FORTPEAT - JINX - 29
Kaki kurus yang dibungkus celana bahan berwarna cokelat itu tampak menelisik satu persatu kue yang berada dietalase. Sinar dari lampu yang keoranyean membuat tingkat estetik setiap kue semakin bertambah. Begitu banyak pilihan yang bisa dipilih, namun Peat ingin mencari yang terlihat sederhana namun manis untuk dibawa kerumah Fort.
Ini adalah pertemuan pertama mereka setelah sekian lama dan Peat merasa sangat gugup. Bahkan semalam ia sampai berpikir apakah sebaiknya ia meminta maaf karena menyebabkan kegaduhan bertahun tahun ketika bertemu? Tapi niat tersebut Peat urungkan karena takut akan menyebabkan suasana tak nyaman nantinya.
Sebagai gantinya ia akan membawakan kue serta beberapa makanan sebagai buah tangan untuk berkunjung hari ini. Dan lagi pula sepertinya ini akan menjadi pertama dan terakhir kalinya ia mengunjungi keluarga Fort, karena ia hanya akan bekerja paling lama dua hari setelah weekend untuk mengurusi beberapa bahan yang diperlukan dalam produksi pilot. Setelah itu ia akan menyerahkan tugasnya kepada kepala tim RnD umum untuk diselesaikan.
Puk
Puk
Peat bergumam menyahuti tepukan dibelakangnya. Peat tahu jika Fort kini berdiri dibelakangnya dan sudah menunggunya sejak setengah jam yang lalu disana.
Oh, ayolah! Peat benar benar tak tahu harus memilih yang mana. Selera keluarga Fort berbeda beda. Ayah menyukai sesuatu yang tidak terlalu kurang atau cenderung hambar, ayah pun tak menyukai tekstur yang aneh seperti krim kue. Ibu memiliki selera yang hampir sama dengannya, menyukai makanan manis terutama cokelat. Prigkhing memiliki selera yang mirip dengan Fort, namun mereka sama sekali tak menyukai makanan manis, bahkan seingatnya Fort hanya akan memakan makanan manis jika itu berasal dari dirinya. Peat benar benar tak tahu harus memilih apa untuk selera keluarga ini.
"Belikan apa saja, mereka tak akan menolak jika itu darimu" Fort kini mulai melangkah untuk berdiri disamping Peat, dengan tangan terlipat didepan dada ia ikut melihat kue yang terpajang didalam etalase.
"Tidak bisa seperti itu, aku ingin semua orang dapat mencoba yang kubawa" Peat menggeleng, menolak ide Fort untuk memilih sembarangan. Permintaan maaf harus dilakukan dengan cara yang terbaik bukan?
"Beli saja ini" Fort menunjuk satu kue asal. Seluruh permukaan kue itu terlihat ditutupi oleh warna cokelat.
"Brownies? Kau serius? Bagaimana denganmu dan Prigkhing?"
"Kurasa brownies tak akan semanis itu, bukankah cokelat itu pahit?"
"Cokelat itu manis Fort" Peat memutar matanya jengah. Yang benar saja!
"Baiklah, aku putuskan untuk membeli Brownies dan Lasagna. Bagaimana?"
"Not bad"
"Got it!"
-----
Setelah turun dari mobil yang ia tumpangi dengan Fort. Peat memandang kearah rumah megah didepannya yang sama sekali belum berubah. Semuanya terlihat persis sama, baik dari warna hingga struktur megahnya. Sepertinya keluarga Fort hanya melakukan perawatan untuk mempertahankan kecantikan dari rumah mereka.
Tanpa sadar Peat kini berada didepan pintu masuk dengan Fort disisinya. Ada perasaan takut yang terselip didasar hatinya. Bagaimana jika tiba tiba keluarga Fort balik membencinya saat mereka bertemu nanti? Peat takut mendapatkan tatapan tak suka dari keluarga yang dulu sangat mencintainya.
Peat menarik napas dalam dengan mata yang ia pejamkan perlahan, tangannya pun ikut terkepal disisi tubuhnya. Sesaat kemudian hembusan napas pelan keluar dari bibir Peat, bersamaan dengan tangan Fort yang mencoba masuk kecelah jemarinya. Mengaitkannya dan menggenggam erat seolah menyalurkan kekuatan.
