FORTPEAT - JINX - 25

Dentingan pisau dan garpu pada piring lebar memenuhi ruang makan yang sunyi. Empat kepala yang melingkari meja makan itu sama sekali tak mengeluarkan suara. Semuanya sibuk dengan irisan daging masing masing yang diperuntukan sebagai sarapan.

Tak lama setelah daging yang berada diatas piring hilang satu persatu, buah pun tersaji pada piring kecil yang diletakkan disebelah piring kosong. Sama halnya dengan yang terjadi sebelumnya, tetap tak seorang pun yang mengeluarkan suara.

Flip

Suara jentikan dari jari seorang wanita paruh baya membuyarkan konsentrasi manusia lain terhadap buahnya. Membuat seisi rumah menoleh kearah Nyonya besar tanpa terkecuali.

"Aku baru ingat. Fort, undanglah Peat kerumah. Ibu ingin memasakkan makanan untuknya" suara pertama pagi itu pecah diiringi tatapan terkejut seluruh mata, tanpa terkecuali Fort yang terkejut karena ibunya yang megetahui keberadaan Peat. Sungguh, ia tak pernah menyebutkan apapun mengenai Peat sejak kepulangan pria kecil itu.

"Phi Peat bu?" Prigkhing menyahuti pernyataan ibunya, satu alisnya terangkat dengan kerutan didahinya. Apania tak salah dengar?

"Eum, tiga hari yang lalu ibu tak sengaja bertemu dengannya saat pergi ke perusahaan ayahmu, bahkan hari itu ibu mengajaknya makan dan kami menghabiskan waktu untuk mengobrol" ibu Fort diiringi senyum lebarnya menceritakan kejadian dimana ia kembali bertemu dengan Peat, putra kesayangannya.

"Kau sepertinya salah orang sayang. Jangan begitu, kau tak mengasihani putramu hm?" sela ayah Fort dengan menggelengkan kepalanya, merasa heran dengan sikap sang istri yang bisa saja memicu lagi kesedihan dari putranya.

"Ckckck, aku memang bertemu Peat sayang, dan dia ternyata adalah pegawai yang dikirim untuk kerjasama dari perusahaan Shin Farma. Benarkan Fort?" Fort mengangguk ringan, ia mulai paham jika ibunya memang tak membual.

"Aku tak akan menyebut nama Peat tanpa alasan, mereka sudah bertemu sayang dan sudah kembali berhubungan baik. Benarkan Fort?" lagi Fort mengangguk, ia mendesah sangat pelan karena jalan untuk melupakan Peat tampaknya semakin sulit.

"Kalau memang begitu, ajaklah Peat kemari Fort. Ayah juga merindukan bocah pintar itu" ayah Fort menepuk bahu Fort beberapa kali diiringi senyuman. Diikuti oleh anggukan dari ibu dan Prigkhing yang tampaknya juga ingin bertemu Peat.

"Tapi kau benar benar sudah berbaikan dengan Peat kan Fort? Kami tak memaksa jika kau tak nyaman, bagaimana pun kau tetap prioritas kami nak" tutur sang ayah, menatap sang anak penuh selidik melalui kaca matanya.

Fort sebenarnya hanya menceritakan kejadian masa lalunya dengan Peat pada ibu, namun bagai rahasia umum, semua keluarga Fort mengetahui bagaimana dan dimana titik kesalahan yang terjadi. Sehingga mereka selalu hati hati dalam melontarkan hal hal yang bisa mengingatkan Fort pada Peat.

"Kami benar benar dalam hubungan baik, yah. Aku akan mengajaknya kerumah, tapi sepertinya tidak bisa dalam waktu dekat. Peat sangat sibuk, ia bahkan sering mengambil lembur hingga malam." Fort memberikan senyumnya pada sang ayah, membuat ayahnya juga ikut tersenyum lega melihat anaknya baik baik saja.

