FORTPEAT - JINX - 3

Brakk

Blam

Sepasang kaki berjalan sangat cepat menuju sebuah kamar tidur setelah menghempaskan pintu kondominium itu dengan kuat. Matanya tampak marah bercampur khawatir. Bibirnya terkatup rapat dengan rahang yang mengeras. Tangannya baru saja akan mencapai knop pintu sebuah kamar tidur ketika pintu itu terbuka dan menampilkan seseorang yang ia cari.

"Fort-"

"Kenapa kau tak menelponku?! " suaranya ia lantangkan tepat didepan wajah Peat. Alisnya menukik tajam dengan tangan yang sudah berkacak pinggang. Dia sudah menunggu kabar dari pria kecil didepannya ini selama 2 jam. Pikirannya terus tersita mencemaskan keadaannya. Bahkan makan malamnya bersama Sanan saja tak terasa lezat. Ia berencana ingin menikmati tubuh kekasihnya malam ini, tapi otaknya tetap saja terisi oleh Peat.

"Maaf, aku ketiduran" Peat mengusap wajahnya untuk sedikit menyadarkannya. Ia tertidur cukup pulas. Membuat tubuhnya terasa lebih ringan dibanding sebelumnya. Jika saja ia tak mendengar bunyi bantingan pintu, mungkin ia akan bangun besok pagi.

-----

"Hah.. " aku benar benar tak habis pikir dengannya. Apa dia tak melihat bagaimana keadaanku saat kesini? Aku yakin aku cukup menyeramkan, pasalnya selama perjalanan kesini, semua orang yang mengenalku terus berkata aku terlihat menyeramkan. Lihatlah ini. Bisa bisanya dia kembali kedalam kamar dan tidur lagi.

"Kenapa jam segini kau sudah pulang? Tidak biasanya" Peat menyampingkan tubuhnya dan memeluk sebuah guling. Tubuhnya masih minta tidur sepertinya.

"Menurutmu? " aku masih berdiri diposisiku dan menatap tajam kearahnya. Berharap bocah itu pahan bagaimana perasaanku sekarang. Aku itu sungguh khawatir! Oh god!

Aku melihatnya hanya mengendikkan bahu. Sial! Benar benar tidak peka.

"Yasudah. Aku pergi" aku membawa kakiku menjauh dari Peat. Aku kesal. Perhatianku sia sia saja rupanya.

"Jangan lupa beli kondommu! Aku tak mau memiliki seorang ponakan dalam waktu dekat! "

Blam

Aku lagi lagi membanting pintu  kondominium milik Peat. Namun kali ini karena aku kesal, bukan khawatir lagi. Dan lihatlah ucapannya, dia menyuruhku apa? Membeli kondom? Asal dia tau saja, gara gara dia hari ini aku tak bisa memenuhi permintaan adik kecilku! Padahal dia sudah lama tidak dimanjakan!

Ah! Sial!

Aku kemudian berjalan menuju kamarku yang hanya berjarak satu kamar dengannya. Lebih baik aku pulang dan tidur sekarang.

-----

Kali ini disebuah restoran cepat saji, Fort, Peat dan Noeul berkumpul. Mereka membuat janji sekedar untuk refreshing dari ujian yang bertubi tubi menyerang mereka dua minggu belakangan ini.

Peat dengan nafsu makan besarnya terlihat memesan ayam hingga 5 pcs tanpa dilengkapi karbohidrat. Begitu juga dengan eskrim sebanyak 2 cup. Rasa cintanya akan makanan manis sangat tinggi sampai sampai ia menghiraukan keluhan Fort yang mencegahnya membeli sebanyak ini.

Satu persatu bagian ayam kini mulai lenyap. Es krim pun yang dipesan oleh Peat pun hanya tinggal setengah cup. Tangannya mulai berminyak karena memegang makanan.

