FORTPEAT - JINX - 18

Sebuah tangan terulur menadah langit, mengeluarkannya sebatas atap untuk merasakan seberapa rapat dan deras hujan yang turun. Mata rusa itu sedikit memajukan kepalanya untuk melihat keadaan langit yang sangat gelap, padahal sekarang masih pukul dua siang, harusnya matahari masih dengan gagahnya menyinari bagiannya.

Helaan napas keluar begitu saja, sedikit kecewa karena ia tak bisa pulang. Ia ingin segera kembali ke kamar kondominiumnya dan bertemu kekasihnya.

Seharusnya ia sudah pulang satu jam yang lalu, namun karena posisinya sebagai sekretaris departemen membuat dirinya bekerja lebih ekstra untuk merevisi hasil dari sidang laporan pertanggungjawaban kemarin. Alhasil ia hanya tinggal bersama rekan divisinya yang sekarang juga sudah pulang karena mereka membawa mobil. Peat menyesal menolak tawaran rekan divisinya, dan ia lebih menyesal lagi karena tadi pagi berangkat bersama Noeul tanpa mengingat cuaca yang tidak bersahabat akhir akhir ini.

Peat kembali melangkahkan kakinya kedalam lobi fakultas. Mendudukan dirinya dibangku merah panjang yang biasanya dipakai mahasiswa untuk menunggu dosen. Dengan kaki yang mengayun, Peat membuka ponselnya yang ternyata sudah dipenuhi pesan dari Fort. Peat tersenyum membaca seluruh pesan bernada khawatir yang dikirimkan Fort padanya.

Drrttt

Drrttt

Belum sempat ia memencet ikon kirim, tiba tiba ponsel Peat bergetar. Peat melihat nama Fort dilayarnya dan segera mengangkat panggilan itu.

"..."

"Di lobi fakultas, aku terjebak hujan"

"..."

"Tak usah, sebentar lagi reda"

"..."

"Eum, terserah kau saja"

"..."

"Kabari aku jika sudah sampai"

"..."

"Ya- baby"

Pip

Peat buru buru menutup telponnya, ia sangat jarang memanggil Fort dengan sebutan baby dan sekarang ia merasa malu. Peat mengulum senyumnya agar ia tak terlihat aneh jika ada orang yang lewat didepannya.

Dinginnya udara membuat Peat tak tahan untuk tak ke kamar mandi. Dengan langkah tergesa Peat segera beranjak dari posisinya menuju kamar mandi. Tak sampai sepuluh langkah Peat merasakan tangannya dicegat oleh seseorang. Membuatnya harus terhenti dan memutar badannya melihat orang yang berada belakangnya.

"Davikah?" tanya Peat tak percaya dengan dahi yang berkerut, ia melihat mantan kekasihnya yang pergi menghilang begitu saja dan baru kembali ia lihat hari ini setelah beberapa bulan.

"Phi, ada yang harus kukatakan padamu" ujar Davikah dengan nada sedih. Wajahnya terlihat sendu seperti ingin menangis.

Srettt

"Maaf, aku tak ada waktu berbicara denganmu." ucap Peat sambil melepaskan pegangan tangan Davikah. Raut wajah Peat terlihat dingin.

Baru saja ia berbalik untuk mengambil langkah pergi, kembali tangannya ditarik oleh Davikah. Kini disertai isak tangis dari bibirnya.

"Kumohon phi, hiks.."

Peat mendesah, ia benar benar tak ingin berbicara dengan gadis ini. Peat benar benar masih ingat bagaimana dirinya dicampakkan hanya lewat sambungan telepon. Bahkan gadis ini mengusir dirinya lewat teman yang ia kirim. Tapi Peat tak bisa mengabaikan seorang gadis yang menangis dihadapannya. Apalagi dia mengenal sosok itu dengan baik. Peat sungguh tak tega

"Hah.. Baiklah. Katakan apa maumu dan setelah itu selesai. Aku tak ingin bicara apa-apa lagi" ujar Peat, ia kembali melepaskan tangan Davikah dari tangannya namun tetap berdiri menghadap gadis itu untuk mendengarkan ucapannya.

Davikah mengusap air matanya kasar. Menetralisir isakannya agar tak lagi lolos. Ia kemudian menatap Peat, mata sembab itu seperti menyimpan kepedihan didalamnya.