"Tak apa, kami bisa menunggu"

-----

Tubuh tinggi besar itu berdiri menghadap kaca besar diruang kerjanya. Dengan kedua tangan yang diposisikan masuk kedalam saku, Fort menatap jalan raya yang mulai sepi saat jam kantor dimulai. Wajahnya berkerut, memikirkan ucapan keluarganya saat sarapan pagi ini.

Sebenarnya sejak kejadian hari itu Fort tak lagi mencoba mendekati Peat. Segala perhatian yang ia berikan beberapa hari kebelakang pun ia hentikan. Tak ada lagi makanan ataupun minuman yang ia belikan untuk pria kecil itu.

Fort sama sekali tak membenci Peat, tak seujung kuku bahkan. Namun kejadian hari itu benar benar menyadarkannya. Fort menyadari jika cinta yang ia berikan pada Peat sangat menyakiti pria itu. Fort menyadari jika cinta yang ia berikan menjadi sebuah pedang tajam yang melukai Peat.

Tak pernah terlintas dipikirannya sehancur dan seterpuruk apa kondisi Peat setelah mengetahui kesalahannya. Yang ia tahu Peat meninggalkannya dan membencinya untuk itu. Fort tak menyangka hal itu akan merubah pribadi manis prianya menjadi sosok yang berbeda. Setelah ia pikirkan kembali Peat memang berubah menjadi dingin dan arogan, bahkan beberapa kali ia memergoki Peat bercumbu dengan siapa saja tanpa pandang bulu.

Rasa tak adil dan marah awalnya menyelimuti Fort, merasa jika hanya dirinya yang bertahan selama sepuluh tahun belakang. Fort sama sekali tak melihat kesedihan apapun dari Peat, Peat terlihat sangat baik hingga beberapa kali ia melihat Peat terlihat lebih dari akrab bersama orang lain. Peat terlihat seperti telah menjalani hidup yang baik sedangkan dirinya disini masih terpuruk dan berusaha bangkit.

Namun Fort tetap saja seorang Fort, seseorang yang terlalu mencintai Peat hingga mampu melakukan segala hal demi prianya. Bahkan ketika ia merasa hanya dirinya yang berjuang sendiri selama sepuluh tahun, ia masih terlalu bahagia saat pertama kali bertemu dengan Peat. Bahkan semua amarah dan rasa tak adil yang ia rasakan sirna begitu saja saat itu. Hidupnya benar benar terletak dibawah kaki Peat.

Tapi setelah kejadian tiga hari yang lalu Fort sadar, Peat mengalami banyak kehancuran. Mata rusa pria itu tak berbohong, matanya terlihat sangat sakit dan hancur. Setiap kata yang ia lontarkan selalu diiringi tatapan terluka. Peat benar benar mengalami tragedi karenanya.

Jika sepuluh tahun kebelakang orang orang menyebut dirinya hampir gila, sepertinya kondisi Peat bisa dikatakan lebih dari gila. Fort tak ingin pria yang dicintainya kembali terpuruk hanya karena keegoisannya. Meskipun Peat kini bukanlah pria lugu seperti dulu, tapi melihat pria cantik itu masih bernapas didepan matanya sudah lebih dari cukup baginya saat ini. Fort tak ingin mengambil resiko untuk menyirami pria itu dengan cintanya, Fort benar benar takut.

Lagi pula dari awal ia sudah memantapkan hatinya untuk memilih Pearwah. Hanya saja belakangan ini ia memang sangat goyah, ia tak bisa memegang perkataannya saat matanya menangkap siluet pria cantik itu. Hatinya terus meronta untuk terlibat romantis dengan Peat.

Saat ini hatinya berada dalam kondisi stabil, tak berusaha menemui Peat tiga hari terakhir ini benar benar membuatnya mampu berpikir jernih. Namun bagaimana dengan permintaan keluarganya? Mereka terlihat begitu antusias untuk membawa pria kecil itu kerumah.