"Ini" Peat memberikan dua dada ayam yang tampak padat kepiring Fort. Peat menunjukkan senyum lebarnya kearah Fort yang melongo melihat dua dada ayam tanpa kulit bersarang dipiringnya.

"Bersyukurlah karena aku sudah kenyang. Jarang jarang aku mau berbagi"

Fort tertegun melihat senyum lebar Peat yang terlihat seperti bangga karena mau berbagi makanannya dengan Fort. Bukan karena ia terkejut mendapat makanan dari Peat. Tunggu, disatu sisi itu memang cukup mengejutkan. Tapi Fort lebih tertegun melihat senyum lebar Peat. Ia terkesima. Membuatnya tak dapat mengalihkan pandangannya tanpa berkedip.

Pandangan Fort akhirnya terputus ketika melihat Peat berjalan menuju toilet. Fort segera menggelengkan kepalanya dan kembali fokus melihat makanan diatas piringnya yang bertambah banyak. Fort mendesah ketika mengingat dia harus menghabiskan semua makanan karena Peat pasti akan mengomelinya jika menyisakan makanan.

-----

Aku melihat pantulan diriku dicermin. Beberapa kali tanganku terangkat sekedar untuk merapikan tatanan rambutku agar kembali rapi. Aku melihat kembali diriku sekali lagi dicermin dan tersenyum puas.

"Kau tampan Peat, kkk.. " aku terkekeh sendiri mendengar diriku memuji diri sendiri. Yah, walaupun aku memang tak setampan Fort dan semanis Noeul, wajahku bisa termaafkan menurutku, hehe.

Aku berjalan menuju sisi pintu dan bersembunyi dibaliknya. Aku sedikit menyembulkan kepalaku dan mengintip dua orang yang aku tinggalkan berdua. Apa mereka sudah mengobrol ya? Pasalnya aku tau Noeul itu menyukai Fort, jadi sebagai teman yang baik aku harus mendukung mereka berdua. Jika aku tidak pergi maka Fort hanya akan mengurusiku dan Noeul hanya sibuk berdiam karena gugup. Aku teman yang baik bukan?

Ting

Aku mendengar suara pop up dari ponselku. Tanganku dengan cepat mengambil ponsel itu dari saku dan membuka aplikasi line milikku. Aku tersenyum lebar ketika melihat nama Davikah disana. Belakangan ini kami lumayan akrab dan cukup intens berhubungan. Dia gadis yang cantik, manis dan baik.

Aku melirik pesan itu dan segera mengetikkan balasan. Aku harus pergi.

Setelah memasukkan ponsel kedalam sakuku kembali, aku berjalan kearah dua patung yang kulihat hanya diam sedari tadi. Mereka bahkan hanya fokus melihat makanan. Tsk, harusnya Noeul memanfaatkan kesempatan ini. Aku berjanji, jika mereka akhirnya menjadi sepasang kekasih, aku sendiri yang akan menjadi wasit garis. Aku akan mengawasi Fort agar tak bermain lagi dengan yang lain. Siapa tau anak itu bisa berubah untuk Noeul.

"Aku harus pergi teman teman. Maafkan aku, aku ada keperluan mendadak" ucapku ketika sampai dimeja kami. Aku mulai mengambil tasku dan kembali melihat mereka berdua.

"Kau. Antarkan Noeul pulang dengan selamat. Karena aku akan meminjam mobilnya" ucapku lagi kearah Fort dengan nada memerintah sambil sigap meraih kunci mobil Noeul yang berada diatas meja. Aku mengedipkan sebelah mataku pada Noeul untuk memberikan kode. Noeul hanya tersipu, dia paham maksudku.

"Kita bisa pulang sekarang. Aku akan mengantarmu" Hah.. Anak ini, harusnya dia mengerti maksudku. Aku memutar bola mataku jengah dan mendorong bahu Fort kebawah karena ia sudah berdiri sambil ikut mengemasi barangnya.

