FORTPEAT - JINX - 24
Payung bercorak liris yang berada ditangan Peat digoyangkan sedikit cepat agar air yang masih menempel pada payungnya jatuh. Cuaca yang tiba tiba menjadi mendung dan hujan deras membuat Peat yang berada ditengah jalan terpaksa singgah disebuah mini market untuk membeli payung.
Entah semangat dari mana, tapi pagi kali ini Peat sangat ingin berjalan kaki menuju kantor. Namun hanya sedikit sial karena ditengah jalan ia mendapati hujan yang cukup deras.
Seperti biasa Peat menyapa beberapa orang yang ia lihat disertai senyuman. Namun kembali mendengus ketika sapaan yang ia lontarkan hanya dibalas dengan tundukan kepala atau salam khas Thailand. Peat memutar bola matanya jengah, beberapa hari kebelakang ini ia selalu mendapatkan perlakuan aneh dari pegawai. Ia dihormati dan dilayani bak atasan. Dan itu sangat mengganggunya. Peat sangat tau ini perbuatan siapa. Tapi Peat juga tak mau berurusan lebih panjang dengan Fort.
Kembali melalui akses yang biasa Peat lalui, yakni tangga darurat. Kali ini tak ada alasan khusus. Ia juga tak menghindari siapapun kali ini. Hanya saja kebiasaannya yang sudah setengah bulan disini membuatnya lebih menyukai menggunakan tangga.
Peat kemudian mendorong pintu keluar tangga darurat. Meneruskan perjalanannya kearah ruang kerjanya sekaligus laboratorium.
Dan lagi lagi Peat mendengus kesal. Sebuah kantung plastik tergantung digagang pintu ruang kerjanya lengkap dengan makanan dan minuman didalamnya. Bahkan makanan yang terbungkus plastik itu masih memiliki uap dibagian atasnya.
Tangan kurus itu kemudian mengambil kantung plastik tersebut. Membawanya keujung lorong yang berisi bak sampah. Secinta apapun ia dengan sebuah makanan, tapi jika makanan itu tak layak ia terima tetap saja ia tak bisa memakannya. Ia tak akan terlena untuk kedua kalinya dengan semua perhatian yang diberikan Fort.
Tubuh kecil itu kembali berputar, berjalan menuju ruang kerjanya dan kembali bergelut dengan alat alat laboratorium yang sudah menganggur semalaman.
-----
Tangan kekar yang dihiasi urat itu tampak terangkat diudara sebatas dada. Mata besarnya menatap arloji ditangannya dengan senyuman bodoh miliknya.
Suasana hatinya beribu kali baik hari ini. Jam makan siang yang biasanya harus diisi bersama sang calon tunangan kini senggang karena Pearwah melakukan perjalanan bisnis ke luar kota selama dua hari.
Hal ini tak akan Fort sia sia kan. Ia akan membawa Peat untuk makan siang bersama.
Ckittt
Tiba tiba saja sepatunya berhenti hingga menimbulkan gesekan nyaring antara tapak sepatu dan lantai. Tubuhnya tiba tiba saja membeku.
Apa sebenarnya yang ia lakukan sekarang?
Kenapa Fort merasa ini tidak benar?
Bukankah ia mengatakan dengan jelas pada Pearwah untuk menunggunya malam itu? Lalu kenapa Fort merasakan hatinya berbunga dan kupu kupu memenuhi perutnya hanya dengan pikiran akan menemui Peat?
Fort menggelengkan kepalanya cepat. Menyingkirkan perasaan yang terus terusan bersarang ditubuhnya, ia sudah bertekad memilih Pearwah sebagai pendampingnya dan bukan Peat.
Fort menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Mencoba menjernihkan pikirannya.
"Fort, kau akan mengajak Peat makan bersama hari ini untuk menjelaskan semua kesalahan dan kesalahpahaman antara dirimu dan Peat, bukan untuk tujuan lain. Kau harus berjanji Fort, akan merelakan Peat setelah itu dan pergi bersama calon tunanganmu" dengan suara pelan Fort berbicara pada dirinya sendiri. Mencoba mensugesti dirinya agar tak melakukan hal lebih jika bertemu dengan Peat.