"Maafkan-"

"Stop! Jika ingin meminta maaf sebaiknya kita sudahi saja. Aku sama sekali tak ingin mendengar permintaan maaf darimu" tegas Peat, wajahnya benar benar terlihat tak bersahabat.

"Kalau begitu- kembalikan phi Fort padaku phi"

"Hah?"

Apa ini? Kenapa anak ini meminta Fort padanya? Peat sungguh tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Davikah meminta Fort? Tidak tidak, bukan meminta. Tapi kembalikan? Apa maksudnya?

"Phi Fort adalah kekasihku phi. Aku tak masalah jika harus menjadi yang kedua ketiga atau bahkan keempat. Tapi hampir tiga bulan belakangan ini dia tak lagi menghubungiku dan itu semua itu karena kau phi" mata cantik itu menatap Peat penuh benci, tersirat rasa sakit hati dan kesedihan yang mendalam disana.

Buk

"Kumohon tinggalkan dia phi. Kembalikan dia padaku. Aku terlalu mencintainya phi, kumohon.. Hiks" Davikah berlutut didepan Peat, tangannya meremas erat skirt yang ia gunakan untuk melampiaskan rasa sesal didadanya.

Peat hanya berdiri mematung, telinganya seakan tuli dengan semua yang diucapkan Davikah. Peat merasa semua yang diucapkan Davikah hanya tipu daya.

Apa ini salah satu jalan jinx untuk menjauhkannya dari Fort?

Tiga bulan katanya? Tak mungkin Fort menjalin kasih dengan orang yang saat itu masih menjadi miliknya. Peat sudah mengenal Fort lama dan Fort tidak cukup bajingan untuk mencurangi dirinya. Pun Fort selalu memberitahukan pada dirinya dengan siapa saja ia berpacaran, dan Fort sama sekali tidak pernah menyebutkan Davikah. Bahkan beberapa minggu lalu saat kami berkompetisi menentukan mantan kekasih siapa yang paling banyak, pun nama Davikah tak pernah terucap dari Fort.

Sepertinya ini hanya akal akalan dari Davikah saja. Ia hanya terlalu terobsesi pada Fort.

Dengan mata yang terpejam dan napas yang dihirup dalam, Peat mencoba mengembalikan dirinya. Matanya kemudian terbuka menatap gadis dengan tubuh bergetar didepan kakinya.

"Aku tak akan percaya dengan omong kosongmu. Pergilah sekarang karena aku tak ingin berbicara denganmu lagi" ucap Peat dengan nada dingin, ia ingin beranjak dari posisinya namun lagi lagi ia ditahan. Kakinya dipegangi oleh tangan kecil itu.

"Phi.. Hiks.. Aku tidak berbohong, aku benar brnar mencintainya dan kami adalah sepasang kekasih, kembalikan dia padaku phi, hiks.. Kumohon.." rintih Davikah, Peat segera menjauhkan kakinya saat melihat kepala Davikah mendekat kearah sepatunya terlihat seperti ingin menciumnya.

Peat benar benar tak menyangka jika Davikah akan berbuat sejauh ini demi Fort. Apa sebenarnya yang dilakukan kekasihnya itu pada gadis ini?

"Sudahlah. Tak ada yang harus dikembalikan disini. Aku pergi" Peat akhirnya berhasil pergi dari sana, meninggalkan Davikah yang meraung kesakitan.

-----

Tanpa sadar mata rusa itu terus menatap pengemudi disampingnya. Pikirannya terus melayang pada kejadian tadi dimana Davikah memohon padanya. Meskipun ia sudah kukuh untuk tidak mempercayai gadis itu, namum ada terselip ragu dihatinya.

Ia memang sudah lama mengenal Fort, bahkan separuh hidupnya ini ia habiskan melihat wajah tampan itu dan hidup bersama. Namun sedekat apapun dirimu dengan seseorang pasti akan selalu ada celah untuk pribadi itu sendiri. Peat baru sadar jika ia belum mengenal Fort secara keseluruhan dan memang tak akan pernah. Bukan posisinya untuk mengetahui semua pikiran Fort. Privacy is privacy.

Tapi ketidaktahuan ini juga yang membuat dirinya gundah. Bisa saja sebenarnya Fort menjalin kasih dengan Davikah dan ia takut untuk memberitahukannya pada Peat. Namun jika dihitung 3 bulan tak lagi menjalin komunikasi, artinya sebelum itu mereka sudah memiliki hubungan baik. Dan itu tepat setelah Peat dan Davikah putus.

