VEGASPETE - AGREEMENT - 1
Terpaan angin pagi mulai menyapu wajah pria yang berdiri disamping trotoar jalan. Tangannya mulai bergesekan seiring rasa dingin yang terus menerus mencoba masuk kedalam tubuh, seakan ingin menyentuh tulangnya. Cuaca dingin dengan awan yang terlihat tak bersahabat, mulai menampakan tetesan air yang perlahan lahan membasahi jalan besar dihadapannya.
"ehmm.." gumaman disertai senyuman manis terpatri dibibir sang empu. Hatinya sedikit bergetar damai kala merasakan aroma hujan yang bercampur debu aspal yang menguar keatas. Tidak banyak memang yang menyukai aroma ini. Tapi entahlah, aroma ini mampu menenangkan pikirannya yang tengah kacau.
Sangat kacau
Ingatan kejadian dimalam satu minggu yang lalu kembali menghampirinya. Dimana kekasihnya kembali memohon pengampunannya yang entah sudah keberapa kali. Kesalahan yang sama terus terulang.
Apakah dirinya memang tidak cukup?
Apakah rasa sayangnya tidak cukup?
Apakah perlakuannya selama ini tidak cukup?
Ah.. Bukan, bukan dirinya yang tidak cukup. Hanya saja kebetulan dia bertemu pria yang sangat brengsek dan kebetulan jatuh cinta. Sehingga berapa kalipun kesalahan diulang, berapa kalipun juga dia akan memaafkan.
Tapi entahlah untuk kali ini. Hatinya terlalu sakit. Sangat sakit hingga tulang tulangnya terasa sangat ngilu.
Hah.. bahkan kekasihnya tidak menusuknya dengan pisau, tapi kenapa seluruh badan hingga persendiannya menjadi sakit luar biasa?
Satu katapun tak dapat dilontarkannya malam itu. Badannya hanya mematung. Bahkan untuk memukul dan menampar saja dia tak mampu. Ia hanya mampu menatap usaha kekasihnya yang terus menerus bergumam maaf. Bahkan air mata kekasihnya juga berlomba lomba membasahi tangannya yang digenggam oleh kekasihnya.
Tak terasa bendungan air mulai terbentuk dimatanya. Bersamaan dengan hujan yang mulai deras hampir membasahi hoodie abu yang ia kenakan. Sandal hitamnya mulai mengajak sang empu kembali ke apartemen sekedar meneduhkan badan. Sepertinya memang hanya sial yang selalu berpihak padanya.
Bahkan hanya sekedar untuk mencari makanpun dia tak diizinkan.
-----
"Hai Pete" aku merasakan tangan menepuk bahu kiriku. Pelan, seperti ada rasa takut dan rasa bersalah dari tepukan itu. Ku alihkan pandanganku menuju orang yang masih berdiri dibelakangku. Kepalanya yang biasa selalu congkak menatap kedepan sekarang hanya lemah menunduk.
"Ya, kenapa?" Tidak, sedikit pun aku tidak ingin bersikap dingin pada pria dihadapanku ini. Sebut saja karena sudah terlalu lama kenal.
Delapan tahun bukankah cukup lama?
"Aku tau kau mungkin tak ingin melihatku bahkan mungkin kau tak ingin mengingatku lagi. Aku tau semua ini salahku. Maafkan aku telah membuatmu bertemu pria brengsek sepertiku" mata tajamnya yang selalu menatapku teduh mulai kulihat. Raut memelas yang sarat akan rasa bersalah sangat jelas disana. Tapi apa benar dia merasa bersalah? Aku tak yakin.
"..."
"Maafkan aku Pete" sudah seminggu pria ini terus datang dan menunggu di depan apartemenku setiap pagi. Dengan wajah yang sama, kondisi yang sama dan kalimat yang hampir sama. Entahlah, dia hanya disini pagi dan aku tak tahu dia kemana setelah itu. Mungkin bekerja atau malah asik bercumbu dengan pujaannya yang lain.
Bibirnya terus mengatakan maaf tapi entah kenapa tidak satu katapun yang mampu melunakan hatiku. Tidak, aku tidak menuduhnya tidak tulus. Sepertinya hatiku saja yang sudah membatu.
"Apa sudah selesai Vegas? Aku pamit kembali kedalam" kakiku berputar membelakanginya dan berjalan 3 langkah sampai didepan pintu apartmenku. Tanganku mulai menggeser penutup passcode apartemen dan memasukkan nomor yang dibutuhkan.
"Kau sudah menukar passwordnya ternyata" lirih Vegas yang mencapai telingaku. Aku hanya bisa tersenyum miris mendengar ucapannya. Sudah terhitung dua hari sejak aku menggunakan password baru ini. Aku sudah memutuskan untuk tidak lagi berbaikan dengan Vegas. Dan menurutku harus dimulai dengan hal hal kecil seperti password misalnya. Aku tak ingin tanggal hari pertama kami pacaran menjadi perusak usahaku.
Tanganku kembali mendorong penutup passcode kebawah dan mendorong pintu. Kakiku hendak mulai melangkah kedalam namun kuurungkan karena mendengar pekataannya yang mengejutkan.
"Hari ini ayahmu menelfon ibuku"
"..."
"Ayah mengatakan kalian akan datang kerumahku malam ini untuk membicarakan pernikahan kita"
"Pernikahan? Jangan main main Vegas! Bahkan dalam hubungan dengan ikatan yang lemah seperti ini saja kau tidak mampu berkomitmen! Kau ingin aku menderit, ha?! Kau ingin aku menderita Vegas?! " aku tak mampu meredam emosiku lagi. Setelah sekian lama aku mencoba tak membalas perkataannya namun kali ini pertahanku runtuh. Tanganku yang masih memegang gagang pintu terlihat mengepal hingga buku bukunya terlihat memutih. Mataku mulai memerah dan menatap benci kearah Vegas. Dadaku terlihat naik turun dan napasku mulai memburu.
