FORTPEAT - JINX - 26
Tok
Tok
"Peat!!!" teriakan dari arah luar apartemen untuk ketiga kalinya masih belum mampu membuka pintu apartemen didepannya. Noeul mendengus kesal ketika melihat ponselnya yang ternyata juga belum diangkat oleh seseorang diseberang sana.
"Kemana perginya bocah ini? Apa jangan jangan ia pergi ke motel lagi? Oh, fuck! Demi Tuhan, padahal aku sudah mengatakan-"
"Kau sudah sampai?"
"Yak!" suara teriakan melengking Noeul menggema disepanjang lorong apartemen ketika melihat dua manusia yang baru saja keluar dari lift. Dengan tangan yang berkacak pinggang dan pipi yang menggembung, Noeul menatap tajam kearah mereka.
Peat mengendikkan bahunya acuh. Dengan dua kantung plastik besar di masing masing tangannya dan Joss, ia melewati Noeul yang tampaknya sangat marah. Sesaat setelah mereka mencapai depan pintu apartemen, Joss mengambil alih satu kantung plastik ditangan Peat dan membiarkan Peat memasukkan enam digit password ke smart lock pintu, tangannya kemudian berpindah menapaki daun pintu untuk dapat mendorong pintu tersebut.
"Kau mau masuk atau tidak?" Peat yang masih memegangi daun pintu apartemennya kembali menoleh kearah Noeul yang masih berdiri diposisinya dengan arah yang sudah menghadap pintu masuk. Wajah Noeul masih terlihat kesal karena raut masam yang tercetak disana.
"Hah.. Baiklah, maafkan aku Noeul. Aku lupa memberitahumu jika aku pergi ke pusat perbelanjaan pagi ini. Maafkan aku okey?"
Noeul mengangguk kecil dan menarik kopernya masuk kedalam apartemen. Wajah kesalnya mulai berangsur berubah. Kini ia tertarik dengan empat kantung besar yang terletak diatas meja dapur.
"Kenapa kau berbelanja banyak?" setelah menaruh barangnya disalah satu sudut yang cukup kosong, Noeul mulai membuka kantung plastik besar itu satu persatu. Matanya kemudian membelalak besar ketika melihat banyaknya ragam belanjaan yang dibawa Peat dan Joss. Disana terdapat sekantung penuh yang berisikan daging sapi dan babi. Kantung lain yang berisi sayur sayuran, alkohol, cemilan serta peralatan mandi.
"Itu karena kau. Aku tau kau tak akan membawa perlengkapanmu sendiri selama disini" ujar Peat sambil bergerak mengeluarkan isi dari kantung plastik dan kemudian mulai memasukkannya kedalam kulkas.
Grep
Noeul menerjang tubuh Peat dan memeluknya erat. Mengecup pipi halus Peat berkali kali dengan senyum lebar dibibirnya.
"Kau yang terbaik Peat" baru saja Noeul akan mencium Peat lagi, sebuah telapak tangan besar menutupi wajah Noeul dan mendorongnya kebelakang.
"Lebih baik kau mandi karena kau berbau seperti mesin mobil, Noeul" ucap Joss sambil menyelip diantara dua pria kecil tersebut.
"Menyingkirlah Joss. Aku ingin memeluk Peat!" Noeul bersungut menatap Joss, mencoba menyingkirkan Joss dari hadapannya dengan lengan kurus miliknya.
"Noeul, pergilah mandi. Kau masih bisa melihatku sampai besok."
Noeul mendengus, dengan kaki yang menghentak ia menarik koper beserta barangnya yang berada disalah sudut ruangan dan kemudian berjalan menjauhi area dapur.
"Peat! Yang mana kamarmu?!" teriak Noeul dengan sedikit menoleh kebelakang. Wajahnya terlihat masam dengan bibir yang ia majukan.
"Kiri"
Noeul pun melanjutkan langkahnya untuk masuk kedalam kamar Peat setelah mendengar jawaban dari Peat.
