menuju sebuah ruangan yang berisikan sofa empuk. Biasanya ruangan ini diperuntukan bagi tamu luar yang akan menyewa jasa perusahaan untuk membuat produk sendiri. Jadi karena ruangan ini tak dipergunakan saat malam hari, Peat memilih untuk tidur disana satu jam kedepan sebelum benar benar pulang ke apartemen miliknya yang sudah ia tinggalkan beberapa hari.
"Jalja" Gumam Peat pada angin kosong, menutup mata beratnya perlahan tanpa tahu jika seseorang baru saja masuk kedalam ruangan tersebut.
-----
Ruang rapi yang didominasi warna cokelat tampak terlihat hangat. Lampu tidur dengan bias keoranyean menemani disisi ranjang yang terlihat cukup besar. Pendingin ruangan yang diatur sedikit lebih dingin membuat dua orang yang bergelung diatas kasur terlihat makin rapat dalam balutan selimut tebal.
Berbeda dari yang sebelumnya terjadi. Seseorang dengan tubuh besar tampak terjaga dengan matanya yang tak pernah lepas dari wajah cantik yang tertidur pulas dihadapannya. Posisi mereka yang saling berhadapan dengan tubuh rapat dan ujung hidung yang hampir bersentuhan membuat sang pria besar sangat leluasa menikmati pemandangannya.
Bibir penuh itu terlihat sesekali mencuri kecupan kecil dari bibir tipis yang sedikit terbuka. Hidungnya mengerut bahagia ketika gangguannya sama sekali tak mengusik tidur pria kecil didepannya. Lebih dari sepuluh jam pria didepannya ini tertidur dan sudah dua jam ia betah mengamati wajah ini.
Cup
Kembali dikecupnya bibir tipis itu dan kini dengan sedikit gesekan antara ujung hidung. Mungkin saja karena sudah melewati batas puas tidur, kini pria kecil itu sedikit terusik. Mata yang terpejam bergerak kecil karena sentuhan diujung hidungnya.
Mata rusa itu terbuka perlahan bersamaan dengan mata besar yang menutup cepat dan melakukan sedikit sandiwara pagi.
Deggg
Mata rusa itu terbuka lebar dengan penuh keterkejutan. Matanya menangkap sosok lain berada didepannya dan mengukungnya dalam dekapan.
"Oh, god!"
Tak
"Aw!"
Keterkejutannya membuat Peat reflek mendorong kepalanya kebelakang dan tak sengaja membentur sisi empuk sandaran ranjangnya. Menghasilkan bunyi nyaring karena kepala sandaran ranjang bagian belakangnya yang membentur dinding.
"Lima menit lagi Peat. Tak ada mata kuliah pagi ini" Racauan berat suara khas pria yang ia rindukan terdengar sangat jelas ditelinganya.
Srett
Tubuh Peat yang sedikit menjauh sebelumnya ditarik paksa masuk kembali kedalam dekapan hangat si pria besar.
Kuliah? Apa ini mimpi?
Mata rusa itu menatap bingung pada wajah tidur didepannya. Tangannya yang terapit didalam pelukan dengan susah payah ia keluarkan dan menyentuh pipi Fort yang tidur dihadapannya.
Nyuttt
"Aw! Sakit Peat!"
Erangan dan rengek kesakitan yang keluar dari bibir Fort saat ia mencubit pipinya membuat Peat mengernyitkan dahi.
Bukankah mimpi tak merasakan sakit?
Peat kemudian mengalihkan tangannya kearah pipinya dan mencubit pipinya sendiri.
Sakit.
Peat meringis dan buru buru mengusap pipinya. Dahinya semakin mengernyit heran. Ini apa? Bukankah ini dunia nyata? Lalu kenapa pria didepannya ini mengatakan kuliah?
Cup
"Jangan mencubit pipimu. Itu pasti sakit. Lihat, bahkan pipi putih ini memerah"
Peat terpaku dengan perlakuan yang baru saja ia dapatkan. Fort mengecup pipinya dan kini mengelusnya. Mata rusa itu mengerjap cepat karena otaknya belum memproses apa yang sebenarnya terjadi.
Kekehan ringan terdengar dari Fort. Pria besar itu kemudian beralih menangkup kedua pipi Peat dengan tangan besarnya, mengusapnya perlahan dengan ibu jarinya. Wajah kecil Peat hampir tenggelam oleh telapak tangan besar itu.