"Aku. Akan. Pergi. Sendiri" aku menekankan setiap kataku padanya. Aku menatap matanya yang menatapku tak terima sambil mengatupkan bibirku seperti memarahinya.

"Tapi-"

"Ck!"

Fort akhirnya memilih menyerah dan pasrah. Ia membuang mukanya kearah lain, sepertinya ia kesal dengan keputusanku. Tapi tak masalah, ini juga demi kebaikannya.

"Aku pergi dulu. Sampai jumpa teman teman" aku melambaikan tanganku kearah mereka meskipun hanya Noeul yang membalas lambaian tanganku. Aku mengendikkan bahuku acuh dan kemudian berjalan meninggalkan mereka berdua di restoran itu.

-----

Sunyi pun melingkupi sebuah meja direstoran cepat saji. Tepat hanya 10 menit setelah Peat pergi, masih tak ada satupun kata terucap dari keduanya.

Beberapa kali mulut Noeul terbuka berniat ingin memulai pembicaraan tapi ia urungkan ketika merasakan aura Fort masih gelap dengan wajah yang mengeras kesal.

"Kau tak suka berada didekatku ya? " cicit Noeul dengan menundukkan kepala. Entah kenapa ia merasa seperti seorang penjahat yang memisahkan sepasanh kekasih.

"Maaf, bukan begitu." Fort mengusap wajahnya kasar. Ia menatap Noeul dengan pandangan bersalah, seharusnya ia tak bersikap begini dihadapan Noeul. Ia memang selalu bertindak berlebihan jika berkaitan dengan Peat, apapun itu.

"Ka-kalau begitu, hmm, apa kau-"

"Argh! Maaf Noeul, sepertinya aku tak bisa mengantarmu. Aku akan meminta temanku untuk mengantarmu. Tunggu disini, aku pergi" Fort mengerang frustasi dan segera mengambil tasnya. Ia tak menunggu Noeul untuk merespon ucapannya dan memilih berlalu pergi.

-----

"Ah, sial! Seharusnya aku tak bilang begitu! Seharusnya aku segera mengajaknya pergi. Dasar Noeul bodoh!"

Puk

Tepukan dikepalaku membuatku seketika berhenti mengutuk diriku. Aku frustasi dengan diriku sendiri, kenapa aku malah bertanya seperti itu pada Fort. Harusnya aku mengajaknya pergi berdua hari ini. Aku sudah membuang sia sia kesempatan yang diberikan Peat.

"Kau mau pulang atau tidak?"

Oh! Suara ini!

Aku menolehkan kepalaku kesamping dan mendapati orang yang sama sekali tak ingin kulihat. Senior jahat yang memberikan tugas berkali lipat untukku!

"Kenapa phi ada disini?" tanyaku ketus sambil menjaga jarak darinya. Aku bergeser kekursi lain karena aku sangat anti dengan senior ini.

"Temanmu menyuruhku mengantarmu" senior itu mendudukan dirinya dikursiku sebelumnya, hingga ia duduk bersebelahan denganku. Dia menatapku dengan senyuman liciknya.

Shibal! Kenapa dia menatapku seperti itu?!

Aku memutari mejaku dan duduk dikursi lain yang jauh darinya.

"Tak usah. Aku bisa pulang sendiri"

"Kau yakin? Sekarang sudah malam. Kau bisa diculik"

"Ya. Aku yakin" aku kemudian bergegas mengambil tasku yang berada dimeja tempat senior ini duduk.

Grep

"Phi!" protesku ketika ia memegangi tasku erat, ia tak membiarkanku mengambil barangku. Aish! Dasar aneh!

"Kau dititipkan untukku bawa pulang, jadi bagaimanapun kau harus pulang denganku"

Srett

"Phi Boss!" teriakku saat ia menarik paksa tasku dan membawanya kabur. Ah! Jjinjja! Aku sungguh benci dia!!