-----
Tumpukan cemilan didalam mangkuk kini berada dalam dekapan Noeul. Matanya menatap serius pada adegan triler yang terputar dilayar kaca. Series netflix kesukaannya tayang dan ia sangat ingin menamatkannya. Jemarinya terus terangkat memasukkan cemilan tersebut kedalam mulutnya. Bahkan ia tak sadar jika Peat dan Joss sudah tak bersamanya sejak stengah jam yang lalu.
Wajah kelinci itu lama kelamaan mulai berubah. Percikan darah dan potongan daging manusia yang terpampang tanpa sensor dilayar kaca membuatnya meringis ngeri. Tak terbayang jika ia merupakan pemeran didalam series tersebut. Sudah pasti ia adalah orang pertama yang dimutilasi, mengingat dirinya yang cukup berisik dan penakut seperti karakter pertama yang terbunuh.
Tiba tiba layar yang seperti dilapisi darah itu berubah menjadi tulisan kecil yang berjalan, series yang ia tonton ternyata masih bersambung dengan tokoh utama yang terjebak diruang bergerak. Napas yang ia tahan sejak tadi mulai dikeluarkan dengan lega dan sesaat kemudian digantikan dengusan kecewa karena Noeul yang tak tahu bagaimana nasib tokoh utama itu sekarang.
Menyebalkan.
Ia harus menunggu setidaknya satu minggu lagi untuk mengetahui nasib sang tokoh utama.
Noeul pun mematikan layar didepannya, menaruh kembali mangkuk cemilan miliknya dan mulai melihat ke sekelilingnya. Ia ingin mengobrol dengan Peat.
Gotcha!
Matanya menangkap sosok kecil yang tengah bersantai dikursi balkon. Tanpa basa basi Noeul segera turun dari sofa dan berjalan menuju Peat. Noeul kemudian mengambil posisi tepat dikursi yang bersebelahan dengan Peat.
"Kau mau rokok?" tawar Peat dengan menyodorkan sekotak rokok yang terbuka penutupnya. Menatap Noeul sekilas sebelum kembali menyesap batang berasap itu dimulutnya.
Noeul menggeleng, ia sedikit mendorong kotak rokok Peat agar Peat kembali menyimpannya. Noeul menatap langit biru yang sangat cerah siang ini. Cukup panas dan menyengat, namun tak masalah karena ia kadang merindukan momen seperti ini. Disirami oleh panas matahari bersama seseorang yang ia sayangi.
"Peat"
Tak ada sahutan, namun Noeul merasa Peat mendengarnya memanggil. Peat memang berubah, sangat jauh. Namun ada satu hal yang tak berubah, sifatnya sebagai pendengar yang baik. Seperti sekarang, Peat akan diam menunggunya hingga bersuara.
"Kau sudah bertemu dengannya?" sambung Noeul tanpa mengalihkan pandangannya, ia ingin menikmati pemandangan didepan matanya yang sudah lama tak ia kagumi. Hari harinya selalu dipenuhi layar komputer dan layar komputer, bahkan saat weekend pun ia pasti akan menghadap layar komputer karena beban kerja yang selalu ia bawa pulang.
"Sudah" singkat dan jelas. Namun ada rasa lelah didalamnya, Noeul cukup merasakannya.
Keadaan kembali diam. Noeul merasa kali ini Peat yang harus membuka cerita, dan ia yang harus berubah menjadi pendengar yang baik sekarang.
"Noeul"
"Hm"
"Apa menurutmu aku jahat?"
"Kenapa kau berpikir seperti itu?"
"Apa aku jahat tak mendengar penjelasannya terlebih dahulu?" kini nada suara Peat terdengar bingung. Rokok ditangannya pun ia pilih matikan. Noeul menoleh, melihat kondisi sahabatnya yang sedikit tidak prima. Wajahnya terlihat lesu entah kenapa.
"Hmm.. bagaimana caranya aku mengatakan ini. Jika aku berada diposisimu bisa jadi aku melakukan hal yang sama Peat. Aku akan kabur. Namun jika harus dipikirkan secara logika, mendengarkan penjelasan adalah hal yang tepat menurutku" Noeul masih memandangi Peat, wajah itu kini berubah. Tatapan matanya kosong menatap lantai balkon. Noeul pikir Peat mulai merasa bersalah.