Setelah dirasa hatinya kembali yakin, Fort melanjutkan perjalanannya menuju ruang kerja Peat, mengabaikan setiap sapaan yang diarahkan padanya. Tangan besarnya meraih gagang pintu laboratorium penelitian.
Kriettt
Pintu itu terbuka perlahan. Kaki Fort kembali melanjutkan langkahnya namun seketika berhenti, tak sampai tiga langkah dari pintu masuk, telinga besarnya mendengar suara erangan dan desahan halus. Ruang kerja Peat berada diujung ruangan dan kini pintu cokelat itu masih tertutup rapat
"Ngh.. Phi Peath.. Lebih kuathh, ouhhh" suara erangan itu semakin kuat saat Fort perlahan mendekati pintu cokelat itu.
"His-saphhh nhh.. Kuathh.."
Brakk
Suara gebrakan pintu yang sangat kuat menghentikan kegiatan dua manusia yang tengah beradu intim diatas kursi kerja milik Peat. Disana terlihat seorang pemuda dengan tubuh yang tak jauh berbeda dari Peat duduk diatas pangkuan Peat, tubuh itu menghadap Peat sepenuhnya dengan kemeja atas yang sudah terbuka. Kedua tangan Peat tampak menopang punggung itu dengan wajah yang sejajar dengan dada yang membusung dihadapannya.
Pria yang berada diatas Peat buru buru turun dari posisinya dan segera memasang kemejanya yang sudah jatuh setengah badan. Mengancingkannya buru buru dan segera berlalu dari ruangan yang mulai diisi oleh hawa membunuh.
Grep
Tangan Fort meraih lengan pria yang baru saja melewatinya. Mencengkramnya keras hingga membuat pria itu merintih kesakitan. Matanya menatap tajam kearah Peat, menghiraukan rintihan kesakitan pria disampingnya. Peat hanya mendengus, memilih merapikan bajunya dibanding berurusan dengan Fort.
"Khu-Khun. Lepaskan, kumohon.." mohon si pria yang lengannya masih dicengkram erat oleh Fort.
"Siapa namamu?" tanya Fort dingin, suaranya tampak bisa membunuh orang disekelilingnya.
"U-Us Khun" pria yang bernama Us itu sedikit mendesis ketika cengkraman Fort semakin erat. Lengan putihnya dijamin akan membengkak dan berubah menjadi warna ungu setelah ini.
"Kau bekerja disini?"
"Ya"
"Fort!" mata rusa yang berada dibalik kacamata itu memandang berang pada Fort. Hatinya berkata akan ada hal buruk yang terjadi pada pria yang baru saja bercumbu dengannya.
"Us. Kau dipecat"
Brukk
Fort mendorong tubuh kecil itu hingga tersungkur diatas lantai. Kakinya melangkah cepat kedalam ruangan Peat dan menutup pintu ruangan itu kuat. Menghalau Peat yang tampaknya berusaha pergi untuk menolong Us yang merintih karena dorongan Fort.
"Kau tidak harus berbuat sejauh ini Fort!" dengan nada tinggi Peat meneriaki Fort tepat didepan wajahnya. Bahunya terlihat naik turun menahan amarah. Fort benar benar kelewatan!
"Kau yang seharusnya tidak berbuat sejauh ini Peat!"
Brakk
"Akh!" bibir kemerahan itu merintis ketika merasakan tubuhnya menghantam dinding saat Fort mendorong tubuhnya. Tubuhnya mulai tenggelam tertutupi tubuh Fort yang besar karena jarak mereka yang sangat dekat.
"Peat, kau benar benar keterlaluan kali ini. Baik! Aku salah! Aku melakukan hal yang sangat buruk padamu dan itu salahku Peat." mata besar itu mengunci mata Peat agar terus melihatnya.
"Aku benar benar bajingan Peat. Aku memang manusia berengsek yang meniduri kekasih orang yang kucintai. Itu aku Peat, itu aku!" napas Peat tercekat, ia melihat mata besar Fort digenangi air mata dan siap untuk jatuh.
"Aku- hiks.. Minta maaf. Maafkan aku" tubuh Fort yang tegap kini merosot jatuh, badannya bergetar diiringi isakan memilukan. Tubuhnya tersimpuh didepan kaki Peat.