"Tenang saja, mereka terlalu bersemangat untuk bertemu denganmu sampai tak akan ingat untuk melakukan hal buruk seperti yang kau pikirkan" Peat menolehkan kepalanya setelah mendengar ujaran penenang yang Fort berikan. Sudut bibirnya tertarik begitu melihat Fort yang juga menatapnya dengan senyuman diwajahnya.
Tok
Tok
Cklek
Tubuh Peat tertarik masuk kedalam saat Fort mulai melangkah memasuki rumahnya. Peat baru sadar jika saat ini tangan mereka bertaut. Membuat Peat buru buru memberhentikan langkahnya dan menggoyangkan tangannya agar terlepas dari pegangan Fort. Satu tangannya ia gunakan untuk memegangi kantong plastik yang berisikan buah tangan untuk keluarga Fort, jadi ia hanya bisa menggerakan tangannya agar pegangan Fort menjadi longgar.
"Jangan seperti ini. Bahaya jika keluargamu melihat Fort" Peat menatap Fort yang menatapnya dengan kening yang berkerut. Genggaman Fort semakin erat membuat Peat sedikit kesusahan untuk melepaskannya.
"Apa teman juga tidak boleh berpegangan tangan?"
"Tidak" Peat dengan tegas menjawab pertanyaan Fort. Membuat Fort mendesah tak suka dan akhirnya melepaskan tangan Peat. Kenapa terlalu banyak batasan dalam berteman?! Sialan!
"Phi Peat?"
"Hai Prigkhing"
"Phi Peat!!!" dengan kaki panjangnya Prigkhing berlari menuruni tangga rumahnya kearah Peat yang masih berdiri disisi ruang tamu.
Brukk
Prigkhing segera menerjang tubuh Peat sesaat dirinya berada dihadapan pria cantik itu. Memeluk Peat dengan erat diiringi wajah sumringah. Peat yang tak siap dengan pelukan tiba tiba sedikit oleng kebelakang karena tak mampu menahan bobot tubuh Prigkhing, untungnya tangan Fort dengan sigap menahan pinggang Peat dari belakang agar mereka tak jatuh.
Peat kemudian meluruskan kembali tubuhnya dan membalas pelukan erat Prigkhing. Tubuh mereka Peat bawa sedikit bergoyang untuk menikmati hangatnya pelukan.
Peat menarik kepalanya menjauh terlebih dahulu. Menatap adik kecil kesayangannya yang kini sudah tumbuh menjadi wanita yang sangat cantik. Tangannya yang tak berisi apapun terangkat mengelus kepala Prigkhing lembut.
"Aku merindukan phi" rengek Prigkhing dengan nada manja. Membuat Fort memutar bola mata malas sambil membuat gestur muntah karena geli melihat adiknya yang bertingkah imut.
"Phi juga sangat merindukanmu" balas Peat dengan senyuman. Tangannya masih bergerak mengelus surai keriting milik Prigkhing.
"Phi membawakan lasagna untukmu."
"Benarkah? Wah!! Daebak! Aku baru saja berniat memesan sekotak lasagna. Kita benar benar sehati phi!" seru Prigkhing girang, pipinya terlihat semakin chubby ketika tersenyum lebar.
"Wah, kau benar benar sudah dewasa rupanya nong kecilku. Bisa bisanya kau menggodaku sekarang. Kkk.. Dan apa itu? Kau berbicara dengan bahasa korea?"
"Kkk.. Aku mendengar jika phi tinggal di Korea Selatan. Jadi aku ingin menunjukkan kemampuanku. Apa itu bagus?"
Fort yang merasa diacuhkan kini meraih makanan yang berada ditangan Peat. Membawanya menuju ruang makan karena sepertinya ia tak bisa lagi menyelip diantara obrolan aneh Peat dan Prigkhing.
Leher panjang itu pun ditarik kebelakang untuk mengintai isi dapur, mencari keberadaan sang ibu yang biasanya selalu mengobrol dengan juru masak rumahnya.
Namun nihil, Fort tak melihat satupun orang didapur. Fort kembali mengedarkan pandangannya keseluruh sisi rumah. Dari arah ruang makan ia bisa melihat seluruh tempat hingga langit langit rumah.
Oh my god!
Fort menekuk wajahnya. Matanya tak sengaja melihat dua manusia yang saling berciuman disisi balkon dalam tepatnya dilantai tiga rumah. Tak masalah jika sepasang suami istri diumur pernikahannya yang sudah melewati tiga puluh tahun masih terlihat mesra dan awet. Tapi lakukanlah didalam kamar! Bukan ditempat terbuka seperti ini!