-----

Setelah menukar mobil Noeul dengan milikku di kondominium, aku segera melaju menuju kampusku, Universitas Nasional Bangkok. Davikah meminta tolong padaku untuk menjemputnya. Ia hari ini mengerjakan tugas model yang harus dikumpul besok pagi difakultasnya. Sebenarnya ia tak sendiri disana, tapi temannya satu persatu mulai tidur disana tanpa berniat pulang. Jadilah ia meminta tolong padaku agar menjemputnya. Katanya ia harus pulang karena mamanya yang masih sakit dirumah.

Ini merupakan kesempatan emas buatku dan aku tak akan menyia nyiakannya. Hubungan kami berkembang dengan baik, jadi ada setitik harapanku agar kami bisa lebih serius dan menjalin hubungan. Semoga saja aku bisa memperbaiki kesalahanku dan tak mengecewakan Davikah.

Aku menunggu cukup lama didalam mobil. Mataku tak berhenti untuk tak memperhatikan pintu keluar gedung fakultas arsitektur.

Tak lama aku pun melihat siluet seorang perempuan dengan baju kaos oblong dan celana jeans berjalan keluar dari pintu fakultas. Senyumku terkembang melihat Davikah yang terlihat bingung melihat kesekeliling. Sepertinya dia mencariku.

Aku memajukan mobilku sedikit lagi kedepan hingga berhenti didepan pintu fakultas. Aku menurunkan kaca mobilku agar Davikah dapat melihatku.

"Ouh! Phi! Aku kira kau belum datang" Davikah segera berlari kecil kearah mobilku dan membuka pintu penumpang disamping kursiku. Aku tersenyum lebar melihat tingkahnya yang terlihat menggemaskan.

"Aku tak mau membuatmu menunggu, jadi aku datang sedikit lebih awal" aku mengusap surainya pelan, membuat semburat merah kemudian muncul dipipinya. Ouh! Dia terlihat semakin menggemaskan.

"Kita berangkat?"

"Um! Let's go phi! "

-----

Kunci yang terputar dijari telunjuknya mengeluarkan bunyi gemerincing yang entah kenapa terdengar riang. Selurus dengan air wajah sang pemilik kunci yang juga sumringah dengan senyum lebar yang terukir di bibirnya. Kakinya sedikit meloncat kegirangan membuatnya terlihat seperti anak kecil yang senang setelah menerima hadiah.

Sebelum Davikah turun dari mobilnya, ia mendapatkan hadiah dari perempuan itu. Sebuah kecupan singkat dibibirnya, dan sukses membuatnya membeku bahkan setelah Davikah turun dan berlari meninggalkan Peat masuk kedalam rumahnya.

Hari ini sungguh hari keberuntungannya. Sesaat sebelum dia mendapatkan hadiahnya, ia menyatakan perasaannya pada Davikah. Setelah sebulan lamanya mereka dekat, Peat merasa jika perasaannya tumbuh menjadi baik bersama Davikah. Bak gayung bersambut, Davikah menerimanya. Mereka resmi menjadi sepasang kekasih hari ini. Sudah dua stengah bulan sejak ia diputuskan oleh Punpun, hari ini hatinya kembali menghangat.

Peat berharap jika kelak hubungannya dengan Davikah akan baik, karena kali ini Peat tak akan melepaskan Davikah dengan mudah, meskipun Davikah memohon agar putus dalam dua bulan kedepan, ia akan berusaha menjadi kekasih yang tanpa cela sehingga tak ada lagi alasan yang bisa digunakan untuk memutuskannya. Dan bahkan jika Davikah meminta putus pun tak akan ia setujui, karena Peat yakin ia harus melewati ini. Jika saja dalam dua bulan ini tak ada masalah, bisa dipastikan hubungan mereka akan lebih kuat. Peat yakin ia harus melawan jinx nya sendiri.

Cklek.

Peat membuka pintu kamar kondominiumnya dan menghidupkan saklar lampu yang tepat berada disamping pintu.