"Namun- namun itu semua kulakukan hanya karena aku terlalui mencintaimu Peat. Hiks.. Aku mencintaimu hingga akalku sakit. Aku mencintaimu hingga menempuh segala cara untuk mendapatkanmu. Aku mencintaimu Peat, sungguh"
"Cinta? Cih! Omong kosong apalagi yang akan kau katakan Fort? Omong kosong apa?!" Peat kembali berteriak, tangannya mengambil kerah Fort dan mengangkatnya hingga membuat wajah yang kini dipenuhi air mata itu mendongak menatapnya.
Mata rusa itu juga sama, menatap nyalang kearah Fort dengan kondisi yang memerah. Menggigit bibir dalamnya agar tak pecah untuk menangis.
"Aku mencintaimu Peat.. Aku mencintaimu- Tapi hari ini kau sudah keterlaluan!-"
"Keterlaluan?! Keterlaluan mana dibanding dirimu hah?! Lebih keterlaluan mana dengan dirimu yang merenggut segala kepercayaan dan cintaku?! Fort- hiks.. Kau sangat jahat asal kau tahu, kau tak mengerti Fort.. Kau tak mengerti perjuangan dan sakitku selama ini. Kau mengkhianatiku bajingan!"
"Lalu bagaimana denganku?! Bagaimana dengaku Peat? Katakan! Bagaimana denganku? Menghabiskan seluruh waktuku hanya terpaku pada bayanganmu. Menyiksa diriku setiap malam karena mengingatmu. Aku juga sakit Peat! Sakit! Hiks.. Dan kau sukses menghancurkannya hari ini"
Peat menggeleng, menolak semua pernyataan yang dilontarkan Fort. Ia tak akan tertipu untuk kesekian kalinya. Ia bukan lagi pria lugu dan bodoh seperti sepuluh tahun lalu.
"Tidak. Kau sama sekali tak pernah berduka Fort. Tak pernah! Kau bilang apa? Aku keterlaluan? Bercerminlah bajingan! Bercermin! Kau tak lebih baik dari binatang liar Fort. Menebar bau kesetiap orang bahkan sahabatmu sendiri! Kau itu bajingan brengsek yang hanya memikirkan selangkangan! Hiks.. Aku hancur Fort.. Hancur.. Kau tak tau seberapa inginnya aku mati saat itu. Hiks.. Kau tak tau Fort.." tubuh Peat ikut merosot. Kakinya terasa goyah dan tak bertulang. Tubuhnya terlalu berat untuk berdiri.
Kedua pria yang saling berteriak itu kini memenuhi ruangan dengan isakan tangis. Sipemilik tubuh besar akhirnya membawa pria kecilnya kedalam kungkungannya. Raungan kesedihan terasa begitu kentara. Luapan emosi dan kesedihan dari bilah bibir keduanya seakan didamaikan oleh tangis yang tak kunjung reda.
-----
Peat mulai merasakan dirinya tenang. Kepala yang tanpa sadar ia sandarkan dibahu Fort kini ia jauhkan, begitu juga dengan rengkuhan Fort disekeliling tubuhnya. Tubuhnya yang awal bersandar penuh pada Fort kini duduk tegak diposisinya.
Baik Peat maupun Fort menarik napas mereka dalam. Menghapus sisa sisa air mata yang menjejaki pipi dan bagian lainnya, meninggalkan tanda basah di pakaian mereka yang sebelumnya dihujani air mata entah milik siapa.
Grep
Tangan Fort menggapai kedua tangan Peat dan menggenggamnya. Menariknya sedikit kearahnya hingga bola tangan itu kini berada ditengah tubuh mereka yang hanya terhubung oleh lutut yang bersentuhan.
"Peat, maafkan aku. Aku baru menyadari jika kebodohanku membuat luka besar dihatimu. Maafkan aku" tak ada tangisan tak ada isakan, Fort hanya menatap memohon dengan mata merahnya kearah Peat.