Entah bagaimana tapi Noeul tau kondisi kedua sahabatnya bertahun tahun belakangan ini. Tidak sedetail itu memang, tapi Noeul mendengar seluruh cerita Peat, baik yang Peat ceritakan atau informasi dari Joss. Fort pun tak kalah hancur, Boss selalu mengabari Noeul keadaan Fort. Mereka berdua sama sama tersiksa dengan cara dan pikiran masing masing.
"Beberapa hari yang lalu aku bertengkar dengan Fort. Ia melihatku bersama orang lain dan ia sangat marah. Kau tau Noeul, pria yang bersamaku saat itu dipecat saat itu juga. Kupikir Fort akan memarahiku bahkan mungkin memukulku. Kau pasti tau apa yang ku lakukan jika sudah berdua dengan seseorang" Peat memberhentikan ucapannya, menarik napas panjang dengan mata yang berkedip cepat. Sepertinya matanya mulai panas dan ingin menangis.
"Tapi ternyata tak satupun umpatan dan pukulan yang kuterima. Bahkan hari itu dia meminta maaf Noeul, dia mengakui kesalahannya dan memohon. Dia mengatakan cinta berkali kali tapi aku tak bisa mempercayainya. Noeul, aku itu sudah sakit, terlalu sakit sampai pendengaran dan akal ku tuli untuk mempercayai semua ucapannya. Aku melihatnya menangis, aku melihat penyesalan dimatanya. Tapi kenapa aku tak bisa percaya? Kenapa?" Noeul menatap Peat iba, air mata sahabatnya sudah mengalir deras bahkan tanpa isakan. Tangannya yang kini memegangi sisi kursi tampak memutih. Peat marah pada dirinya sendiri.
"Hari itu aku juga bertemu ibunya. Ibu menceritakan semua yang dialaminya padaku. Saat itu aku merasa seperti dipukul berkali kali dengan kenyataan jika Fort benar benar mencintaiku. Tapi aku masih menolak Noeul, aku bersikeras untuk tidak mempercayai itu. Hiks.. Aku- lelah Noeul. Aku lelah.."
Grep
Noeul menarik tubuh Peat kepelukannya. Mendekap tubuh sahabatnya sangat erat diiringi tepukan penenang dipunggungnya.
Peat kembali frustasi. Ia tak tahu harus apa dengan semua kejadian dan bukti yang dipaparkan padanya. Otak dan hatinya tak berhenti untuk memikirkan hal tersebut, tubuhnya sudah berteriak lelah namun segala atensinya masih terfokus pada masalah yang sama.
"Apa aku jahat Noeul?" suara yang teredam dibalik t-shirt terdengar sangat bergetar.
Noeul menggeleng, ia tak ingin sahabatnya kembali terbebani dengan pikiran dirinya yang ia anggap jahat. Pun Noeul sendiri tak tahu apa yang Peat lakukan adalah hal baik atau buruk. Noeul lebih memilih diam dan mendekap Peat lebih erat. Seakan mengatakan jika Noeul akan selalu ada bersamanya.
"Dan disaat aku mulai mencoba memahami hal itu semua, aku bahkan tak bisa melangkah lebih jauh Noeul, karena ia sudah memiliki seorang calon tunangan" Peat menarik tubuhnya dari pelukan Noeul, mengusap air matanya kasar dan mengatur napasnya kembali normal. Peat menggenggam satu tangan Noeul dengan kedua tangannya, mencoba mengalihkan perasaan sedihnya dengan memainkan tangan Noeul.
"Wanita itu baik dan cantik. Mereka akan terlihat serasi saat di altar nanti. Kemudian mereka akan memiliki anak anak yang lucu dan menggemaskan. Aku, kau dan phi Boss akan memiliki keponakan yang lucu Noeul. Bahkan saat aku bertemu ibu, ibu mengatakan tak sabar menggendong cucunya. Wajahnya berseri dan bahagia, Noeul" Peat tersenyum tipis, namun bibirnya bergetar.
Kali ini bukan Peat yang menangis, melainkan Noeul. Melihat sahabatnya kembali kalut dengan pikirannya membuat hatinya ikut sedih.