Ugh! Menyebalkan.
"Ayah! Ibu! Peat datang!" sorak Fort dengan keras, mencoba mengembalikan kesadaran orang tuanya agar tak melanjutkan kegiatan mereka.
Shit! Ia tak mau memiliki adik disaat umurnya sudah memasuki kepala tiga!
Dengusan kesal terdengar begitu Fort melihat orangtuanya tersenyum malu malu kearahnya setelah melepaskan pagutan mereka. Fort pun segera menggerakan tangannya naik turun seolah mengatakan pada orang tuanya untuk turun dan dibalas anggukan oleh orang tuanya.
"Ada yang bisa kubantu?" Peat yang baru saja sampai diruang makan mendekati Fort dan memperhatikan Fort yang mengeluarkan makanan dari kantong plastik.
"Tak ada. Aku akan menyimpan ini setelah memperlihatkannya pada ayah dan ibu. Karena kau pasti akan dipaksa memakan makanan yang dimasak ibu setelah ini"
Peat mengangguk dan mulai mendudukan tubuhnya diatas kursi. Menumpukan kepalanya pada satu tangan dan menatap kearah Fort.
"Jika kau menyatakan cintamu padaku sekarang aku takan berpikir dua kali untuk menerimamu Peat" ujar Fort dengan bibir yang menyunggingkan senyum miring, kepalanya sedikit terangkat kearah Peat diiringi dengan kedipan disatu matanya. Peat terkekeh dan menggeleng heran, kenapa pria besar didepannya ini selalu memiliki ide untuk menggodanya? Seharusnya ia mendapatkan gelar The biggest flirting human setelah gelar akademiknya.
"Hai bocah pintar, lama tak jumpa"
Peat segera memutar tubuhnya kebelakang dan menatap senang kearah sumber suara. Senyum lebarnya terukir. Kakinya berjalan cepat kearah sepasang suami istri yang baru saja turun dari dari lantai atas.
Grep
"Aku bukan bocah lagi dan aku merindukan ayah" ujar Peat begitu memeluk pria paruh baya yang lebih dulu merentangkan tangannya.
"Benarkah? Ayah juga merindukanmu nak" ayah Fort melepaskan pelukan mereka dan menepuk kepala brunette itu beberapa kali, memberikan senyum lebarnya kearah Peat dan dibalas sama oleh Peat.
"Kkk.. Jangan lupakan ibu disini nak. Kita makan sekarang?"
-----
Selesainya dari makan bersama, Prigkhing menarik Peat untuk berjalan jalan mengenang memori lama. Kini keduanya sampai dilantai dua, tepatnya dikamar Prigkhing yang berhadapan langsung dengan jalan utama. Dengan kata lain kamar Prigkhing juga langsung berhadapan dengan rumah lama Peat yang kini tampak lusuh dan kumuh. Wajar saja, ayah Peat hanya menyewa tukang kebun yang akan datang sekali sebulan untuk merapikan kebun miliknya. Ayah Peat benar benar mencintai kebun miliknya.
Peat mengambil posisi diatas balkon, menatap rumah lamanya dengan senyum tipis. Begitu banyak kenangan yang terjadi disana. Setelah dipikir pikir bukankah sedikit konyol ia meninggalkan rumah secantik ini karena keegoisannya dulu? Memaksa orang tuanya untuk segera pergi dan pindah dengan wajah yang dipenuhi air mata. Tak tahu pasti sebenarnya apa yang ia perbuat dulu salah atau benar, tapi Peat kini hanya bisa memetik pelajaran dari sana. Jika semua tindakan yang akan ia lakulan harus didasari akal sehat dan pikiran jernih, bukan hanya emosi semata. Mungkin dulu ia terlalu muda untuk berpikir dewasa seperti sekarang.
Peat baru menyadari, semenjak ia berbaikan dengan Fort sedikit banyak mengubahnya menjadi kearah yang lebih baik. Akhir akhir ini Peat merasa ia tak lagi menyetujui ajakan seks dari orang orang, sudah hampir satu minggu Peat tak melakukan hubungan badan dan entah kenapa ia menyukainya. Kini pun Peat merasa ia tak lagi menggoda orang orang yang menatapnya lapar. Peat hanya membalas tatapan liar orang orang denga tersenyum ramah. Ah! Ya, Peat juga merasa ia tak mudah lagi terganggu dan emosinya cenderung stabil, ia juga bisa memilah kata kata mana yang akan menyakiti hati seseorang dan mana yang tidak. Peat rasa ia mulai kembali seperti dulu meskipun tak sepenuhnya.
