FORTPEAT - JINX - 30
"Segera susul aku"
BLAM
Hempasan keras pada pintu mobil suv berwarna hitam metalik itu seketika membuat tubuh kecil itu turut menghilang. Joss yang masih duduk dibelakang kemudi hanya bisa melongo menatap kepergian Peat yang melaju kedalam rumah sederhana didepannya.
Ya, baru saja kemarin Peat menyelesaikan semua tugasnya di perusahaan milik Fort dan juga melakukan perpisahan kecil kecilan bersama staffnya di departemen RnD, dan kini pria kecil ini datang ke Chiang Mai mengunjungi orang tuanya bersama Joss.
Selain karena terlalu rindu dengan orang tuanya dan sudah kepalang janji, Peat juga tampak menghindari Fort yang berulang kali mengajaknya untuk melakukan kencan. Peat pikir bukanlah ide bagus berkencan dengan calon tunangan seseorang apalagi mereka akan mengadakan peresmian dalam waktu dekat. Peat tak ingin mengambil resiko apapun saat ini.
Begitu mencapai pintu rumahnya, Peat segera mendorong daun pintu tersebut hingga menampakan ruangan lepas yang hanya disekat dibeberapa bagian. Seperti biasa, orang tuanya selalu menyukai rumah yang minimalis dengan pekarangan luas.
Sedikit bingung karena tak ada satupun tanda tanda kehidupan yang ia dapati dirumah itu. Namun mendadak bibirnya terangkat membentuk senyuman disertai gelengn kepala ringan. Orang tuanya tak akan berada didalam rumah disaat matahari selurus tiang bendera seperti sekarang. Buru buru Peat menutup pintu rumahnya kembali dan berlari mengitari rumahnya. Dan disaat yang bersamaan ia juga mendapati Joss yang tampak mengangkat beberapa barang ditangannya.
Grep
"Turunkan saja dan ikut aku" Tanpa basa basi Peat menarik tubuh Joss dan menyebabkan beberapa barang ditangan Joss terlempar ketanah. Dengan semangat Peat melanjutkan langkahnya hingga sampai di sebuah rumah kaca yang tepat berdiri kokoh dibelakang rumah. Dari tempatnya Peat dapat melihat dengan jelas ayah dan ibunya sedang bercengkrama dengan beberapa makanan disisi mereka.
Peat sedikit mempercepat langkahnya, jangan lupa jika pekarangan rumah khas keluarganya sangat luas. Jadi ia butuh tenaga lebih untuk itu.
Krietttt
"Ibu, ayah"
"Aigoo, uri adeul! " Ibu Peat dengan wajah terkejut disertai gurat kebahagiaan tampak tak sengaja menjatuhkan kue kering ditangannya keatas piring yang dipenuhi kue kering lainnya. Mata tua itu tampak bergelinang air mata tak kuasa menahan haru.
"Aigoo uri eomeoni, bahasa koreamu semakin baik ya? Kkk" Peat berjalan menuju orang tuanya setelah melepaskan pegangan tangannya pada Joss.
Wajah cantik Peat tampak diukiri senyum lebar serta mata yang berkabut. Tak tau bagaimana caranya selama ini ia menghiraukan dua manusia paruh baya ini disini, hatinya serasa diremas kuat ketika melihat air menua dari wajah ibu dan ayahnya. Bertahun tahun menjadi egois tanpa tau jika orang yang sangat mencintainya menua tanpa dirinya, tak menyaksikan wajah cantik dan tampan semasa dirinya kecil telah berubah sangat jauh saat ia hiraukan selama sepuluh tahun. Peat benar benar menyesali tak membersamai mereka selama itu.
Greb
Peat menarik tubuh ibunya kedalam pelukannya. Melingkarkan kedua tangannya dibahu dan pinggang sang ibu dan mengukungnya erat. Rasa rindu yang bercampur penyesalan menyelimuti dadanya, meluapkan sepenuhnya kedalam sebuah pelukan.
Greb
Tak sampai semenit, sepasang lengan lain ikut mengitari tubuh dua orang yang tengah berpelukan. Ayah Peat dengan sukacita ikut membersamai istri dan anaknya. Terlalu merindu kata hatinya.
"Aku sangat menyayangi kalian" Ujar Peat disela sela pelukan, tak berani mengungkapkan penyesalan.