"Aku sudah mengecewakan banyak orang Noeul. Aku tak ingin mengecewakan siapapun lagi. Termasuk ibu. Aku sudah membuat anaknya menderita bertahun tahun dan pasti sangat berat untuknya. Dan aku tak berani mengambil senyuman dari ibunya Noeul, aku laki laki dan sampai kapanpun tak akan bisa memberikannya cucu." Peat mengangkat tangannya dan mengusap lembut air mata Noeul dengan ibu jarinya. Bibir tipis itu kembali tersenyum, mengajak Noeul untuk ikut tersenyum dan tak menangisi keadaannya.
"Aku hanya ingin meminta maaf pada Fort, tapi aku tak tahu bagaimana caranya."
"Peat"
"Hm"
"Biarkan aku membantumu"
-----
Peat memijit pangkal hidungnya. Kepalanya terasa sakit sekarang. Harusnya ia tak mempercayai bantuan dari Noeul.
Lihatlah sekarang, apartemennya kini menjadi ramai. Dengan ide yang dianggap cemerlang oleh Noeul, ia mengundang Boss dan Fort ke apartemennya malam ini.
Pesta barbeque yang awalnya hanya ingin Peat lakukan dengan Noeul dan Joss saja, kini ditambah dua orang lagi yakni Boss dan Fort.
Peat benar benar tidak tau bagaimana cara kerja dari otak Noeul. Bukankah sudah ia bilang jika ia tak ingin mengecewakan siapapun? Membawa Fort ke apartemennya akan membuat siapa saja bisa salah sangka. Kini statusnya yang merupakan mantan kekasih dari Fort sudah tersebar kesegala penjuru, termasuk para pegawai kantor. Hal ini terjadi saat Fort dengan bodohnya melarang semua pegawai untuk menatapnya. Dan apartemen ini adalah apartemen terdekat dari kantor dan sudah pasti beberapa pegawai turut tinggal disini.
Bagaimana jika informasi ini tersebar? Apa yang akan dikatakan orang orang? Dan bagaimana perasaan Pearwah dan ibu nantinya? Ugh! Memikirkannya saja sudah membuat sakit kepala Peat semakin bertambah.
Dan lagi kenapa Fort mau datang ke apartemennya?! Ah! Kenapa semua orang tampak menyebalkan hari ini!
Dengan mata yang menatap tajam kearah Fort, Peat menenggak segelas alkohol yang sudah tersaji didepannya.
Tak
Dengan kuat Peat menaruh gelas kosong itu kembali keatas meja. Membuat semua orang menatapnya bingung.
"Kau tak apa Peat?" tanya Joss yang tepat berada disamping Peat. Joss mengusap kepala Peat khawatir, matanya terus menatap kearah pria kecil disebelahnya.
Plak
"Bertanya saja, kau tak harus memegangnya bukan?" Fort yang juga berada disamping Peat memukul tangan Joss cukup kuat. Mata besarnya menatap kearah Joss dengan tajam.
Brakk
"Ouih! Bisakah kalian tidak bertengkar?!" Peat memukul meja cukup kuat, matanya menatap dua pria disisinya bergantian. Ia tak ingin ditambah pusing dengan perdebatan tak penting dari dua pria besar dikiri kanannya.
Kepala Peat menggeleng heran. Tangannya kemudian bergerak membolak balik daging yang berada diatas pemanggang, dia lapar dan ingin makan. Memiliki dua bayi pemarah dikiri kanannya membuat perutnya berbunyi dan minta diisi. Tangan Peat kemudian bergerak mengambil gunting dan memotong daging menjadi potongan yang lebih kecil. Peat pun menaruh satu potong daging keatas mangkuk nasi Fort lalu menaruh satu potong daging keatas mangkuk nasi Joss.
"Peat! Kenapa kau memberikannya pada bocah itu pertama?!" sungut Joss tak terima, wajahnya semakin tertekuk kesal saat melihat wajah mengejek penuh kemenangan dari Fort.