"Kita ke kampus sekarang? Kkk... "
"Kampus? " Kepala Peat sedikit miring heran dengan ajakan Fort. Ada dimana dia sekarang sebenarnya? Kenapa ini terasa begitu... Nyata?
"Uhum, kita harus bergegas Peat atau Acan Mei tidak akan membiarkan kita lolos di mata kuliah sekarang"
Cup
Fort kembali mengecup bibir tipis yang terkatup rapat itu. Kembali terkekeh geli ketika wajah Peat terlihat sangat kebingungan. Prianya benar benar makhluk paling menggemaskan sedunia!
"Eum.. Baiklah, ayo bersiap. Tapi- apa benar kita akan ke kampus? " Mata rusa itu terlihat begitu polos dan lugu ketika bertanya, membuat Fort tak tahan dan kini beralih menghujami wajah cantik itu dengan banyak kecupan.
"Tung-"
Cup
"Fort-"
Cup
Cup
"Seben-"
Cup
"Fort! Tung-"
Cup
Grep
Dengan cekatan Peat menahan wajah Fort dengan seluruh telapak tangannya. Menahan wajah itu agar tak lagi menghujaninya dengan kecupan. Ugh! Wajahnya terasa sedikit lengket sekarang.
"Ini apa? Mimpi? Kenapa kita ke kampus? Aku sudah bekerja Fort! Kau dari dunia lain? Masa lampau? Jangan membuatku bingung! "
Slurp
"Yak! Micheonnya?!" Peat menarik cepat kedua tangannya ketika merasakan jilatan basah ditelapak tangannya. Menatap tajam kearah pria besar didepannya yang tampak tersenyum sangat lebar hingga menampakan seluruh gigi rapinya.
"Aku akan menjawabmu jika kau mau memelukku. Bagaimana?" Fort menaik turunkan alisnya, menggoda pria kecil yang menatapnya kesal.
"Sepertinya aku baru saja bangun dari dalam lengan besar itu" Peat memutar bola matanya malas, ia tak akan menuruti kemauan Fort yang tak tahu dari zaman kapan.
"Terserah, jangan salahkan aku jika suatu saat kau akan mengalami hal yang sama sepertiku. Lintas waktu misalnya?"
"Hei, jangan bercanda! katakan yang sebenarnya!"
"Aku akan mengatakannya jika kau memelukku. Tak menerima penawaran"
"Ugh! Jjinjja! Baiklah!"
Grep
Peat akhirnya memeluk tubuh besar dihadapannya namun masih sedikit memberi jarak antara tubuh mereka.
Hap
Tak terima dengan tubuh yang berjarak, Fort menarik paksa pinggang ramping itu hingga tubuh mereka bersentuhan. Kepalanya sedikit menunduk menatap wajah kesal didekapannya.
Cup
"Hei!"
"Baiklah, dengarkan aku" Fort sedikit mendorong kepala Peat untuk lebih masuk kearah dadanya setelah mengecup puncak hidung Peat, mengusap surai halus itu perlahan ketika Peat sudah menyandarkan kepalanya sepenuhnya kedadanya. Sedikit mulai merasa nyaman, Peat semakin melesakan tubuhnya lebih dalam mencari kehangatan. Mengambil sedikit kesempatan dari Fort yang belum diketahui zamannya tak masalah bukan?
"Ini bukan mimpi dan ini adalah dunia nyata Peat. Kita tak akan ke kampus dan aku tau kau sudah bekerja, begitu juga aku. Aku bukan Fort dari masa lampau karena aku berada dizaman yang sama denganmu"
Srett
"Hah?" Peat menarik kepalanya, menatap bingung kearah pria besar yang kini juga menatapnya.
"Aku terbang dari Thailand dan sampai di Korea Selatan kemarin sore"
Peat tiba tiba mendudukan tubuhnya dan memandang sekeliling kamarnya. Sial! Seharusnya ia berpikir untuk mengecek kamarnya dulu agar tak berpikir kejadian barusan adalah mimpi! Lihatlah kamar apartemennya yang sama persis dengan kamar yang ia tinggali selama berhari hari di Korea Selatan.