"Kami juga nak"
-----
Didalam ruangan yang berisikan sebuah meja berukuran menengah dan dihiasi enam kursi disisinya kini tampak diduduki oleh empat orang dewasa dengan raut bahagia. Tersaji berbagai makanan dilengkapi dengan satu bakul nasi yang tampak mengepul. Aroma setiap hidangan mulai menguji perut masing masing untuk dapat memulai santapan.
"Bisakah aku mendapat nasi lebih banyak bu? Aku terlalu lapar, hehe" Cicit Peat dengan menjulurkan kepalanya menatap seluruh hidangan diatas meja, benar benar menggugah selera.
"Tentu sayang. Joss kau membutuhkan lebih banyak nak?" Ibu Peat tampak sedikit mengangkat piring yang berisikan nasi untuk diperlihatkan pada Joss.
"Cukup bu, aku akan mengambilnya lagi jika masih lapar" Ibu Peat mengangguk dan segera menyelesaikan tugasnya, yaitu kembali mengisi dua piring terakhir yang diperuntukan untuk suami dan anaknya.
"Bagaimana kondisimu Joss? Kau terlihat lebih sehat dari terakhir kali kami melihatmu" Ayah Peat mulai memasukan beberapa lauk yang berada dihadapannya, menaruhnya keatas piring yang sudah berisikan nasi hangat.
"Benarkah yah? Ini semua ulah Peat, dia memaksaku menghabiskan sisa makanannya, bahkan perutku sudah tak berbentuk lagi sekarang" Keluh Joss sambil melirik Peat yang tampak memutar bola matanya malas. Senyum tipis terukir dibibirnya ketika melihat respon Peat yang entah kenapa selalu terlihat lucu dimatanya.
"Hahaha, sesekali kau harus membiarkan Joss, sayang. Apa kau mau bersuami buncit?" Goda sang ibu dengan mengedipkan sebelah matanya pada Joss yang hanya disambut kikikan geli dari pria bertubuh besar itu.
"Ibu, aku hanya tak menyukai makanan yang terbuang. Perutnya besar dan bisa menampung banyak makanan. Lagi pula aku tak masalah dengan perut buncit, itu terlihat lucu dan menggemaskan" Bela Peat tak mau kalah, alisnya naik turun sambil menatap Joss sengit.
"Jadi kau mau menjadi istriku?"
"Kau yang menolakku"
Kedua pasang mata itu saling menatap sengit, tangan mereka saling terlipat didepan dada. Tak ada yang mau mengalah hingga sebuah ketukan dimeja akhirnya menginterupsi kegiatan dua pasang manusia itu.
"Ayah lapar, ada yang sama?"
-----
Langit malam terlihat sangat indah. Ribuan bintang tampak berkilauan ditemani bulan separuh yang menggantung terang. Mata rusa itu mengamati indah langit malam dari sebuah ayunan kayu besar yang terletak diseberang tenggara rumahnya, tepatnya disudut pagar batu yang menghadap kebangunan rumah.
Kakinya terangkat dan tertekuk kearah dada. Tangannya yang tak ditutupi apapun melingkar untuk menopang kakinya agar tak jatuh kebawah. Punggungnya bersandar penuh. Benar benar terlihat santai tanpa beban pikiran. Sepertinya.
"Hei jagoan. Kau tak kedinginan dengan baju tak berlengan seperti itu?" Tiba tiba saja suara berat yang berasal dari teras rumahnya menggema hingga mencapai gendang telinganya. Membuat Peat reflek melihat sang ayah yang berjalan kearahnya dengan kedua tangan yang masuk kedalam saku celananya.
"Tidak yah, aku sudah terbiasa" Peat menggeser tubuhnya kesisi lain sehingga membuat ruang baru untuk ayah duduk bersamanya diayunan.
Kriettt
"Kau baik nak?" Tanya ayah begitu mendudukan tubuhnya disamping anaknya. Menyilangkan kedua tangannya yang baru saja ia keluarkan dari saku celananya.
"Tidak begitu"
"Ayah mendengarkan, asal kau tahu"
Peat menatap sisi samping wajah ayahnya. Berpikir lama untuk memilih bercerita atau tidak. Memang benar ayahnya selalu menerima semua keluh kesahnya. Tapi Peat belum pernah menceritakan masalahnya dengan Fort pada ayah dan ibu. Meskipun Peat tak yakin rahasianya ini masih terjaga sampai detik ini.