"Phi" Prigkhing menaruh setoples bola cokelat keatas meja yang terpajang dibalkonnya, ia kemudian ikut duduk dengan menaikan kedua kakinya keatas kursi. Badannya mulai ia sandarkan nyaman pada senderan rotan dibelakangnya.
"Kau bertengkar dengan kekasihmu?" terka Peat sambil meraih satu bola cokelat dari dalam toples. Menatapnya semangat dan mulai memakannya.
"Apa terlihat jelas phi?"
"Eum"
Helaan napas berat kemudian terdengar dari Prigkhing. Hubungannya berada diujung tanduk sekarang.
"Kami bertengkar karena hal kecil, tapi menjadi besar karena aku yang berlebihan. Dan kini kami sedang difase break phi. Jujur saja, aku tak tahu harus bagaimana sekarang" keluh Prigkhing menatap kosong kearah pagar balkon kamarnya.
"Kau merasa jika kau salah?" tanya Peat. Lagi, tangannya bergerak mengambil bola kedua sesaat cokelat didalam mulutnya habis tak bersisa.
Perutnya benar benar aneh, makan siang bersama ayah dan ibu tadi tidak bisa dikatakan sedikit jika tangan ibu turut menyulap semua bahan mentah menjadi makanan selezat itu. Dan Peat bisa mengatakan jika masakan ibu Fort sedikit.. lebih enak dibandingkan masakan ibunya sendiri. Tidak banyak. Hanya sedikit. Dan sekarang didepannya terdapat setumpuk cokelat dan tak mungkin ia melewatinya, Peat pastikan akan selalu ada ruang khusus untuk cokelat diperutnya.
"Hm, lumayan, lebih dari lima puluh persen adalah salahku phi"
"Kalau begitu minta maaflah padanya"
"Hah? Aku tak mau! Itu- memalukan" Prigkhing menolak keras ide Peat, ia tak mau menaruh malu diwajahnya sendiri.
"Prigkhing, kau ingin tahu ceritaku?" Prigkhing mengangguk ringan, bisa saja cerita ini akan berkaitan dengan masalahnya.
"Tapi, bolehkah kau kunci pintu kamarmu? Aku tak mau rahasiaku didengar banyak orang" Peat menaruh satu telapak tangannya dengan posisi vertikal disisi bibirnya, suaranya terdengar sangat halus seakan berbisik.
Prigkhing pun mengangguk, tungkai panjangnya segera berjalan kedalam kamar dan dengan cepat mengunci pintu kamarnya. Buru buru ia kembali ke balkon dan duduk tegap menghadap Peat.
"Kkk.. Kau terlalu menggemaskan"
"Aw! Sakit phi!" keluh Prigkhing saat Peat mencubit gemas pipi gembul milik nong kecil kesayangannya. Membuat Peat terkekeh ringan sebelum menatap lembut kearah Prigkhing.
"Aku juga berpikiran sepertimu, dulu. Aku yakin sedikit banyaknya kau mengetahui kisahku dengan Fort. Aku selalu berpikir jika Fort mengambil sepenuhnya kesalahan yang terjadi saat itu. Dan aku memegang prinsip itu hingga beberapa hari yang lalu. Kau beruntung tak butuh waktu lama untuk menyadari jika kau juga bersalah disituasimu nong." Peat memutar tubuhnya menghadap depan, menyenderkan sepenuhnya tubuhnya menerima terpaan panas matahari yang tak terlalu terik hari ini. Matanya terpejam sambil menikmati angin sepoi sepoi yang melewatinya.
"Sejak menyadari hal itu aku menjadi bingung. Aku tak tau apakah keadaanku mirip denganmu sekarang atau tidak tapi yang jelas aku sangat kebingungan. Aku menilai jika kesalahan kami terbagi sama besar, tak ada yang lebih unggul atau rendah. Dan akhirnya aku mengambil keputusan untuk meminta maaf dengan semua pertimbangan. Dan voila! Inilah aku hari ini. Kau tau, sebelum ini sikapku tak begitu baik-"
"-kasar dan dingin, bukan begitu?" Peat membuka matanya cepat dan menoleh kearah Prigkhing, raut wajah Peat terlihat heran, alis matanya bertaut seolah meminta penjelasan.