"Aaa!!!" teriakan melengking terdengar begitu mata Peat melihat seseorang dengan aura hitam dan wajah sangar tengah duduk disofa kondominiumnya. Tangannya mengusap dadanya berkali kali karena jantungnya berdetak sangat cepat, napasnya juga tersengal sengal seperti melihat sesosok hantu.

"O oih! Kau mengejutkanku Fort!"

"Darimana?" Fort mengeluarkan suara rendahnya begitu mendengar suara Peat.

"Bukan urusanmu"

"Darimana?"

"Hah.. Kenapa kau ingin-"

"Jawab saja! " Suara rendah Fort meninggi. Matanya tampak kelam seperti ingin memakan orang didepannya hidup hidup.

Peat bergidik melihat Fort. Kenapa anak ini tiba tiba menjadi seperti ini?

Peat dengan hati hati melangkahkan tubuhnya mendekati Fort. Ia sebenarnya takut, tapi ia penasaran. Fort terlihat... mabuk?

Buk

"Aw!" Peat meringis ketika punggungnya menghantam sofa dengan keras. Fort tiba tiba saja bangun dan mendorong tubuh Peat kuat kearah sofa yang memanjang.

"Darimana?"

"Kau mabuk Fort!" Peat berusaha menyingkirkan tubuh Fort yang mengukungnya dari atas. Tapi Fort tak bergeming, tangannya malah mencekal tangan Peat yang berusaha mendorongnya dan menguncinya diatas kepala Peat.

Kedua napas mereka memburu, keduanya tampak saling menahan emosi masing masing. Mata mereka saling mengunci dengan tajam.

"Aku bertemu Davikah" Peat akhirnya menyerah. Ia tak akan menang melawan keras kepala temannya satu ini.

"Kalian berpacaran?"

"Sudahlah-"

"Jawab!" Peat menatap sengit kearah Fort yang terus memaksanya. Apa apaan temannya ini?! Ia tak pernah seperti ini sebelumnya!

"Iya! Kami sudah berpacaran! Lalu apa urusanmu?!"

"Kenapa? "

Ha? Kenapa? Kenapa dia bertanya kenapa? Peat sama sekali tak paham dengan ucapan Fort.

"Apa yang kenapa?" Peat menatap raut wajah Fort yang mulai berubah. Tatapannya menjadi sayu dan bibirnya bergetar. Peat melepaskan tangannya yang memerah karena pegangan Fort yang sudah longgar.

Tes

Tes

Tetesan air mata mulai membasahi pipi Peat. Bukan. Peat tidak menangis. Fort yang menangis. Peat terkejut dengan apa yang terjadi. Fort sama sekali tak pernah begini.

Dengan pelan Peat mendorong dada Fort hingga posisi mereka kini menjadi duduk berhadapan. Tubuh Fort yang masih berguncang ia bawa kedalam pelukan dengan sesekali menepuk punggungnya pelan.

Fort sepertinya memiliki masalah berat. Peat sebenarnya ingin memberitahukan hubungannya pada Fort, tapi tidak dalam suasana seperti ini, apalagi sekarang Fort sepertinya mengalami masalah sehingga ia menangis begini. Sudah lama ia tak melihat Fort menangis. Terakhir kali saat anjing peliharaannya mati karena keracunan, itupun sudah bertahun tahun lamanya.

Fort mengeratkan pelukan dengan melilitkan tangannya kepinggang Peat, tangannya menarik Peat semakin mendekat ketubuhnya dan mengubur wajahnya di perpotongan leher Peat.

"Kau kenapa hm? Mau cerita?" Peat akhirnya bersuara setelah merasakan tak ada lagi getaran dari tubuh Fort. Fort akhirnya melepaskan pelukannya dan menatap Peat lekat.

"Peat, jangan tinggalkan aku. Jangan mencoba menjodohkanku."

Ha?