Oh, ayolah! Ia sedang berusaha disini dan ia tak mau gagal! Ia berusaha tak menaruh malu diwajah kedua orang tuanya untuk tak kembali fanatik pada pria kecil itu.

Haruskah ia mengatakan pada keluarganya jika ia sedang berusaha sekarang? Ugh! Tapi ia sudah mengatakan jika ia dan Peat baik baik saja tadi pagi.

Sial!

Fort merasa ia terjebak dengan jawabannya sendiri. Seharusnya mulutnya tak lebih cepat dari otaknya.

Tanpa sengaja mata Fort menangkap sebuah mobil sedan yang baru terparkir didepan lobi perusahaannya. Seseorang yang sangat familiar dan tentunya selalu ia pikirkan kini keluar dari mobil itu.

Sepertinya hari ini Peat terlambat. Fort menggelengkan kepalanya saat melihat Peat yang tampak panik dan berlari dengan langkah lucunya. Peat benar benar tampak menggemaskan saat ini, tanpa sadar kejadian sekecil itu membuatnya tersenyum dan sukses menghilangkan pikiran runyam dikepalanya.

Namun senyum Fort mendadak luntur, ia melihat orang yang benar benar ia benci turut keluar dari mobil sedan itu.

Joss.

Joss tampak berlari dengan tas selempang ditangannya dan Fort tau itu adalah tas milik Peat. Sepertinya Peat terlalu terburu buru hingga melupakan tasnya.

Kepalanya kembali berdenyut sakit saat tau jika Joss saat ini masih bersama Peat, rasa cemburu dan panas dihatinya tak bisa ia tahan. Jika saja kondisinya tak serumit ini, ia akan turun kebawah dan menghajar pria besar itu.

Fuck!!!

Peat benar benar mengambil alih segala atensi hidupnya.

-----

Sinar terang dari layar laptop tampak menerangi wajah Peat yang sedang melamun. Dengan pipi yang berpangku pada tangan, Peat menatap pada layar didepannya dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang. Ucapan Fort hari itu sampai detik ini masih terngiang dikepalanya, apalagi tepat setelah itu ia bertemu ibu Fort yang mengatakan situasi yang hampir sama.

Benarkah Fort tersiksa selama sepuluh tahun belakangan ini?

Tapi kenapa?

Bukankah dia hanya pria yang sibuk bergonta ganti pasangan hanya untuk memuaskan nafsu semata?

Lalu kenapa ia harus ikut menderita?

Peat sama sekali tak mengerti dengan hal ini. Peat sangat amat tau bagaimana watak dari Fort, hidup berdampingan dengan pria itu bertahun tahun lebih dari membuktikan jika ia mengetahui Fort luar dalam. Dengan sifat seperti itu sangat tidak mungkin Fort menderita karena dirinya.

Tapi apa mungkin ibu berbohong padanya?

Peat memang tak mempercayai Fort. Namum lama kelamaan hatinya ikut terusik semenjak kejadian hari itu. Apa benar Fort begitu mencintainya? Namun bagaimanapun Peat berpikir itu sangat mustahil. Fort dengan kata cinta bukanlah satu kesatuan. Pria itu hanya membual tentang cinta dan Peat yakin itu.

Tapi kenapa ucapan ibu mengenai Fort yang juga turut berubah sangat singkron dengan apa yang ia lihat? Peat benar benar melihat seorang Fort yang workaholic dan tak lagi suka bersosialisasi.

Tapi-

"Aargghhh!!!" suara teriakan yang sangat kencang membuat beberapa staff RnD berlari menuju ruang kerja atasannya.

"Phi, ada apa? Pencuri? Tikus? Ular?" suara War yang terdengar panik pun menyahut setelah wajahnya menyembul dibalik daun pintu ruang kerja Peat.

Peat menghela napas, menggelengkan kepalanya sambil menepuk pipinya beberapa kali. Dengan sebuah senyuman ia melihat kearah staffnya yang sudah menjejerkan kepalanya disela pintu yang terbuka.