Peat tak ingin berburuk sangka, tapi dengan semua rekam jejak percintaan Fort membuat semuanya memungkinkan.

Desahan berat terlepas begitu saja dari bibir Peat dengan kepala yang tertunduk menghadap pahanya yang terbalut jeans. Mengundang sosok lain menoleh untuk mengecek keadaan kekasihnya yang tampak murung kembali.

Grep

Tangan kiri itu bergegas meraih tangan Peat yang terkulai diatas pahanya. Menautkan jari mereka dan menggenggamnya erat. Menyalurkan kekuatan pada si pemilik tubuh agar yakin jika Fort masih disini, bersamanya.

Fort mengerti permasalahan yang dihadapi Peat. Jinx sialan yang selalu diucapkannya menjadi poin penting perubahan Peat. Kekasihnya sering kali berubah murung saat dirinya lengah. Dan berpura pura kembali ceria saat dengan dirinya. Bahkan sikapnya terlihat sangat hati hati. Tak ada lagi Peat yang sassy dan manja pada dirinya. Peat selalu menanyakan apa keinginannya, meskipun itu cukup membuatnya senang tapi ia tak mau Peat berubah sejauh ini. Fort sangat menyukai Peat bagaimanapun sikapnya.

Fort merasakan Peat kini menoleh menatapnya, membuatnya juga ikut menoleh sesaat dengan senyum manis yang ia berikan. Fort mengangkat tangan itu dan mengecup punggung tangan tersebut, seolah memyampaikan jika ia disini dan tak kemana mana.

Rasanya Fort ingin cepat cepat sampai pada tanggal perayaan dua bulan mereka. Ia tak sanggup melihat kekasihnya murung seperti ini, bahkan sekedar kata kata manis yang selalu ia ucapkan tak memiliki pengaruh signifikan pada sikap Peat. Hanya satu hal yang bisa menyelesaikannya, melewati tanggal itu dan kembali seperti semula.

-----

Awal semester pun dimulai. Rombongan mahasiswa mulai berjalan bersisian menuju kelas dihari pertama. Banyak tawa yang mengikuti langkah mereka. Layaknya kawan yang tak bertemu dalam waktu lama.

Sejalan dengan itu dua pasang manusia turut hadir ditengah kerumunan. Dengan tangan yang saling bertaut keduanya tampak bahagia menyambut hari pertama semester baru. Dengan langkah ringan tiga dari empat orang itu masuk kedalam kelas, setelah drama pagi yang mengharuskan sepasang dari mereka berpisah karena berbeda tingkat.

Dengan langkah cepat Noeul mencari kursi terbaik untuk menyambut pagi ini. Kursi paling belakang dan pojok adalah kursi terbaik sepanjang masa. Tangannya menaruh tas selempang miliknya diatas meja dan segera duduk disana. Dengan kikikan geli ia menepuk kursi disampingnya sambil menatap Peat yang menggandeng Fort.

Peat ikut terkekeh, ia melepaskan tangan Fort dan mendahuluinya untuk duduk disebelah Noeul. Fort menggelengkan kepalanya pelan karena melihat tingkah bocah dari kedua orang didepannya ini.

Fort mengikuti Peat dan duduk disebelahnya. Kembali mengambil tangan putih itu untuk digenggam dan dimainkan. Menatap tangan tersebut dalam genggamannya saja sudah membuat hatinya senang, membuat senyum khasnya terukir indah dibibirnya. Ia akan membiarkan Peat bercengkrama dengan Noeul, asalkan Peat berada disampingnya itu sudah lebih dari cukup baginya.

Senyum Fort semakin lebar saat Peat menautkan jemari mereka, membawanya keatas meja miliknya dan menepuk ringan punggung tangan Fort sambil terus berbicara dengan Noeul. Mata besar itu menatap Peat penuh cinta. Kilatan mendamba tercetak jelas bagi siapapun yang melihatnya.

Cup

"Fort! Kita dikelas!" keluh Peat dengan memegangi pipinya yang dikecup cepat oleh Fort. Mata rusanya membesar karena aksi mendadak Fort yang lebih cepat dari kecepatan cahaya.