"Aku selama di Nonthaburi bekerja diperusahaan Fort" Peat memberi jeda pada ucapannya untuk melihat respon sang ayah mengenai ucapannya. Namun ia hanya mendapatkan anggukan ringan dan raut biasa dari ayahnya, seperti ingin Peat bercerita lebih dan tak terlihat keterkejutan apapun dari sana.
"Setelah aku berpisah aku kembali bertemu dengannya, tentunya dalam hubungan yang kurang baik. Namun beberapa hari yang lalu kami berbaikan dan kembali berteman."
"Itu bagus"
"Apa pendapat ayah mengenai seseorng yang berkencan dengan calon tunangan seseorang?" Peat kini mengalihkan perhatiannya kearah langit, kembali menatap bintang dan bulan yang menemaninya selepas senja.
"Fort mengajakmu berkencan? Atau kau yang mengajaknya berkencan?"
"Fort"
"Bagaimana kata hatimu?"
"Aku bingung yah, aku tak mau dicap buruk"
"Bagaimana perasaan Fort padamu?"
"Dia mengatakan masih mencintaiku"
"Pergilah berkencan dengannya Peat. Kalian harus menyelesaikan semuanya secepat mungkin. Memang bukan hal baik berkencan dengan seseorang yang sudah memiliki pasangan, namun jika kalian tak menyelesaikannya sampai tuntas itu hanya akan menyakiti semua pihak, nak. Ayah tak ingin kau menderita lagi sayang, kau kembali dengan kondisi lebih baik seperti ini membuat ayah dan ibu dipenuhi rasa syukur. Dan itu benar benar obat terbaik untuk segala rindu kami nak" Ayah Peat menatap anaknya dalam, mengangkat tangannya untuk mengusap surai halus sang anak dengan penuh kasih sayang.
Peat menoleh, melemparkan senyumnya kearah sang ayah dan mengangguk ringan. Ia mengerti dan tau apa yang harus ia lakukan nanti.
"Terimakasih ayah"
"Ya, sama sama"
-----
Dengan langkah tergesa, Peat berlari menuju gerbang taman hiburan kota Nonthaburi yang berada dipusat kota. Setelah percakapan yang ia lakukan dengan sang ayah tempo hari, Peat akhirnya mengiyakan ajakan Fort untuk berkencan. Namun karena terlalu merindukan orangtuanya, akhirnya Peat baru bisa melakukannya tepat sehari sebelum pesta pertunangan Fort besok, tepatnya hari sabtu, hari ini.
Peat mengedarkan matanya mencari sosok tinggi bertubuh besar yang seharusnya sudah berada lima belas menit yang lalu. Mata rusa itu menyipit mencoba memfokuskan penglihatannya serta untuk menghalau sinar terik yang menerpa wajahnya. Tak ada tanda tanda sosok yang familiar dimatanya.
Csss
Desisan yang timbul akibat pertemuan benda dingin dan hangat membuat Peat sedikit terlonjak dari posisinya. Rasa beku yang bersarang dipipi kanannya membuatnya tanpa sengaja mundur tiba tiba dan menabrak tubuh lain dibelakangnya. Seketika sebuah tangan kiri mulai melingkari perutnya, membuat Peat menoleh kebelakang dan mendapati Fort yang tersenyum lebar kearahnya.
"Hai"
-----
"Huks, Fort!!! Kembali!! Aaa! Pergi kau setan sialan! Aku membencimu! Huks, Fort!!!"
"Hei hei Peat, aku disebelahmu. Kau memegangi baju belakangku sedari tadi, tak mungkin aku berada jauh" Fort kini membawa Peat kepelukannya dengan mengandalkan pencahayaan seadanya. Menepuk pundak sempit itu pelan untuk menenangkan seorang bayi besar yang menangis karena dipegang oleh hantu bohongan diarea permainan yang mereka masuki.
"Hiks, ini benar kau? Jangan tinggalkan aku. Aku takut" Peat melingkari tangannya erat dipinggang Fort. Napasnya tersengal sengal diantara pelukan. Mereka kembali melanjutkan perjalanan yang terasa sangat panjang dan lama.
"Aaa!! Fort! Dia memegangi kakiku! Pergi kau sialan! Hiks, ibu!! Tolong aku!!" Peat meracau sekuat mungkin saat merasakan gesekan dimata kakinya. Jemarinya mencengkram kuat kemeja yang Fort gunakan dengan tubuh yang meloncat gaduh. Peat bergerak layaknya seseorang yang terkena tantrum.