"It's okey, aku baik"

"Kau serius phi?" kali ini Yin yang menanyakan atasannya tersebut. Wajah cemasnya masih terlihat kentara.

Peat mengangguk dan mengibaskan tangannya menyuruh para staff untuk kembali pada pekerjaannya. Tepat setelah pintu ruang kerjanya tertutup, Peat merebahkan tubuhnya pada sandaran bantalan kursinya yang cukup empuk. Melepaskan kacamatanya dan memijit puncak batang hidungnya.

Hah.. Kenapa ia menjadi seperti ini setelah hatinya sudah berubah menjadi batu? Sial!

-----

"Peat, kau sudah memiliki kekasih?"

"Ha?" Peat sontak memberhentikan langkahnya setelah mendengar pertanyaan Tay, salah satu staff di bagian pemasaran yang sekarang mengajaknya keluar untuk istirahat makan siang.

"Eum, bagaimana? Kau punya?" Tay masih menunggu jawaban Peat dengan tatapan cemas.

"Untuk apa?" seketika nada bicara Peat berubah menjadi dingin, ia tak suka ditanyai hal seperti ini.

"Hm.. Aku- ingin serius denganmu"

"Tidak usah. Aku tidak mau"

"Tapi-"

"Kau akan terus seperti ini?" Peat menatap tajam Tay yang kini tampak kelabakan dengan dirinya sendiri. Tay merasa ia sudah salah langkah.

"Tapi Peat, aku benar benar-"

"Tsk! Sudahlah, lebih baik aku pergi sendiri. Kau sangat menggangguku" Peat melangkahkan kakinya menjauh, orang orang seperti Tay akan sangat merepotkan jika ia tak memutusnya dari sekarang.

Grep

"Aku tau kita tak lama mengenal, Peat. Tapi aku menyukai dan mencintaimu. Tak bisakah kau merasakan itu?" Tay yang menahan kepergian Peat dengan memegang pergelangan tangannya, menatap Peat dengan tatapan memohon.

Mata rusa itu mengamati tangan Tay yang berada ditangannya, tersenyum miring dan kemudian matanya terangkat menatap tajam pria didepannya.

Srettt

"Berpikirlah dua kali sebelum mengatakan cinta. Sialan!" Peat menghempaskan tangan Tay dengan sangat kuat hingga pegangan dipergelangan tangannya terlepas. Wajah cantik itu berubah marah setelah mendengar kalimat dari Tay dan segera berjalan lebih cepat meninggalkan Tay yang terpaku dibelakangnya.

-----

Disebuah meja kafe yang hanya berisikan satu kursi, tampak seorang pria cantik duduk dengan sebuah benda bulat berkerlap kerlip ditangannya. Wajahnya masih terlihat penuh dengan emosi. Ia benar benar tak habis pikir dengan semua orang.

Apa benar kata cinta diucapkan semudah itu?

Dasar sialan!

Jika mereka hanya mencari perhatian dan kasih sayang, pulang sana! Kau bisa meminta keluargamu melakukannya! Lalu apa? Seks? Pelacur terlalu banyak berkeliaran dan kau tinggal memilih satu.

Bahkan Peat hanya bertemu empat atau lima kali dengan Tay, kenapa pria itu sangat mudah mengatakan cinta? Okey, Peat mengakui jika pria itu ramah dan menyenangkan, tapi dalam pertemuan sesingkat itu apa benar kau sudah bisa merasakan cinta?

What a bullshit!!!

Sebenarnya bukan hanya Tay, Peat mendapatkan pengakuan cukup banyak selama ia berada di Thailand. Tapi semuanya sama, mereka tak bertemu untuk waktu yang lama, hanya beberapa kali dan mereka menyatakan perasaan. Apakah orang orang yang ia tolak tak menyebarkan berita mengenai dirinya? Kenapa orang orang itu masih berani menyatakan perasaannya?