Fort hanya membalasnya dengan kekehan ringan dan mengendikan bahunya tak peduli. Yang ia pedulikan hanya hatinya yang selalu hangat bersama Peat. Dirinya sungguh menggilai pria putih didepannya ini.

-----

"Ikutlah denganku, Baby. Aku tak akan semangat jika tak ada kau menemaniku." rengek Fort dengan bibir yang mencebik, berusaha agar Peat mengikuti keinginannya untuk pergi ke arena basket. Fort rasa energinya akan habis dalam lima menit jika Peat tak ada disampingnya.

"Pergilah Fort. Aku tak bisa, aku sudah berjanji dengan Noeul sore ini."

"Tak bisakah itu ditunda sampai nanti malam, aku tak ingin berpisah denganmu" dengan lemas Fort menyimpan dagunya diatas pundak Peat. Menumpukan bobot tubuhnya yang tak bisa dibilang ringan itu pada tubuh kecil didepannya. Untung saja Peat sigap memasang kuda kuda agar mereka berdua tak terjatuh kebelakang.

Peat melingkari tubuh Fort dengan lengannya, menggoyangkannya sedikit kekanan dan kekiri untuk menaikkan suasana menjadi lebih baik.

"Jangan begitu. Jika kita sama sama menyelesaikan aktivitas kita sore ini, bukankah kita bisa lebih cepat bertemu nanti malam hm? Bahkan kita bisa tidur lebih lama"

"Berjanjilah nanti malam kau akan membebaskanku memelukmu sesuka hatiku, baby"

"Baiklah. Kau boleh tak melepaskanku hingga pagi besok, aku berjanji"

"Baiklah. Kalau begitu aku pergi. Jangan pulang terlalu malam. Aku menunggumu"

Cup

Setelah mengecup bibir Peat singkat, Fort berjalan mundur sambil terus melambaikan tangannya kearah Peat, membuat Peat yang ingin protes karena dicium didepan umum menjadi pasrah dan ikut membalas lambaian tangan kekasihnya.

Senyum keduanya terus terkembang hingga tubuh Fort menghilang dibalik gedung. Sesaat tak melihat tubuh kekasihnya Peat kembali murung. Pikirannya menjadi sangat kacau akhir akhir ini.

Bukannya dia tak ingin menemani Fort. Mengingat begitu banyaknya mahasiswa yang akan melihat tim basket berlatih membuat Peat tak ingin terlibat disana. Ia tak ingin melihat kekasihnya yang disentuh oleh banyak orang disana, Peat sama sekali tak menyukainya. Apalagi sekarang ia terus memikirkan ucapan Davikah dihari itu. Hatinya belum tenang. Ia takut mendapatkan lebih banyak informasi jika berada dikerumunan manusia. Peat sekarang lebih memilih mempercayai Fort meskipun hatinya tak nyaman.

Bersyukur Boss hari ini tidak ikut latihan basket, jadi ia bisa menarik Noeul untuk pergi bersamanya ke mall pusat kota. Peat tak tau akan melakukan apa jika Noeul tak mengiyakan ajakannya. Ia tak mau berkutat dengan pemikirannya sendiri. Ia harus mengalihkan perhatiannya agar tak semakin larut dalam pikiran buruknya.

Tin

Tin

Suara klakson nyaring memenuhi gendang telinga Peat, membuat si pemilik tubuh berputar menghadap mobil dengan kaca yang sudah turun separuh. Mata rusa itu menangkap sosok kecil didalamnya yang tengah melambaikan tangan kearahnya.

"Let's go!"

-----

Setelah menelusuri mall pusat kota dan menghabiskan beberapa cemilan menarik, dua sekawan itu mulai terlihat lelah. Dengan banyaknya tentengan yang berisikan bungkusan makanan ditangan mereka, akhirnya mereka memilih memasuki mobil dan berencana pulang.

Saat dalam perjalanan tiba tiba Peat teringat dengan buku Pharmacopeia miliknya yang masih tertinggal diruang lembaga. Padahal hari ini baru saja salah seorang dosen memberikan tugas mengenai suatu zat aktif yang harus dikarakteristik beserta pengujiannya.

"Noeul, bisakah kita kembali ke fakultas sebentar? Buku Pharmacopeia milikku masih tertinggal di ruang lembaga. Aku meninggalkannya disana sebelum libur" tanya Peat pada Noeul yang masih asik dengan jalan didepannya.