Fort segera memindahkan Peat kesisi lain dengan sedikit mengangkat tubuh itu dan kemudian memutarnya. Mengarahkan senter yang sebelumnya dibekali untuk para pengunjung rumah hantu kearah tempat yang sebelumnya Peat pijak.
Nihil.
Disana hanya ada rumput liar panjang yang sedikit bergoyang. Fort menghela napas panjang. Lega karena itu bukan sesuatu yang harus ditakuti.
"Kkk.." Sebuah kikikan geli tiba tiba saja berasal dari bibir Fort. Tak percaya jika Peat ternyata setakut itu dengan hantu. Ini benar benar hal baru. Selama dirinya mengenal Peat, ia tak mengetahui Peat yang takut dengan hantu. Pria kecil ini pemberani bahkan, ia suka menonton serial horor atau triler hingga menyendiri dalam kondisi gelap. Bagaimana mungkin pria ini berubah menjadi penakut seperti ini?
"Kau menertawaiku?" Peat menatap Fort dengan mata merahnya, bibirnya yang masih terisak terhenti ketika mendengar kikikan itu berubah menjadi tawa.
"Kau jahat" Sambung Peat tak terima, matanya kembali berkabut karena digenangi air mata. Tubuhnya kembali bergetar dan menangis.
"Astaga, bukan bukan. Hei Peat maafkan aku" Fort yang merasakan tubuh didalam kungkungannya bergetar menjadi panik dan segera menyudahi tawanya. Menatap Peat bersalah dan membawa tubuh itu kedalam pelukan lebih erat.
"Keluar! Bawa aku keluar sekarang!"
"Tapi ini baru separuh jalan-"
"Keluar!!!"
-----
Fort terus berusaha menyamakan langkahnya dengan pria kecil yang saat ini tengah merajuk dan berjalan cepat tak tentu arah. Kepalanya terasa sangat gatal karena usahanya ditepis begitu saja oleh Peat. Permohonan maafnya tak diterima sama sekali. Pipi putih itu menggembung semakin besar setiap kali bibirnya berbicara, hingga kini ia hanya mampu mengiringi langkah pria kecil didepannya.
Ckittt
Buk
"Ck! Perhatikan jalanmu! Jika aku berhenti harusnya kau juga!" Berang Peat setelah membalik tubuhnya menghadap Fort yang baru saja menabraknya.
"Maaf"
"Kembang gula" Tangan putih milik Peat menunjuk sebuah stand makanan yang menjual kembang gula, menatap tajam kearah Fort seolah perintah telah keluar dari mulutnya.
"Kau mau?"
"Hah.. Menurutmu?" Peat memutar bola matanya malas, belum sempat ia menatap Fort kembali dengan benar, pria besar itu sudah menghilang melesat menuju stand yang baru saja ia tunjuk. Seketika sudut bibirnya tertarik membentuk senyum tipis karena tingkah lucu Fort.
Peat tak benar benar marah, ia hanya mencari alasan untuk segera keluar dari rumah hantu mengerikan itu. Jujur saja jika ia memang menyukai hal yang berbau mistis, namun merasakannya secara langsung benar benar pilihan yang harus segera ia buang sejauh mungkin dari daftar keinginannya. Hal ini benar benar menyeramkan dan Peat rasa nyawanya tak akan selamat jika melanjutkannya hingga akhir. Dan lagi ia sudah cukup lelah, mencoba begitu banyak permainan selama setengah hari tanpa jeda benar benar menguras energinya.
Drap
Drap
Drap
"Hah.. Hah.. Kembang gulah.. Untukmuh.." Dengan napas tersengal Fort kembali sampai didepan Peat. Tepat didepannya terdapat sebuah kembang gula merah muda dalam ukuran sangat besar.
Mata Peat berbinar, tangannya segera meraih tangkai yang hanya terlihat ujungnya saja. Menyingkirkan sedikit kembang gula besarnya kesamping dan menatap senang kearah Fort yang masih menumpu tangan pada lututnya, napasnya masih tampak tersengal. Sebenarnya pedagang gula yang Peat tunjuk tak jauh, namun sepertinya Fort terlalu bersemangat dan ingin segera memperoleh maaf. Benar benar pria yang menggemaskan.
Puk
Puk
"Terimakasih" Peat berucap sambil menepuk nepuk pelan puncak kepala Fort yang masih menghadapnya, senyum lebar miliknya keluar begitu saja tanpa sepengetahuannya. Membuat Fort seketika mengangkat kepalanya dan menatap Peat penuh takjub.