"Phi harus tau jika raksasa itu setiap malam akan berlari kekamarku hanya untuk memamerkanmu. Hah.. Aku benar benar tak mengerti otak raksasa itu, dia terlihat berbunga bunga setiap kali menceritakanmu padahal ia memiliki calon tunangan." Prigkhing melipat tangannya didepan dada kesal, matanya menatap tajam kearah udara kosong yang sepertinya kini terisi wajah Fort didalam imajinasinya.
Peat menunggu Prigkhing melanjutkan perkataannya, karena Peat yakin nong kecilnya ini memiliki 1001 keluhan mengenai Fort.
"Aku benar benar tak menyukai jalan pikirannya itu. Ini bukan berarti aku tak menyukai Phi Peat sebagai iparku dan jikapun itu terjadi aku akan sangat senang karena phi kesayanganku akan terikat penuh dengan keluargaku, hehe" Prigkhing terkikik geli diujung perkataannya saat membayangkan Peat menjadi iparnya dan hanya dibalas gelengan heran dari Peat. Kakak beradik dengan skala waras yang hampir sama.
"Tapi aku tak mau phi Fort menyakiti phi Pearwah. Phi Pearwah juga baik dan ramah. Sebenarnya banyak perjodohan yang sudah diatur untuk phi Fort beberapa tahun terakhir ini phi. Semua wanita yang dijodohkan akan diundang untuk makan malam bersama. Meskipun phi Fort tak pernah hadir, tapi aku selalu ikut untuk menyeleksi orang yang akan menjadi kakak iparku. Dan satu satunya yang lulus dari pengamatanku hanya phi Pearwah, dia wanita yang baik dan ramah, bahkan hari itu kebetulan phi Fort mau untuk ikut makan malam bersama. Dan terjadilah kesepakatan diantara keduanya" jelas Prigkhing panjang lebar dengan nada lesu, ia kasihan dengah Pearwah yang hanya disuguhkan kepastian semu oleh kakaknya.
"Hei nong" panggil Peat mencoba menarik perhatian Prigkhing, membuat gadis itu menoleh dan menatapnya lurus.
"Phi paham dan phi mengerti. Melihat seseorang menyakiti orang lain memang berat. Tenang saja, phi akan kembali ke Korea Selatan satu minggu lagi. Percayalah Fort tak akan menyakiti Pearwah"
"Bukan begitu phi, aku tak berniat-"
"Sstttt... Phi mengerti maksudmu dan phi sangat setuju. Phi juga tahu jika kau menyayangiku, bukan begitu?" Prigkhing mengangguk cepat, tak mau Peat mengambil salah arti dari kalimat yang baru saja ia ucapkan.
"Bagus, phi tak mau Prigkhing terbebani dengan masalah ini dan berhentilah berpikiran negatif tentang kakakmu. Okey?"
"Okey!" Peat mengusak rambut Prigkhing gemas dengan bibir yang mengukir senyum. Tak dipungkiri hatinya sedikit nyeri, tapi disisi lain Peat juga lega, ternyata Pearwah benar benar wanita yang tepat untuk Fort.
Tok
Tok
Ketukan ringan didaun pintu kamar Prigkhing membuat keduanya melirik kedalam kamar tepatnya kepintu keluar kamar. Prigkhing kemudian berjalan bergerak membuka pintu dan menampakan Fort yang tengah bersandar didinding sebelah pintu.
"Ayah dan ibu menyuruh turun. Pearwah ada disini" ucap Fort datar, matanya fokus menatap Prigkhing tanpa menyadari Peat yang menguping dibalik balkon. Peat sengaja menempelkan tubuhnya pada dinding balkon, menyembunyikan tubuhnya sebisa mungkin agar tak terlihat.
Reflek Prigkhing memutar kepalanya dan tak mendapati Peat yang sebelumnya sama sama melihat kebagian dalam kamar. Prigkhing mengangguk ringan dan segera mendorong Fort keluar kamar. Prigkhing kembali menutup pintu dan berjalan mengikuti Fort yang sudah lebih dulu.
-----
"Hai phi! Apa kabar?" Prigkhing memeluk Pearwah setibanya diruang tamu. Menepuk pelan pinggang Pearwah dan kemudian tersenyum.