"Hah.. Baiklah" dengan malas Peat kembali mengambil sepotong daging dan menaruhnya pertama dimangkuk Joss, kemudian mengambil sepotong lagi dan kemudian menaruhnya di mangkuk Fort.
"Puas?" Peat terseyum singkat kearah Joss dan kembali membuat wajah datar. Belum sempat daging memasuki mulutnya, selera makannya sudah hilang.
Peat kini menjangkau sebuah kaleng bir yang berada dibelakang Joss. Membukanya dan meneguknya beberapa kali. Matanya tanpa sengaja melihat sepasang kekasih yang dimabuk cinta, Boss dan Noeul yang tepat berada didepannya kini tengah saling menyuapi dengan senyum lebar dibibir masing masing.
Mata Peat menyipit tajam. Sepertinya bantuan yang ditawarkan Noeul hanya akal akalannya saja agar bisa berduaan dengan Boss. Lihatlah wajah pria kecil itu! Sangat sumringah tanpa beban. Sebenarnya siapa yang dibantu disini? Kenapa Peat merasa masalahnya semakin bertambah?
"Aku keluar, ingin mencari udara segar" Peat kembali meraih tiga kaleng bir dan mengapitnya dengan lengan miliknya, satu tangannya lagi memegang kaleng bir yang sudah ia buka. Peat kemudian berdiri dan berjalan kearah balkon. Menaruh tiga kaleng bir yang masih tertutup dibawah kursinya dan kemudian duduk dengan dua kaki yang ia bawa tekuk ke depan dada. Memandangi langit gelap jauh lebih baik rasanya.
"Apa kau terganggu denganku?" seseorang dengan kaleng bir ditangan memecah lamunan Peat terhadap langit.
"Lumayan" Peat kembali memfokuskan pandangannya setelah sekilas melirik Fort yang kini berjalan kearahnya. Tubuh besar itu kemudian mengambil kursi lain disebelah Peat untuk diduduki.
"Kebiasaanmu tak berubah, selalu menatap langit. Kenapa?"
"Entahlah, hanya suka" jawab Peat sekenanya, senyum samar terlihat dari bibir Peat ketika mendengar Fort yang masih hapal dengan kebiasaannya.
"Apa aku semengganggu itu? Kau tak terlihat nyaman berbicara denganku Peat" tanya Fort lagi, ada nada bersalah dari ucapannya.
"Jika kau tau kau itu mengganggu, pulang saja. Pesta ini akan lebih menyenangkan jika kau pulang" bukan Peat, melainkan Joss yang tiba tiba muncul dari arah dalam. Ia berdiri dengan satu tangan berada didalam saku dan menatap kearah Fort yang juga menatapnya sinis.
"Kumohon, berhentilah bertengkar sebentar saja" Peat menatap memohon kearah Joss lalu Fort. Peat benar benar tak mau ada pertengkaran sekarang.
Suasana kembali hening, tiga orang yang menghadap luar itu kini sibuk dengan pikirannya masing masing. Teguk demi teguk alkohol mulai memasuki kerongkongan mereka.
"Joss"
"Ya?"
"Bisakah aku berbicara dengan Fort?"
"Bicaralah"
"Hanya berdua, kumohon" Peat menatap Joss memohon, ia rasa perlu menyelesaikan masalahnya dengan Fort malam ini. Joss yang tak tega melihat Peat akhirnya memilih mengangguk. Memutar tubuhnya kearah dalam dan meninggalkan dua orang itu dibalkon.
Peat mengambil sekaleng bir miliknya yang belum terbuka, kemudian ia membukanya dan menyodorkannya kearah Fort. Sedikit menggoyangkan kaleng tersebut karena Fort belum kunjung mengambilnya.
Fort yang sedikit terkejut kemudian tersadar, cepat cepat ia meraih kaleng tersebut dan meminumnya seteguk. Peat kemudian mengambil sekaleng lagi dan membukanya untuk dirinya sendiri.
"Fort.."
"Hm?"
"Maafkan aku"
Pranggg
Bunyi peraduan kaleng dan lantai balkon cukup nyaring. Tanpa sengaja kaleng yang dipegang Fort jatuh dan menumpahkan semua isinya. Mata besarnya menatap Peat tak percaya, mulutnya terbuka lebar. Apa yang baru saja Peat katakan?