"Wah, Peat. Jangan pernah tunjukan wajah ini pada orang lain, mengerti?!" Fort memegang dadanya yang kini berdetak sangat cepat. Peat saat ini benar benar terlihat sangat cantik dan indah, mata rusa yang setengah tenggelam disertai senyum lebar yang menampakan seluruh deretan gigi rapinya. Peat benar benar membuatnya jatuh cinta hingga berkali kali.
Peat mendengus dan berjalan menjauh menuju kursi batu yang tampak kosong sekitar sepuluh meter didepannya. Mendudukan tubuhnya disana sambil mulai memakan kembang gula yang berada ditangannya. Rasa lelehan manis dilidahnya terasa begitu nikmat, membuat Peat bergumam kesenangan dengan mata yang terpejam erat. Oh! Tak ada yang lebih baik dari makanan manis!
"Kau melupakanku karena kembang gula. Apa ini lebih penting dariku hm?" Ujar Fort begitu ikut mendudukan tubuhnya disebelah Peat, menatap teduh orang dismpingnya yang tampak kegirangan hanya dengan setangkai kembang gula.
"Bukan begitu, hahaha. Sebagai permintaan maafku, aku bersedia membagi secuil dari milikku. Terimalah" Peat mencubit satu sisi kembang gula miliknya dan menyerahkannya kehadapan Fort. Tangannya tergantung lama diudara karena Fort tak kunjung mengambilnya.
"Yasudah kalau-"
Hap
Fort dengan cepat melahap kembang gula yang sudah hampir meleleh diantara jemari Peat. Mata rusa Peat membesar ketika merasakan lidah Fort yang bergerak menjilat jarinya.
Plop
Peat segera menarik tangannya menjauh dan menatap tajam Fort. Sial! Berani beraninya pria besar ini mengambil kesempatan darinya!
Suasana kembali hening di antara mereka, disekelilingnya hanya diisi oleh suara ribut lalu lalang orang orang yang tak sengaja melintasi tempat duduk mereka. Tak ada satupun yang ingin memecah suasana hening yang entah kenapa menjadi cukup nyaman. Peat pun asik dengan kembang gula miliknya yang sudah habis tiga perempat, benar benar tak ada ampun bagi makanan manis untuk Peat.
"Peat" Sebuah panggilan dari Fort akhirnya mengisi keheningan yang terjadi, membuat Peat menoleh sebagai jawaban dari panggilannya.
"Besok aku akan bertunangan-" Fort mengalihkan pandangannya kearah Peat dan mendapati Peat kini mulai menatapnya serius. Kembang gula yang tersisa sedikit pun sudah tampak turun dan berada diatas pangkuannya.
"-ini usaha terakhirku. Perasaanku hingga detik ini sama sekali tak berubah, Peat. Aku mencintaimu bahkan jatuh cinta berkali kali padamu. Aku bahkan saat ini bersedia membatalkan semuanya jika kau mau memberiku kesempatan-" Fort menjeda kalimatnya dan menarik napas dalam dalam.
"Untuk terakhir kali. Peat, maukah kau kembali bersamaku?" Fort menatap dalam kedua mata rusa itu, mencoba meyakinkan Peat jika ia benar benar bersungguh sungguh dengan perkataannya.
Peat terdiam, matanya menatap lurus kearah Fort. Ia benar benar siap untuk ini. Peat sangat tahu cepat atau lambat Fort ataupun dirinya akan membahas ini pada akhirnya. Dan Peat sangat tahu dengan apa yang harus ia katakan.
"Fort, aku ingin kau kembali pada Pearwah dan ini adalah keputusan terakhirku. Hubungan kita berakhir sampai disini, baik sebagai teman ataupun pasangan. Terimakasih sudah memberikanku kisah cinta terbaik selama ini. Pulanglah sekarang dan bersiaplah untuk acara pertunanganmu besok"
Srettt
Tubuh besar dihadapan Peat berdiri dalam sekejap. Mata besar itu menatapnya penuh kecewa namun pasrah. Senyuman tipis dipaksakan untuk terlihat dari bibir penuh itu.