Drrtt

Drrtt

Benda bulat yang berada ditangan Peat pun bergetar, menandakan jika pesanannya sudah siap dan harus diambil. Peat kemudian berjalan menuju station pesanan dan mengambil makanannya. Ia memesan double cheese burger, french fries serta satu fenti latte. Peat kemudian kembali ke meja awalnya yang menghadap dinding dan ditempeli sebuah lukisan klasik.

Puk

Puk

Saat sebuah kentang goreng baru melayang kedalam mulutnya, Peat merasakan tepukan halus dipundaknya, membuatnya terpaksa menoleh dan mendapati Pearwah yang tersenyum padanya.

"Hai" sapa Peat dengan senyum tipis.

"Hai, kau sendiri?" Pearwah pun mengambil posisi di meja sebelah Peat, sedikit jauh memang karena meja Peat hanya diisi satu kursi tunggal. Pearwah pun menggeser kursi miliknya keujung meja agar semakin dekat dengan Peat.

"Ya, aku sendiri. Kau?"

"Aku bersama Fort dan dia berada diluar karena bertemu kolega lamanya"

Peat mengangguk mengerti dan kembali mengambil kentang goreng yang berada dihadapannya. Suasana kembali sunyi. Tak ada satupun dari mereka yang berbicara, hanya ada suara kecapan kecil dari mulut Peat yang bergoyang.

"Peat"

"Eum"

"Apa kau membenciku?"

"Hah?" Peat dibuat terkejut dengan pernyataan Pearwah. Kenapa wanita ini bisa berpikir seperti itu? Peat menolehkan kepalanya meneliti wajah cemas wanita disebelahnya.

"Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?" sambung Peat dengan sebelah alis yang terangkat penasaran.

"Eum.. Beberapa kali aku mencoba menyapamu tapi kau hanya diam. Kupikir kau marah karena aku akan bertunangan dengan Fort" cicit Pearwah sambil memainkan benda bulat berkerlap kerlip ditangannya.

"Hei, dengar. Aku sama sekali tak membenci atau marah padamu. Meakipun aku juga tidak menyukaimu bukan berarti aku membencimu. Mungkin saat kau menyapaku aku tengah sibuk jadi tak fokus dengan suaramu atau suaramu terlalu kecil untuk memanggilku. Aku sama sekali tak masalah kau akan bertunangan dengan siapa, meskipun kau akan bertunangan dengan suami orang pun bukan masalah bagiku." dengan satu tarikan napas Peat melontarkan hal tersebut. Dia bukan remaja atau anak anak yang marah karena kekasihnya direbut seseorang. Apalagi posisi Fort bukan lagi kekasihnya, untuk apa dia marah?

"Ah, maafkan aku. Kupikir kau tak suka padaku" Pearwah tersenyum kecil, sedikit lega dengan jawaban Peat.

"Aku memang tidak menyukaimu, bukankah aku sudah mengatakannya?"

"A-ah, maaf. Ma-maksudku tidak marah. Maaf"

Drrtt

Drrtt

"Sepertinya pesananmu sudah selesai. Pergilah"

"Ya, baik" Pearwah beranjak dari posisinya dengan perasaan sedikit tak nyaman. Bagaimana seseorang bisa begitu kasar seperti itu? Padahal wajahnya terlihat baik. Apa dia sangat buruk sampai tak bisa disukai?

Bukannya ia juga ingin disukai oleh orang seperti Peat. Namun perasaannya mengatakan pria itu memiliki sikap yang ramah dan perasaannya tak pernah salah. Tapi ternyata malah sebaliknya, pria cantik itu kasar dan sedikit arogan. Namun Pearwah tetap bersyukur, setidaknya Peat mengatakan jika ia tak marah padanya. Pearwah tak mau hubungannya dengan Fort akan mengundang kebencian orang lain. Dia sangat menyukai kedamaian.

Tangan kecil itu pun mengambil kopi yang ia pesan. Tersenyum ramah pada pegawai kafe tersebut dan mengucapkan terimakasih. Belum sempat ia berbalik sebuah tangan kekar hadir dipinggangnya disertai hangat tubuh yang memenuhi punggungnya.