"Hah... Kau tau Fort, aku bahkan tak mengenali diriku saat ini. Bahkan kurasa hidupku terlalu buruk dijalani oleh seorang manusia. Aku benar benar kehilangan arah Fort. Aku tak ingin percaya pada apapun lagi" Peat balas menatap Fort, sisa kepedihan masih tergurat jelas di mata rusa itu.
"Maafkan aku"
Peat tersenyum tipis, menarik tangannya dari kepalan tangan Fort dan beralih menyeka tetesan air mata yang kembali keluar dari mata besar itu.
"Memaafkan adalah hal lain dan aku memaafkanmu. Terimakasih atas pengakuanmu dan aku menghargainya. Tapi maafkan aku, aku belum bisa mempercayaimu sepenuhnya"
"Wajar. Aku melakukan kesalahan besar padamu dan itu wajar. Tapi kau harus tau Peat, jika aku tak pernah melupakanmu satu detik pun selama sepuluh tahun ini. Maafkan aku karena masih mencintaimu"
Peat mengangguk dan tersenyum tipis. Tangannya beralih menangkup wajah Fort dengan kedua tangannya. Membelai sisi pipi itu dengan kedua ibu jarinya. Peat paham, mata Fort sama sekali tak terlihat mendustainya. Mata Fort terlihat sangat lelah dan sendu, mata itu juga seperti memohon padanya.
Peat menjadi ingat akan perkataan Earth tempo lalu, apa kejadiannya sama dengan bocah itu? Kejadian yang mengiringinya selama sepuluh tahun hanyalah kesalah pahaman? Tapi tetap saja sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar, membayangkan dirinya yang terpuruk begitu dalam hanya karena salah paham membuatnya semakin menghancurkan rasa percaya yang sudah pecah diawal.
"Terimakasih Fort karena masih mencintaiku. Dan aku juga meminta maaf karena membuatmu menunggu terlalu lama dan kau juga tersiksa karena itu. Tapi seperti yang kukatakan, percayaku masih hancur dan belum berani untuk menyatu. Aku bersyukur akhirnya masalah yang terpendam terkuak meski bukan dengan cara yang baik. Tapi kuharap ini adalah terakhir kali-"
"Tidak Peat! Jangan ucapkan. Kumohon, ayo kita perbaiki semuanya dan kembalilah padaku. Aku berjan-"
"Fort-"
"Tunggu Peat! dengarkan aku. Aku berjanji tak akan membuatmu kecewa apalagi menangis. Aku berjanji akan-"
"Fort"
"Tidak Peat! Aku tak mau! Jangan tinggalkan aku, kumohon"
Fort menarik tangan Peat dari wajahnya dan menggenggamnya. Mengecup kepalan tangan itu berkali kali. Matanya terpejam erat, kepalanya menggeleng menolak perkataan yang akan ia dengar dari Peat.
"Fort kau sudah memiliki calon tunangan!"
Teriakan Peat seketika membuat tubuh Fort membeku. Tangannya yang menggenggam erat tangan Peat menjadi sedikit longgar sehingga Peat mampu meloloskan tangannya.
Peat mengusap wajahnya kasar. Menyisir rambutnya kebelakang dan menatap Fort yang masih terpaku.
"Dengan atau tanpa tunanganmu, hubungan kita tetap berakhir Fort. Terimakasih dan selamat tinggal" Peat segera berdiri dari posisinya dan mengambil barang miliknya yang terletak diatas meja.
Peat tak bisa melanjutkan pekerjaan dengan kondisi seperti ini. Apalagi Peat tak tau berapa lama Fort akan berdiam diri disini. Peat lebih memilih pergi dan membiarkan pria itu sendiri.
-----
Peat menatap wajahnya yang terpantul pada cermin, tetesan air memenuhi dagunya satu persatu. Kedua tangannya terpaku pada sisi wastafel toilet yang dilapisi keramik putih.
Hari ini lagi lagi terasa berat, ia mendengar semua pengakuan Fort dan ia sama sekali belum mempercayai pria itu. Bahkan hatinya tak lagi bergetar untuk setiap pengakuan yang dilontarkan Fort. Ia hanya berteriak marah meluapkan emosinya bertahun tahun.