"Baiklah. Jaga dirimu baik baik. Aku pergi"
-----
Seseorang dengan proporsi tubuh kecil dan kulit putih tampak diguyur hujan deras yang turun sejak setengah jam yang lalu. Dengan kepala tertunduk dan memegang sebuah tangkai yang tampak ditempeli beberapa bagian lengket berwarna merah muda, tubuh pria itu tampak bergetar hebat. Dibawah kakinya terdapat jejak genangan merah muda yang belum tersapu air hujan. Isakan yang teredam oleh derasnya hujan yang turun membuatnya tampak berdiri dengan menyedihkan.
Tak ada yang peduli.
Berdiri didepan gerbang taman hiburan dengan kondisi yang kuyup sama sekali tak menarik perhatian orang orang yang keluar dari taman hiburan. Orang orang memilih melewatinya dan segera menyelamatkan diri dari basahnya hujan yang akan mengenai tubuh mereka.
Sesaat kemudian dari kejauhan tampak pria besar dengan kulit eksotisnya berlari cepat menuju arah gerbang taman hiburan. Dengan payung besar ditangannya ia berlari melewati setiap pengunjung yang bergerak berlawanan arah darinya.
"Peat"
Srett
Seketika tubuh pria kecil yang sebelumnya dihujami air hujan itu kini dilindungi oleh payung besar yang dipegangi oleh tangan kekar milik pria besar yang baru saja datang. Napasnya tersengal. Matanya memandang iba pada Peat yang terlihat begitu memilukan.
"Joss, hiks.." Isakan itu akhirnya sayup terdengar, Peat memandang wajah Joss dengan wajah yang penuh dengan jejak air yang masih mengalir, bahkan air itu masih berburu turun untuk mencapai dagu runcing sang empu. Mata merah itu kembali menggenang, air matanya terus terisi dipelupuk matanya.
Joss hanya memandang, menatap wajah itu tanpa melakukan apapun.
"Kenapa- kenapa rasanya sakit sekali? Hiks... Dadaku sakit Joss... Bahkan seluruh tubuhku terasa sangat nyeri. Kenapa Joss? Kenapa? Hiks.." Air mata itu mengalir lebih deras, berpacu seakan semuanya menginginkan jatuh lebih cepat. Tangan kurus putih itupun bergerak meremas dadanya yang dilapisi kain basah, matanya tak lepas dari menatap wajah Joss yang masih diam.
"Aku.. Aku benar benar melepaskannya. Kami tak akan berhubungan lagi. Hiks.. Bahkan kami tak berteman lagi Joss. Tapi kenapa rasanya sesakit ini? Bahkan ini lebih sakit dibandingkan sepuluh tahun lalu. Hiks.. Aku- aku hanya ingin melakukan hal yang benar.. Tapi aku tak tau jika ini akan sesakit ini, Joss.." Bibir itu kembali terdiam, mencoba meredam getaran dibibirnya dengan menggigit bagian dalam bibir tipis itu.
"Joss, kumohon katakan jika keputusanku ini adalah hal yang tepat.. Hiks.. Kumohon.."
Greb
Joss menarik tubuh yang mulai mendingin itu kepelukannya. Mengunci rapat tubuh kecil itu agar bisa bersandar pada dirinya.
"Kau sudah melakukan hal yang tepat, Peat. Sangat tepat. Aku disini"
Peat akhirnya meraung. Berteriak dan terisak sangat kuat. Pertahanannya runtuh. Satu tangannya yang menggantung disisi tubuh Joss meremas erat ujung kemeja yang Joss gunakan, dengan satu tangannya yang lain meremas erat tangkai sisa kembang gula yang tak pernah meninggalkan tangannya sejam dua jam yang lalu.
Raungan pilu penuh kesakitan itu kini mulai memicu perhatian orang orang yang lewat. Mereka berjalan melintasi dengan wajah khawatir terhadap pria kecil yang berada didalam pelukan pria besar lainnya.
Joss semakin menguatkan pelukannya. Melakukan elusan dan tepukan ringan secara bergantian untuk menenangkan pria didekapannya. Pria yang ia cintai kembali rapuh, pria yang ia cintai kembali runtuh, pria yang ia cintai kembali jatuh. Tentu hatinya ikut sakit, tentu hatinya ikut patah. Namun dengan kuat ia memberikan bahu terbaiknya untuk dapat dijadikan sandaran.
"Joss.. Bawa aku pulang-
-please"
TBC
Duh, beneran pisah :( gatau de mau kasihan ama siapa. Pundung banget ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
Yauda deh sekian dulu, see ya next chap. Pssstt.. Bisa jadi last chap juga.
Babayy
choizeep
2022, Desember 20
Komentar
Posting Komentar