Peat menoleh dan tersenyum tipis, sedikit lucu melihat wajah terkejut Fort sebenarnya tapi ia tak bisa tertawa. Pikirannya masih dipenuhi ucapan maaf yang ingin ia lontarkan pada Fort.
"Maafkan aku Fort, karena tak mendengar penjelasanmu. Aku menjadi egois hari itu, maafkan aku-" Peat menaruh kembali kaleng birnya dan kembali menatap Fort yang kini sudah menormalkan ekspresinya. Fort kini tampak siap mendengar perkataan Peat.
"Maaf Fort, untuk hari itu, sepuluh tahun terakhir termasuk hari ini. Maaf untuk aku yang menjadi egois, maaf untuk mengira kau hanya berpura pura, maaf untuk mengira kau berbahagia, maaf karena membuatmu turut terluka, maaf membuatmu berubah dan terakhir maaf karena tak mempercayaimu" mata rusa itu menatap dalam mata besar didepannya. Fort harus tau jika Peat benar benar tulus meminta maaf padanya.
Kedua tangan tan besar itu pun meraih satu tangan Peat, menggenggamnya sambil membalas tatapan dari mata tercantik yang pernah ia temui.
"Aku juga minta maaf Peat, bukan hanya hari itu, tapi ini terjadi sejak pertama kali aku bertemu denganmu. Maafkan aku. Ini semua murni kesalahanku. Aku tak tahu pasti kapan, tapi aku jatuh cinta jauh sebelum aku menyatakannya padamu. Aku awalnya tak berniat namun banyak hal yang membuatku memilih jalan buruk untuk mendapatkanmu" Fort menjeda ucapannya sambil mengambil napas panjang. Sepertinya pengakuannya kali ini akan sangat panjang.
"Aku ingin kau tau jika aku benar benar tulus mencintaimu Peat, dan aku harap kau tak akan memandang remeh cinta setelah ini. Aku sudah mencoba berbagai macam bentuk hubungan dan tak satupun yang membuatku berpaling darimu, otak dan hatiku bahkan tak pernah lepas satu kalipun untuk tidak memikirkanmu Peat, karena aku terlalu mencintaimu. Maaf karena aku salah mengambil jalan, maafkan aku. Maafkan aku membuatmu sangat tersiksa bertahun tahun setelah hari itu, maafkan aku telah meruntuhkan segala kepercayaan yang kau bangun untukku, maafkan aku karena membuatmu berubah dan terakhir, maafkan aku karena membuatmu pernah berpikir untuk mengakhiri hidup. Maafkan aku"
Dengan tangan yang mengusap punggung tangan kecil dalam genggamannya, Fort menatap penuh bersalah kearah Peat. Namun Peat justru membalasnya dengan senyuman.
"Kita berdamai?" Fort tanpa sadar tersenyum lebar mendengar pertanyaan Peat. Hatinya menghangat dan membuncah bahagia. Anggukan cepat dikepalanya membuat Peat terkekeh kecil.
"Fort"
"Tunggu, bolehkah aku memelukmu terlebih dahulu Peat? Aku terlalu bahagia dan sangat ingin memelukmu sekarang" Peat mengangguk, belum sempat Peat menyelesaikan anggukannya, tubuhnya diterjang hebat oleh tubuh besar dihadapannya. Membuatnya sedikit terdorong kebelakang karena terlalu kuat. Untung saja Fort dengan cepat menahan punggungnya, jika tidak mereka berdua sudah dipastikan jatuh.
Fort memeluk Peat sangat erat. Mengunci tubuh kecil itu dalam pelukannya seperti tak ingin dilepas. Peat hanya bisa membalas pelukan itu dan mengusap punggung tegap itu. Senyum terukir dibibir masing masing, atmosfer bahagia menyelimuti suasana yang terjadi diatas balkon.
Runtuh sudah benteng yang dibangun keduanya. Kata maaf yang dilontarkan ternyata sangat dahsyat efeknya. Benteng penolakan dan benteng rasa bersalah, semuanya runtuh dalam sekejap mata. Memang benar kata pepatah, masalah tak akan selesai jika tak ada yang mengalah.