Peat lebih dari tau jika keputusannya kembali ke Thailand benar benar akan menyiksa batin maupun fisiknya. Tapi ia tak menyangka semuanya akan terjadi dalam waktu secepat ini. Memang lebih cepat lebih baik. Namun pikiran, tubuh dan jiwanya sudah sangat letih untuk menerima tubian serangan. Meskipun tubuhnya tak sampai tumbang seperti pertama kali, tapi setelah mencurahkan berat hatinya tentu kini ia merasakan lelah yang teramat. Sepertinya ia harus segera pulang dan beristirahat.
Kaki yang dilapisi denim itu kini berjalan menuju pintu keluar, dengan tergesa Peat mencoba mencapai pintu lobi tanpa menghiraukan sapaan para pegawai.
"Peat?"
Degg
Tubuh Peat terpaku, langkah besar yang diambilnya kini terhenti dan perlahan berubah sejajar. Tubuhnya ia putar menuju sumber suara. Dan lagi ia terkejut mendapati seseorang yang juga menatapnya terkejut.
"Ibu?"
-----
Aroma harum dari beberapa hidangan panas mulai menusuk indra penciuman. Penerangan terang dan pemandangan asri dari akuarium buatan menambah kesan nyaman. Ruangan VIP restoran thailand yang didesain sekian rupa dengan tatakan klasik serta dudukan yang hanya dialasi bantal tanpa kursi. Membuat orang yang seharusnya menyewa tempat ini menjadi damai dan dapat menikmati santapan didepannya.
Namun kali ini orang yang berada didalam ruangan tersebut tampak gelisah. Ah, tidak. Hanya satu orang, sedangkan yang lainnya tampak sumringah dan asik mengambil nasi panas yang terhidang dalam mangkuk besi besar.
"Makanlah sayang" wanita paruh baya itu meletakan sepiring nasi panas kehadapan Peat, dengan wajah yang dipenuhi senyum tangan wanita itu kini menuangkan beberapa makanan diatas nasi panas itu.
"Bu"
"Ya?"
"Ibu tak ingin bertanya padaku?"
Mata rusa itu menatap cemas kearah wanita paruh baya didepannya. Ada rasa tak enak hati terselip dihatinya.
Wanita paruh baya itu pun berdiri, meninggalkan posisinya dan beranjak menuju sisi samping Peat. Mendudukan tubuhnya dibantal lain sambil menghadap kearah Peat.
"Melihatmu saja sudah lebih dari bahagia sayang. Ibu tak akan bertanya jika kau tak ingin bercerita. Yang paling penting putra ibu sudah kembali" satu tangan Nyonya Sangngey menggenggam tangan Peat dan tangan lainnya mengusap pipi Peat, lalu tangan itu bergerak menyampirkan anak rambutnya.
Grep
Tangan kurus pucat itu memeluk tubuh wanita didepannya. Mengeratkan dekapannya dengan menaruh kepala diatas pundak sempit itu. Matanya terpejam merasakan hangat pelukan seorang ibu yang benar benar nyaman. Peat merasa ia sangat membutuhkan pelukan saat ini, dan beruntung ibu Fort terlihat masih menyayanginya. Ah.. Peat jadi merindukan ibunya.
"Oh! Kau memiliki tato sayang?" ibu Fort sedikit terkesiap melihat tato kupu kupu biru yang berada ditengkuk Peat.
"Ya, apa itu cantik bu?" Peat melepaskan pelukannya dan menatap ibu Fort. Peat mendapati ibu Fort sedikit tercengang dengan tato yang ia miliki.
Apa sekarang image nya menjadi buruk?
Peat menjadi sedikit khawatir.
"Ya, lain kali bawa ibu juga. Ayo kita membuat tato kembar" Peat menatap ibu Fort tak percaya, wanita paruh baya itu kini malah tersenyum lebar dengan sebelah mata yang ia kedipkan.
"Ibu tak masalah dengan tatoku?"
"Ada apa dengan tatomu? Itu terlihat cantik sayang"
Tanpa disadari Peat tersenyum lega dan lebar. Ibu Fort sama sekali tak berubah, tetap mendukung dan menyokong dirinya bagaimanapun keadaannya. Ugh! Peat ingin menangis saja rasanya.
"Terimakasih bu" ibu Fort mengangguk, tangannya kembali bergerak menyisir rambut Peat dengan lembut.