"Sudah selesai sayang?" Pearwah menatap Fort dan tersenyum lebar, mengangguk dan mengikuti Fort yang membawanya keluar dari kafe.

-----

Ponsel dengan layar hitam yang terletak diatas meja ruang tengah tiba tiba menyala dan berdering nyaring. Membuat seseorang dengan kulit tan yang sedang duduk menonton acara ditelevisi segera mengambil ponsel yang berdering.

"Noeul?"

Jari Joss pun bergerak menyentuh ikon hijau yang terpampang dilayar, mendekatkannya ketelinga dan mulai menunggu suara disebrang sana untuk berteriak.

"Peat!"

Gotcha!

Benar tebakannya jika bocah nakal ini akan berteriak memanggil nama sahabatnya.

"Ada apa?"

"Joss?"

"Ya, it's me. Wae?" Joss memutar bola matanya jengah, kenapa harus bertanya jika suaranya terdengar jauh berbeda dengan suara Peat. Suaranya berat dan suara Peat tinggi dengan beberapa oktaf.

"Aish, jjinjja. Kenapa kau kesini? Mana Peat?" keluh Noeul dari sebrang sana.

"Kau perlu apa? Jika tidak penting aku akan menutupnya" baru saja Joss menjauhkan ponsel dari telinganya, suara teriakan Noeul terdengar sangat keras meminta Joss untuk tidak menutupnya.

Joss kembali mendekatkan ponsel tersebut ketelinganya bersamaan dengan Peat yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan bathrobenya.

"Siapa?" tanya Peat tanpa suara, ia hanya menggerakkan bibirnya untuk menanyai Joss.

"Jadi kau perlu apa- Noeul?" Joss sedikit mengeraskan suaranya saat mengucapkan nama si penelepon. Membuat Peat yang tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk berjalan kearah Joss. Peat kemudian duduk dengan kepala yang ikut ia dekatkan pada ponsel yang menempel ditelinga Joss.

"Katakan pada Peat, besok aku akan pergi ke Nonthaburi. Aku ingin menginap diapartemennya"

"Kau sendiri?" tanya Peat setelah merebut ponselnya dari tangan Joss.

"Ouh, Peat! Hm, tidak. Aku bersama phi Boss"

"Aku tak mengijinkan phi Boss menginap disini" Peat melirik tangan Joss yang kini berada ditepian bathrobenya dan bergerak membukanya lebih lebar.

Plakk

Peat memukul tangan besar itu kuat, matanya menatap tajam kearah Joss.

"Tidak, phi Boss akan ketempat Fort dan aku ketempatmu"

"Kau menginap ditempat Fort saja"

"Oh ayolah Peat. Aku menyukaimu seribu kali lipat dibanding manusia hitam itu. Aku juga merindukanmu"

"Terserah, kabari aku jika kau sudah sampai besok"

Pip

"Kau ingin melakukan seks denganku?" tepat setelah mematikan  sambungan teleponnya, Peat menyilangkan tangannya didepan dada dan menatap penuh selidik kearah Joss.

"Cih, berpakaianlah setelah mandi. Lihatlah bathrobemu, bahkan aku melihat hampir seluruh tubuh bagian depanmu sekarang"

"Lalu?"

"Kau bisa habis jika bukan aku yang disini" Joss kemudian beranjak dari sofa dan berjalan menjauh.

"Kemana kau? Kekamar mandi? Cih, kau bernafsu padaku?" sorak Peat dengan seringaian dibibirnya. Siapa juga yang bisa menahan hasrat ketika bersamanya?

Kekehan kecil terdengar dari bibir Peat saat melihat Joss yang mengacungkan jari tengahnya padanya.

TBC

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FORTPEAT - SURROGATE 2🔞

FORTPEAT - JINX - 16 🔞

FORTPEAT - RARE SPECIES - 5 🔞