"Apa maksudmu?" selidik Peat. Kenapa Fort membuatnya kebingungan hari ini? Apalagi isi pikiran anak ini?

"Aku menyukaimu"

"Ha?"

"Aku menyukaimu"

"Hei! Jangan bercanda Fort!"

"Tidak tidak. Aku tak menyukaimu"

Peat menghembuskan napas lega ketika mendengar ucapan Fort. Ia tahu pasti temannya ini hanya bercanda. Mereka sudah lama berteman dan Fort tak mungkin memiliki perasaan untuknya.

"Tapi aku mencintaimu Peat"

"Ha?! "

-----

Beberapa hari setelah pengakuan Fort, Peat terus berusaha menghindari Fort. Dimana saja dan kapan saja. Baik dikampus ataupun dikondominium.

Malam saat Fort menyatakan perasaannya pada Peat, Peat segera mendorong Fort keluar dan mengunci pintu kondominiumnya dari dalam. Ia merasa aneh, pernyataan Fort mengubah suasana hatinya yang bahagia menjadi tak karuan.

Peat tak tau harus bereaksi seperti apa. Ia sudah terbiasa dengan Fort dalam konteksnya sebagai teman. Peat juga tak menyukai pria. Memang Peat cukup sering mendapatkan pernyataan seperti ini dari beberapa pria, tapi ia selalu menghiraukannya. Tapi ini berbeda, Fort adalah teman terdekatnya selama ini. Ia tak membenci Fort bahkan setelah mendapatkan pernyataan seperti itu. Tapi ia tak tahu harus bagaimana. Peat tak ingin mengulang kejadian seperti ini lagi.

Peat tahu Fort selalu membuntutinya setelah malam itu. Fort selalu bertanya kepada orang orang kemana ia pergi. Tapi Peat menghindar. Ia belum sanggup menghadapi Fort. Peat bahkan sudah mengganti sandi kamar kondominiumnya agar Fort tak bisa lagi mengakses kamarnya dengan mudah.

"Phi, kau tidak terlihat bersemangat. Kau tak apa? Apa kau sakit? " tangan kurus dan putih milik Davikah mengusap wajah Peat sambil memperlihatkan raut wajahnya yang khawatir.

Peat menggapai tangan Davikah dan menangkup tangan tersebut dipipinya. Hangat tangan Davikah sedikit mengobati hatinya yang belakangan menjadi kacau.

"Aku tak apa sayang. Lanjutkan tugasmu" Peat melepas tangan Davikah dan mengusap sayang surai hitam itu. Ia memperlihatkan senyum manisnya hingga matanya tenggelam dibalik kelopak mata.

Davikah mengangguk dan kembali meneruskan tugasnya membuat pola diatas kertas. Ya, Peat sekarang berada di kamar asrama Davikah. Peat memilih menyembunyikan dirinya disini hingga matahari tenggelam. Selain menghindari Fort, ia juga bisa menemani pacarnya bukan? Tapi tak setiap hari ia seperti ini, ada kalanya ia memberikan ruang sendiri untuk Davikah. Jadi kadang ia akan bersembunyi di kamar kondominium milik Noeul atau ia akan berkendara sepanjang hari.

Sekarang jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Peat kemudian pamit pada Davikah untuk pulang. Seharusnya Fort sudah pergi jam segini dengan para kekasihnya, jadi ia bisa dengan aman memasuki kamar kondominiumnya.

Hah... Kenapa malah ia yang sepertinya berbuat salah? Ugh! Menyebalkan!

"Aku pulang ya sayang"

Cup

Peat mengecup dahi Davikah sekilas dan tersenyum kearahnya. Kemudian Peat berjalan sambil melambaikan tangannya kearah Davikah yang juga dibalas dengan gerakan yang sama oleh kekasihnya.

"Okey. Mari kita pulang" gumam Peat pada dirinya sendiri. Peat mengambil napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia meyakinkan dirinya sekali lagi, dan berjalan menuju parkiran.