"Tidak, aku tidak ingin kau menderita sayang. Percayalah padaku kali ini. Aku tak akan mengecewakanmu. Aku bersungguh sungguh ingin bahagia bersamamu Pete. Kumohon percayalah padaku." tangannya mulai meraih tanganku dengan tujuan ingin melunakan genggamanku, takut takut jika gagang pintu tersebut dapat melukai tanganku.
"Huh, percaya? Bahkan mimpi pun tak akan berani berkhayal kau akan berubah Vegas"
Tangannya yang lain mulai merogoh sakunya dan mengeluarkan kotak beludru berwarna ungu dari sana. Kotak tersebut mulai terbuka dan memperlihatkan cincin berwarna hitam mengkilap yang dihiasi tiga mutiara kecil yang membentuk segitiga.
"Aku berniat melamarmu Pete sebelum malam ini. Aku tak ingin pernikahan kita terkesan terpaksa setelah kejadian kemarin. Aku ingin melamarmu, aku ingin setiap kali bangun atau tidur hanya memandangimu. Aku ingin setiap hari memakan masakanmu. Aku ingin setiap hari membawa bekal yang sudah kau siapkan untukku. Aku ingin kau selalu menyiapkan pakaianku sebelum bekerja. Aku ingin kau selalu memasangkan dasiku sebelum bekerja. Aku ingin kau selalu menyambutku pulang. Aku ingin selalu memelukmu. Aku ingin kau selalu berada disisiku Pete...
...Peat, maukah kau menjadi istriku? " Vegas mulai berlutut dengan satu kaki dihadapanku. Memegang kotak beludru tersebut dengan mata penuh harap.
Sangat lucu.
Apakah dia berharap aku mengiyakan lamarannya? Dimana letak otak dan hatinya ketika berbicara seperti ini padaku. Apa dia menganggapku bodoh? Aku tak percaya dengan lancarnya ia mengatakan hal ini padaku.
"Hei tuan muda, jangan gila. Apa kau tak malu ha?! Memintaku untuk menjadi istrimu setelah semua yang kau lakukan? Wahh.. Aku benar benar melihat sisimu yang lain hari ini Vegas. Dasar-bajingan-egois! " ujung telunjukku menekan nekan bahu Vegas bersamaan dengan penggalan kata demi kata yang aku keluarkan. Kakiku mulai ku seret masuk menuju kedalam apartemenku.
Namun tiba tiba tanganku ditarik kebelakang dan jariku mulai dipaksa dimasuki cincin hitam yang entah sejak kapan sudah berada ditangan Vegas.
"Kau tidak boleh menolakku Pete, tidak boleh. Dan jangan berani untuk melepaskan cincin ini. Jika aku melihat tidak ada cincin ini ditanganmu nanti malam, maka kupastikan perusahaan ayahmu hancur. Baiklah, kuanggap kau sudah menerima lamaranku. Aku mencintaimu" tangannya meraih kepala belakangku dan mengecup keningku. Badanku mulai jatuh lemas bersimpuh dilantai seiring dengan langkahnya yang mulai menghilang dari balik lift.
"Dasar bajingan!!! Argghhh!!! Hiks.. Hiks.. " hanya isakan tangisku yang mulai menggema disepanjang koridor apartemen.
-----
Jam mulai menunjukkan pukul 6 sore. Aku masih mengunci diriku didalam kamar setelah aku dibohongi ayah jika ibu mendadak pingsan dikamar mandi. Setelah ayah menelponku siang tadi untuk mengajak ke rumah Vegas dan menyampaikan akan membahas pernikahan kami, aku langsung menolak dengan mengatakan aku sudah tidak ada hubungan dengan Vegas. Namun ayah tak percaya karena dua minggu lalu ayah masih memberi izin aku dan Vegas untuk belibur 3 hari ke Phuket.
Berkali kali sudah ayah membujukku untuk pergi bersamanya dan berkali kali juga aku memutuskan sambungan telfon sepihak. Namun secara tiba tiba ayah mengabarkan kalau ibu jatuh pingsan didalam kamar mandi. Membuatku tanpa pikir panjang segera bergegas menuju parkiran apartemen dan melaju menuju rumah yang hanya memakan waktu tidak kurang dari satu jam.
Dan see, aku tertipu dan akhirnya melakukan mogok bicara pada ayah dan ibu. Dan sampai sekarang ibu masih berusaha mengetuk pintu kamar dan merayuku.
"Ibu mohon Pete, sekali ini saja turuti kami. Ayah dan ibu ingin melihatmu bahagia nak. Kami sudah tua. Kami takut kami pergi sebelum sempat menitipkanmu pada calonmu kelak. Ibu mohon Pete, bukalah pintunya"
Hah.. Kenapa aku harus memiliki kepribadian seperti ini?! Apa susahnya untuk bilang tidak? Ugh!! Aku benci diriku.
Dengan perasaan kesal aku berjalan dan membuka pintu kamarku. Terlihat raut bahagia diwajah ibuku. Ibu langsung memelukku erat dan mengucapakan terimakasih
"Apa ibu benar benar ingin Vegas menjadi menantu ibu? "
"Ya nak. Ibu merasa Vegas adalah orang yang tepat untuk ibu titipkan"
"Baiklah"
TBC
Komentar
Posting Komentar