"Kenapa kau disini? Jangan begini Fort! Apa kau tak kasihan pada Pearwah? Aku tak akan mengubah keputusanku meskipun kau berkorban untukku" Peat membuang wajahnya berlawanan arah dari posisi Fort yang masih tertidur.
Perlahan Fort ikut membangunkan tubuhnya, mendudukan tubuh besar itu didepan pria kecil yang kini tak mau melihatnya. Tangan besarnya kemudian bersarang kembali dipipi halus itu, mengusapnya sambil membawanya menoleh menatap dirinya.
"Aku tak jadi bertunangan"
Degg
Mata rusa itu membola, terkejut dengan pemberitahuan yang baru ia dengar.
"Kumohon, jangan katakan-"
"Tidak Peat, bukan aku yang membatalkan"
"Tapi- kenapa?"
Fort bungkam. Menimang apakah ia harus memberitahukan alasannya atau tidak.
"Pearwah mengatakan tak mau menikahi seseorang yang mencintai orang lain" Fort menghela napas, ia tak ingin melakukan kesalahan yang sama untuk membohongi Peat.
"Kau seharusnya mempertahankannya Fort! Kau seharusnya meyakinkannya jika kau mencintainya!"
"Tak bisa Peat! Tak bisa, aku mencintaimu dan selamanya akan begitu"
"Lalu bagaimana dengan ibu? Prigkhing? Ayah? Jangan egois Fort!" Mata rusa itu mulai berkaca kaca, dadanya terasa sesak karena lagi lagi membuat kecewa banyak orang.
"Hei hei. Jangan menangis, kau mau mendengarkan ceritaku?" Fort mengusap tetesan air mata yang baru saja jatuh dari mata Peat. Tersenyum tipis ketika Peat menurut dan mengangguk menjawab pertanyaannya.
"Hari itu disaat acara pertunangan Pearwah mendeklarasikan jika ia membatalkan pertunangan kami didepan seluruh tamu bahkan orang tua kami. Aku mencegahnya, tapi memang karena sepertinya aku juga menginginkannya aku tak mencegah sepenuhnya. Hingga pada akhirnya acara hari itu seratus persen gagal dan kami benar benar batal bertunangan. Kejadian hari itu benar benar mengejutkan, tentu saja kedua keluarga marah besar pada kami, terutama pada Pearwah karena dia berinisiatif untuk membatalkannya. Tapi entah kenapa saat itu kami menjadi begitu kompak dan membela diri dengan baik, sehingga membuat kedua keluarga akhirnya mengerti akan keputusan kami yang memang tak bisa melanjutkan pertunangan. Hari itu juga aku berlari mencarimu, berharap kau memang datang dan mendengar sendiri jika aku batal bertunangan. Tapi ternyata kau sudah pergi, kata Noeul pagi pagi sekali kau sudah terbang kembali menuju Korea Selatan. Aku sangat sedih dan tak terima, aku kehilanganmu disaat hakku mendapatkanmu kembali penuh. Namun Pearwah menyemangatiku, memintaku untuk bertahan dan tak menyerah padamu. Dia tak ingin pengorbanannya menjadi sia sia hanya karena aku berubah putus asa. Memang aku sedikit terlambat menjemputmu, butuh tiga bulan untuk aku dan Pearwah memperbaiki semuanya serta menaruh kembali kepercayaan semua orang kepada kami, kami benar benar mengacau asal kau tau saja. Kkk... Maafkan aku karena membuatmu menunggu lama, Peat."
"Fort- aku bukan pilihan yang tepat. Kau seorang Presdir di perusahaan besar Fort. Kau- membutuhkan keturunan" Peat melepaskan pegangan Fort pada pipinya, menjatuhkan tangan mereka keatas kasur. Kepala Peat menunduk, tubuhnya menjadi bungkuk.
"Lalu kenapa? Itu bukan masalah untukku, Peat" Fort menurunkan kepalanya, tangannya meraih dagu runcing itu dan mengangkatnya. Sedikit terkejut mendapati Peat menangis dengan mata yang memerah.
"Hei, kenapa kau menangis, hm? Itu bukanlah masalah." Fort mengusap wajah penuh air mata itu lembut, menyingkirkan setiap lelehan air mata dari manik rusa itu.