"Eum, geureu" Noeul pun mengganti arah tujuan di GPS miliknya menjadi fakultas mereka

"Maafkan aku Noeul, terimakasih"

"Gwenchana"

-----

Dengan kaki yang setengah berlari, Peat menapaki tangga. Dengan cepat tubuhnya mengetahui arah jalan yang harus ia ambil. Dalam sekejap tangannya berhasil meraih gagang pintu ruang lembaga dan mendorongnya agar bisa masuk kedalam ruangan tersebut.

Peat segera berjalan menuju lemari tinggi yang terletak dipojok ruangan. Membuka pintunya dan kemudian meneliti setiap buku yang tersusun disana. Matanya berbinar ketika mendapati buku yang ia cari berada diantara beberapa buku lain. Ia kemudian meraih buku itu dengan cepat dan kembali menutup lemari cokelat itu.

Peat kemudian bergegas menuju pintu keluar. Namun kakinya seperti terhimpit batu besar ketika mendengar namanya disebutkan dari arah luar pintu. Ia tak bisa bergerak. Tubuhnya mematung dengan tangan yang masih memegangi gagang tersebut erat.

"Aku tak menyangka phi Fort akan mendapatkan phi Peat"

"Kenapa? Mereka pasangan yang serasi menurutku"

"Cih, kau harus tau phi Fort, meung. Dia itu playboy"

"Lalu kenapa? Kulihat dia tak lagi memiliki kekasih lain selain phi Peat. Bukankah itu seperti tokoh novel? Si playboy berubah setelah menemukan cinta sejatinya? Mereka sangat menggemaskan menurutku!"

Peat mengulum senyum bahagia miliknya mendengar semua pujian yang dilontarkan dipercakapan itu. Baru saja ia berniat menarik gagang pintu itu tapi lagi lagi terhenti ketika mendengar kelanjutan percakapan itu.

"Aku mendengar kabar jika phi Fort selalu mengajak para mantan kekasih phi Peat keatas ranjang. Dan sekarang ia berhasil mengajak bintang utamanya. Dia benar benar gila"

"Apa maksudmu?"

"Kau sungguh tak tahu? Wah! Kau itu mahasiswa farmasi Jane! Berita ini diketahui oleh satu kampus. Bahkan kabarnya gadis gadis yang dipacari oleh phi Peat itu menerima phi Peat hanya karena tawaran seks bersama phi Fort setelahnya."

"Apa kau serius? Hati hati bicara Aye, jika orang lain mendengar ini dan sampai ke telinga phi Peat atau phi Fort akan sangat berbahaya. Apalagi jika ternyata itu tidak benar"

"Aku juga tak tahu kebenarannya. Aku hanya mendengarnya saja. Tapi aku merasa kasihan pada phi Peat jika itu benar"

"Kau benar juga, orang sebaik dia ternyata hanya dipermainkan. Kuharap ia menemukan pasangan yang terbaik untuk dirinya"

"Oh! Terbuka, ayo masuk Jane"

Tangan yang masih memegang gagang pintu itu tampak memutih, Peat menggenggam erat gagang tersebut hingga darah tak lagi mengalir disana. Tetes demi tetes air matanya jatuh membasahi lantai dibawah kakinya. Tubuhnya bergetar hebat, ia menggigit bibir bawahnya sekuat mungkin untuk meredam isakan dari bibirnya.

Apa yang terjadi pada hidupnya sebenarnya? Apa hidupnya tampak seperti lelucon untuk semua orang? Kenapa ia mendengar kabar burung seperti ini? Kenapa semua orang membicarakan hal buruk tentangnya dan Fort?

Ini terlalu kejam untuk ia terima. Fort tak akan mungkin melakukan hal sekeji ini padanya. Peat sangat yakin Fort mencintainya. Mata itu selalu memberitahunya seperti itu. Perlakuan yang ia terima memberitahunya seperti itu. Itu semua hanya kabar burung yang tak berdasar.

Kenapa semua orang begitu menolak hubungannya dengan Fort? Apa sesusah ini untuk menjalin hubungan? Apa sesusah ini melawan jalan jinx keparat itu?

Bahkan pikiran buruknya belum kembali baik, tapi ia malah mendapat beban baru dikepalanya. Terlalu berat jalan yang ia perjuangkan.