Peat memang mengambil langkah pertama, namun seribu langkah kedepan adalah kaki Fort yang membawa. Dan disinilah mereka, membawa rasa damai dan tenang untuk hati lelah masing masing.
Puk
Puk
Tangan Peat yang bersarang dipunggung Fort bergerak, menepuk punggung itu untuk mengisyaratkan jika Peat sudah mulai sesak kehabisan napas. Fort benar benar hampir meremukan tubuhnya.
Tak rela, Fort akhirnya melepaskan pelukannya. Dengan wajah yang masih dihiasi senyum lebar ia menatap kearah Peat.
"Terimakasih Peat, terimakasih"
"Eum, aku juga. Terimakasih Fort"
"Jadi..."
"Jadi apa?"
"Hubungan kita?"
"Fort" Peat kembali menatap mata Fort lekat. Menarik napasnya dan menghembuskannya perlahan. Peat sudah bertekad dan ingin semuanya menjadi jelas sekarang.
Dengan senyum lebar diwajahnya, Fort menatap Peat dengan antusias.
"Kau tau kisah Romeo dan Juliet?" Fort terdiam, namun kemudian mengangguk ragu. Kenapa Peat tiba tiba membahas cerita lawas ini?
"Kau tau Rosaline?" Fort menggeleng, bahkan ia baru mendengar nama itu hari ini.
"Rosaline adalah cinta pertama Romeo, Fort. Mereka berdua adalah sepasang kekasih dan saling mencintai. Suatu saat keluarga dari Rosaline mengadakan pesta dan ia mengundang kekasihnya, namun siapa sangka hari itu Romeo malah bertemu dengan gadis lain, Juliet. Kisah ini memiliki dua bintang utama, Romeo dan Juliet. Lalu bagaimana dengan Rosaline? Gadis itu hanyalah figuran, yang dibahas sebentar lalu dilupakan"
"Peat, maafkan aku. Aku tak pernah membaca cerita romansa dan lainnya. Jadi aku tak paham maksudmu"
"Fort, apa aku cinta pertamamu?" Fort mengangguk yakin, dan sampai detik ini ia pun masih mencintai pria didepannya.
"Maka pikirkan aku sebagai Rosaline, dan aku bukan Julietmu Fort. Julietmu adalah Pearwah. Dia yang ditakdirkan untukmu, bukan aku. Aku hanya berperan sebagai pelengkap disini untuk kisah kalian dan kuharap kau paham maksudku" wajah Fort berubah masam. Ia tak suka dengan pengandaian Peat.
"Kau sama sekali bukan pelengkap atau figuran Peat. Aku mencintaimu bahkan sampai detik ini" suara Fort berubah dalam, ia marah tapi tak ingin meninggikan suaranya pada Peat. Kenapa pria kecil dihadapannya bisa berpikir seperti ini?
"Fort dengarkan aku. Ini bukan hanya tentang kita. Apa kau tak mengingat ayah dan ibu? Dan Pearwah adalah gadis yang baik. Percayalah kau tak akan menyesal Fort"
"Lalu bagaimana dengan hatiku Peat? Bagaimana dengan perasaanku? Perasaanmu? Kau tidak mencintaiku?!"
"Fort, kita bisa kembali berteman. Kita bisa kembali bersahabat. Tak ada yang melarang kita kembali berteman bukan?"
"Dan tak ada juga yang melarang kita untuk kembali bersama"
"Fort"
Tak ada jawaban, Fort hanya menatap Peat datar. Gejolak marah begitu kentara ditubuhnya, tapi ia tak mau meluapkannya. Ia tak mau menyakiti Peat lagi.
"Fort, please" Peat memohon, matanya menatap memohon kedalam mata besar milik Fort.
Fort menggeram, memejamkan matanya untuk menetralkan emosinya yang meluap luap ditubuhnya. Mengatur napasnya yang mulai memburu karena emosi.
"Kau ingin kita berteman?"
"Ya"
"Hah.. Baiklah"
TBC
Komentar
Posting Komentar