-----

Aku meremas kaleng minuman yang berada ditanganku dan melemparnya ke sembarang arah. Emosiku akhir akhir ini menjadi tidak stabil.

Aku sama sekali tak menyesali perbuatanku hari itu. Pikiranku hari itu kacau dan memilih pergi meninggalkan Noeul. Jujur saja, aku tak tau kenapa hari itu aku menjadi moody-an. Aku menjadi emosi ketika melihat Peat mencoba menjodohkanku dengan orang lain. Aku memilih mengunjungi bar langgananku dan mulai meminum beberapa gelas bir.

Peat sungguh tak peka! Dengan segala perhatian yang aku berikan, apa dia tak tahu jika aku menyukainya? Tidak! Aku mencintainya. Bahkan aku sudah memendamnya sangat lama. Tapi kenapa ia malah mencoba membuatku dekat dengan Noeul?

Jujur saja aku tau bagaimana perasaan Noeul padaku. Ayolah! Sangat mudah mengetahui apakah seseorang menyukai kita atau tidak. Tapi kenapa Peat tidak begitu? Argghh! Membuat frustasi saja!

Dan akhir akhir ini ia malah menghindariku. Bahkan untuk ukuran seseorang yang rajin seperti Peat, ia rela datang tepat sebelum dosen masuk agar tak ada kesempatan untuk kami berhadapan satu sama lain. Ia akan mengambil posisi terjauh dariku dan setelah pelajaran selesaipun, ia menghilang. Secepat apapun aku mencoba mengejarnya, tapi tak bisa. Ia lebih dulu menghilang dari pandanganku.

Begitupun dikondominium, ia keluar masuk disaat aku lengah, seperti mengetahui jadwal atau kamera pengawas disekitarku, ia bisa menghindariku dengan baik.

Tapi kali ini aku yakin dia tak akan lepas. Aku akan menunggunya dibasement parkiran ini sampai ia datang.

Selang beberapa menit, aku melihat mobil hitam yang biasa digunakan oleh Peat masuk kedalam parkiran. Aku kemudian turun dari mobilku dan menghampiri mobil hitam yang baru saja terparkir.

Cklek

Blam

"Oh! Sawadhi Khun Fort"

"Wadhi-" aku mengerinyit heran ketika melihat paman satpam keluar dari mobil Peat.

"-Kenapa paman yang membawa mobil Peat? "

"Ah.. Khun Peat sepertinya buru buru ke kamar jadi dia meminta-"

Tanpa menunggu penjelasan lengkap dari paman satpam itu, aku memilih berlari meninggalkannya untuk menyusul Peat. Sial! Bahkan dia tahu jika aku menunggunya disini.

Aku berlari sekencang mungkin menggunakan tangga darurat. Kamar kami berada dilantai 4 dan Peat biasanya menggunakan lift untuk naik. Seharusnya aku lebih dulu sampai jika menggunakan tangga darurat.

Aku semakin mempercepat kakiku ketika melihat pintu kamar Peat yang hampir tertutup.

Grep

"Hah.. Hah.. Hah.. Kita perlu bicara"

-----

Dua orang yang berada didalam ruangan itu hanya saling menatap dalam diam. Wajah mereka tampak datar tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Bunyi detik jam dari arloji Peat mengisi kesunyian ruang kamar kondominiumnya.

"Kenapa kau menghindariku?" Fort mengeluarkan suaranya. Ia benar benar tak suka jika dijauhi oleh Peat.

"Menurutmu?" bukannya menjawab, Peat malah memberikan pertanyaan pada Fort.

"Kau jijik padaku?"

"Jika aku jijik, aku tidak akan berteman denganmu selama ini"

"Kalau begitu kenapa?!" tanya Fort tak sabar. Peat benar benar menguji kesabarannya.