"Sekarang aku tanya, bukankah kau juga anak laki laki dari orang tuamu? Bagaimana kau akan memberi keturunan pada mereka? Jangan jawab kau akan menikahi seorang gadis karena aku tau pasti jika kau masih mencintaiku"
Peat terdiam. Air matanya mendadak berhenti keluar. Matanya mengerjap lucu sambil berpikir mengenai jawaban yang akan ia berikan.
"Eum... Itu- aku akan.. Adopsi?" Jawab Peat tak yakin, suaranya sedikit mengecil diujung kalimat.
"Begitu juga aku. Aku bersedia memiliki anak denganmu"
"Bagaimana dengan ibumu?"
"Kenapa dengan ibu? Bahkan dia lebih bersemangat dari siapapun mengirimku kesini untuk menjemputmu"
"Benarkah?"
"Ya"
Grep
Peat menghambur kedalam pelukan Fort. Mendekap tubuh besar itu erat dan menenggelamkan wajahnya didada bidang tersebut. Fort tersenyum lebar, lengannya turut melingkar ditubuh Peat dan menggoyangkan tubuh mereka lucu. Tak lama Fort merasakan tubuh Peat bergetar. Lagi. Peat menangis.
Fort berniat menariknya menjauh untuk melihat wajah basah itu namun ditahan oleh Peat dengan semakin mengeratkan pelukannya. Kepalanya menggeleng cepat agar Fort tak memaksa menarik tubuhnya. Kekehan terdengar dari bibir Fort, pria kecilnya terlalu menggemaskan bahkan disaat menangis seperti saat ini.
Harus dia apakan pria kecil ini?
Haruskah ia menggulungnya dalam selimut dan memeluknya sampai ia puas? Tapi Fort tak yakin ia akan puas
Atau ia akan mengurung Peat didalam bajunya dan bergerak bersamaan kemanapun mereka pergi?
Atau haruskah ia membeli lakban besar dengan merekatkan tubuh mereka hingga waktu yang tak ditentukan?
Oh Tuhan! Kenapa pria kecil ini terlalu menggemaskan?! Jika bisa ia akan menyimpan pria ini disakunya dan hanya menyimpan untuknya saja. Jika kelak mereka menikah, Fort berani jamin ia akan cemburu bahkan pada mertuanya nanti.
Oh! Fanatic freak!
Tak lama Peat akhirnya menjauhkan kepalanya setelah menghapus seluruh wajahnya dengan baju yang Fort kenakan. Membuat Fort menatap bagian depan bajunya yang terlihat basah dan sedikit lengket.
Hah.. Bahkan ia hanya tersenyum bodoh melihat dirinya menjadi kotor karena ulah Peat. Fort sudah menjadi gila rupanya.
Cup
"Aku mencintaimu" Sebuah kecupan kilat mendarat dipipi Fort ketika ia masih menunduk bodoh menatap baju yang ia kenakan. Fort reflek mengangkat kepalanya dan menatap Peat tak percaya.
Bugh
Greb
"Ouch!"
Fort mendorong tubuh Peat hingga kembali terbaring diatas kasur. Tubuh besarnya ia lemparkan keatas tubuh Peat dan mengukungnya erat dengan lengannya.
"Katakan sekali lagi" Pinta Fort dengan mata berbinar.
"Shireo!"
"Peat"
"Mai!"
"Please.. "
"Hah.."
"Kumohon"
"Aku mencintaimu-"
Cup
Fort segera meraup bibir tipis Peat kedalam sebuah ciuman tepat setelah Peat menyelesaikan kalimatnya. Menyesap dan melumat bibir itu penuh candu.
Plop
"Aku juga mencintaimu, Peat"
Cup
Fort kembali melumat bibir Peat rakus setelah mengucapkan kalimat kesukaannya pada pria yang dicintainya. Bibir itu bergerak acak menikmati tiap inci bibir yang sudah sangat lama tak ia nikmati. Bibir Peat benar benar memabukan. Bunyi kecipak khas ciuman terus terdengar nyaring dikamar tersebut. Bahkan kini lengan Peat sudah mengalung sempurna dileher Fort.
Nyuttt
"Aakkk!! Lepaskan Peat!" Tiba tiba saja Peat menarik rambut Fort kuat dan membuat Fort berteriak kesakitan. Suatu ingatan tiba tiba terlintas dikepala Peat.
"Sial! Deadlineku!!!"
END
Komentar
Posting Komentar