Peat takut-

-ia meyerah

-----

"Kenapa lama?" tanya Noeul saat melihat Peat mulai membuka pintu mobilnya. Peat mendudukan tubuhnha tanpa menjawab pertanyaan Noeul.

"Kau tak apa Peat? Kau tak terlihat baik" sambung Noeul, ia melihat wajah Peat sedikit pucat. Padahal Noeul yakin setengah jam yang lalu Peat masih baik dan tertawa padanya.

"Noeul, bisakah kita pulang sekarang? Sepertinya aku tidak enak badan" balas Peat tanpa mengangkat kepalanya menatap Noeul.

Noeul mengangguk ragu dan mulai menyalakan mesinnya. Sesekali ia melirik melalui kaca spion tengah untuk melihat keadaan sahabatnya.

"Kau bisa bercerita padaku jika ada kesulitan Peat." ujar Noeul setelah menjalankan mobilnya beberapa menit. Ia kembali melirik Peat dari kaca spion tengah dan mendapati temannya itu menghela napas berat dan mengusap matanya.

Peat menangis?

"Aku siap mendengarkanmu, Peat" Peat terlihat tak baik baik saja bukan karena sakit dan Noeul bisa merasakannya.

Namun Peat masih diam. Tak berniat membalas bujukan Noeul. Ia tetap menatap kebawah hingga mereka sampai didepan kondominium milik Peat.

Elusan dibahu kanannya membuat Peat menatap Noeul yang berada disampingnya. Mata itu tampak merah dengan ujung hidung yang juga memerah, bibir itu bergetar berusaha menahan tangisannya.

"Kau kenapa hm? Apa ada yang mengganggumu?" tanya Noeul pelan

"Noeul..." gumam Peat dengan lelehan air matanya. Rasanya ia tak sanggup menahan beban sendirian. Melihat Noeul menatapnya khawatir membuat Peat ingin menumpahkan pikirannya.

"Aku mendengar jika semua mantan kekasihku berakhir diranjang dengan Fort, aku mendengar jika para gadis itu menerimaku karena tau mereka akan dapat melakukan seks bersama Fort setelahnya. Itu tidak mungkin bukan? Fort bukan orang yang seperti itu bukan?" tanpa terbata Peat menumpahkan beban pikiran dan perasaannya pada Noeul. Wajah itu terus dialiri air mata, Peat terlihat sangat terluka dari sisi manapun juga.

Grep

"Katakan padaku Noeul, itu semua tak benar bukan?" tangan Peat segera mengambil tangan Noeul untuk ia genggam. Mencoba mencari suara yang sependapat dengannya.

"Noeul, Noeul" panggil Peat berulang namun tetap tak ada jawaban. Mata yang berair itu tiba tiba mengering, membulat besar tak percaya dengan apa yanh dilihatnya. Dengan jelas ia melihat Noeul menundukkan kepalanya. Noeul terlihat... menyesal?

"Noeul, jangan bilang kalau kau- Kau tau?!" seru Peat tak percaya

Noeul mengangguk pelan, tak berani menatap Peat. Ia mengutuki dirinya yang ikut serta untuk menutupi hal ini dari Peat. Ia mengutuki dirinya yang percaya pada rencana Fort. Seharusnya ia memberitahu Peat saat itu juga, disaat dirinya pertama kali mengetahui hal ini. Kini apa? Akhirnya skenario terburuk terjadi. Peat mengetahui kebenarannya dari orang lain.

"Jadi benar jika penyebabku putus selama ini adalah Fort?" dengan nada datar Peat bertanya pada orang disampingnya. Noeul mengangguk, ia tak ingin mengelak lagi.

"Jadi benar jika jinx ku ternyata ilusi yang diciptakannya?"

"Jadi benar jika Fort hanya menginginkan membawaku keranjangnya?"

"Jadi benar itu semua Noeul?" teriak Peat berang.

Noeul tak menjawab, ia terlalu takut untuk menanggapi pertanyaan Peat karena ia pun tak mengetahui tujuan dari Fort melakukan hal ini. Saat itu Noeul hanya ingin tau salah apa yang dibuat oleh Fort dan meminta Fort menyelesaikan permasalahan itu secepatnya. Bodohnya ia yang tak bertanya lebih detail saat itu.