"Sudahlah. Kau tak akan paham Fort, lebih baik kau kembali pada kekasihmu" Peat kemudian beranjak dari duduknya dan memilih berlalu ke arah balkon kondominiumnya. Kepalanya sedikit pusing karena melihat Fort. Ia masih bingung dan kacau, ini persis seperti kejadian 3 tahun yang lalu. Dan ia tak ingin hal ini terulang kembali.

Peat merasa tubuhnya diputar paksa oleh sepasang tangan yang berada dipundaknya. Peat menyingkirkan tangan Fort namun pegangan Fort menguat dan mendorong tubuh Peat kedinding. Peat kembali menepis tangan Fort namum ditahan oleh Fort dengan memegangi kedua lengan tersebut dengan erat.

Mata mereka saling menatap tajam. Peat juga berhenti menggeliat dan memilih tenang.

"Katakan alasanmu. Jangan menghakimiku jika kau saja belum mengatakannya" suara rendah Fort terdengar begitu mengintimidasi. Membuat hati Peat bergetar karena takut. Matanya yang biasa memperlihatkan keceriaan pun kini serasa menusuk nusuknya. Fort menakutkan jika sedang marah.

"Tak ada alasan. Aku hanya ingin menjauhimu" Peat membuang wajahnya kesamping. Ia tak sanggup menantang mata Fort.

"Cih, jangan berbohong. Kau pikir aku tak tahu dirimu? Aku tidak bodoh Peat!" Fort berdecih tak suka. Ia sudah mengenal Peat lebih dari setengah hidupnya.

Peat memutar bola matanya malas. Kini ia memberanikan dirinya kembali menatap Fort.

"Aku tidak nyaman. Aku menyukai wanita dan bukan pria"

"Hahaha. Hanya itu? Hanya karena itu kau menghindariku? Kau yakin?" Fort menatap mata rusa itu dalam, ia berusaha mencari kebenaran dari dalam mata itu.

Tapi..

Ini aneh.

Fort merasa Peat bersungguh sungguh dengan kalimatnya, namun matanya terlihat sedih. Mata Peat sangat ekspresif, dan Fort yakin itu adalah pancaran kesedihan.

"Peat, kau yakin? Bukan karena alasan lain?"

Peat mengangguk dengan mantap. Tak ada keraguan yang terlihat. Hanya matanya saja yang berbeda.

"Kalau begitu biarkan aku mendekatimu"

"Fort! " seru Peat tak terima. Ia tak mau masalah ini semakin panjang. Ia ingin mengakhiri ini sesegera mungkin.

"Kenapa? Kau takut jatuh cinta padaku?" Fort menyeringai. Ia bukanlah orang yang mudah menyerah asalkan kalian tahu.

"Sudahlah! Kita hentikan sampai disini. Aku hanya ingin berteman denganmu Fort, tidak lebih."

"Tapi aku tidak ingin! Aku tak mau hanya menjadi temanmu! "

"Tidak! Jangan mendekatiku! Jangan berusaha. Kau bisa melakukannya pada yang lain Fort, tapi jangan denganku" Peat menghentakkan tangan Fort dan berlalu ke kamar tidurnya. Peat sangat lelah, ia tak mau lagi berdebat dengan Fort.

Fort mengejar Peat masuk, namun pintu itu telah terkunci dari dalam. Membuat Fort hanya bisa berdiri didepan pintu itu dan menatap pintu itu kesal.

"Jangan menghindariku lagi! Karena mulai sekarang aku akan mendekatimu dan mengejarmu. Ingat itu Peat! "

Fort melangkahkan kakinya keluar dengan senyum lebarnya. Ia yakin akan mendapatkan Peat. Mata Peat tak bisa membohonginya. Fort harus tahu alasan sebenarnya dan mendapatkan Peat bagaimanapun juga.

TBC

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FORTPEAT - SURROGATE 2🔞

FORTPEAT - JINX - 16 🔞

FORTPEAT - RARE SPECIES - 5 🔞