"Baik, kau bagaimana?" balas Pearwah dengan ikut membalas pelukan tersebut. Kemudian ia melepaskan pelukan tersebut dan sedikit menggeser tubuhnya agar memberi ruang untuk Prigkhing bisa duduk.
"Baik phi"
"Oh, kau sendirian sayang? Mana Peat?" tanya ibu Fort yang hanya melihat Prigkhing dan Fort dari arah kamar, seingatnya Peat bersama Prigkhing setelah makan siang tadi.
"Dia tertidur dikamar bu. Sepertinya kelelahan"
"Peat dikamarmu? Kenapa aku tak melihatnya?" sela Fort dengan wajah penuh tanya, ia tak melihat tanda tanda keberadaan Peat saat kekamar Prigkhing.
"Dia tertimbun selimut. Sudah, biarkan saja dia tidur. Phi, ada apa tiba tiba kesini?" Prigkhing memilih mengakhiri topik mengenai Peat dan kembali menanyai Pearwah. Menurutnya tak baik membicarakan Peat saat Pearwah masih disini.
"Oh itu, kebetulan aku memiliki janji disekitar sini sekitar satu jam lagi. Jadi aku mengunjungi kalian sebelum berangkat. Ah, aku juga membawa sedikit makanan untukmu. Jangan lupa dimakan"
"Benarkah? Kau yang terbaik phi!" Prigkhing menaikan ibu jarinya dengan diiringi senyum lebar, membuat Pearwah ikut tertawa kecil karena tingkah menggemaskan si bungsu Sengngay.
"Peat ada disini?" tiba tiba saja Pearwah mengganti topik pembicaraan, ia menatap kearah Fort dengan tatapan yang tak bisa diartikan.
"Ya, seperti yang kau dengar" balas Fort seadanya. Hubungannya dengan Pearwah sedikit tidak baik setelah kejadian hari itu, keduanya sama sama menjadi dingin terhadap satu sama lain.
"Ya sayang, Peat berkunjung kesini hari ini. Kami yang memintanya karena sudah lama tak bertemu" ibu Fort mencoba mengalihkan perhatian Pearwah kearahnya. Suasana yang dingin sangat jelas terasa diantara Fort dan Pearwah.
"Ah.. Begitu" Pearwah mengangguk ringan, senyum canggung terpampang begitu saja dibibirnya. Tak tahu harus bersikap apa dengan informasi yang ia peroleh.
-----
Air hujan turun sangat deras. Lalu lintas sore hari di kota Nonthaburi pun sedikit sibuk karena banyaknya yang berlibur di akhir pekan. Di perempatan pusat kota pun tampak dipenuhi jejeran kendaraan yang menunggu perubahan lampu merah menjadi hijau.
Begitu juga yang dirasakan oleh penumpang yang berada diatas sebuah mobil sport, Fort dan Peat turut merasakan macetnya lalu lintas sore ini.
"Kau tau Pearwah datang?" tanya Fort memecah kesunyian, siku tangan kanannya ia tumpukan ke jendela bagian dalam mobil disertai tangan yang bergerak memijit pelipis kanannya.
"Tidak, kapan dia datang?" tanya Peat sekenanya, tak berniat membahas topik yang ingin dibicarakan Fort. Peat memilih melanjutkan kegiatan menatap hujan yang mengaliri kaca mobil yang berada tepat disebelah kirinya.
"Siang saat kau menghilang."
"Oh, ya"
Sunyi lagi lagi menghampiri. Membuat suara hujan lebih mendominasi keadaan saat ini.
"Kau dimana? Siang tadi" Peat menoleh menatap Fort, tak tau kenapa tapi Fort terdengar sedikit kesal saat bertanya. Tidak. Nadanya tak tinggi dan tak juga rendah. Hanya saja pertanyaannya sedikit terdengar dingin.
"Aku bersama Prigkhing dikamarnya. Lalu aku ke toilet dan tak menemukannya lagi disana, jadi aku pergi untuk duduk dibalkon sendirian"
"Cih, toilet? Balkon?" Fort berdecih, kebohongan memang selalu akan terungkap pada akhirnya bukan? Tapi jika ingin bekerjasama setidaknya samakan alasan, akan lucu jika terbongkar secepat ini.
"Kenapa? Ada yang salah?" tanya Peat bingung, ia seperti diremehkan disini.
"Tidak"
"Lalu?"
"Peat, ayo berkencan-
-untuk yang terakhir"
TBC
Komentar
Posting Komentar