"Dan kenapa kau ikut membodohiku Noeul?! Kenapa?!" teriak Peat frustasi, wajahnya memerah dengan jejak air mata yang masih tampak jelas. Mata basahnya menatap Noeul dengan tatapan terluka.

Peat merasa ditipu dan dibodohi oleh orang terdekatnya. Bahkan ketika rasa sayang yang ia berikan pada Noeul begitu besar, tampaknya tak berarti apa apa untuknya.

Lagi ia dikecewakan untuk kesekiam kalinya oleh orang yang begitu ia percayai. Tidak Fort dan tidak juga Noeul. Semuanya sama saja.

Sepertinya dirinya adalah sasaran empuk. Tampaknya wujudnya memang pantas sebagai samsak bullian. Cih, begitu rendahkah ia dimata orang lain? Begitu hinakah ia dimata orang lain? Sebegitu tidak layakkah dirinya untuk mendapatkan perhatian? Sebegitu tidak layakkah dirinya untuk disayangi? Sebegitu tidak layakkah dirinya untuk dicintai? Ternyata dirinya memang serendah itu, hidupnya semiris itu.

Peat hanya mampu tersenyum getir, berulang kali tangannya menyeka air matanya yang jatuh begitu saja dipipinya.

"Aku mengerti Noeul, aku mengerti. Terimakasih sudah mau menjadi temanku, maafkan aku" Peat meraih gagang pintu mobil dan membukanya.

Grep

"Peat!" Noeul segera meraih tangan Peat untuk kembali duduk dikursi penumpang. Pupil mata besar itu tampak bergetar ketakutan. Sama sekali tak terlintas dikepala Noeul jika Peat akan berkata seperti itu padanya. Kenapa semuanya malah menjadi seperti ini?

"Peat, i-ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku sama sekali tak menyesal berteman denganmu Peat. Percayalah padaku Peat. Peat, kumohon jangan seperti ini"

Peat menarik tangannya dari genggaman Noeul. Matanya menatap lemah kearah Noeul dengan menampilkan senyum tipis.

"Jangan memaksa. Aku tak apa. Terimakasih Noeul. Pulanglah. Ini sudah larut. Aku pergi"

Blam

Pintu itu tertutup rapat, bersamaan dengan kaki yang menjauh menuju gedung yang berada dihadapannya

-----

Dering ponsel terus saja memenuhi ruangan dengan nuansa abu abu itu. Tak tahu jika sang empu sedang berada dikamar mandi untuk membersihkan tubuhnya akibat latihan basket yang ia ikuti.

Drap

Drap

Langkah santai dengan tangan yang berisikan handuk kecil tampak mengusak rambutnya yang basah. Tubuh kokohnya yang dibalut dengan handuk sebatas pinggang tampak berkilau, menguarkan pujaan bagi siapa saja yang menatapnya.

Mata besar itu kemudian melirik ponselnya yang berada dalam keadaan menyala dan bergetar. Matanya menyipit melihat nama yang tertera dilayar.

Noeul? Kenapa dia menelepon?

Tangan besar itu pun mengambil ponselnya dan menggeser ikon hijau yang berada disana

"Halo-"

Srettt

Sebuah tangan putih kurus dengan lihai mengambil ponsel yang sudah mencapai telinga Fort dari belakang. Menaruh kembali ponsel tersebut keatas meja nakas dengan perlahan dan kemudian memeluk tubuh itu dari belakang.

"Kau sudah sampai baby?" ujar Fort sambil mengelus punggung tangan yang berada diatas perutnya.

"Eum"

Cup

"Aku menginginkanmu Fort" ucap Peat dengan nada manja setelah mengecup bahu belakang milik Fort.

Dengan sigap Fort memutar tubuhnya dan segera mengambil pinggang kecil itu untuk dipeluk hingga tubuh mereka kini bersentuhan. Peat menaruh lengannya diatas dada Fort yang masih sedikit basah. Mata rusanya menatap Fort penuh nafsu.

"Let's go baby, aku juga tak tahan"

Fort segera membawa tubuh kecil itu kedalam kamar tidurnya dengan melahap rakus bibir merah muda menggoda milik Peat. Meninggalkan seseorang yang berada disambungan telepon yang masih berteriak memanggil nama Fort.

TBC

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FORTPEAT - SURROGATE 2🔞

FORTPEAT - JINX - 16 🔞

FORTPEAT - RARE SPECIES - 5 🔞