"Kau sudah bertemu Fort sayang?"
Wajah yang sebelumnya dipenuhi senyum perlahan luntur, menyisakan senyum tipis dan anggukan kecil dari Peat, tak mungkin ia memperlihatkan wajah sedihnya didepan ibu Fort.
"Maafkan Fort ya sayang." wajah Peat yang sebelumnya sedikit menunduk karena tak bersemangat mengingat Fort, kini dengan cepat menatap mata ibu Fort.
"Ibu tau semuanya sayang, Fort menceritakan semuanya. Kau tau sayang, dia menghukum dirinya sendiri selama sepuluh tahun ini, dia sangat hancur dengan kepergianmu nak"
"Maafkan aku bu"
Ibu Fort terkekeh pelan. Menggelengkan kepalanya dan meraih kedua pundak Peat.
"Tidak sayang. Jangan meminta maaf. Ini bukan salahmu. Ibu paham keputusanmu nak. Pasti berat bukan?" Peat mengangguk, matanya kembali digenangi air mata.
"Ibu hanya ingin mengatakan jika Fort terlalu mencintaimu hingga memilih menghukum dirinya sendiri. Dia menjadi orang yang jauh berbeda dari sebelumnya. Dia menjadi seseorang yang workaholic dan penyendiri. Ibu- hanya kasihan padanya"
"Maaf bu... Hiks.. "
"Sssttt... Ssstt... Ssttt.. Kenapa menangis hm? Jangan menangis sayang dan jangan merasa bersalah oke? Ibu hanya memberitahukan ini agar kau tau Fort melakukannya bukan karena ingin mempermainkanmu sayang. Fort benar benar tulus dan ibu sendiri yang melihat itu" ibu Fort mengusap air mata yang jatuh di pipi Peat. Memberikan senyum menenangkan untuk putranya yang sudah lama menghilang.
Peat kembali berusaha menetralkan perasaannya, menahan isakan dan air mata yang kembali mendesak untuk keluar. Mengangguk ringan kearah ibu Fort seakan mengatakan ia tidak apa apa.
"Bagaimana denganmu sayang? Kau masih mencintainya?" hembusan napas berat keluar dari bibir Peat. Kepalanya kembali menunduk menatap lantai.
"Aku-" Peat terdiam, tak mampu melanjutkan perkataannya. Jujur, ia tak merasakan apapun saat ini. Hatinya terasa sangat hampa dan kosong. Peat merasa jika dirinya hanyalah seoonggok daging yang diberikan nyawa tanpa jiwa.
"Peat"
"Ya bu?" Peat kembali mendongak, menatap wanita paruh baya didepannya.
"Kau tau jika Fort sudah-"
"Eum, aku tau" Peat mengangguk ringan. Ia tau ibu Fort berniat menanyai Pearwah.
"Jujur, ibu tak mempermasalahkan jika kau dan Fort kembali bersama, bahkan ibu akan sangat senang menyambutmu untuk menjadi bagian keluarga kami. Tapi ibu tak ingin melihat Fort menderita lagi sayang, dan ibu juga tak ingin melihat Peat menderita seperti ini. Jika saja hubungan Fort dan Pearwah adalah satu satunya jalan agar kalian bahagia, ibu tak akan menghentikannya. Ibu terlalu menyayangi kalian berdua sayang. Ibu ingin putra ibu kembali seperti dulu"
Peat tersenyum, ia mengerti maksud ibu Fort. Wanita paruh baya ini pasti juga ikut lelah. Dan juga sepertinya perasaannya pun tak bisa diselamatkan. Hatinya terlanjur menjadi batu. Peat sangat setuju dengan ucapan ibu Fort. Pearwah memang satu satunya jalan untuk masalah ini.
"Eum, Peat mengerti bu. Dan juga Pearwah adalah gadis yang baik. Ia terlihat sangat cocok dengan Fort. Yasudah, ayo makan bu. Peat lapar, perutku sudah mulai demo sepertinya, kkk.. " ibu Fort tersenyum, tangannya kembali mengusap rambut Peat dengan sayang.
"Ya sayang, ayo kita makan"
TBC
Komentar
Posting Komentar